Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151683 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syafaat Rahman Musyaqqat
"Penelitian ini membahas peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan beras di kawasan Selat Makassar. Sejauh ini, Historiografi Maritim Sulawesi Selatan cenderung menempatkan komoditas kopra sebagai penggerak sejarah yang dominan selama paruh pertama abad ke-20. Akibatnya, narasi sejarah pelabuhan Makassar masih lebih mencolok dibanding narasi pelabuhan-pelabuhan lain di sekitarnya. Penelitian ini menelusuri sejarah pelayaran dan perdagangan di Sulawesi Selatan dari sisi yang berbeda, yakni komoditas beras. Dengan mengambil temporal penelitian yang mencakup 1905 hingga 1939, penelitian ini menggunakan metode sejarah dan pendekatan struktural. Adapun sumber-sumber yang digunakan ialah arsip pemerintah kolonial, surat kabar, jurnal dan majalah. Terletak di pantai barat Sulawesi, Parepare adalah suatu pelabuhan yang ditopang beberapa wanua ri laleng (daerah pedalaman), seperti Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru, Parepare, Enrekang dan Toraja. Meskipun pada awalnya terdapat berbagai faktor yang saling berkelindan dan turut mempengaruhi dinamika perdagangan beras, namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi Parepare yang didukung wanua ri laleng yang terkenal subur. Hal ini tercermin dari aktivitas ekspor beras dengan jaringan perdagangan yang mencakup intra-regional dan inter-regional. Pada 1930-an, komoditas beras di Parepare diangkut langsung ke beberapa wanua laeng (daerah seberang), seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Manado, Maluku, Timor dan Jawa. Luasnya cakupan perdagangan itu mewujudkan peran Parepare sebagai pusat perniagaan beras utama di Selat Makassar. Dengan peranan itu, penelitian ini menemukan bahwa collecting centre (Parepare) tidak selalu bertindak sebagai penyuplai bagi entrepot (Makassar). Temuan ini juga menjelaskan bahwa Parepare telah berperan melampaui fungsinya dalam perdagangan (over-collecting centre). Kontrol pemerintah kolonial dalam perdagangan beras sejak 1933 adalah salah satu faktor penting di balik pencapaian peranan tersebut dan, bahkan, Parepare menjelma sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Timur Besar (Groote Oost). Di samping itu, ramainya aktivitas perdagangan pada gilirannya berdampak pula terhadap perkembangan Kota Pelabuhan Parepare pada masa kolonial, sebagaimana tercermin dari struktur masyarakat, fasilitas kota dan peran para pedagang dalam pengembangan kota.

This study discusses the role of the port of Parepare in the rice trade in the Makassar Strait area. So far, the Maritime Historiography of South Sulawesi tends to place copra as the dominant historical driver during the first half of the 20th century. As a result, the historical narrative of the Makassar port is still more striking than the narratives of other ports in the vicinity. This study traces the history of shipping and trade in South Sulawesi from a different side, namely rice commodities. By taking the research temporal which covers 1905 to 1939, this research uses historical methods and structural approaches. The sources used are colonial government archives, newspapers, journals and magazines. Located on the west coast of Sulawesi, Parepare is a port supported by several wanua ri laleng (hinterland), such as Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru, Parepare, Enrekang and Toraja. Although in the beginning there were various factors that were intertwined and also influenced the dynamics of the rice trade, this did not become a barrier for Parepare, who was supported by the famous fertile wanua ri laleng. This is reflected in rice export activities with a trade network that includes intra-regional and inter-regional. In the 1930s, rice commodities in Parepare were transported directly to several wanua laeng (foreland), such as East and South Kalimantan, Manado, Maluku, Timor and Java. The wide scope of trade embodies Parepare's role as the main rice trading center in the Makassar Strait. With that role, this study found that the collecting center (Parepare) does not always act as a supplier for entrepot (Makassar). This finding also explains that Parepare has played a role beyond its function in trading (over-collecting center). The colonial government's control of the rice trade since 1933 was one of the important factors behind achieving this role and, in fact, Parepare became one of the busiest ports in the Great East (Groote Oost). In addition, the hectic trading activities in turn also had an impact on the development of the Port City of Parepare during the colonial period, as reflected in the community structure, city facilities and the role of traders in the development of the city."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edhie Wurjantoro
"ABSTRAK
Sampai saat ini penulisan sejarah Indonesia belum dapat dilakukan secara tuntas. Hal itu disebabkan ada beberapa periode yang sumber sejarahnya sangat kurang. Jadi dengan sendirinya gambaran yang menyeluruh dan jelas tidak dapat diperoleh.
Salah satu periode sejarah kuna Indonesia yang sampai sekarang belum dapat dituliskan dengan jelas adalah bagian permulaan kerajaan Mataram kuna. Kerajaan itu berkembang sejak ke-8 sampai akhir abad ke-10 dengan pusatnya di daerah Mdang di wilayah Poh Pitu.
Menurut sebagian ahli kerajaan itu diperintah oleh dinasti Saijaya dan Sailendra. Hamun pendapat itu dibantah oleh sebagian ahli lainnya, yang mengatakan bahwa hanya ada satu dinasti yang memerintah di kerajaan Mataram yaitu dinasti Sailendra. Tidak ada kata sepakat hingga saat itu mengenai hal itu.
Sehubungan dengan itu penelitian ini berusaha maninjau kembali masalah dinasti Sanjaya dan Sailendra yang memerintah di Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai ke-10, dengan jalan meninjau dan mentafsirkan kembali sumber yang ada. Penelitian ini menggunakan sumber prasasti yang telah
diterbitkan oleh J.L.A. Brande dalam bukunya '0ud~Javaansche Oorkonden' dan buku J.G. de Casparis 'Prasasti Indonesia I/II' prasasti yang belum diterbitkan.
Sebagai langkah awal dilakukan kajian kapustakaan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Terhadap prasasti yang belum diterbitkan dilakukan pengalih aksaraan dan terjemahan agar bisa bisa diperoleh gambaran tentang isinya. Sedangkan prasasti-prasasti yang telah diterbitkan diusahakan membaca kembali prasasti dan terjemahannya. Setelah melakukan kritik dan analisa terhadap sumber-sumber itu, lalu dilakukan interpretasi dan menuliskannya dalam bentuk cerita sejarah yang mudah dimengerti.
Temuan baru yaitu prasasti Wanua Tengah 3, yang diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai hal itu, ternyata menambah rumit persoalan. Hal itu di sebabkan karena tokoh yang disebut dalam prasasti Wanna Tengah 3 berbeda dengan tokoh yang disebutkan di dalam prasasti Mantyasih, padahal kedua prasasti itu dikeluarkan oleh raja yang sama. Dari hasil telah kembali sumber-sumber sejarah yang ada ternyata cenderung membenarkan pendapat adanya dua dinasti yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra, bahkan mungkin lebih.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
E.K.M Masimbow
"Istilah wanua atau banua mengacu kepada ruang lingkup kehidupan komunal yang sekaligus memberikan identitas kepada mereka yang berasal dari ruang lingkup itu dengan penyebutan kawanua yang berarti 'teman se-wanua'. Konsep wanua dan konsep kawanua yang menyertainya yang barangkali terjemahan tepatnya adalah 'dunia' (sesuai dengan pendapat Supir (1986); dan merupakan analogi dengan ungkapan seperti 'dunia dagang', 'dunia akademi', 'dunia anak-anak' dan seterusnya) dan 'teman dari dunia yang sama' telah mengalami perluasan cakupan acuannya...[...] bahwa konsep wanua dan kawanua dapat bertahan hingga sekarang tidak lain disebabkan oleh karena keberhasilannya beradaptasi terhadap perkembangan masyarakat Minahasa tanpa menghilangkan makna intinya."
1995
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Herawati Zetha Rahman
"Railways play a significant role in daily life, offering speed, safety and massive capacity for delivering people from one place to another. However, developing countries such as Indonesia are currently encountering problems related to Operation and Maintenance (OM) contracts. Railway operators are mostly experiencing a negative rate of return when operations depend only on farebox revenue. Thus, an alternative approach that includes government involvement should be instigated to improve project performance. This research aims to evaluate the contract agreement between the state, in the form of the Ministry of Transportation, and business entities in the operation and maintenance phase. The Makassar–Parepare railway section on Sulawesi Island is used as a case study. The study uses a combination of qualitative and quantitative approaches that follow three stages: assessing the initial design; generating an alternative OM scheme; and propose a suitable OM scheme. The results indicate five components that should be considered when developing an OM contract, namely the tariff, risk, feasibility, subsidy and period of the contract. The study recommends a five-year contract for operation and maintenance, and the government should assign a business entity to manage available assets in the project."
Depok: Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, 2018
UI-IJTECH 9:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Rahman Hamid
"Disertasi ini membahas tentang jaringan maritim Mandar dari pelabuhan "kembar" Pambauwang dan Majene di Selat Makassar. Terdapat tiga pertanyaan penelitian. Pertama, pola jaringan seperti apa yang terbentuk dari pelabuhan kembar pada periode 1900-1940; kedua, bagaimana fungsi pelabuhan kembar di tengah perubahan politik 1941-1951; ketiga, mengapa terjadi kemerosotan jaringan maritim Mandar 1952-1980. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, studi ini menggunakan kategori pelabuhan dari Leong Sau Heng (1990) dan Susanto Zuhdi (1999). Berbagai sumber yang digunakan berupa sumber lokal (lontara Mandar), arsip, surat kabar, dan sejarah lisan. Ini adalah penelitian sejarah dengan pendekatan struktural dari Fernand Braudel (1972) yang dikembangkan Adrian B. Lapian (1986) dan R.Z. Leirissa (1990).
Hasilnya adalah empat karakteristik jaringan maritim: pertama, keberadaan pelabuhan kembar yang saling mengisi dan bersaing; kedua, jangkauan pelayaran meliputi hampir seluruh perairan Nusantara, bahkan sampai Singapura, Malaysia, dan Filipina; ketiga, pola pelayaran yang terbentuk berupa pelayaran pantai, pelayaran selat, pelayaran lintas selat, dan pelayaran lintas laut; dan keempat, pola usaha yang dikembangkan terdiri atas pelayaran-perdagangan dan pelayaran. Karakteristik tersebut dijumpai dalam tiga fase sejarah: masa kejayaan (1900-1940), masa bertahan (1941-1951), dan masa kemerosotan (1952-1980). Eksistensi dan karakter jaringan maritim Mandar ditentukan oleh keberfungsian pelabuhan kembar di Selat Makassar.
Dengan mengkaji jaringan masyarakat bahari, sejarah Indonesia tidak lagi dilihat dari geladak kapal VOC (J.C. van Leur) atau Neerlandocentric, tetapi dari perahu dan sudut pandang pelaut kita (Indonesia sentris). Peran pelaut Mandar, dalam mewujudkan negara maritim, sejauh ini terabaikan dalam sejarah. Karena itu, tujuan studi ini selain menerapkan perspektif Indonesia sentris, juga ruang bagi pelaut Mandar dalam penulisan sejarah maritim Indonesia.

This dissertation discusses the Mandarese maritime network of so-called "dual harbors" of Pambuawang and Majene in the Makassar Strait. Three research questions to be answered. First, network pattern had been developed since the first time the harbors made (1900-1940). Second, the functions of the harbors amidst of national political change (1941-1951). Third, why there was a decline in Mandar maritime network in 1952-1980?. In order to answer the questions, this study utilizes harbor categories developed by Leong Sau Heng (1990) and Susanto Zuhdi (1999). There are various resources to be employed, local manuscripts (lontara Mandar), official archives (both colonial and national), newspaper and oral history among others. This is historical research and using structural approach made by Fernand Braudel (1972) and further developed by Adrian B. Lapian (1986) and R. Z. Leirissa (1990).
The results are four main characteristics of their networks. First, their complementing and competing functions. Second, reaching almost all parts of Indonesia and even Singapore, Malaysia and Phillippines. Third, their sea voyage patterns which include several types such as coastal, straits, straits crossing and seaborne crossing. Fourth, the developing pattern of ways in doing their business which comprises seaborne trade. It could be divide into three periods: rise (1900-1940), endure (1941-1951) and decline (1952-1980). The main function of the harbors led to the sustainability of the Mandarese maritime networks.
By focusing on maritime network, Indonesian historiography is no longer being viewed from the deck of the Dutch ship (J. C. van Leur) or "neerlandocentric", but rather from prahu and Indonesian sailors' point of view or Indonesian perspective. The roles of Mandarese sailors in the making of maritime state, are somehow neglected. Therefore this study aiming to put it on Indonesian perspective and giving space for Mandarese sailors in Indonesian maritime historiography."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2542
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Syamsu Rijal
"Tesis ini ingin mengungkap dan memahami sejarah Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni yang berada di Selat Sunda dari tahun 1912 sampai 2009. Selat ini memiliki posisi yang strategis menyatukan dan melayani dua pulau besar dan utama di Indonesia yaitu Pulau Jawa dan Sumatera. Transportasi utama yang menunjang aktifitas perpindahan barang/komoditi masa ini adalah kereta api. Untuk itu Pemerintah Hindia Belanda memberikan kuasa kepada sebuah perusahaan kereta api yang bernama staatsspoorwegen untuk mengelola bidang transportasi di wilayah Banten, maka dibangunlah Pelabuhan Merak di ujung rel kereta jalur Tanah Abang, Jakarta ke Merak, Banten pada tahun 1912. Pelabuhan ini menunjang kegiatan Hindia Belanda seperti ekspor dan impor barang dari Indonesia ke luar negeri. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, pengelolaan pelabuhan berganti-ganti mengikuti perkembangan politik pemerintahan. Sampai tahun 1948, di Pelabuhan Merak masih beraktifitas kegiatan ekspor barang ke luar negeri. Sementara itu juga Pemerintah Republik Indonesia membuka secara resmi jalur Pelabuhan Merak di Banten dan Pelabuhan Panjang di Lampung tahun 1952. Belanda menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) tahun 1956. Ketika nasionalisasi perusahaan asing dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia tahun 1959, pengelolaan Pelabuhan Merak beralih ke Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP). Tahun 1970, Departemen Perhubungan mulai membangun Pelabuhan Bakauheni di Lampung. Sebagai pelabuhan bayangan sementara Pelabuhan Bakauheni dibangun, dioperasikan Pelabuhan Srengsem. Pelabuhan Bakauheni beroperasi tahun 1980. Pelabuhan Merak di Banten dan Pelabuhan Bakauheni di Lampung, masing masing memiliki wilayah belakang. Karakteristik Jakarta dan Jawa Barat terlihat dalam aktifitas muat barang di Pelabuhan Merak, demikian pula halnya di Pelabuhan Bakauheni, dengan Palembang dan Bengkulu sebagai daerah belakang Lampung (dulunya wilayah Sumatera Selatan). Dengan karakteristik yang berbeda tersebut dan dengan analisis ekonomi regional, terlihat adanya aktifitas saling memenuhi kebutuhan kedua wilayah. Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni di Selat Sunda ke depan, berdasarkan latar belakang sejarah dan posisinya pada jalur pelayaran internasional, sangat mungkin untuk dikembangkan sebagai pelabuhan internasional.

This thesis wants to reveal and understand the history of Merak Port and Bakauheni Port in the Sunda Strait from 1912 to 2009. Strait has a strategic position to unite and serve the two large islands and Indonesia's main island of Java and Sumatra. Major transportation activities that support the movement of goods/commodities this period is the train. For the Government of the Netherlands East Indies provides power to a railroad company named staatsspoorwegen to manage transportation in Banten, Merak, he built a railroad track down the Tanah Abang, Jakarta to Merak, Banten, in 1912. This port supporting the activities of the Dutch East Indies, such as export and import goods from Indonesia to other countries. Post-independence of the Republic of Indonesia, switch port management to follow the development of government policy. Until 1948, the Merak Port is still activity in the Port of exports of goods abroad. While it is also the Government of Indonesia officially opened the path Merak in Banten and the Panjang Port in Lampung in 1952. The Dutch handed over the management port to the Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) in 1956. When the nationalization of foreign companies by the government of the Republic of Indonesia in 1959, the management switched to Merak Port of Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP). In 1970, the Department of Transportation started building Bakauheni Port in Lampung. As a shadow port while Port Bakauheni constructed, operated Port Srengsem. Bakauheni Port operational in 1980. Merak Port in Banten and Bakauheni Port in Lampung, each has a rear area. Jakarta and West Java characteristics seen in the activity of unloading goods at the port of Merak, as well as in Port Bakauheni, with Palembang and Bengkulu as a rear area of Lampung (South Sumatra). With different characteristics and with the regional economic analysis, there appears to meet the needs of each activity both regions. Merak Port and Bakauheni Port in Sunda Strait forward, based on historical background and its position on international cruise lines is quite possible to be developed as an international seaport."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28320
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
A. Makmur Makka, 1945-
Jakarta: Republika , 2019
925 MAK m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Prasetya
"Pelabuhan Makassar merupakan pelabuhan terbesar di kawasan Indonesia Timur dan permasalahan yang terjadi saat ini adalah bangunan pemecah gelombang yang tersusun dari batu pecah mengalami longsor yang menyebabkan limpasan gelombang yang dapat mengganggu operasional pelabuhan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan rehabilitasi dengan mengganti armor pada struktur tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat efektifitas dari penggantian armor dalam proyek rehabilitasi ini sehingga dapat mengembalikan kembali fungsi bangunan pemecah gelombang yang dibangun pada tahun 1939. Hasil penelitian ini menunjukkan gelombang di pelabuhan Makassar dibangkitkan oleh energi angin dari arah Barat Daya, Barat dan Barat Laut dengan tinggi gelombang signifikan adalah 2,15 meter. Bangunan pemecah gelombang yang direncanakan adalah tipe sisi miring menggunakan armor a-jack panjang = 1,2 m dengan dua alternatif kondisi, tanpa limpasan gelombang elevasi = 6 m dan dengan limpasan gelombang elevasi 4,3 m. Sehingga pada akhirnya penelitian ini memberikan informasi bangunan pemecah gelombang yang direncanakan efektif meredam gelombang dan melindungi pelabuhan terhadap gelombang rencana yang datang.

Makassar Port is the largest port in eastern Indonesia. The recent problem is a breakwater which composed with rubble mound armour have slip causing wave overtopping and disrupt port operations. Therefore, rehabilitation needs to be done by replacing the armour on the breakwater structure. The purpose of this study is to the effectiveness of the armour replacement at this rehabilitation project, so it can restore the function of the breakwater built in 1939. This study shows that waves at the Port of Makassar are fully developed by the wind energy from South West, West and North West that generate significant wave height 2.15 meter. The designed breakwater is sloping type using a jack armour length 1.2 m with two alternative conditions, with wave overtopping elevation 6 m and without wave overtopping elevation 4.3 m . In the end, this study provides information on the designed breakwater effectively breaking and protecting port against the significant waves.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Wayan Asmiyati
"[ABSTRAK
Adanya kebijakan pembangunan jalan kereta api di pulau Sulawesi untuk
mendukung pembangunan sarana publik dan pembangunan infrastruktur di
Sulawesi Selatan. Pembangunan jalan kereta api Trans Sulawesi (Makassar)
Parepare) berjarak ±136,3 KM dan melewati 5 (lima) kota/Kabupaten yaitu Kota
Makassar, Kab. Maros, Kab. Pangkep, Kab. Parepare, dan Kab. Barru. Nilai
investasi yang digunakan dalam pembangunan ini yang berdampak pada provinsi
Sulawesi selatan sebesar ± Rp. 908,16 Milliar. Metode penelitian yang digunakan
adalah dengan analisa input-output dengan data awal adalah tabel input output
provinsi Sulawesi selatan tahun 2009 kemudian di update dengan metode RAS
dan simple LQ. Dari penelitian ini setelah adanya pembangunan jalan KA Trans
Sulawesi (Makassar Parepare) sektor kunci dalam perekonomian yang sebelum
pembangunan jalan KA adalah sektor kuncinya antara lain sektor makanan,
minuman dan tembakau; barang kayu dan hasil hutan lainnya; bangunan;
angkutan jalan raya; angkutan udara; dan lembaga keuangan tanpa bank.
kemudian setal pembangun sector kuncinya menjadi sektor makanan, minuman
dan tembakau; barang kayu dan hasil hutan lainnya; pupuk, kimia, & barang dari
laut; banguunan; dan angkutan rel. Dengan adanya pembangunan jalan KA
tersebut memunculkan sektor baru dalam perekonomian Sulawesi selatan yaitu
sektor angkutan rel. Dampak ekonomi terhadap penciptaan output dari tahun 2012
? 2019 sebesar Rp. 2,14 Triliun. Dampak ekonomi terhadap peningkatan
pendapatan masyarakat dari tahun 2012-2019 sebesar Rp.302,93 Triliun.
Dampak ekonomi terhadap penciptaan NTB dari tahun 2012-2019 sebesar
Rp.640,65 Triliun dan dampak ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja dari
tahun 2012 ? 2019 sebesar 24.044 jiwa.

ABSTRACT
The policy of railroad construction on the island of Sulawesi to support the
construction of public facilities and infrastructure development in South Sulawesi.
Railroad construction Trans Sulawesi (Makassar - Pare Pare) is ± 136.3 KM and
pass through five (5) cities / districts, the city of Makassar, Kab. Maros, Kab.
Pangekp, Kab. Pare Pare, and Kab. Barru. The value of investments used in the
construction of this impacting on the southern Sulawesi province of ± Rp. 908.16
billion. The method used is the analysis of input-output tables with the initial data
is input output southern Sulawesi province in 2009 and then updated with a
method of RAS and LQ. From this study, after the construction of railway Trans
Sulawesi (Makassar - Pare Pare) in the key sectors of the economy prior to the
construction of railway lines is the key sectors include the food, beverage and
tobacco; goods timber and other forest products; building; road transport; air
transport; and financial institutions without banks. Set an builder then the key
sector into the food, beverage and tobacco; goods timber and other forest
products; fertilizers, chemicals, and goods from the sea; banguunan; and rail
transport. With the construction of the railway lines led to a new sector in the
economy of southern Sulawesi, namely the rail freight sector. The economic
impact of the creation of the output of the year 2012 - 2019 amounting to Rp. 2.14
Trillion. The economic impact of the increase in public revenue from the year
2012 - 2019 for Rp.302,93 T ,. Economic impact on the creation of value added
from the year 2012-2019 amounted to Rp.640,65 trillion and the economic impact
on job creation of the years 2012-2019 amounted to 24 044 inhabitants., The policy of railroad construction on the island of Sulawesi to support the
construction of public facilities and infrastructure development in South Sulawesi.
Railroad construction Trans Sulawesi (Makassar - Pare Pare) is ± 136.3 KM and
pass through five (5) cities / districts, the city of Makassar, Kab. Maros, Kab.
Pangekp, Kab. Pare Pare, and Kab. Barru. The value of investments used in the
construction of this impacting on the southern Sulawesi province of ± Rp. 908.16
billion. The method used is the analysis of input-output tables with the initial data
is input output southern Sulawesi province in 2009 and then updated with a
method of RAS and LQ. From this study, after the construction of railway Trans
Sulawesi (Makassar - Pare Pare) in the key sectors of the economy prior to the
construction of railway lines is the key sectors include the food, beverage and
tobacco; goods timber and other forest products; building; road transport; air
transport; and financial institutions without banks. Set an builder then the key
sector into the food, beverage and tobacco; goods timber and other forest
products; fertilizers, chemicals, and goods from the sea; banguunan; and rail
transport. With the construction of the railway lines led to a new sector in the
economy of southern Sulawesi, namely the rail freight sector. The economic
impact of the creation of the output of the year 2012 - 2019 amounting to Rp. 2.14
Trillion. The economic impact of the increase in public revenue from the year
2012 - 2019 for Rp.302,93 T ,. Economic impact on the creation of value added
from the year 2012-2019 amounted to Rp.640,65 trillion and the economic impact
on job creation of the years 2012-2019 amounted to 24 044 inhabitants.]"
2015
T43565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mufliha Qonita
"Saat ini pemerintah sedang mengadakan peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun adanya hambatan pada pendanaan menjadi masalah utama sehingga, pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait KPBU agar masalah dana dapat tertutupi. Proyek Kereta Api Makassar-Parepare termasuk salah satu proyek dengan skema pembiayaan KPBU dan merupakan proyek pertama di provinsi Sulawesi Selatan dalam menerapkan skema pembiayaan ini. Dengan adanya KPBU ini tujuan dari pemerintah untuk percepatan penyediaan infrastruktur diharapkan dapat tercapai. Namun pada kenyataanya proyek-proyek dengan skema pembiayaan KPBU banyak mengalami hambatan dan menyebabkan penerapan dari prosesnya menjadi tidak efektif dan efisien dan hal ini menyebabkan risiko yang akan merugikan pihak pemerintah dan pihak badan usaha. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, menentukan risiko paling kritikal, serta memberikan strategi/rekomendasi pada proses penerapan KPBU. Dengan menggunakan bantuan sistem terkomputerisasi malalui program Crystall Ball. Hasil pada penelitian ini ditemukan bahwa dari 18 variabel risiko, sebanyak 8 varibel risiko yang teridentifikasi risiko kritikal. Risiko kritikal tersebut dapat mempengaruhi kinerja investasi. Dari 8 varibel risiko kritikal, ditentukan stratgei/mitigasi risiko-risiko tersebut yang dapat meningkatkan kinerja investasi. Selain itu juga ditentukan alokasi risikonya.

Currently the government is carrying out an increase in economic growth through infrastructure development in Indonesia. However, the existence of obstacles in funding is the main problem so that the government issues policies related to PPPs so that funding problems can be covered. The Makassar-Parepare Railway Project is one of the projects with a PPP financing scheme and is the first project in South Sulawesi province to implement this financing scheme. With this PPP, the government's goal of accelerating the provision of infrastructure is expected to be achieved. However, projects with PPP financing schemes experience many obstacles and cause the implementation of the process to be ineffective and inefficient and this creates risks that will harm the government and private sector. This reseach aims to identify, analyze, determine the most critical risks, and provide strategies/recommendations in the PPP implementation process. By using the help of a computerized system through the Crystall Ball program. This research is expected to improve investment performance not only in the Makassar-Parepare Railway project but also for all projects that implementing the PPP scheme. The results of this study found that from 18 risk variables, 8 risk variables were identified as critical risk. This critical risk can affect investment performance. Of the 8 critical risk variables, a strategy/mitigation of these risks is determined. In addition, the risk allocation is also determined.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>