Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150208 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pintoko Tedjokusumo
"Suatu infark miokard akan mengakibatkan kerusakan miokard, yang dapat bersifat reversibel atau menetap. Kerusakan miokard tersebut akan mempengaruhi fungsi ventrikel kiri, baik secara global maupun regional. Fungsi regional tersebut dapat dinilai dari analisis pergerakan dinding ventrikel secara segmental. Beberapa parameter klinis maupun laboratoris, antara lain angina pasca infark, gaga! jantung, aritmia dan luasnya infark akan menentukan prognosis pasca infark miokard. Dari keempat faktor tersebut luasnya infark akan tercermin dari adanya gangguan pergerakan dinding ventrikel, sebagai petanda ada tidaknya viabilitas miokard. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara analisis pergerakan dinding ventrikel yang di lakukan secara serial dengan viabilitas miokard pasca infark miokard akut. Telah dilakukan pemeriksaan ekokardiografi secara serial terhadap 35 penderita infark miokard akut di RS. Jantung Harapan Kita. Dari pemeriksaan tersebut dibuat suatu skor yang dikenal sebagai 'wall motion score index' (WMSI) berdasarkan gangguan pergerakan dinding ventrikel secara segmental. Data yang di peroleh menunjukkan adanya penurunan nilai WMSI dari hari ke hari pada semua penderita yang diteliti. Penurunan nilai WMSI yang dianggap bermakna secara statistik adalah - 0,25 (p < 0,001 ). Nilai tersebut menunjukkan adanya viabilitas miokard. Uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara WMSI pada 24 jam pertama infark miokard akut dengan nilai puncak dari enzim CKMB (r = 0,23) namun terdapat korelasi yang sedang antara WMSI tersebut dengan nilai puncak enzim CK (r= 0,4). Ketidak sesuaian terse but ( discrepeney) menunjukkan bahwa nilai puncak enzim sebetulnya tidak dapat mencerminkan luasnya infark yang berpengaruh terhadap pergerakan dinding ventrikel. _ Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara WMSI dengan fraksi ejeksi (r = -0,06), fraksi pemendekan (r = -0,08) volume akhir sistol (r = 0,21) dan volume akhir diastol (r = 0,35). Gambaran tersebut jauh berbeda pada 1 hari sebelum penderita di pulangkan, dimana terdapat korelasi yang cukup kuat antara WMSI dengan fraksi ejeksi, fraksi pemendekan dan volume akhir diastol (r = -0,51 ; r = -0,46 ; r = 0,67) tetapi tetap tidak ditemukan korelasi dengan volume akhir sistol (r = 0, 19). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi ejeksi dan fraksi pemendekan kurang dapat mencerminkan fungsi ventrikel kiri pada fase akut infark miokard (24 jam pertama). Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Perubahan WMSI ~ 0,25 dapat digunalan sebagai parameter untuk menilai viabilitas miokard. 2. WMSI merupakan pencerminan fungsi regional ventrikel kiri yang dapat digunakan untuk menilai fungsi ventrikel pada 24 jam pertama infark miokard. 3. Pada 24 jam pertama IMA tidak terdapat korelasi antara WMSI dengan EF, FS, ESV dan EDV, sedangkan pada hari ke 5 pasca IMA korelasi hanya didapat dengan EDV. Akan tetapi pemeriksaan yang dilakukan sebelum penderita dipulangkan, terdapat korelasi antara WMSI dengan EF, FS dan EDV. 4. Sebagian penderita yang diteliti mengalami ustunning" dari miokard."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1996
T59091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Mutiara Briliantinna
"Latar belakang: Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA sering tidak terdeteksi. Hanya 25% kasus depresi pasca IMA yang terdiagnosis dan hanya 30% yang mendapat pengobatan yang memadai. Dari berbagai penelitian didapatkan bila depresi tidak ditangani dengan baik maka dapat memperburuk prognosis, meningkatkan risiko kematian dan memperlambat penyembuhan. Faktor risiko lain dalam terjadinya IMA adalah faktor pola perilaku. Berdasarkan penelitian perilaku tipe A mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung dibandingkan dengan perilaku tipe B. Sekitar 37-45% penderita iskemi miokard dicetuskan oleh stresor psikososial yang bila tdak diatasi dengan baik dapat berlanjut menjadi infark miokard.
Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara derajat keparahan IMA dan stresor psikososial dengan Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA yang mempunyai perilaku tipe A.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional terhadap 136 responden berusia 25-60 tahun yang datang ke PoIiklinik Jantung Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dan memenuhi kriteria inkiusi. Instrumen yang digunakan adalah Videotaped Clinical Examination (VCE) perilaku tipe A, Structured CIinical Interview for DSM-IV Axis-1 Disorder (SLID) dan kuesioner stresor psikososial dari Irwin G. Sarasan.
Hasil: Dari 136 responden sebesar 57,4% pasien mengalami depresi. Proporsi Gangguan Depresi tertinggi ditemukan pada responden IMA derajat berat dan sangat berat (69%). Pada responden terdapat hubungan antara derajat keparahan IMA dengan Gangguan Depresi (p=0,008) dan terdapat hubungan antara stresor psikososial dengan Gangguan Depresi (p<0,001). Hasil analisis regresi logisitik didapatkan keparahan IMA berat dan sangat berat merupakan faktor yang paling dominan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada responden (odds ratio 4,6) sedangkan stresor psikososial (odds ratio 1,4).
Simpulan: Derajat keparahan IMA dan stresor psikososial adalah faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA yang mempunyai perilaku tipe A.

Background: Depression disorders in post acute myocard infarct (ANTI) patients are frequently not detected. Only 25% of the post AMI cases that have been diagnosed and only 30% of those received adequate treatment. Based on a variety of studies, if depression is not properly handled, the prognosis will become worse augmenting the risk of mortality and slowing down the recovery. Another risk factor in the induction of AMI is a behavior pattern factor. Based on the study, type a behavior runs a higher risk for developing cardiac disease than type B behavior. Approximately 37-45% of the cases, myocard ischemia triggered by unresolved psychosocial stressors could lead to AMI.
Purpose: The purpose of this study was to find out the correlation between the severity degree of AMI and psychosocial stressors with depression disorders in post AMI patients who were identified to have type a behavior.
Method: This study was cross-sectional involving 136 respondents aged 25 to 60 years who presented to the cardiac poly of Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. The respondents fulfilled the inclusion criteria. The instruments employed were VCE of type a behavior SCID and psychosocial stressor questionnaire from Irwin C. Samson.
Result: Out of 136 respondents, 57.4% of them had depression. The biggest proportion of depression disorder was found in severe and very severe myocard infarct respondents (69%). In the respondents, association between the severity degree of AMI and depression disorder was found; there was association between psychosocial stressors and depression disorder (p <0.081). The result of the Logistic regression revealed that severe and very severe AMI was the most dominant factor in increasing the risk for developing disorder in the respondents (odds ratio 4.6). Whereas psychosocial stressors had the odds ratio 1.4.
Conclusion: The severity of AMI and psychosocial stressors are the two factors that have a role in increasing the risk for developing depression disorder in AMI patients with type A behavior.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nizam Zikri Akbar
"Tiga ratus dua puluh pasien yang menjalani pemeriksaan Skintigrafi Perfusi Dipyridamol di RS. Jantung Harapan Kita dievaluasi untuk melihat nilai sensitifitas dan spesifisitas dari tes ini. Dipyridamol diberikan dalam dosis infus O,56 mg I kg selama 4 menit. Pencitraan dengan metode Planar dilakukan pada 209 pasien dan dengan metode SPECT pada 101 pasien. Alasan penderita menjalani tes ini paling banyak untuk tujuan penggolongan resiko 154 orang ( 48,1 % ), untuk evaluasi diagnostik sebanyak 92 orang ( 28,7%) dan untuk pemeriksaan viabilitas sebesar 74 orang ( 23,2% ). Dari 320 pasien yang dievaluasi, ada 194 pasien yang juga menjalani pemeriksaan angiografi koroner, hasilnya berupa 3S orang normal, 48 orang dengan penyempitan > 5O % diameter arteri pada 1 pembuluh arteri, 5O orang pada 2 pembuluh arteri dan 61 orang pada 3 pembuluh arteri, dimana 2 orang diantaranya juga disertai dengan penyempitan pada arteri kiri utama. Respon hemodinamik terhadap dipyridamol berupa kenaikan denyut nadi sebesar 12 ± 1S, penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik, masing-masing sebesar 10 ± 24 dan 7 ± 13. Efek samping yang paling banyak terjadi adalah rasa kebas di tangan ( paresthesia ) di jalan masuk obat, dijumpai pada 133 orang ( 66,2 % ), sedang efek samping kardiak yang paling sering terjadi adalah depresi gelombang ST pada 78 orang ( 38,8 % ), nyeri dada pada SO orang ( 24,9 % ), hipotensi pada 33 orang ( 16,4 % ), aritmia berupa ekstra sistol pada 20 orang ( 9,9%) dan bronkospasme yang dapat diatasi dengan aminofilin pada 3 orang ( 1,5 % ), tidak terjadi infark miokard atau kematian. Didapati nilai sensitifitas dan spesifisitas sebesar 87 % dan 70 % dengan metode Planar dan 91 % dan 75 % dengan SPECT, nilai perkiraan akurasi sebesar 94% untuk metode Planar dan 93 % untuk metode SPECT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1999
T29113
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Siswanti E
"Aterosklerosis bersama trombosis merupakan dua faktor penting terjadinya infark miokard. Beberapa faktor resiko konvensional seperti hipertensi diabetes mellitus, obesitas dislipidemia, merokok serta riwayat keluarga berperan untuk terjadinya infark miokard, tetapi ternyata 25% - 50% kejadian infark miokard tak bisa diterangkan dengan faktor resiko tersebut, Faktor resiko kejadian iskemik akut lainnya telah ditemukan berdasarkan studi epidemiologis yaitu: fibrinogen, penghambat aktivator trombosit I, lipoprotein a, antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus, lekosit dan viskositas darah Antibodi antifosfolipid yang antara lain terdiri dari antibodi antikardiolipin (ACA) dan antikoagulan lupus (LA), mempunyai hubungan erat dengan trombosis. Antibodi antikardiolipin yang terdiri dari isotype IgG, IgM, dan IgA, merangsang terjadinya trombosis dengan menghambat aktivasi protein C, mengikat fosfolipid membran trombosit serta menghambat produksi prostasiklin oleh sel endotel, sehingga timbul peningkatan agregasi trombosit, vasospasme, peningkatan aktivasi koagulasi dan akhirnya menimbulkan trombus. prospektif terhadap 46 penderita infark Telah dilakukan penelitian miokard usia muda ( laki laki < 55 tahun, perempuan < 65 tahun) di Rmah Sakit Jantung Harapan Kita, untuk melihat kadar ACA. Didapatkan peninggian ACA pada 13 penderita (28,3% ), dimana pada 8 penderita isotype IgG yang tinggi, 5 penderita isotype IgM yang meninggi dan tidak ada satupun yang meninggi keduanya. Tidak terdapat perbedaan antara kelompok ACA tinggi dan ACA normal dalam usia, faktor resiko, kadar HDL, LDL dan trigliserid, sedang nilai kolesterol total dan IgG ACA serta IgM ACA berbeda bermakna (p<0,05) Dalam pemantauan kejadian reinfark miokard, angina pektoris tak stabil atau meninggal yang dilakukan selama 10 16 bulan, didapatkan pada kelompok ACA normal 3 orang ( 9,7% ) dan pada kelompok ACA tinggi 3 orang (28,3%) Hasil ini menunjukkan kadar ACA yang lebih tinggi pada penderita infark menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk terjadinya reinfark dan kematian, dan dapat menunjukkan prognosis pasca infark (RR = 2,54, p>0,05). Selanjutnya, untuk mendapat informasi lebih baik perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan pemeriksaan titer ACA dilakukan secara serial."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwinanto
"Angioplasti koroner diterima sebagai cara alternatif revaskularisasi pada arteria koronaria dengan stenosis bermakna. Keberhasilan angioplasti koroner pada miokardium viable berpeluang untuk memperbaiki gerak dindingsegmental bilik kiri. Oleh karena itu, keberadaan miokardium viable pra-angioplasti memegang peran penting dalam perbaikan gerak dinding segmental pasca-angioplasti. Stres ekokardiografi dobutamin dosis . rendah merupakan salah satu cara yang telah diterima untuk mengetahui keberadaan miokardium yang viable. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan terjadinya perbaikan gerak dinding segmental bilik kiri pasca-angioplasti berhasil pada satu atau lebih artreria koronaria penderita multivessel disease di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Dilakukan penelitian pada 20 orang penderita multivessel disease yang menjalani angioplasti koroner berhasil. Keberhasilan angioplasti ditandai dengan sisa stenosis <50% di satu atau lebih arteria koronaria , yang didilatasi, tidak mengalami· infark miokardium akut dan tidak memerlukan operasi bedah pintas koroner darurat. Dobutamine dosis rendah diberikan yaitu 5j.lg/kg/menit dilanjutkan dengan 10 j.lg/kg/menit selang waktu 5 menit. Gerak dinding bilik kiri diperiksa memakai ekokardiografi transtorakal 1 - 2 hari sebelum angioplasti koroner.dan dibandingkan dengan akibat yang sama 2 - 3 hari pascaangioplasti. Dinding bilik kiri dianalisa secara kualitatif dengan cara membaginya menjadi 16 segmen dan sebuah nilai diberikan untuk masingmasing segmen. Sebelum angioplasti, ditemukan 59 segmen yang menunjukkan gangguan gerak saat istirahat dan 45 segmen menunjukkan perbaikan gerak saat dilakukan tes dobutamin dosis rendah (p=O,001). Dibandingkan dengan keadaan yang sama sebelum angioplasti, terjadi perbaikan Indeks Angka Gerak Dinding pasca-angioplasti sa at istirahat dari 1,29 ±O,12 menjadi 1,17±-O,13 (p=O,003) dan saat tes dobutamine dari 1, 13±-O, 13 menjadi 1,06 ±-O,11 (p=O,008). Persetujuan dua penilai terhadap perubahan gerak dinding segmental besarnya 94,7 %. Kesimpulan : terjadi perbaikan gerak dinding segmental pasca-angioplasti koroner yang berhasil pad a 1 atau lebih arteria koronaria penderita multivessel disease di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Perbaikan terlihat 2 sampai 3 hari setelah angioplasti, baik saat istirahat maupun saat stres dobutamine dosis rendah."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ,
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Nurani OSP
"Usia harapan hidup yang meningkat mempunyai dampak dalam peningkatan insideu penyakit gagal jantung. Jenis gagal jantung yang paling tinggi prevalensinya adalah gagal jantung kongestif (CHF). Kasus ini seringkali mengalami perawatan ulang, dengan salah satu penyebab ketidakpatuhan klien dalam pengobatan. Tujuan penelitian ini ingin mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan ketaatan klien dalam minum obat, dan mengidentifikasi hubungan antara tingkat pengetahuan dengan ketaatan minum obat pada klien gagal jantung kongestif di RS Jantung Harapan Kita, Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dengan instrumen berupa kuesioner pada 44 responden yang pemah dirawat dan mendapat pengobatan gagal jantung. Analisa data menggunakan metode tendensi sentral pada tingkat pengetahuan dan ketaatan. Uji chi square dilakukan pada data kategorik tingkat pengetahuan dan ketaatan dengan menggunakan tingkat kemaknaan a 5 % atau 0,05. Hasil penelitian yang diproleh tingkat pengetahuan klien gagal jantung kongestif tentang penyakit dan obat adalah sama antara tingkat pengetahuan tinggi dan rendah yaitu 50 %. Tingkat ketaatan diperoleh hasil 52,3 % responden taat terhadap perilaku minum obat, Sedangkan pada hubungan tingkat pengetahuan dan ketaatan klien dalam minum obat Ho gagal ditolak. Penelitian ini rnenyimpulkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan ketaatan rninum obat pada klien gagal janumg kongestif di RS Jantung Harapan Kita. Pengetahuan bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ketaatan minum obat, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk melihat faktor lainnya yang berhubungan dengan ketaatan minum obat klien gagal jantung kongestif dengan sampel yang lebih homogen."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
TA5537
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yonatan Kristiono Gunadi
"ABSTRAK
Penilaian kinerja merupakan salah satu alat untuk meningkatkan motivasi dan
produktifitas, tetapi karena penilaian kinerja merupakan hal yang sensitif untuk
sebagian orang, maka penilaian kinerja dapat juga menimbulkan penolakan dan
kecurigaan yang berakibat pada menurunnya motivasi kerja. Tesis ini bertujuan
menganalisis persepsi dokter spesialis jantung terhadap penilaian kinerja di RS
Jantung dan Pembuluh Darah di Harapan Kita. Penelitian ini adalah penelitian
gabungan kuantitatif dan kualitatif. Responden dalam penelitian ini melibatkan
seluruh dokter spesialis jantung penuh waktu yang melakukan pelayanan
medis. Data kuantitatif diolah dengan analisis deskriptif univariat, dan data
kualitatif diolah dengan content analysis. Hasil penelitian ini menunjukkan dokter
spesialis jantung yang memiliki persepsi negatif terhadap penilaian kinerja lebih
banyak daripada yang memiliki persepsi positif. Persepsi yang negatif terutama
disebabkan oleh metode penilaian yang dianggap belum sesuai. Tidak adanya
mekanisme feedback dan transparansi merupakan pokok masalah. Motivasi kerja
juga lebih banyak yang negatif dengan variabel ekspektasi sebagai inti masalah,
disebabkan oleh tidak adanya mekanisme feedback. Karakteristik individu
sebagian besar merupakan generasi X, laki-laki, yang memprioritaskan karir dan
butuh diberikan feedback. Saran dari penelitian ini agar pihak manajemen
memberlakukan sistem feedback secara teratur yang berfokus pada percakapan
dan perkembangan. Penelitian ini juga menyarankan manajemen yang bermitra
dengan kepala kelompok staf medik dalam penilaian, penyesuaian bobot penilaian
dengan tugas, dan revisi komponen integritas pada penilaian kinerja agar berbasis
kontribusi.

ABSTRACT
Performance appraisal is one tool to increase motivation and productivity, but
because it's sensitive for some people, performance appraisal can also lead to
rejection and suspicion that results in a decrease in work motivation. This thesis
aims to analyze the perception of cardiologists on performance appraisal at
National Cardiovascular Center Harapan Kita. This research is a quantitative and
qualitative research. Respondents in this study involves all full-time cardiologists
who perform medical services. Quantitative data is processed by descriptive
univariate analysis, and qualitative data is processed with content analysis. The
results of this study indicate cardiologists who have a negative perception of
performance appraisal are more than those who have positive perceptions.
Negative perceptions are mainly due to the assessment methods that are
considered not appropriate. The absence of feedback and transparency
mechanisms is central to the problem. Job motivation is also more negative than
positive with the expectation variable as the core of the problem, caused by the
absence of feedback mechanism. Individual characteristics are largely generation
X, men, who prioritize careers and need to be given feedback. Suggestions from
this research are for the management to implement a regular feedback system that
focuses on conversation and development. The study also suggests that
management partner with the head of the medical staff group in the assessment,
adjustment of assignment weighting and tasks, and the revision of the integrity
component on performance appraisal for contribution-based systems."
2017
T47700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dudy Arman Hanafy
"Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sebagai pusat Rujukan Nasional memberikan layanan penatatalaksana penyakit jantung coroner dengan pembedahan yaitu Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dengan teknik Off-Pump dan On-Pump. Perlunya dilakukan cost analisys terhadap dua teknik diatas sebagai evaluasi ekonomi untuk mengetahui teknik yang lebih hemat. Desain penelitian ini obeservasional analitik dengan menghitung unit cost dari setiap teknik dengan membagi biaya preoperatif, perioperatif dan postoperatif. Sampel adalah pasien ASKES yang dilakukan CABG Januari-Agustus 2012 dan didapatkan besar sampel Off-Pump 30 pasien dan On-Pump 40 pasien. Tidak ada perbedaan data demografi dari kedua kelompok.
Untuk utilisasi pelayanan, pasien Off-Pump menggunaan ventilator yang lebih singkat (Off-Pump 6,3 jam ±2.55; On-Pump 9.7 jam ±3.51 p=0.000), lama di ICU lebih singkat (Off-Pump 1,1 hari ±0.30; On-Pump 2.28 hari ± 1.79 p=0.001) dan lama perawatan lebih singkat juga (Off-Pump 8,2±1.27; On-Pump 11.35±4.90 p=0.001). Untuk perbandingan biaya, tidak ada perbedaan biaya preoperative pada kedua teknik, perioperatif teknik Off Pump lebih hemat (Off-Pump Rp. 64.301.615 ± 7.257.330; On-Pump Rp. 68.206.112 ± 6.594.156 p=0.001) dan teknik Off-Pump juga lebih hemat pada biaya post operatif (Off-Pump Rp. 13.295.739 ± 3.810.598; On-Pump Rp. 19.501.919 ± 10.655.286 p=0.000). Jadi teknik Off-Pump lebih hemat Rp. 10.138.450. (Off Pump Rp. 79.576.505; On-Pump 89.714.955).

Introduction.Harapan Kita National Cardiovascular Center is a national referral hospital that provides a surgical management for Coronary Heart disease, Coronary Artery Bypass Graft (CABG), with off-pump and on-pump techniques. The importance of Cost Analysis on these two techniques is as an economic evaluation to analyze which technique has a lower cost. Design/Methods. Analytic observationalmethod is used by calculating unit cost of each technique with further evaluation on preoperative, perioperative, and postoperative cost. We used 30 off-pump subjects and 40 on-pump subjects from ASKES patients that underwent CABG on January-August 2012. Demographically, there are no significant differences on both groups.
Result.We found that the duration of ventilator utilization on off-pump patients is shorter compared to on-pump group (6,3 hours±2.55 vs9.7 hours±3.51 p=0.000). Length of stay in the ICUis also found to be shorter in off-pump group (1,1 days±0.30 vs 2.28 days±1.79 p=0.001); therefore, total length of stay is also shorter in off-pump patients (8,2±1.27 vs 11.35±4.90 p=0.001). The preoperative cost on both groups is found to be similar. Off-pump group had a smaller perioperative cost(Rp. 64.301.615±7.257.330 vsRp. 68.206.112 ±6.594.156 p=0.001). Off-pump group is also associated with lower postoperative cost(Rp. 13.295.739±3.810.598 vs Rp. 19.501.919±10.655.286 p=0.000). Conclusion. Off-pump technique is found to have a lower cost than On-pump technique.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T38939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Manajemen adalah upaya untuk memperkenalkan, merencanakan, mengorganisasikan
dan mengendalikan. Kemampuan tersebut merupakan seni praktis yang dapat meningkat dengan praktik serta membutuhkan pemikiran dan pemahaman yang mendalam. Dalam keperawatan manajemen juga berhubungan dengan perencanaan, pengorganisasian, dan pengaturan staf untuk mengendalikan aktifitas upaya keperawatan dalam menangani unit-unit kerja keperawatan. Pengaturan staf (Staffing) bertujuan untuk : 1. Mengetahui gambaran jumlah tenaga perawat ideal disuatu ruang tertentu 2. Mengetahui tingkat kejenuhan dalam bekerja 3. Mengetahui hubungan komposisi tenaga perawat dan pasien dengan kualitas pelayanan. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif sederhana dengan cara pengumpulan data melalui observasi dan dilanjutkan dengan melakukan perhitungan menggunakan metode tendesi sentral untuk menganalisis perhitungan jumlah rata - rata tenaga perawat yang dibutuhkan. Tempat penelitian yang digunakan adalah Ruang CVCU Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta selama 7 hari dengan sampel yang digunakan adalah semua pasien yang sedang dirawat dan juga jumlah perawat jaga yang bertugas pada waktu tersebut di Ruang CVCU RS Jantung Harapan Kita. Peneliti melakukan perhitungan dengan menggunakan 3 pendekatan rumus diantaranya minus Douglas, Gillies dan Depkes. Hasil penelitian menunjukan kebutuhan tenaga perawat menurut rumus Douglas diperoleh 3.27 - 4.6 orang perawat pelaksana sedangkan pada kenyataan diruang CVCU dibutuhkan 8 - 11 orang perawat pelaksana atau 36.8 % - 46.7 % dari total nyata kebutuhan tenaga, menurut rumus Gillies kebutuhan tenaga perawat diperoleh 17 orang perawat pelaksana pada kenyataannya di Ruang CVCU dibutuhkan 39 orang perawat pelaksana atau 30.4 % dari total kebutuhan dan menurut rumus Depkes diperoleh 42 orang perawat pelaksana atau 51.9 % lebih mendekati dengan kondisi nyata pada Ruang CVCU Rumah Sakit Jantung Harapan Kita yang jumlah tersebut ticlak termasuk kepala tim perawat, instruktur klinik dan kepala ruangan. Dengan demikian rumus Depkes merupakan rumus yang paling tepat digunakan di Ruang CVCU RS Jantung Harapan Kita Jakarta karena pebedaannya tidak terlalu jauh dengan keadaan dilapangan. Untuk itu diperlukan evaluasi secara berkala untuk menentukan jumlah ideal perawat sehingga asuhan keperawatan sesuai standar dapat diberikan secara maksimal dan evaluasi tersebut dapat dilakukan setiap 3, 6, 9 atau 12 bulan sekali."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
TA5547
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>