Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Wahdah
"Latar belakang: Mabuk gerak dapat memberi efek terhadap kinerja dan keselamatan penerbangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mabuk gerak pada calon penerbang militer di Lakespra Saryanto.
Metode: Data berasal dari pemeriksaan kesehatan calon penerbang militer pada September 2013, Januari dan Juni 2014 di Lakespra Saryanto. Desain penelitian potong lintang, pengambilan sampel secara purposif. Subyek yang diambil 135 orang, analisis menggunakan korelasi regresi linier dengan stata. Terdiri dari 11 orang calon penerbang militer periode September 2013, 108 orang periode Januari 2014 dan 16 orang pada bulan Mei 2014. Mabuk gerak diperoleh dengan provokasi kursi Barany. Gejala dan tanda mabuk gerak ditentukan dengan mengamati timbulnya: keringat dingin, pusing, pucat, mual, ruktus/sendawa, dan muntah.
Hasil: Faktor dominan yang mempertinggi mabuk gerak adalah VO2 max dan neurotik. Setiap kenaikan nilai VO2 max sebesar 1 ml/kgBB/menit akan menambah nilai indeks mabuk gerak sebesar 0,08 [koefisiensi regresi (β)= 0,083; p= 0,005] dan setiap penambahan nilai neurotik (skala klinik Hs) sebesar 1 akan menambah nilai indeks mabuk gerak sebesar 0,05 (β= 0,056; p= 0,019).
Kesimpulan: VO2 max dan neurotik cenderung mempertinggi mabuk gerak pada calon penerbang militer di Lakespra Saryanto.

Background: Motion sickness gives effect to the performance and safety of flight. This study aims to identify the factors affect motion sickness on candidates military aviator in Lakespra Saryanto.
Methods: Data derived from health examinations of candidates military aviator at September 2013, January and May 2014 in Lakespra Saryanto. Study designed was cross sectional with purposive sampling. All subjects were taken all the 135 were taken linier correlation regression was used with stata consisting of 11 candidates for military aviators for period September 2013, 108 people for period January 2014 and 16 people for period May 2014. Motion sickness obtained by Barany chair provocation. Symptoms and signs are determined by observing the motion sickness onset: cold sewat, dizzines, pallor, nausea, ruktus/ belching, and vomiting
Results: The dominant factor that heightens the motion sickness is VO2 max and neurotic. Each increase in VO2 max values of 1 ml/kg min will increase the value of the motion sickness index of 0.08 [regression coefficient (β) = 0.083; p = 0.005] and each value addition neurotic (clinical scales Hs) of 1 will add to the value of the motion sickness index of 0.05 (β = 0.056, p = 0.019).
Conclusion: VO2 max and neurotic tend to enhance the value of the motion sickness index on the candidates of military aviator in Lakespra Saryanto.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Sumarni
"Kehamilan merupakan suatu proses fisiologis yang terjadi pada wanita dimana terjadi pembahan-perubahan pada tubuh wanita baik secara fisik maupun psikologis. Perubahan fisiologis tidak hanya terjadi pada organ-organ reproduksi tetapi juga pada sistem respirasi, traktus urinarius dan sistem pencernaan. Perubahan pada sistem pencemaan diawal kehamilan, ibu hamil akan mengalami mual dan muntah pada pagi hari. Meskipun terbilang wajar, mual dan muntah yang terlalu sering juga dapat membahayakan kondisi ibu dan janin. Dan juga masih adanya ibu hamil yang tidak mampu beradaptasi dengan pembahan ini dan menginginkan untuk mengakhiri kehamilan. Oleh karena im maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan adaptasi terhadap moming sickness.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif sederhana dengan 30 orang responden. Proses pengumpulan data dimulai dengan melakukan perizinan dari bagian akademik sampai membcrikan fomaat persetujuan pada responden dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa kuisioner. Penelitian dilaksanakan selama tiga minggu di RSCM Jakarta. Analisa data dilakukan dengan rnenggmmakan metode statistik tendensi sentral yang diuraikan dalam bentuk tabel frekuensi dan perhitungan nilai rata-rata.
Dari hasil pengolahan data didapaikan bahwa faktor yang berhubungan dengan kemampuan ibu hamil terhadap morning sickness adalah faktor biologis yakni pengetahuan dan faktor sosial yakni pengalaman masa lalu ibu hamil. Penelitian yang dilakukan ini masih memiliki banyak keterbatasan yailu desain, sampel dan instrumen, Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan desainpenelitian yang Iebih komplek dengan sampel yang diperbesar serta instrumen yang kesahihannya lebih tinggi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam ilmu keperawataan saat ini dan yang akan datang."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5206
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Santhy
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan ibu hamil tentang cara-cara penanganan morning sickness, dengan pertanyaan penelitian sejauh mana tingkat pengetahuan ibu hamil dalam menangani morning sickness.
Penelitian ini menggmakan desain deskriptif sederhana dengan tehnik convenience sampling. Penelitian dilakukan di RW 008 kel Manggarai-Tebet dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Untuk pengumpulan data peneliti membuat alat pengumpul data bempa kuesioner atau angkct yang terdiri dari 15 item dengan tipe pertanyaan close ended question jenis multiple choice.
Hasil penelitian menunjukkan 53,33 % responden memiliki pengetahuan yang tinggi dan 46, 67 % responden memiliki pengetahuan sedang tentang cara-cara penanganan morning sickness. Rata-rata ibu memiliki pengetahuan yang tinggi.
Untuk memperkuat hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian di area yang lebih luas serta sample yang lebih banyak, instrumen yang Iebih Iengkap serta melakukan uji reliabiliatas dan validitas terhadap alat ukur instrumen sebelum di gunakan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4996
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Selvine Wantania
"ABSTRAK
Nama : Imelda Selvine Wantania
Program Studi : Magister Kedokteran Kerja
Judul : Pengaruh Pemberian Latihan Fisik Submaksimal Akut Prapenyelaman Tunggal Dekompresi terhadap Perubahan Kadar Interleukin-10 pada Penyelam Laki-Laki Terlatih.
Latar Belakang : Gelembung gas yang terdapat dalam pembuluh darah dan jaringan tidak selalu merupakan penyebab penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi dapat juga disebabkan oleh disfungsi endotel dengan hilangnya hemostasis endotel yang disebabkan oleh reaksi inflamasi saat di kedalaman. IL-10 adalah sitokin antiinflamasi dan merupakan antioksidan yang dapat mencegah reaksi inflamasi. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa latihan fisik submaksimal yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman dapat mencegah penurunan IL-10 akibat penyelaman.
Metode : Penelitian ini menggunakan disain eksperimen murni dengan subyek penyelam laki-laki terlatih yang terbagi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan melakukan latihan fisik submaksimal 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dengan bottom time 80 menit. Kelompok kontrol hanya melakukan penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dengan bottom time 80 menit. Pemeriksaan kadar IL-10 dilakukan tiga kali yaitu awal penelitian, sebelum dan sesudah penyelaman.
Hasil : Latihan fisik submaksimal akut yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi efektif mencegah penurunan kadar IL-10 setelah penyelaman pada kelompok perlakuan dengan rerata awal penelitian 0,36 0,08-0,98 pg/ml dan sesudah penyelaman 0,36 0,08-0,98 pg/ml p=0,065 . Pada kelompok kontrol terjadi penurunan kadar IL-10 dengan rerata awal penelitian 0,61 0,21 pg/ml dan sesudah penyelaman 0,39 0,21 pg/ml p=0,000 .
Kesimpulan : Latihan fisik submaksimal yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi dapat mencegah penurunan IL-10 setelah penyelaman. Dilain pihak, pada subyek yang tidak melakukan latihan fisik submaksimal 24 jam sebelum penyelaman terjadi penurunan IL-10.

ABSTRACT
Name Imelda Selvine Wantania
Study Programe Master of Occupational Medicine
Title Effect Of Acute Submaximal Exercise Pre Single Decompression Dive on Changes in IL 10 Consentration In Trained Male Divers
Background Gas bubbles contained in the blood vessels and tissues is not always the cause of decompression sickness. Decompression illness can also caused by endothelial dysfunction with loss of endothelial hemostasis caused by an inflammatory reaction when at depth. IL 10 is an anti inflammatory cytokine and antioxidant that prevent inflammatory reaction. The purpose of this study to prove that physical exercise submaximal done 24 hours before the decompression dive can prevent a decrease in IL 10.
Methods This research uses pure experimental design with trained male divers as a subject who were split into two groups, treatment and control. Treatment group perform acute submaximal exercise 24 hours before single decompression dives 280 kPa with the bottom time of 80 minutes and the control group dive without perform an acute submaximal exercise but do single dive decompression. Assessment of the level of IL 10 conducted three times, at the beginning of the study, before and after the dive.
Result Acute submaximal exercise conducted 24 hours before a single decompression dive effectively prevent IL 10 decrease levels after dive in treatment group with the early treatment group average research 0.36 0.08 0.98 pg ml and after dive 0.36 0.08 0.98 pg ml p 0,065 . In the control group, decreased levels of IL 10 with the early treatment average research 0,61 0.21 pg ml and 0.39 0.21 pg ml dives after p 0.000 .
Conclusion Submaximal physical exercise done 24 hours before a single decompression dive can prevent a decrease in IL 10 after dive. The dive performed without submaximal physical exercise before diving decreased IL 10. Keyword single decompression dive IL 10 acute submaximal physical exercise.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widodo Rahayu
"Latar Belakang : Decompression sickness merupakan masalah kesehatan yang penting bagi penyelam, angka kejadian Decompresion sickness (DCS) atau penyakit dekompresi terjadi pada sekitar 1.000 penyelam Amerika scuba setiap tahun yang dilaporkan oleh DAN. Penelitian A. O. Brubakk dkk, ISB, Medical Technology Center di Norwegia, melaporkan pada penyelam terjadi beberapa gelembung pembuluh darah, peningkatan diameter arteri yang signifikan dari 4,5 ± 0,7-4,8 ± 0,8 mm dan penurunan dari FMD yang signifikan dari 9,2 ± 6,9-5,0 ± 6,7% sebagai tanda terjadinya penurunan fungsi endotel. Subyek penelitian tersebut pada individu sehat yang melakukan penyelaman tunggal dekompresi dengan melakukan penyelaman sesuai prosedur protokol penyelaman yang benar tidak terjadinya DCS atau gejala-gejala penyakit dekompresi. Meskipun secara umum patofisiologi terjadinya DCS dihubungkan dengan terbentuknya gelembung gas pada sirkulasi dan jaringan, sehingga patofisiologi terjadinya DCS tidak hanya terjadi akibat mekanisme obstruksi dari gelembung gas, tetapi akibat mekanisme dyfungsi endotel, dengan demikian maka penliti menggunakan biomarker TNF1alfa sebagai penanda untuk mengetahui terjadinya dyfungsi endotel.
Metode : Penelitian menggunakan metode cross over design. Data diperoleh dari kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan ekspresi TNF 1alfa menggunakan teknik kuantitatif ELISA sandwich. Data diolah menggunakan IBM SPSS statistik versi 20 untuk Windows. Untuk menilai hubungan penyelaman tunggal dekompresi dengan perubahan kadar TNF 1alfa menggunakan analisis bivariat dengan uji T berpasangan Wilcoxon Untuk menilai hubungan atau korelasi antara kadar TNF 1alfa Pre, Normobarik dan Hiperbarik dilakukan uji korelasi Spearman.
Hasil : Terjadi perubahan ekspresi TNF 1alfa (p= 0,003) pada kelompok Normobarik.dan ekspresi TNF 1alfa (p=0,000) pada kelompok Hiperbarik dibandingkan sebelum penyelaman.
Kesimpulan dan Saran: Terdapat perubahan kadar TNF 1 alfa pada intervensi penyelaman normobarik dan hiperbarik (p<0,001), dimana nilai rerata/median (0,008±0,038) pada ,kelompok Normobarik, dan 0,013(0,005-0,047) pada kelompok Hiperbarik. Kadar ekspresi TNF 1 alfa meningkat untuk masing-masing keadaan normobarik dan hiperbarik.

Background: Decompression sickness is an important health problem for divers. The incidence of decompression sickness (DCS) or decompression sickness occurs in about 1,000 Americans scuba divers each year reported by AND. Research Brubakk AO et al, ISB, Medical Technology Center in Norway, reported on divers happened a few bubbles of blood vessels, increasing the diameter of the artery significantly from 4.5 ± 0.7 to 4.8 ± 0.8 mm (mean ± sd ) and a significant decrease of FMD from 9.2 ± 6.9 to 5.0 ± 6.7% as a sign of decline in endothelial function. The subjects of these studies in healthy individuals who perform single dive decompression dives corresponding protocol procedures dive right is not the DCS or symptoms of decompression sickness. Although in general the pathophysiology of DCS associated with the formation of gas bubbles in the circulation and tissues, so the pathophysiology of DCS not only caused by the mechanism of obstruction of gas bubbles, but due to the mechanism of dyfungsi endothelial, and thus penliti using biomarkers TNF1alfa as a marker to identify the occurrence of dyfungsi endothelial ,
Methods: The study used a cross over design methods. Data obtained from questionnaires, physical examination and laboratory. Examination of the expression of TNF 1alfa sandwich ELISA using quantitative techniques. The data is processed using IBM SPSS version 22 for Windows statistics. To assess the relationship single decompression dives with elevated levels of TNF 1alfa using bivariate analysis using Wilcoxon paired T test to assess the relationship or correlation between the levels of TNF 1alfa Pre, Normobarik and Hyperbaric do Spearman correlation test.
Results: There was an increased expression of TNF 1alfa (p = 0.003) on the expression of TNF 1flfa Normobarik.dan group (p = 0.000) in the group Hyperbaric. The correlation between the expression of TNF 1flfa Pre and Nrmobarik (r = 0.831) and the correlation between the expression of TNF 1alfa Pre and Hyperbaric (0,526).
Conclusions and Recommendations: There were significant increases in the hyperbaric group (p <0.001) and in the group normobarik. The correlation between the expression of TNF 1alpa Pre, normo damn Hyperbaric, increased significantly whice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia merupakan kepulauan dengan jutaan nelayan, namun belum banyak penelitian mengenai penyakit dekompresi (PD). Tujuan penelitian ialah mengidentifikasi prevalensi dan beberapa faktor dominan yang berkaitan dengan kenaikan risiko PD setelah penyelaman. Penelitian dilakukan antara Oktober ? November 2007 pada seluruh nelayan peselam Moroami di Kepulauan Seribu Jakarta. Anamnesis dan pemeriksaan dilakuan sebelum dan tiga kali setelah menyelam. Subjek menderita PD jika mengalami salah satu gejala: nyeri sendi, nyeri otot, atau gatal-gatal, lemah tungkai, gangguan buang air besar (obstipasi, melena, diare) atau kecil, pendengaran, penglihayan, sakit kepala, vertigo, sesak napas, nyeri dada, kejang, pingsan, mual, muntah (biasa atau darah). Dari 123 subjek yang potensial, 5 subjek sedang menderita penyakit pernafasan atas, sehingga sebanyak 117 berpartispasi dalam penelitian ini. Sebanyak 62 orang (53%) menderita PD. Model akhir menunjukkan bahwa mouthpice, valsava bila telinga sakit, peselam perlu kursus menyelam untuk menghindari kecelakaan, dan kecepatan naik merupakan faktor-faktor dominan yang berkaitan dengan PD. Kecepatan naik merupakan faktor risiko yang tertinggi. Peselam yang naik 18 meter per menit atau lebih dibandingkan dengan yang naik kurang dari 18 m per menit mempunyai risiko dua kali lipat menderita PD [risiko relatif suaian (RRa) = 2.2; 95% interval kepercayaan (CI) = 1,11 ? 3,56]. Di samping itu peselam yang menderita dibandingkan dengan yang tidak PD sebelum menyelam mempunyai risiko 20% lebih banyak (95% CI = 0,86-1,68; p = 0,285). Di samping penggunaan mouthpice yang baik, cara valsava yang benar, para nelayan tradisional terutama perlu diberikan latihan supaya naik ke permukaan laut kurang dari 18 m per menit untuk mengururangi risiko PD.

Abstract
Indonesia is an archipelago with many traditional divers, however research on decompression sickness (DCS) has not yet elaborated. The aim of the study was to identify the prevalence of DCS and factors related to it. The study was conducted on October-November 2007 among fisherman moroami divers in Seribu Island Jakarta. Anamnesis and physical examination was taken before and three times after diving. Subject was diagnosed as having DCS if experienced one of these symptom or sign: myalgia, muscle pain, skin rash, ankle weakness, bowel movement & bladder dysfunction, visual disturbances, headache, vertigo, dyspnoe, chest pain, convulsion, unconsciousness, nausea and vomiting. Among 123 potential divers, five were having upper respiratory infection, so only 117 divers participated in this study. Final model analysis showed that regulator, valsava when having ear pain, ascending speed to surface, and lack of training were risk factors to obtain DCS. Divers whose ascending speed more than 9 m per minutes had two times risk to get DCS [adjusted ratio = 2.2; 95% confidence interval (CI)= 1.11 ? 3.56]. Having DCS before diving, increased risk 20% (RRa = 1.20; 95% CI = 0.86-1.68; P=0,285). Beside knowledge to use regulator correctly and valsava, fisherman Moroami divers need to be trained to ascend speed to sea level surface less than 9 m per minute. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo, Jakarta], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Handoko H.
"Latar Belakang : Decompression sickness (DCS) masih menjadi masalah, walaupun dekompresi telah dilakukan sesuai dengan prosedur[1,2,3] Insiden pada recreational diving 2-4 per 10.000 penyelaman[1]. Patofisiologi terjadinya DCS tidak hanya terjadi akibat mekanisme obstruksi dari gelembung gas[3,4], namun dikaitkan dengan gangguan terhadap fungsi fisiologis NO[2,3,4,5].
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain cross over pada 16 orang penyelam laki-laki Dislambair Koarmatim TNI AL. Data diperoleh melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium ekspresi eNOS menggunakan teknik kuantitatif ELISA sandwich, yang diberi perlakuan penyelaman tunggal dekompresi US Navy 280 kPa dalam RUBT.
Hasil : Terdapat penurunan ekspresi eNOS yang bermakna pada kelompok hiperbarik (p<0,001) dan perbedaan selisih ekspresi eNOS antara kelompok normobarik dan hiperbarik yang bermakna (p=0,01). Korelasi IMT dengan ekspresi eNOS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok hiperbarik dan sebelum perlakuan pada kelompok normobarik berlawanan arah. Korelasi antara kebiasaan merokok dengan ekspresi eNOS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok normobarik adalah sedang.
Kesimpulan dan Saran: Penurunan ekspresi eNOS pada kelompok hiperbarik (p<0,001) dan selisih rerata ekspresi eNOS antara kelompok normobarik dan hiperbarik (p=0,001). Memperhatikan faktor individu, yaitu IMT dan kebiasaan merokok pada prosedur penyelaman dan diperlukan kajian medik langkah preconditioning sebelum penyelaman.

Background : Decompression sickness (DCS) is still a problem, even though decompression has been performed in accordance with the procedures[1,2,3] recreational diving incident at 2-4 per 10,000 dives[1]. Path physiology of DCS not only occur due to obstruction mechanism of gas bubbles[3,4], but is associated with disruption of physiological functions NO[2,3,4,5].
Methods : This study is an experimental study with cross-over design in 16 male divers Dislambair Koarmatim Navy. Data obtained through questionnaires , physical examination and laboratory eNOS expression using quantitative techniques sandwich ELISA, which treated single dive decompression US Navy 280 kPa in hyperbaric chamber.
Results : Significant reduction in eNOS expression in the hyperbaric group(p<0.001) and the difference in eNOS expression differences between groups normobaric and hyperbaric(p=0.01). IMT correlation with the eNOS expression before and after treatment in the hyperbaric group and before treatment in group normobaric opposite direction. The correlation between smoking and eNOS expression before and after treatment in group normobaric is being.
Conclusions and Recommendations : A reduction in eNOS expression in the hyperbaric group(p< 0.001) and the mean difference between groups normobaric eNOS expression and hyperbaric(p = 0.001) . Attention to individual factors , namely BMI and smoking habits on the procedures required dives and medical studies preconditioning step prior to the dive.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riski Oktafia
"Hiperemesis gravidarum merupakan kondisi mual dan muntah berlebihan yang dapat menyebabkan penurunan berat badan, ketidakseimbangan cairan, elektrolit, gangguan nutrisi dan ketonuria. Upaya yang dapat dilakukan dalam membantu beradaptasi dengan mual dan muntah melalui tindakan nonfarmakologi dan farmakologi. Model konservasi Levine berfokus pada peningkatan adaptasi melalui prinsip konservasi untuk mencapai interigritas diri dan teori dukungan sosial berfokus pada peningkatan sistem dukungan.
Laporan kasus dilakukan terhadap lima ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dengan pendekatan proses keperawatan melalui model konservasi Levine dan teori dukungan sosial. Penerapan model konservasi Levine dan teori dukungan sosial dalam lima kasus ini ditemukan masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi yang disebabkan kurang asupan makanan, mual yag disebabkan proses adaptasi kehamilan, kecemasan yang disebabkan krisis situasional dan kehamilan yang tidak direncanakan, resiko kekurangan volume cairan yang disebabkan muntah berlebih, dan kesiapan peningkatan koping keluarga.
Hasil intervensi yang dilakukan berdasarkan prinsip konservasi dan dukungan sosial pada kelima kasus menunjukkan bahwa status nutrisi klien menjadi adekuat, status hidrasi klien menjadi adekuat, status maternal meningkat, mual berkurang, pengetahuan klien tentang proses kehamilan meningkat, kecemasan menurun, koping adekuat dan dukungan sosial meningkat.

Hyperemesis gravidarum is a condition of excessive nausea and vomiting that can lead to weight loss, fluid imbalance, electrolytes, nutritional disorders and ketonuria. Efforts can be made to help adapt to nausea and vomiting through nonpharmacological and pharmacological actions.The Levine Conservation Model focuses on improving adaptation through conservation principles to achieve self interdependence and social support theories focus on improving the support system.
Case reports were made on five pregnant women with hyperemesis gravidarum with a nursing process approach through the Levine conservation model and social support theory. Implementation of the Levine conservation model and social support theory in these five cases found nutritional problems of nutritional imbalance caused by lack of food intake, nausea due to pregnancy adaptation, anxiety caused situational crisis and unplanned pregnancy, risk of fluid volume deficiency caused by excessive vomiting, And family coping readiness.
The results of interventions based on conservation and social support in the five cases indicate that the nutritional status of the client is adequate, the client 39 s hydration status becomes adequate, the maternal status increases, decreased nausea, the client 39 s knowledge of the pregnancy process increases, anxiety decreases, coping adequately and social support increases.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Crystal Gayle Paduli
"Latar Belakang : Penyakit dekompresi disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya peningkatan biomarker inflamasi. Adanya Nitrox-2 diharapkan dapat mengurangi insiden DCS pada penyelaman, namun terdapat berbagai kontroversi mengenai pemakaian Nitrox-2 dikaitkan dengan peningkatan stress oksidatif yang lebih tinggi. Pengaruh Nitrox-2 terhadap biomaker inflamasi belum pernah diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efek Nitrox-2 sebagai media nafas dibandingkan dengan Udara terhadap kadar TNF- ? ? ? pada penyelaman tunggal dekompresi.
Metode : Penelitian ini merupakan true experimental dengan desain double-blind pada 36 penyelam pria terlatih yang dibagi menjadi dua kelompok dengan randomisasi blok, dimana kelompok Udara sebagai kontrol memakai Udara kompresi dan kelompok Nitrox-2 sebagai perlakuan memakai Nitrox-2. Kedua kelompok melakukan penyelaman tunggal dekompresi 28 msw, bottom time 50 menit dalam RUBT. Kadar TNF- ? ? ? diukur menggunakan teknik ELISA, sebelum dan sesudah perlakuan.
Hasil : Terdapat peningkatan kadar TNF- ? ? ? baik kelompok Udara p=0,124 dan kelompok Nitrox-2 p=0,943 . Selisih rerata kadar TNF- ? ? ? kelompok Udara lebih besar dari kelompok Nitrox-2 p=0,394 . Tidak terdapat perbedaan bermakna p > 0,05 setelah perlakuan pada status TNF- ? ? ? antara kedua kelompok.
Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan efek antara penggunaan Udara dengan Nitrox-2 pada penyelaman tunggal dekompesi 28 msw, bottom time 50 menit.

Background : Decompression sickness DCS is caused by many factors, one of which is the increase of inflammatory biomarkers. Invention of Nitrox 2 was expected to reduce DCS incidence in diving, but there are controversy about Nitrox 2 usage since it produce higher oxidative stress. Effect of Nitrox 2 towards inflammatory biomarkers has not been studied. This study aims to determine the varying effect of Compressed Air Breathing compared to Nitrox 2 on TNF levels in single decompression dive.
Methods : Double blind experiment study was conducted on 34 trained trained male divers, which divided into two groups, control and treatment, using block randomization. The control group undergo the intervention using compressed air breathing, while the treatment group using Nitrox 2. Both group performed a single decompression dive, at 28 msw bottom time 50 minute in hyperbaric chamber using each breathing medium. TNF levels measured before and after the intervention, using ELISA technique.
Results : There are increase of TNF levels in both group, Compressed Air group p 0,124 and Nitrox 2 p 0,943. Mean difference of TNF levels on control higher than treatment group p 0,394. There is no significant difference p 0,05 after treatment on TNF status between the two groups.
Conclusion : There is no varying effect between Compressed Air breathing and Nitrox 2 on single decompression dive at 28 msw bottom time 50 minutes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Meidy Kaseger
"Pendahuluan: Penggunaan nitrox bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya penyakit dekompresi pada penyelaman. Namun saat ini terdapat kontroversi mengenai efek nitrox-2 dengan komposisi oksigen 36 yang lebih besar daripada udara yang dapat menginduksi pembentukan reactive oxygen species ROS sehingga meningkatkan risiko terjadi stres oksidatif yang akan mempengaruhi pembentukan sitokin anti-inflamasi IL-10. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar IL-10 pada penyelaman tunggal dekompresi dengan media napas udara dan nitrox-2.
Metode: Penelitian ini merupakan eksperimen pada penyelam laki-laki terlatih dengan desain tersamar acak tunggal yang menggunakan randomisasi dalam pengalokasian sampel sebanyak 17 orang pada kelompok udara dan 17 orang pada kelompok nitrox-2. Kedua kelompok melakukan penyelaman tunggal dekompresi 28 msw dengan bottom time 50 menit dalam RUBT. Kadar IL-10 diukur sebelum dan sesudah penyelaman dengan menggukan teknik ELISA.
Hasil: Terdapat peningkatan kadar IL-10 yang tidak bermakna pada kelompok udara p = 0,469 dan juga pada kelompok nitrox-2 p = 0,081 . Tidak terdapat perbedaan selisih rerata kadar IL-10 yang signifikan antara kedua kelompok p = 0,658.
Kesimpulan: Disimpulkan bahwa perbedaan penggunaan media napas tidak mempengaruhi perubahan kadar IL-10.

Background : The use of nitrox aims to reduce the risk of decompression sickness for divers. However, there are still controversies over the effects of nitrox 2 with a greater oxygen composition 36 than compressed air that can induce the formation of reactive oxygen species ROS , increasing the risk of oxidative stress affecting the formation of IL 10 as an anti inflammatory cytokine. Therefore, this study aims to determine the difference in IL 10 levels in single decompression dives with compressed air and nitrox 2.
Method : s This was an experiment study design on trained male divers with randomized allocation of 17 samples in the air group and 17 in the nitrox 2 group. Both groups performed a single 28 msw decompression dive with 50 minutes bottom time in hyperbaric chamber. IL 10 levels were measured before and after dive using ELISA technique.
Results : There is non significant changes of IL 10 level in both groups, air p 0.469 and nitrox 2 p 0.081. There is no difference in IL 10 levels changes between the two groups p 0.658.
Conclusion : It is conclud that there is no different in IL 10 levels changes between compressed air and nitrox 2 in single 28 msw decompression dive bottom time 50 minutes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>