Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140914 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Haafizh Al Khatiiri
"Surety bond merupakan salah satu produk penjaminan yang umum ditawarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum dalam pelaksanaan proyek untuk menjamin bahwa kontraktor atau principal dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian pokok. Apabila kontraktor wanprestasi maka pihak asuransi akan memberikan ganti kerugian kepada pemberi kerja atau obligee. Meskipun demikian, terdapat permasalahan yang mungkin timbul mengenai pertanggungjawaban perusahaan asuransi apabila kegagalan principal terjadi karena kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan oleh principal. Skripsi ini menggunakan metode Yuridis Normatif dan bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder berupa studi kepustakaan dan menganalisis putusan-putusan yang berkaitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik mengenai surety bond yang seringkali terjadi adalah mengenai pencairan ganti kerugian. Pada umumnya, ketika kontraktor gagal melaksanakan prestasinya maka pihak pemberi kerja (obligee) akan meminta perusahaan asuransi untuk membayar klaim. Meskipun demikian, dalam hal principal mengklaim bahwa pihaknya tidak melakukan wanprestasi, maka perlu dilakukan peninjauan apakah surety bond tersebut bersifat conditional atau unconditional. Hal ini karena implikasi dari sifat surety bond yang tercantum sebagai klausul perjanjian suretyship akan berbeda dalam proses pencairan klaimnya. Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan dilakukan analisis terhadap kasus yang mengacu pada Putusan Nomor 900/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan bagi para pihak untuk memahami hubungan hukum para pihak, hak dan kewajiban para pihak, jenis dan sifat surety bond, hal apa yang dimaksud dengan wanprestasi, dan proses pencairan klaim surety bond.

Surety bond is one of the common guarantee products offered by General Insurance Companies in project implementation to ensure that the contractor or principal can carry out its obligations in accordance with the main agreement. If the contractor defaults, the insurance company will provide compensation to the employer or obligee. However, there are problems that may arise regarding the liability of the insurance company if the principal's failure occurs due to negligence or default committed by the principal. This thesis uses the Normative Juridical method and is descriptive in nature by using secondary data in the form of literature studies and analyzing related decisions. The results show that the conflict regarding surety bonds that often occurs is regarding the disbursement of compensation. In general, when the contractor fails to perform its performance, the obligee will ask the insurance company to pay the claim. However, in the event that the principal claims that it has not defaulted, it is necessary to review whether the surety bond is conditional or unconditional. This is because the implications of the nature of the surety bond listed as a clause of the suretyship agreement will be different in the process of disbursing the claim. Therefore, this thesis will analyze the case referring to Decision Number 900/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel. Based on the results of this research, it is recommended for the parties to understand the legal relationship of the parties, the rights and obligations of the parties, the type and nature of surety bond, what is meant by default, and the process of disbursing surety bond claims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Ridky Johannes Sitorus
"ABSTRAK Surety bond sebagai salah satu produk asuransi yang diterbitkan perusahaan asuransi umum selaku surety secara konsep hukum merupakan suatu perjanjian pertanggungan borgtocht yang diberikan oleh surety tanpa mewajibakan adanya jaminan kebendaan. Dalam surety bond, surety menjamin pelaksanaan kewajiban principal kepada obligee. Sebagai konsekuensi dari borghtocht, maka perusahaan asuransi umum selaku surety memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi recovery atas klaim yang telah dibayarkan kepada obligee yang mana hak tersebut telah diperjanjikan dalam suatu Indemnity Agreement yang dibuat oleh principal. Saat usaha surety bond semakin berkembang, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan ldquo;UU No. 1/2016 rdquo; dalam rangka memperkuat dasar hukum atas peraturan tentang penjaminan yang komprehensif sehingga menjadi rujukan dalam menyelenggarakan penjaminan. Dalam UU No. 1/2016 pemerintah juga memberikan kewenangan kepada perusahaan penjamin untuk menyelenggarakan usaha surety bond, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai kewenangan perusahaan asuransi umum yang telah lebih dahulu menyelenggarakan usaha surety bond setelah diundangkan UU No. 1/2016. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya ada ketidakpastian hukum pada surety untuk mendapatkan ganti rugi recovery dari principal yang pada dasarnya disebabkan karena tidak adanya jaminan kebendaan yang dapat dieksekusi oleh surety dalam tahapan recovery. Sebagai solusi, maka sebelum menerbitkan surety bond, surety mensyaratkan adanya personal guarantee yang menjamin pelaksanaan kewajiban principal membayar ganti rugi kepada surety. Setelah diundangkan UU No. 1/2016, pada faktanya tidak menghapuskan kewenangan perusahaan asuransi umum dalam menyelenggarakan usaha surety bond. Perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan usaha surety bond sesuai peraturan dalam perasuransian.Kata Kunci : Surety Bond, Recovery, Indemnity Agreement, Personal Guarantee, Penjaminan.
ABSTRACT As one of insurance product that issued by general insurance company as surety, surety bond has legal concept as a guarantee agreement borgtocht given by a surety without requiring collateral object. In surety bond, surety guarantees the performance of principal rsquo s obligations to the obligee. As a consequence of borgtocht, a general insurance company as a surety reserves the right to get a recovery of a claim that has been paid to a obligee and such right have been contracted in an Indemnity Agreement made by the principal. In accordance with the report of Indonesian General Insurance Association AAUI , surety bond production has increased in several years due to the high demand of a guarantee. However, amid the development, the Government issued Law No. 1 of 2016 regarding Guarantee Law No. 1 2016 in order to strengthen the legal basis for a comprehensive guarantee regulation, thus it becomes a reference in conducting the guarantee business. In Law No. 1 2016 the government authorizes the guarantor company to conduct surety bond business, this further raises question about the authority of general insurance company that have previously conducted surety bond business after promulgation of Law No. 1 2016. This research is descriptive by using normative juridical method. The results show that in the implementation there is legal uncertainty on surety to obtain compensation recovery from the principal. The uncertainty is basically caused by the absence of material assurance that can be executed by surety in the recovery phase. As a solution to the problem before issuing surety bond, surety requires a personal guarantee that guarantees the implementation of principal obligation to pay compensation to surety. This at least increases legal certainty for surety to obtain compensation from the principal. After enactment of Law No. 1 2016, this law does not eliminate the authority of general insurance company in conducting surety bond business. However, general insurance company still reserves the right to conduct surety bond business in accordance with the regulations in the insurance and with due regard to the provisions of Law No. 1 2016.Keywords Surety Bond, Recovery, Indemnity Agreement, Personal Guarantee, Guarantee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audi Anindya Pramesti
"Surety bond merupakan salah satu produk penjaminan yang umum ditawarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum dalam pelaksanaan proyek untuk menjamin bahwa kontraktor atau principal dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian pokok. Apabila kontraktor wanprestasi maka pihak asuransi akan memberikan ganti kerugian kepada pemberi kerja atau obligee. Meskipun demikian, terdapat permasalahan yang mungkin timbul mengenai pertanggungjawaban perusahaan asuransi apabila kegagalan principal terjadi karena keadaan memaksa atau force majeure. Skripsi ini menggunakan metode Yuridis Normatif dan bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder berupa studi kepustakaan dan menganalisis putusan-putusan yang berkaitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik mengenai surety bond yang seringkali terjadi adalah mengenai pencairan ganti kerugian. Pada umumnya, ketika kontraktor gagal melaksanakan prestasinya maka pihak pemberi kerja (obligee) akan meminta perusahaan asuransi untuk membayar klaim. Meskipun demikian, dalam hal principal mengklaim bahwa kegagalan dilaksanakannya prestasi akibat keadaan memaksa, maka perlu dilakukan peninjauan apakah keadaan yang diklaim oleh principal dapat disebut sebagai keadaan memaksa. Hal ini karena adanya indemnity agreement antara pihak kontraktor dengan perusahaan asuransi yang menyatakan bahwa setelah surety membayarkan ganti rugi, maka kontraktor perlu membayar kembali ganti rugi tersebut kepada surety. Oleh karena itu, apabila kegagalan principal diakibatkan oleh force majeure maka perusahaan asuransi tidak perlu mencairkan surety bond karena dalam force majeure debitur tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan bagi para pihak untuk memahami risiko yang ditanggung oleh surety, melakukan tindakan preventif untuk mengantisipasi keadaan force majeure, dan memasukkan klausul force majeure di dalam perjanjian surety bond.

Surety bond is one of the common guarantee products offered by Insurance Companies in implementing projects to guarantee that the contractor or principal can carry out their obligations in accordance with the main agreement. If the contractor defaults, the insurer will provide compensation to the employer or obligee. Even so, there are problems that may arise regarding the liability of the insurance company if the principal failure occurs due to force majeure. This thesis uses the Normative Juridical method by using secondary data in the form of literature studies and analyzing related court decisions. The results of the study indicate that the conflict regarding surety bonds that often occurs is regarding the disbursement of compensation. In general, when the contractor fails to carry out its performance, the employer (obligee) will ask the insurance company to pay the claim. However, in the event that the principal claims that the failure to carry out the performance is due to force majeure, it is necessary to review whether the condition claimed by the principal can be called a force majeure situation. This is because there is an indemnity agreement between the contractor and the insurance company which states that after the surety pays compensation, the contractor needs to pay back the compensation to the surety. Therefore, if the principal failure is caused by a force majeure, the insurance company does not need to liquidate the surety bond because in a force majeure the debtor is not responsible for any losses that arise. Based on the results of this study, it is suggested for the parties to understand the risks borne by the surety, take preventive actions in order to anticipate force majeure situations, and include a force majeure clause in the surety bond agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Rijan
"Dalam pelaksanaan perjanjian pembangunan sering terjadi perbuatan wanprestasi dari kontraktor yang mengakibatkan timbulnya sengketa. Permasalahan pertama penelitian tesis ini adalah mengenai konsekuensi hukum dari surety bond setelah adanya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menyatakan principal telah wanprestasi dan sahnya pemutusan perjanjian pokok. Permasalahan kedua mengenai tanggung jawab surety company atas surety bond setelah adanya Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menyatakan principal telah melakukan tindakan wanprestasi. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsekuensi hukum dari surety bond setelah adanya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menyatakan principal telah wanprestasi dan sahnya pemutusan perjanjian pokok adalah tiba saatnya surety bond untuk dicairkan oleh surety company kepada obligee. Surety company tetap bertanggungjawab untuk melaksanakan pembayaran klaim kepada pihak obligee dan tidak adanya persetujuan klaim dari principal tidak dapat dijadikan alasan surety company untuk menolak mencairkan klaim, sebab sudah ada Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menyatakan principal wanprestasi. Penulis menyarankan apabila telah terbukti adanya perbuatan wanprestasi, maka sebaiknya surety company melaksanakan pencairan klaim kepada obligee. Manakala surety company tidak bersedia mencairkan klaim, obligee dapat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap surety company melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK) atau pengadilan sesuai dengan klausul penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam perjanjian pokok dan atau sertifikat/polis surety bond.

In the implementation of development agreements, there are often acts of default from contractors which result in disputes. The first problem of this thesis research is about the legal consequences of a surety bond after the decision of the Indonesian National Arbitration Board which states that the principal has defaulted and the validity of the termination of the principal agreement. The second issue concerns the surety company's liability for surety bonds after the Indonesian National Arbitration Board Decision which stated the principal had committed an act of default. The writing method used in this study is juridical normative using secondary data. Data analysis in this study is descriptive qualitative. The results of this study show that the legal consequences of surety bonds after the decision of the Indonesian National Arbitration Board which states that the principal has defaulted and the validity of termination of the principal agreement is that the time has come for surety bonds to be disbursed by the surety company to the obligee.  The surety company remains responsible for carrying out claim payments to the obligee and the absence of claim approval from the principal cannot be used as a reason for the surety company to refuse to disburse claims, because there has been a decision by the Indonesian National Arbitration Board stating the principal default. The author suggests that if there has been proven to be an act of default, then the surety company should disburse claims to the obligee. If the surety company is not willing to disburse the claim, the obligee may file a default lawsuit against the surety company through the Financial Services Sector Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS-SJK) or the court by the dispute resolution clauses specified in the principal agreement and/or surety bond certificate/policy."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kalih Krisnareindra
"Tesis ini membahas tentang kewenangan perusahaan asuransi umum menerbitkan Sertifikat Penjaminan Surety Bond pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan) dengan pokok permasalahan pertama mengenai bagaimana kewenangan perusahaan asuransi umum menerbitkan surety bond dan keabsahan sertifikat penjaminan surety bond yang diterbitkan sebelum dan pasca diundangkannya UU Penjaminan. Permasalahan kedua mengenai upaya hukum apa yang dapat dilakukan supaya penerbitan sertifikat surety bond oleh perusahaan asuransi umum tidak menimbulkan permasalahan hukum. Metode penelitian dan teori hukum yang dipergunakan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan teori pembentukan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan asuransi umum sebelum dan sesudah diundangkan UU Penjaminan tetap mempunyai kewenangan untuk menerbitkan sertifikat surety bond. Upaya hukum utama yang dapat dilakukan adalah melalui upaya hukum uji materi (judicial review) ketentuan dalam UU Penjaminan dan/atau ketentuan mengenai perasuransian supaya penerbitan sertifikat surety bond oleh perusahaan asuransi umum tidak menimbulkan permasalahan hukum mengenai keabsahannya dan untuk menegaskan dan menghilangkan penafsiran atau pandangan yang berbeda. Saran dari penelitian ini adalah perusahaan asuransi umum melalui Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) supaya mengajukan uji materi (judicial review) ketentuan dalam UU Penjaminan dan/atau peraturan mengenai perasuransian. Pada saat penulisan tesis ini, hal itu telah dilakukan oleh AAUI dan dilaksanakan sebelum tesis ini diuji, putusan MK telah dikeluarkan melalui putusan No.5/PUU-XVIII/2020 pada 25 November 2020 yang memperkuat hasil penelitian ini dimana perusahaan asuransi umum memiliki kewenangan dalam menerbitkan sertifikat surety bond.

This thesis discusses about the legal rights of general insurance companies to issue surety bond certificates after the enactment of Law Number 1 of 2016 concerning Suretyship (Suretyship Law) with the first issue regarding how the legal rights of general insurance companies to issue surety bonds and the validity of surety bond certificates issued by insurance companies before and after the enactment of the Suretyship Law. The second issue concerning to legal actions to be taken by stakeholders so that the issuance of surety bond certificates by general insurance companies does not cause legal problems. The research methods and legal theory used to discuss the problems in this thesis are normative legal research and legislation formation theory. The results showed that general insurance companies before and after the enactment of the Suretyship Law still have the authority to issue surety bond certificates. The main legal actions that can be taken are through judicial review of provisions in the Suretyship Law and / or Law No. 40 of 2014 regarding Insurance (Insurance Law) so that the issuance of surety bond certificates by general insurance companies does not cause legal issues particularly regarding its validity and also to emphasize and eliminate different interpretations or views. The suggestion based on this research is that general insurance companies through the Indonesian General Insurance Association (AAUI) shall submit request for judicial review of the provisions of the Suretyship Law and/or Insurance Law. During the writing process of this thesis, AAUI had been submit a request to Constitutional Court for judicial review and decision was issued through decision No.5 / PUU-XVIII / 2020 in November 25th, 2020 which strengthened the results of this research where the general insurance company has the authority to issue surety bond certificates"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maghfyra Fitri Andari
"ABSTRAK
Terdapat kekhawatiran oleh Perusahaan Asuransi Umum ketika Undang-Undang Penjaminan No. 1 Tahun 2016 diberlakukan karena adanya beberapa ketentuan yang tidak secara langsung melarang Perusahaan Asuransi Umum untuk dapat menerbitkan penjaminan Surety Bond. Namun, sebelum Undang-Undang Penjaminan No. 1 Tahun 2016 diberlakukan, sudah terdapat pengaturan yang dibuat oleh Pemerintah yang mengatur mengenai penjaminan Surety Bond sekaligus penunjukkan perusahaan asuransi umum yang dapat menerbitkan penjaminan Surety Bond. Adapun skripsi ini membahas mengenai ketentuan penerbitan penjaminan Surety Bond oleh perusahaan asuransi umum dalam Undang-Undang Penjaminan No. 1 Tahun 2016 yang melarang Perusahaan Asuransi Umum menerbitkan penjaminan Surety Bond serta dampaknya bagi bisnis perusahaan asuransi umum dan perusahaan kontraktor dalam industri jasa konstruksi yang menggunakan penjaminan Surety Bond dalam proyek konstruksinya. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa ketentuan yang tidak secara langsung melarang perusahaan asuransi umum untuk menerbitkan penjaminan Surety Bond sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya dan memberikan dampak terhadap perusahaan asuransi umum sebagai surety company dan para pihak dalam industri jasa konstruksi. Hasil dari penelitian ini menyarankan agar pemerintah membuat perubahan (amandemen) pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan dan membuat aturan pelaksana yang dapat memberikan kepastian hukum bagi perusahaan asuransi umum dalam menerbitkan penjaminan Surety Bond.

ABSTRACT
General Insurance Company feel concerned when Guarantee Act was published due to the several provisions that prohibited general insurance company to publish Surety Bond. However, before the Guarantee Law was put in place and went into effect, there was some regulation already made by the Government that regulated the Surety Bond mechanism and also be the appropriate legal basis for insurance company to be the surety company. This thesis discusses about the provision of prohibiting Surety Bond issuance by insurance company in Guarantee Act and its implication for the business of insurance company and also for the contractors in industrial construction service that used Surety Bond for their construction project. This study was descriptive using juridicial normative methods. The results showed that there are some provisions that are not directly prohibit the insurance company to issuing the Surety Bond, and this creates some legal uncertainty and affected the insurance company as a surety company and contractors in the industrial construction service. This thesis suggests the government to make changes (amendment) to the Guarantee Act and make some additional rules which allows the insurance company to issue Surety Bond."
2017
S66332
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"A Surety or an obligation letter is a three-party agreement amongst the surety company (obligor), the project owner (obliger) and the principal (contractor). The Surety guarantees the owner that the contractor will perform its duty according to the owner's order..."
JHB 19 (2002)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Niken T.S.S. Putri
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S23925
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helsi Yasin
"Dalam suatu perjanjian pemborongan (pelaksanaan pekerjaan), pihak pemberi pekerjaan (obligee) biasanya mewajibkan kontraktor (principal) menyediakan suatu surat jaminan. Kewajiban principal ini biasanya dituangkan dalam suatu kontrak kerja antara obligee dan principal. Tanpa adanya surat jaminan ini obligee tidak akan pernah bersedia menjalin kerjasama dengan principal, karena hal ini memang diwajibkan oleh pemerintah. Sebelum keluarnya Keppres No. 14 A / 1980, surat jaminan ini biasanya diterbitkan oleh Bank dalam bentuk garansi bank, tetapi setelah keluarnya Keppres tersebut, surat jaminan ini dapat dikeluarkan oleh lembaga keuangan non bank dalam bentuk surety bond. Walaupun surety bond ini mempunyai banyak kelebihan dan kemudahan untuk memperolehnya, tapi banyak pihak lebih menyukai bank garansi sebagai surat jaminan. Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, di mana datanya diambil dari kepustakaan ( c.ni.-i sekunder ) dan lapangan ( data primer ). Ketidakpopu lerar; surety bond ini menyebabkan timbul keraguan, ke dalam perjanjian yang mana surety bond ini dapat dikategorikan dan kenapa pemerintah mengeluarkan lagi surat jaminan surety bond ini sebagai alternatif bank garansi. Padahal kenyataannya bank garansi sudah demikian diminati oleh para pelaku pasar terutama oleh obligee dan para pemilik proyek, sehingga para kontraktor golongan ekonomi lemah tetap berada pada sisi yang tidak menguntungkan. Untuk memperoleh bank garansi ini, biasanya pihak bank membutuhkan kontra garansi yaitu agunan ( collatéral ) berupa dana nasabah yang diblokir oleh bank. Kurang percayanya obligee kepada surety bond disebabkan surat jaminan yang dikeluarkan oleh surety company ini untuk memperolehnya tidak memerlukan kontra garansi sebagaimana halnya pada bank garansi sehingga menimbulkan keraguan di pihak obligee, apalagi proses pencairan klaimnya mempergunakan prinsip-prinsip asuransi yang dianggap berbelit-belit oleh obligee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid
"Dalam proses kegiatan pembangunan, permasalahan yang dihadapi oleh kontraktor bukan saja terbatas pada masalah ketrampilan (skill), peralatan dan permodalan, akan tetapi juga menyangkut masalah sulitnya memperoleh surat-surat jaminan sebagaimana dipersyaratkan oleh para pemilik proyek. Sehubungan dengan pentingnya surat jaminan dalam pelaksanaan pembangunan suatu proyek, saat ini telah tersedia suatu fasilitas jaminan dalam bentuk "Surety Bond" sebagai alternatif baru selain dari Bank Garansi. Jaminan Surety Bond ini hanya diberikan I diterbitkan oleh PT. (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja sebagai satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank yang berwenang menerbitkan Surety Bond. Jaminan ini relatif lebih meringankan bagi para kontraktor karena untuk memperolehnya tidak dipersyaratkan adanya agunan atau setoran uang jaminan, sehingga modal kerja yang dimiliki oleh kontraktor sepenuhnya dapat d ipergun akan untuk pelaksanaan pembangunan proyek. Adapun prosedur untuk memperoleh Surety Bond terdiri dari 2 (dua) tahapan. Pertama, setiap perusahaan (kontraktor) yang berminat menggunakan jaminan Surety Bond harus mengajukan surat permohonan menjadi nasabah terlebih dahulu. Sedangkan tahap kedua setiap kontraktor harus mengajukan surat permohonan jaminan Surety Bond. Permohonan ini hanya dapat dilakukan oleh perusahaan (kontraktor) yang telah menjadi nasabah. Dalam hal pelaksanaan pembangunan apabila kontraktor melakukan wanprestasi dan tidak mau membayar ganti rugi kepada pemilik proyek, maka pemilik proyek dapat mengajukan klaim kepada Jasa Raharja selaku pihak Surety yang menjamin terlaksananya kewajiban kontraktor. Pihak Surety akan membayar ganti rugi sesuai dengan kerugian yang nyata-nyata diderita oleh pemilik proyek dengan ketentuan maksimum sebesar nilai jaminan yang tertera dalam Surety Bond yang diterbitkan. Surety Bond akan hapus/berakhir apabila kontraktor telah selesai melakukan kewajibannya dengan baik atau apabila Jasa Rahaja selaku pihak Surety telah membayar ganti rugi kepada pemilik proyek. Apabila Jasa Raharja telah melakukan pembayaran klaim, maka berdasarkan Perjanjian Ganti Rugi dan adanya prinsip hak Subrograsi pihak Jasa Raharja dapat menuntut kembali ganti rugi kepada kontraktor dan / atau Indemnitor. Apabila baik kontraktor maupun Indemnitor tidak mau membayar ganti rugi kepada pihak Surety, maka Jasa Raharja selaku pihak dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. (HAMID)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>