Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rr. Artiana Krestianti
"ABSTRAK
Pembahasan mengenai kebudayaan Jepang dari segi sistem religinya yang dibatasi pada masalah ibadat di kuil Ise dari buku karya Nishigaki Seiji yang berjudul Oise Mairi. Tujuannya ialah untuk mengetahui fungsi kuil Ise khususnya pada zaman kuna, kemudian pada zaman pertengahan, dan zaman Meiji. Selain itu juga untuk mengetahui status Kaisar dalam kuil Ise.
Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian ke_pustakaan, yaitu dengan menelusuri bahan-bahan rujukan yang diperoleh dari koleksi pembimbing serta bahan-bahan yang terdapat di perpustakaan Jurusan Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Juga perpustakaan Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta.
Kesimpulannya menunjukkan bahwa fungsi kuil Ise pada zaman kuna sebagai Dewa Negara, kemudian pada zaman pertengahan sebagai Dewa Pribadi, dan pada zaman Meiji sebagai Dewa Leluhur Keluarga Kaisar. Sedangkan status Kaisar dalam kuil Ise pada zaman kuna sebagai penguasa negara di mana hanya Kaisar dan para utusannya yang dapat beribadat ke kuil Ise, kemudian pada zaman pertengahan status Kaisar sama halnya dengan shogun, kaum bangsawan maupun rakyat jelata di mana semua orang dapat beribadat ke kuil Ise, dan pada zaman Meiji status Kaisar sebagai penguasa tertinggi negara di mana Kaisar sungguh-sungguh datang beribadat ke kuil lse sedangkan rakyat yang secara langsung maupun tidak langsung dianggap sebagai keturunan Kaisar diwajibkan untuk beribadat ke kuil Ise.
Fungsi kuil Ise dan status Kaisar dalam kuil Ise sudah diketahui dari uraian di atas, sehingga penulis berpendapat sejak awal zaman Meij,.kuil Ise menjadi salah satu tempat peribadatan orang Jepang, mulai dari Kaisar hingga rakyat jelata. Kenyataan ini menunjukkan sifat universal yang dimiliki oleh kuil Ise, sebagaimana tempat-tempat peribadatan lainnya.

"
1990
S13501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Nurhayati Anwar
"Kesimpulan
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, Shinran Shonin (1173 -1262) adalah seorang hijiri (pendeta kelas bawah), yang semasa hidupnya banyak menjadi panutan kalangan rakyat jelata. Melalui pemikiran keagamaan yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki, Shinran mengajarkan persamaan derajat manusia di mata Amida Butsu, sehingga ia menghilangkan garis pemisah di antara kalangan pendeta Budha - yang selama ratusan tahun identik dengan "wajah kekuatan" dan kekayaan rohani maupun materi - dengan para penganut Budha kategori awam - yang juga selama ratusan tahun identik dengan masyarakat kelas bawah" yang miskin dan tertindas, baik oleh para penguasa pemerintahan dan kaum bangsawan maupun oleh para pendeta sebagai penguasa di bidang agama.
Pemikiran keagamaan Shinran, berawal dari tumbuhnya kesadaran pada dirinya sendiri yang ternyata tidak sepenuhnya mampu melepaskan diri dari bonno (nafsu-nafsu keduniawian), meskipun ia sejak usia sembilan tahun sampai berumur 29 tahun telah mengikuiti jalan kependetaan (kerahiban) dan melakukan berbagai aktivitas ritual keagamaan yang berat.
Setelah Shinran memperoleh keyakinan bahwa ningen no honsitsu (hakekat manusia) adaiah bonno gusoku (tidak bisa melepaskan did dari bonno), maka dia sampai pada kesimpulan bahwa manusia memang tidak akan memperoleh kyusai (keselamatan atau penyelamatan) dan tidak bisa mencapai gokuraku jodo (bumi suci) tanpa melalui kekuatan lain, yakni kekuatan Amida Butsu (Amithaba Budha). Suatu keyakinan yang pada awalnya ia kenai melalui gurunya pendeta Honen (1133-1212), pendiri agama Budha Jodoshu (aliran Bumi Suci).
Bertolak dari kesadaran dan keyakinan semacam iniiah, akhirnya Shinran mengembangkan pemikirannya menjadi konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki, yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran baru dalam agama Budha Jepang yang dinamakan Jodoshinshu (sekte bumi suci yang benar atau sekte bumi suci yang sejati).
Ajaran Shinran ini bukan saja bertujuan menjustifikasikan jalan hidup dan praktek keagamaan bagi dirinya sendiri, tetapi juga bertujuan untuk membantu (merrmberikan pencerahan) bagi masyarakat Jepang kelas bawah pada zamannya, agar mereka dapat memperoleh karunia keselamatan secara langsung dari Amida Butsu tanpa melalui perantaraan para pendeta. Bahkan lebih dari itu, melalui ajarannya yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki tersebut, Shinran dapat dikatakan merupakan tokoh agama Budha Jepang yang pertama kali mempopulerkan suatu pola kehidupan keagamaan yang "tidak mengharuskan" para penganut Budha untuk menempuh jalan kependetaan (ke -rahiban) yang berat. Shinran jugalah yang menganjurkan agar para pendeta Budha Jepang dapat hidup secara wajar dengan membina keluarga. la sendiri mempelopori anjurannya itu dengan menikah dan mempunyai anak.
Akan tetapi, meskipun konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki tersebut terlahir dari suatu proses pergulatan pemikiran Shinran yang berawal dari timbulnya kesadaran diri dan keyakinan mutlak terhadap Amida Butsu, namun kedua hal ini pada dasarnya juga tidak terlepas dari penafsiran Shinran terhadap ajaran gurunya pendeta Honen, pendiri agama Budha Jadoshu (aliran bumi suci) pada akhir zaman Heian.
Dalam konteks pemikiran para tokoh agama Budha Jepang, kurun waktu dalam abad terakhir zaman Heian sampai ke abad pertama zaman Kamakura, dikenal sebagai zaman mappo, yakni suatu zaman yang mencerminkan manusia kehilangan dharrnanya. Zaman yang bercirikan kehidupan masyarakat Jepang yang penuh dengan kejahatan, kekacauan, penindasan, dan penderitaan. Salah satu penyebab utamanya, adalah karena sebagian besar di antara para pemuka dan penganut agama Budha di Jepang saat itu tidak mentaati lagi ajaran-ajaran Budha.
Kondisi semacam ini diperparah lagi oleh adanya ?ketidakstabilan politik? yang seirama pula dengan tingkah-laku para pendeta Budha yang pada umumnya cenderung menyalah-gunakan (menyelewengkan) ajaran agamanya untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan kepentingan pribadi yang bersifat genseryaku (mencari keuntungan duniawi).
Pendeta Honen, salah seorang dari sejumlah pemuka agama Budha Jepang pada zaman itu, mencoba menfasirkan dan mengaktualisasikan kembali ajaran-ajaran Budha untuk mencari jalan keluar dari ketidakpuasan warga masyarakat terhadap keadaan mappo tersebut. Honen mengajarkan suatu sistem kepercayaan yang bersifat isshinkyo (monotheistik) di dalam agama Budha, yaitu menanamkan keyakinan mutlak hanya pada satu hotoke (dewa Budha) saja, yang dinamakan Amida Butsu. Upaya pendeta Honen ini, sebagaimana telah dikemukakan di atas, diikuti dan dikembangkan oleh salah seorang muridnya, yakni Shinran Shonin, yang berusaha memberikan pencerahan kepada masyarakat Jepang terutama pada lapisan kelas bawah yang selama ratusan tahun identik dengan kaum miskin dan kaum tertindas.
Dengan demikian, melalui pemikiran keagamaan yang diajarkan-nya, Shinran telah banyak melakukan interpretasi terhadap etika dan ajaran Budha itu sendiri, untuk mengaktualkan ajaran Budha sesuai dengan konteks masyarakat Jepang pada zamannya. Pada prinsipnya Shinran berpendapat bahwa setiap tarikan nafas dan segala daya-upaya di dalam kehidupan manusia di dunia ini, adalah rakhmat dan karunia Amida Butsu. Oleh karenanya, orang hams selalu mempunyai kesadaran terhadap dirinya sendiri sebagai akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik), karena tidak sepenuhnya mampu melepaskan diri dari bonno (nafsu-nafsu keduniawiaan). Selain itu, orang harus yakin sepenuh hati dan berpasrah total terhadap Amida Butsu, yang akan menyelamatkan manusia sesuai dengan janji-Nya untuk menolong manusia mencapal gokoraku judo (bumi suci) atau sorga.
Bila perlu, menurut shinran, agar terjamin dapat menggapai bumi suci, setiap saat (pagi maupun malam hari), orang harus menyadari semua kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan-nya, karena kehidupan dapat saja berakhir seketika; sebelum orang yang bersangkutan menyadari atau mampu mengendalikan dirinya sendiri. Dalam konteks pengendalian diri semacam inilah, Shinran mengartikan akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik), adalah seseorang yang selalu menyadari dan berpikiran bahwa dirinya adalah orang baik. Sebaliknya, zennin (orang baik), adalah orang yang selalu menyadari atau berpikiran bahwa dirinya adalah akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik). Dalam konteks pengertian semacam ini pula, maka salah satu ajaran Shinran yang cukup kontroversial pada zamannya dapat dipahami makna yang sesungguhnya. Ajaran tersebut berbunyi: "zennin nawomochite ojowotogu, iwanya akunin woya" artinya: "orang balk bisa masuk sorga apalagi orang jahat atau orang yang tidak baik."
Akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik) yang bisa masuk sorga menurut jaran Shinran di atas, sesungguhnya adalah akunin yang telah menemukan kesadaran terhadap dirinya sendiri, bahwa sesungguhnya ia adalah akunin, karena tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari bonno (nafsu-nafsu keduniawiaan) tetapi dapat mengondalikan dirinya untuk hidup secaia wajar disertai keyakinan dan kepasrahan total terhadap Amida Butsu. Akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik) yang telah menemukan kesadaran dirinya demikian, pada hakekatnya di mata Amida Butsu telah menjelma menjadi zennin (orang baik).Dengan demikian, maka konsep akunin shoki (peluang yang baik bagi orang jahat) dapat dipahami maknanya.
Implikasi dari ajaran Shinran yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki dalam masyarakat Jepang, khususnya di kalangan pengarut agama Budha Jodoshinshu, adalah temyata di satu sisi ajaran dan keyakinan tersebut merupakan salah satu faktor yang mendukung terciptanya sikap dan perilaku orang Jepang yang realistis, pragmatis, dan materialistis yang seolah-olah menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kehidupannya di dunia; di sisi lain juga menjadi salah satu faktor yang mewujudkan sikap dan perilaku orang Jepang yang selalu berorientasi kepada kesabaran terhadap dirinya sendiri, yang tercermin dari "budaya malu" serta "sikap penuh rasa bersyukur dan terima kasih.
Adanya ungkapan seperti; arrigato gozaimasu (terima kasih), sumimasen (maaf, walaupun dalam konteks bukan dirinya yang salah), taihen osewani narimashita, okagesamade (berkat Anda), dan sebagainya; pada hakekatnya kesemuanya itu secara tidak langsung bagi para penganut agama Budha Jodoshinshu mencerminkan ungkapan bathin mereka sebagai rasa syukur dan rasa berterima kasih terhadap karunia Amida Butsu.
Bagi orang yang mengikuti ajaran Sinran ini dengan sungguh-sungguh, menurut Shinran sendiri, raut mukanya akan mengekspresikan wajah yang penuh ketenangan, kesabaran, kepasrahan, dan penuh rasa syukur. Akan tetapi paradoksnya, yang dimaksudkan oleh Shinran bukanlah merupakan pencerminan dari sikap manusia yang "fatalis" atau menyerah kepada nasib. Melainkan justru di balik ketenangan dan kepasrahan itu tersimpan suatu energi dan semangat untuk memperoleh kehidupan duniawi yang wajar, selaras dengan hakckat manusia yang bonno gusoku (tidak bisa melepaskan diri dari keinginan dan nafsu-nafsu keduniawiaan), tetapi tidak kehilangan kendali diri untuk selalu yakin dan pasrah terhadap datangnya penyelamatan dari Amida Butsu sesuai dengan janji atau sumpah-Nya, bahwa kelak mereka akan terlahir kembali di bumi suci."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yerina Asnawi
"Adanya hubungan yang cukup erat antara Indonesia Jepang secara tidak langsung telah terjalin sejak negara Indonesia terjajah dari tahun 1942. Namun pengalaman semasa penjajahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia bukanlah suatu alasan untuk membuat kerenggangan hubungan yang terjalin dewasa ini. Kenyataan menunjukkan gejala yang sebaliknya. Kekaguman akan kemajuan dan keberhasilan Jepang, telah menjadi motivasi bagi negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Secara tidak langsung keberhasilan Jepang dianggap dapat menjadi motivasi menuju dunia moderen dan telah pula menjadi alasan bagi setiap negara untuk meningkatkan hubungan yang lebih erat lagi dengan bangsa tersebut. Sebetulnya bukan hanya Jepang yang dapat digolongkan negara yang berhasil membangun negerinya, melainkan Amerika dan Eropa pun menduduki peringkat nomor satu di dunia. Namun dalam kenyataan dewasa ini, dari negara-negara moderen tersebut di atas mulai tampak selisih yang cukup unik di antara mereka, terutama dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Jepang bukanlah merupakan suatu negara yang kaya akan sumber alamnya jika dibandingkan dengan Indonesia. Oleh karena itu patutlah kiranya kita bersyukur dianugerahi kekayaan sumber alam yang tinggi dan memiliki iklim yang tidak kejam. Dalam jalinan yang cenderung semakin erat ini antara Indonesia dan Jepang, para sarjana dan juga mahasiswa berusaha menemukan jalan untuk menyetahui faktok-faktor yang menyebabkan kemajuan Jepang tersebut yang kemudian akan dijadikan pegangan atau pun pola baru yang perlu diterapkan. Di dalam kita memahami suatu bangsa, tidaklah cukup dengan hanya menyoroti segi ekonomi, politik, tehnik dan semacamnya yang merupakan perwujudan konkrit dari budaya material. Melainkan kita perlu memperhatikan serta mencoba menemukan apa dan bagaimana yang terdapat di balik perwujudan konkrit yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Atas dasar inilah penulis mencoba untuk meneliti kebudayaan Jepang yang dapat membantu menjelaskan atau menerangkan lebih jelas lagi tentang ciri kebudayaan Jepang. Dalam hal ini penulis mencoba untuk menjabarkan ke-budayaan Jepang khususnya dalam bidang keagamaan yaitu sekitar pemujaan leluhur di Jepang, khususnya berkisar sekitar pemikiran 'Pemujaan Leluhur' menurut Takeda Chaoshu. Takeda Choshu adalah seorang ahli sejarah, tapi ia banyak menaruh perhatian pada bidang folklor dan agama Buddha. Ia juga mencoba mengamati masalah shinbutsu shuga (perpaduan antara agama Shinto dan Buddha) terutama di zaman Edo (abad 17-18). Setelah Perang Dunia ke-II, Takeda mengadakan penelitian agama Buddha di Cina. Beliau mempunyai premis bahwa agama Buddha di Cina sama dengan agama Buddha di Jepang. Namun ternyata dugaan itu meleset, karena agama Buddha di Cina memiliki bentuk yang lain. Sedangkan agama Buddha di Jepang menurutnya sangat erat kaitannya dengan pemujaan leluhur. Inilah yang merupakan motif baginya untuk mengadakan penelitian sosen suhai atau pemujaan leluhur di Jepang. Takeda beranggapan bahwa agama Buddha di Jepang adalah sosen sehaiteki atau bersifat pemujaan leluhur. Ada pun faktor yang menyebabkan terjadi kompleks ini, adalah struktur masyarakat Jepang yang sangat menunjang pembentukan sistim tersebut. Memang masalah pemujaan leluhur sudah banyak diteliti, terutama oleh kalangan ahli folklor, namun Takeda memperhatikannya dari sudut agama Buddha. Menurutnya dalam mempermasalahkan kebudayaan spi ritual Jepang tidak mungkin dapat dipisahkan dari faktor agama Buddha. Atas dasar pertimbangan ini penulis mengambil topik tentang pemujaan leluhur. Pemujaan leluhur merupakan salah satu tradisi keagamaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Jepang. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya kebiasaan memlliki butsudan (altar agama Buddha yang ada di rumah-rumah anak laki-laki tertua), adanya tradisi ziarah ke kubur-kubur keluarga ataupun ke kubur-kubur orang tertentu seperti obon dan higan."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S13911
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Agama Kristen masuk ke Jepang sejak tahun 1549, yaitu pada saat seorang misionaris Katolik Roma bernama Francis Xavier tiba di daerah Kagoshima. Memasuki zaman Edo (1603-1867), pada awalnya Tokugawa Ieyasu sebagai pemimpin pertama pemerintahan bakufu Edo, tidak menunjukkan keberatannya terhadap penyebaran agama Kristen dan keberadaan para misionaris di Jepang.Pada tanggal 1 Februari 1614, pemerintah bakufu Edomengeluarkan dekrit pertama pelarangan agama Kristen. Alasan utamadikeluarkannya dekrit tersebut adalah bahwa pemerintah Tokugawa ingimenciptakan suatu pemerintahan yang absolut di Jepang dan agamaKristen dianggap sebagai ancaman bagi persatuan bangsa Jepang. Selaindikeluarkannya dekrit pelarangan agama Kristen, sebagai bagian dari pelaksanaan pelarangan penyebaran agama Kristen, pemerintah bakufuEdo juga melaksanakan politik sakoku (politik penutupan negara) dansistem danka. Menurut Okuwa Mitoshi dalam bukunya yang berjudul Jidanno Shiso, dijelaskan bahwa pengertian dari danka adalah keluarga yangmelaksanakan upacara kematian pada kuil Budha tertentu danbertanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan terhadap kuil tersebut. Dengan diterapkannya sistem danka, maka setiap keluargadiwajibkan untuk menjadi anggota kuil Budha tertentu dan penganutKristen diharuskan meninggalkan agamanya tersebut. Selain adanyapenganut Kristen yang meninggalkan agamanya, juga ada penganutKristen yang tetap bertahan dengan keyakinannya selama masapenerapan sistem danka tersebut dan disebut dengan kakure kirishitan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan skripsi Sistem Danka dan kehidupan Kakure Kirishitan Pada Zaman Edo di Jepang {1603-1867) di Jepang adalah_ Dengan diterapkannya sistem danka pada zaman Edo, para penganut Kristen terpaksa meninggalkan agamanya tersebut. Namun, selain adanya penganut Kristen yang meninggalkan agamanya, ada juga para penganut Kristen yang tetap bertahan dengan keyakinannya tersebut dan disebut dengan kakure kirishitan._ Di satu sisi, para penganut Kristen pada zaman Edo berusaha untuk tetap bertahan dengan keyakinannya, sedangkan di sisi lain mereka berusaha untuk menuruti perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah bakufu Edo untuk menjadi anggota danka._ Dengan diterapkannya sistem danka, pemerintah bakufu makin mempertegas pelarangan terhadap penyebaran agama Kristen sehingga agama Kristen tidak dapat berkembang luas di Jepang._ Pelaksanaan sistem danka juga melahirkan perpaduan (sinkrstisme) antara tiga agama, yaitu Budha, Shinto, dan Kristen. Hal ini disebabkan karena seluruh masyarakat Jepang pada zaman Edo, baik yang beragama Budha, Shinto, ataupun Kristen, wajib untuk menjadi anggota danka."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurlela
"untuk mengenal budaya Jepang lebih dekat lagi, kita tidak hanya hisa mengamati kemajuan teknologi serta perkembangan ekonomi Jepang yang sedemikian maju sebagaimana yang telah diakui oleh negara manapun, di lain pihak kita bisa juga mengamatinya dari segi lain yaitu aspek-aspek sosial budaya masyarakat bersangkutan. dan untuk itu, penulis mencoba mambuat suatu pendekatan dari sudut keagamaan atau kepercayaan. yang dimaksud dengan pendekatan dari sudut keagamaan atau kepercayaan di sini adalah, bukan pengamatan keagamaan orang Jepang langsung melalui agama Shinto yang merupakan agama asli orang Jepang atau agama Buddha yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jepang dan bukan pula pengamatan melalui agama kristen yang hanya memiliki sedikit penganutnya di dalam masyarakat Jepang, melainkan penulis akan mencoba mengamatinya dari sudut Shomin-Shinko yaitu suatu sistem kepercayaan rakyat Jepang yang memiliki Struktur religius magis yang dianut oleh sebagian besar oeang Jepang. dan akn mengambil satu bentuk konkrit dari sistem kepercayaan tersebut, yaitu kepercayaan terhadap ema atau gambar kuda."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13856
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tabah Helmi
"Ketika Jepang memasuki kancah Perang Dunia II, mi_literisme Jepang memberikan dampak negatif pada segala as_pek kehidupan bangsa Jepang. Rakyat terpaksa mengalami de_presi dan penderitaan untuk mempertahankan eksistensi da_lam suasana yang kian tidak menentu. Kehancuran moralitas melanda dan memasuki sendi-sendi kejiwaan bangsa Jepang. Tidak terkecuali pada bidang politik maupun ekonomi, deka-densi moral telah merusakkan hubungan sosial, baik dalam skala yang kecil maupun yang besar. Dalam sambutan cetakan kedua pada buku karya Daisetsu Suzuki' 'Nihonteki Reiseit ( spiritualisme Jepang ] 1943-, Ia mengemukakan adanya tiga unsur yang memprakar_sai munculnya militerisme Jepang. Antara lain adalah :1. K1ik-klik dalam organisasi militer. 2. Birokrat-birokrat pemerintahan. 3. Konglomelasi perusahaan-perusahaan (Kapitalis Je pang/Gumbatsu - Zaib_atsu). Tiga unsur tersebut di atas dikatakan sebagai penyebab ke_bobrokan dalam tubuh pemerintahan Jepang.. Apa yang diba_ngun dengan hanya mengandalkan kekuatan fisik, tidak akan berlangsung lama, demikian dikemukakan oleh Suzuki. Seba_gai konsekuensi, kerusuhan dalam tubuh intern akan menjadi problema yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya Suzuki juga menyalahkan peranan para ilmuwan yang berkecimpung mempelajari sejarah bangsa kuno. Dikatakan, bahwa mereka tidak menggunakan metode ilmiah dengan pendekatan filosofis maupun religius. Para ilmuwan tersebut berpandangan orthodok dan rigid, membendung seti_ap perlawanan baik berbentuk opini maupun kritik dengan kekuatan yang dimilikinya. Simbol kekuatan ini adalah mi_literisme, imperialisme dan fasisme. Menurut Suzuki, me_reka yang berpikiran dangkal, bodoh dan ekstrim, mengibar_kan bendera ideologi Shinto lalu meracuni dan mendoktrin rakyat, agar dapat diperbudaknya. Di bawah pengawasan yang ketat, hak-hak azasi rakyat dirampas begitu saja. Kokka Shinto (Shinto Negara) dan kesadaran yang primitif, dilestarikan sebagai pemersatu rakyat dalam membina status quo rejim penguasa. Pada pihak lain Shinto Negara ikutmenyembah nenek moyang yang telah berjasa dalam mene--ruskan sistem militerisme Jepang, ikut menyembah dewa-dewa yang tidak memiliki dasar pijakan agama tertentu, juga me_neruskan praktek-praktek pemujaan pada benda-benda berhala. Lama-kelamaan kekuatan politik atau negara memperalat dan menjadikan Shinto sebagai mediator untuk menekan rakyat Jepang. Anehnya, para penganut Buddha justru memejamkan ma_ta untuk tidak memperhatikan kenyataan itu. Mereka hanya berlindung di balik jubah para penguasa. Mereka berkom_promi dengan agama Negara yaitu Shinto. Hal ini terpaksa mereka lakukan agar dapat mempertahankan eksistensi agama Buddha di kepulauan Jepang. Seiring dengan naiknya pamor militerisme, mereka ikut merembuk memikirkan tentang fasisme, mitologi dewa matahari, Buddhisme di kalangan kekaisaran dan lain-lain. Dengan demikian mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengambil simpati para penguasa. Suzuki Daisetsu yakin bahwa kekacauan yang melandaJepang itu disebabkan oleh kurangnya pendalaman kesadaranreisei (spiritualitas) bangsa Jepang. Ia merasa didesakuntuk menjawab tantangan itu dengan cara memperkenalkanidentitas asli Jepang, identitas keagamaan Jepang pada dunia luar. Dengan demikian Suzuki mengharapkan akan muncul nya manusia-manusia Jepang yang membangunkan kesadaran Raisei yang ada pada dirinya, lalu menyebarkan benih-benih dan internasionalisme yang terkandung dalam Reisei Jepang.Dalam karyanya 'Nihonteki Reisei' (1943), Suzuki Daisetsu mencoba menuangkan tenaga dan pikiran, untuk mewujudkan gagasannya itu di tengah-tengah berlangsungnya perang Dunia II. Ia adalah seorang pecinta damai yang gigih menentang setiap usaha perang, melalui tulisan kritis dan analitis. Dalam buku tersebut, ia mencoba meramalkan ke_kalahan perang pada pihak Jepang, yang ternyata perkiraan ini menjadi kenyataan setelah dua tahun kemudian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13898
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Astuti Retno Lestari
"ABSTRAK
Pada akhir zaman Tokugawa banyak bermunculan agama baru yang disebut dengan shinshukyo atau shinko shukyo. Agama-agama baru ini muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan masyarakat akan keyakinan baru yang dianggap dapat membantu menyelesaikan persoalan mereka.
Salah satu agama yang muncul pada zaman itu adalah Tenrikyo yang didirikan oleh seorang wanita bernama Nakayama Miki pada tahun 1838. Tahun berdirinya Tenrikyo ini didasarkan pada tahun dimana Nakayama Miki menerima intuisi dari dewa yang kemudian dikenal sebagai Tenri-O-no-Mikoto.
Pada awal berdirinya, Tenrikyo mengalami banyak tantangan, akan tetapi Tenrikyo akhirnya dapat berkembang menjadi suatu agama yang memiliki cukup banyak pengikut dan diakui keberadaannya

"
1995
S13543
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mita Riyanti
"Skripsi ini berisikan mengenai pengaruh pemikiran Zen pada taman karesansui. Taman karesansui merupakan taman yang sangat khas karena di dalam komposisinya tidak terdapat air sedikit pun. Di awal perkembangannya taman ini mendapatkan pengaruh pemikiran Zen, salah satunya adalah yang tertuang dalam ungkapan Ichi Soku Ta, Ta Soku Ichi atau Satu adalah Banyak, dan Banyak adalah Satu. Ungkapan ini lebih menekankan pada penyatuan jiwa antara sang seniman dengan alam, yang merupakan sumber inspirasi seninya. Kebersatuan manusia dengan alam yang terwujud lewat taman karesansui ini diungkapkan lewat pemilihan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan taman. Sebagai tuangan ekspresi jiwa pembuatnya yang menggali hatinya untuk memahami hakikat dirinya, pada taman karesansui sang seniman jugs menggali alam sedalam mungkin hingga ia mendapatkan jiwa yang dicarinya dengan menghilangkan segala hal yang merupakan buatan manusia. Ia mampu mewujudkan alam raya, sesuatu yang maha besar dan luas, lewat komposisi bebatuan yang sedemikian rupa pada lahan sempit. Bata yang digunakan dibiarkan dalam bentuk aslinya, tanpa diubah, dan dipilih sesuai dengan ekspresi yang akan dituangkan dalam taman tersebut. Dari sini muncullah sifat-sifat alami, sederhana dan asimetris dalam karya seninya. Ungkapan Ichi Soku Ta, Ta Soku Ichi pun menggambarkan adanya totalitas, dimana yang satu baru memiliki makna bila disandingkan dengan yang banyak', demikian pula sebaliknya. Satu tidak memiliki makna seni apabila ditempatkan terasing dari yang lain atau yang banyak. Satu akan memiliki makna seni apabila berada diantara yang banyak. Banyak pun akan memiliki makna seni dengan satu di dalamnya. Dari sini dapat diketahui bahwa antara yang satu dengan yang banyak adalah saling melengkapi. Dalam taman karesansui dapat dilihat bahwa komposisi bebatuannya sudah merupakan satu kesatuan. Setiap batu dalam komposisi tersebut mendapatkan makna seninya dari bebatuan yang lainnya, sehingga keberadaan setiap batu dalam komposisi tersebut tidak terpisahkan. Namun demikian, meski dalam satu kesatuan, setiap batu dalam komposisi tersebut tetap tidak kehilangan karakteristiknya masing-masing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13741
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basabe, Fernando M.
Tokyo: Sophia University, in cooperation with Charles E. Tuttle, 1968
299.56 BAS r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Diakayudi Migra Hubekayanti
"ABSTRAK
Penulis membahas masalah Shinbutsubunri ini karena gerakan ini muncul pada jaman Edo, di mana sampai saat itu agama Budha telah menyatu dengan kepercayaan asli Jepang, Shinto. Serta mencapai masa Jaya dengan jumlah kuil yang banyak dan secara administrasi dan birokrasi sudah mapan. Tujuannya ialah untuk menjelaskan penyebab munculnya gerakan tersebut. Serta menerangkan bahwa kepercayaan yang merupakan hal yang subyektif irasional tidak mudah diubah dan dipengaruhi oleh suatu peraturan.
Pengumpulan data dilakukan berdasarkan buku-_buku, artikel, ensiklopedia yang berkaitan dengan masalah tersebut di atas. Buku pegangan utama adalah Shinbutsubunri karangan Tanamuro Fumio.
Gerakan Shinbutsubunri pertama muncul di bawah pimpinan Tokugawa Hitsukuri (1628-1700 sebagai penguasa wilayah Nita. Gerakan ini terjadi karena faktor ekonomi, di mana jumlah kuil Budha yang terlampau banyak memberatkan beban rakyat sebagai penyandang dana.

"
1990
S13702
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>