Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Alpian Ramli
Abstrak :
Dalam meningkatkan pelayanan transportasi kepada masyarakat, PT Kereta Api Indonesia (Persero) senantiasa memperbarui lokomotif-lokomotif miliknya dengan cara membeli dari General Electric (GE) Transportation secara langsung (Penunjukan Langsung). Namun, pada pengadaan lokomotif tahun 2009, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa kedua perusahaan tersebut telah melakukan persekongkolan tender. Kemudian PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric (GE) Transportation melakukan keberatan. Hasilnya, putusan KPPU tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Bandung dan pada tingkat kasasi, permohonan kasasi KPPU ditolak oleh Mahkamah Agung. Alasan dibatalkannya putusan KPPU ini berdasarkan pertimbangan majelis hakim adalah karena pengadaan lokomotif ini bukan termasuk tender sehingga tidak terikat pada Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. Selain itu pengadaan lokomotif ini juga telah sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/Mbu/2008 yang memperbolehkan BUMN melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa. Penelitian ini membahas aspek hukum penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa ditinjau dari hukum persaingan usaha sehingga penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait hukum persaingan usaha seperti UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Di akhir penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric (GE) Transportation tidak terbukti melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 karena unsur-unsur dalam pasal tersebut tidak terbukti. Selain itu, pengadaan lokomotif yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric kepada (GE) Transportation memang bukan termasuk tender serta telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
In order to improve transportation services for people, PT Kereta Api Indonesia (Persero) always renews his locomotives regularly by purchasing them from General Electric (GE) Transportation directly (Direct Procurement). However, in locomotive procurement 2009, Commission for the Supervision of Business Competition (KPPU) condemned that both companies have made bid rigging. Then PT Kereta Api Indonesia (Persero) and General Electric (GE) Transportation did an objection. As a result, the KPPU’s verdict was canceled by the Bandung District Court and on cassation level the KPPU’s application was rejected by the Supreme Court. The reason of this verdict’s cancellation is based on the consideration of the judges who judged that this locomotive procurement was not a tender so that it was not bound by Article 22 of Law No. 5 of 1999. In addition, the procurement was also in accordance with the Regulation of the Minister of State-Owned Enterprises No.Per-05/MBU/2008 allowing SOEs perform direct appointment in the procurement of goods/services. This thesis discusses the legal aspects of procurement through direct procurement mechanism in terms of antitrust law so that the research method uses a normative juridical legislation related antitrust law such as Law No. 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Competition. At the end of this thesis, the author concludes that PT Kereta Api Indonesia (Persero) and General Electric (GE) Transportation is not proven to have violated Article 22 of Law No. 5 Year 1999 concerning bid rigging because the elements in the article is not proven. Furthermore, the locomotive procurement conducted by PT Kereta Api Indonesia (Persero) and General Electric (GE) Transportation cannot be termed as a tender and was also peformed in accordance with the legislation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Pudjiardjo
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soesilo Aribowo
Abstrak :
Penulisan tesis ini dilatar belakangi berbagai keluhan masyarakat khususnya masyarakat berperkara yang sedang mengajukan permohonan kasasi perdata di Mahkamah Agung karena rumit dan lambannya proses atau alur yang harus ditempuh sebelum mendapatkan putusannya. Sebagai lembaga peradilan tertinggi yang menjadi tumpuan masyarakat dalam mencari keadilan, Mahkamah Agung RI yang mempunyai tugas dan wewenang salah satunya adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, seharusnya dapat membuat alur proses penyelesaian kasasi yang mudah, cepat dan transparan sehingga masyarakat yang berperkara segera mendapatkan kejelasan akan nasibnya. Untuk mengatasi kelambanan dan rumitnya proses penyelesaian kasasi perdata tersebut sudah saatnya Mahkamah Agung melakukan terobosan pemikiran yang fundamental, perencanaan secara radikal serta perbaikan yang dramatis terhadap biaya, kualitas, pelayanan dan kecepatan. Konsep Rekayasa Ulang Perusahaan (Reengineering the Corporation) dari Michael Hammer dan James Champy adalah alternatif yang dapat diterapkan sebagai terobosan dimaksud di atas, karena konsep ini akan memulai dari akar permasalahannya, bukan membuat perubahan superfisial atau berkutat dengan yang sudah ada, tetapi membuang jauh kebiasaan-kebiasaan lama. Hasil yang akan dicapai bukanlah peningkatan secara marjinal, namun suatu lompatan besar (quantum leaps) dalam kinerja dan orientasi aktifitasnya adalah proses, bukan memusatkan perhatian pada tugas-tugas, pekerjaan, orang-orang atau struktur. Berawal dari kondisi dan harapan yang demikian, penulis tertarik untuk ingin mengetahui : a. Bagaimana proses penyelesaian kasasi perkara perdata di Mahkamah Agung Republik Indonesia? b. Apakah alternatif proses penyelesaian kasasi perkara perdata di Mahkamah Agung Republik Indonesia berdasarkan konsep Rekayasa Ulang Perusahaan (Reengineering the Corporation)? Menarik untuk diteliti adalah proses penyelesaian kasasi perkara perdata umum atau disebut perdata saja, tidak termasuk perdata khusus, seperti perkara niaga/kepailitan, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), perkara Hak Azasi Manusia (HAM), Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), karena lebih 75% dari perkara kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung RI merupakan perkara perdata. Dari keinginan untuk memberikan usulan atau masukan dalam mengatasi kelambanan dan rumitnya proses penyelesaian kasasi perkara perdata di atas, tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penyelesaian kasasi atas perkara perdata di tingkat Mahkamah Agung RI serta penerapan konsep rekayasa ulang dari Hammer & Champy sebagai jalan keluarnya. Dalam menerapkan konsep dimaksud, peneliti menggunakan metodologi The Rapid Reengineering ? Rapid Re yang dikemukakan oleh Raymond L. Manganelli & Mark M. Klein, bahwa pada intinya terdapat 5 tahap (persiapan, identifikasi, visi, solusi dan transformasi) dan 54 langkah/tugas untuk meraih sukses rekayasa ulang. Berdasarkan fakta-fakta yang ada, dari alur/proses penyelesaian permohonan kasasi perdata selanjutnya akan dianalisa secara deskriptif kualitatif, kemudian akan diusulkan saran-saran untuk mengatasi permasalahan di atas menggunakan konsep rekayasa ulang. Peneliti hanya akan fokus pada masalah panjang dan rumit serta tidak efisiennya alur atau proses penyelesaian kasasi perkara perdata sebagai faktor penyebab menumpuk dan tertunggaknya perkara kasasi, walaupun dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa masih ada penyebab lain seperti tidak adanya batasan persyaratan untuk perkara yang bisa dikasasi; tidak ada kewenangan lembaga dibawah Mahkamah Agung yang dapat menolak permohonan kasasi walaupun terdapat persyaratan formal yang tidak terpenuhi; ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga peradilan di bawah, sehingga semua perkara di kasasi; produktifitas kerja hakim agung dan bagian administrasi yang rendah; rendahnya penggunaan teknologi informasi dan sebagainya. Dari hasil penelitian kemudian dilakukan analisa data, diperoleh kesimpulan bahwa setiap kasasi perkara perdata yang diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung harus diselesaikan melalui 7 (tujuh) alur/proses tahapan dengan melibatkan 7 (tujuh) bagian/fungsi dari organisasi Mahkamah Agung dengan tanpa adanya waktu penyelesaian, sebaliknya dengan penerapan metodologi rekayasa ulang, setiap kasasi dimaksud akan melalui 3 (tiga) proses tahapan penting dengan melibatkan 3 (tiga) bagian organisasi Mahkamah Agung dengan waktu penyelesaian paling lambat 60 hari. Secara praktis konsep rekayasa ulang melalui perubahan fundamental, radikal, dramatis dengan fokus pada proses hakekatnya dapat diterapkan untuk tujuan efisiensi jika didukung oleh peran sumber daya manusia dan peralatan teknologi informasi yang memadai.b. Apakah alternatif proses penyelesaian kasasi perkara perdata di Mahkamah Agung Republik Indonesia berdasarkan konsep Rekayasa Ulang Perusahaan (Reengineering the Corporation)? Menarik untuk diteliti adalah proses penyelesaian kasasi perkara perdata umum atau disebut perdata saja, tidak termasuk perdata khusus, seperti perkara niaga/kepailitan, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), perkara Hak Azasi Manusia (HAM), Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), karena lebih 75% dari perkara kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung RI merupakan perkara perdata. Dari keinginan untuk memberikan usulan atau masukan dalam mengatasi kelambanan dan rumitnya proses penyelesaian kasasi perkara perdata di atas, tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penyelesaian kasasi atas perkara perdata di tingkat Mahkamah Agung RI serta penerapan konsep rekayasa ulang dari Hammer & Champy sebagai jalan keluarnya. Dalam menerapkan konsep dimaksud, peneliti menggunakan metodologi The Rapid Reengineering ? Rapid Re yang dikemukakan oleh Raymond L. Manganelli & Mark M. Klein, bahwa pada intinya terdapat 5 tahap (persiapan, identifikasi, visi, solusi dan transformasi) dan 54 langkah/tugas untuk meraih sukses rekayasa ulang. Berdasarkan fakta-fakta yang ada, dari alur/proses penyelesaian permohonan kasasi perdata selanjutnya akan dianalisa secara deskriptif kualitatif, kemudian akan diusulkan saran-saran untuk mengatasi permasalahan di atas menggunakan konsep rekayasa ulang. Peneliti hanya akan fokus pada masalah panjang dan rumit serta tidak efisiennya alur atau proses penyelesaian kasasi perkara perdata sebagai faktor penyebab menumpuk dan tertunggaknya perkara kasasi, walaupun dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa masih ada penyebab lain seperti tidak adanya batasan persyaratan untuk perkara yang bisa dikasasi; tidak ada kewenangan lembaga dibawah Mahkamah Agung yang dapat menolak permohonan kasasi walaupun terdapat persyaratan formal yang tidak terpenuhi; ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga peradilan di bawah, sehingga semua perkara di kasasi; produktifitas kerja hakim agung dan bagian administrasi yang rendah; rendahnya penggunaan teknologi informasi dan sebagainya. Dari hasil penelitian kemudian dilakukan analisa data, diperoleh kesimpulan bahwa setiap kasasi perkara perdata yang diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung harus diselesaikan melalui 7 (tujuh) alur/proses tahapan dengan melibatkan 7 (tujuh) bagian/fungsi dari organisasi Mahkamah Agung dengan tanpa adanya waktu penyelesaian, sebaliknya dengan penerapan metodologi rekayasa ulang, setiap kasasi dimaksud akan melalui 3 (tiga) proses tahapan penting dengan melibatkan 3 (tiga) bagian organisasi Mahkamah Agung dengan waktu penyelesaian paling lambat 60 hari. Secara praktis konsep rekayasa ulang melalui perubahan fundamental, radikal, dramatis dengan fokus pada proses hakekatnya dapat diterapkan untuk tujuan efisiensi jika didukung oleh peran sumber daya manusia dan peralatan teknologi informasi yang memadai.
This thesis is based by the complaints of the community, especially people that has filled civil cases to the Supreme Court (Cassation), regarding the complexity and the slow process in order to obtain decision. As the highest court in obtaining justice for the people that looking for it, the Supreme Court of Indonesia has duties and rights, that one of them is examining and deciding the Cassation requisition as governed in Law No. 4 year 2005 concerning alteration on Law No. 5 year 1985 concerning Supreme Court, should made the process of the Cassation settlement easy and quick, hence, people that already filed their cases have clear future upon their cases. In order to cope with the complexity and the slow process, it is due for Supreme Court to accelerate fundamental thoughts, radical planning and dramatic improvement upon cost, quality, service and speed. The concept of reengineering the corporation form Michael Hammer and James Champy is an alternative to be applied for the above purposes, because this concept is starting from the very basic roots of the problem which not made a superficial change, but by getting rid the old custom. The result to be achieved is not achievement in marginal, but will be a quantum leap in works and the orientation of the activity is process, not focusing upon tasks, works, people or structure. Started from these hope and conditions, writer is interested to understand: a. how is the settlement process of the Cassation of the civil cases at the Supreme Court of Indonesia ? b. what is the alternative of the settlement process of the Cassation of the civil cases at the Supreme Court of Indonesia based on reengineering corporation ? Interesting to be researched is the settlement process of Cassation of the general civil cases or just civil cases, not the special one as bankruptcy,intellectual property rights, human rights cases and industrial relationship dispute cases, because more than 75% form the Cassation cases are civil cases. From the need to give suggestion in order to cope with the complexity and the slow process of the settlement of Cassation of the civil cases, as mentioned above, researcher conducting research for knowing the process of the Cassation settlement of the civil cases at the Supreme Court of Indonesia level and applying the concept of reengineering by Hammer & Champy as the solve way. In applying the reengineering concept, researcher uses the methodology of Rapid Reengineering- Rapid re by Raymond L. Manganelli & Mark M. Klein, where in essence, there are, 5 steps (preparation, identification, vision, solution and transformation) and 54 steps/tasks to gain success in reengineering. Based on available facts, the process of settlement of Cassation of civil cases will be analyzed by descriptive qualitative, then, suggestions will be given in for solving the above mentioned problem by using reengineering concept. Researcher will be only focusing on complexity problem, not efficiency of the process of settlement of Cassation of civil cases as the factor that causing postponed of cases in Supreme Court, even though from the research, there are other reasons that can lead to postponed of cases, such as there are no conditional requirements for Cassation; no authority to reject the Cassation requisition from the below level of the Supreme Court because of the formality requirements are not completed; the community is unbelief by the process of the below court, so they request for Cassation; low productivity of the judges and the administration officer; low usage of information technology and so on. The research result will be data analyzed, then the result obtained is whereas for all civil cases Cassation that are examined and decided by Supreme Court have to be settle through 7 (seven) stages process that involve 7 (seven) part/function from the organization of Supreme Court without any limitation time to settle, in contrast, by applying the methodology of reengineering process, all civil cases Cassation will be through 3 (three) important stages process that involve 3 (three) part/function from the organization of Supreme Court with limitation time to settle at the latest up to 60 days. Practically, the concept of reengineering through fundamental changes, radical, dramatic by focusing upon process, in essence could be applied for efficiency purpose, if supported by the role of the human sources and satisfying information technology equipment.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19249
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Syarifah
Abstrak :
Sistem pemeriksaan perkara sebagai bagian dari penegakan hukum memberi pengaruh yang besar terhadap tercapainya keadilan dan kepastian hukum. Pemeriksaan perkara yang melampaui wewenang dan berbeda-beda yang selama ini dilakukan Mahkamah Agung terbukti telah menimbulkan viktimisasi struktural, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Sistem Kamar adalah sistem pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung yang diterapkan sebagai jalan keluar dari hal tersebut untuk membantu pengadilan kasasi mencapai kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Sejak diterapkan 1 dekade lalu, sistem ini belum sekalipun pernah dikaji efektivitasnya oleh Mahkamah Agung. Penelitian ini mengkaji efektivitas Sistem Kamar untuk melihat capaian dan perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan baik oleh Mahkamah Agung maupun pihak eksternal di luar Mahkamah Agung untuk mengoptimalkan Sistem Kamar. Penelitian ini melihat Sistem Kamar dari sudut pandang kriminologi, khususnya pencegahan kejahatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan evaluatif dari berbagai data primer dan data sekunder yang terkait dengan Sistem Kamar yang tersebar dalam berbagai bentuk. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Sistem Kamar belum mampu mencapai tujuan utamanya dan karena itu membutuhkan revitalisasi. Revitalisasi Sistem Kamar yang diusulkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pencegahan viktimisasi berbasis situasi untuk menutup berbagai kesempatan yang dapat memicu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum. ......The case examination system as part of law enforcement have a major influence on the achievement of justice and legal certainty. The examination of cases that have exceeded the authority of court of cassation and causing disparity of decisions that carried out by the Supreme Court of Indonesia (Mahkamah Agung) has been proven in causing structural victimization, injustice, and legal uncertainty. The Chamber System is a case examination system in the Mahkamah Agung which is implemented as a solution to out of this matter to assist the court of cassation court to achieve unity in the application of the law and consistency of decisions. Since being implemented a decade ago, Chamber System has never been reviewed for its effectiveness by the Supreme Court. This study examines the effectiveness of the Chamber System to see the achievements and improvements that need to be made by both the Mahkamah Agung and external party to optimize the Chamber System. This discuss and analyze the Chamber System from the point of view of criminology, particularly in crime prevention. This study uses a qualitative and evaluative approach from various primary and secondary data related to the Chamber System that is spread in various forms. This study concludes that the Chamber System has not been able to achieve its main objectives and therefore requires revitalization. The revitalization of Chamber System proposed in this study uses a situation-based approach to close various opportunities that can trigger abuse of power, injustice, and legal uncertainty.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Wahyu Christ Dewandaru
Abstrak :
Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa tidak ada upaya hukum apapun yang dapat dilakukan terhadap Putusan PKPU. Pembatasan upaya hukum ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya asas kepastian hukum terhadap Kreditor dan berkaitan juga dengan sifat dari Forum PKPU yang berdimensi cepat (speedy trial). Namun, diterbitkannya Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 menyebabkan dapat dilakukannya Kasasi sebagai upaya hukum atas Putusan PKPU dengan (2) syarat, yakni permohonan PKPU harus diajukan oleh Kreditor dan rencana perdamaian dari Debitor ditolak oleh Kreditor. Kasasi berfungsi untuk melindungi Debitor dari Kreditor yang memiliki niat jahat yang dengan sengaja mempailitkan Debitor melalui Forum PKPU dan sebagai mekanisme kontrol bilamana terjadi kekeliruan atau kesalahan penerapan hukum oleh Hakim pada pengadilan tingkat bawah. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan penelitian analisis-deskriptif melalui pendekatan kualitatif dan melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah didapatkan kesimpulan bahwa MK tidak memiliki tujuan untuk mengesampingkan ketentuan mengenai upaya hukum Putusan PKPU dalam UUK-PKPU, melainkan suatu upaya untuk melakukan progresivitas hukum atas upaya hukum Putusan PKPU di Indonesia dimana Forum PKPU banyak dijadikan sebagai strategi bisnis yang tidak sehat. ......Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of UUK-PKPU state that no legal action can be taken against the PKPU Decision. This limitation of legal remedies aims to ensure the fulfilment of the principle of legal certainty for Creditors and is also related to the nature of the PKPU Forum which has a speedy trial dimension. However, the issuance of Constitutional Court Decision No. 23/PUU-XIX/2021 resulted in the possibility of Cassation as a legal remedy for PKPU decisions with (2) conditions, namely that the PKPU application must be submitted by a Creditor and the Debtor's peace plan is rejected by the Creditor. Cassation serves to protect the Debtor from malicious creditors who deliberately bankrupt the Debtor through the PKPU Forum and as a control mechanism in the event of errors or misapplication of law by Judges at the lower court level. The author uses the juridical-normative method with descriptive-analytical research through a qualitative approach and analyses the existing problems based on the applicable provisions. The result of this research is the conclusion that the Constitutional Court does not have the aim to override the provisions regarding legal remedies for PKPU Decision in UUK-PKPU, but rather an effort to make legal progressivity on legal remedies for PKPU Decision in Indonesia where PKPU Forum is widely used as an unhealthy business strategy.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radinka Gabriella
Abstrak :
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 telah mengeluarkan putusan yang membuka kesempatan untuk mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan PKPU, di mana putusan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan yang mengatur bahwa terhadap putusan PKPU tidak dibuka upaya hukum apapun kecuali ditentukan lain oleh UU Kepailitan. UU Kepailitan semula menetapkan untuk tidak membuka upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU agar penyelesaian PKPU tidak berlarut-larut serta PKPU dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembentukannya, yaitu untuk menghindarkan debitor dari kepailitan, tetapi dalam perkembangannya, dengan tidak dibukanya upaya hukum apapun atas mekanisme PKPU, sering disalahgunakan oleh kreditor beritikad tidak baik yang dengan sengaja menggunakan mekanisme PKPU sebagai ajang untuk memailitkan debitor agar debitor tidak dapat melakukan perlawanan hukum apapun, maka dari itu penelitian ini juga akan melakukan perbandingan dengan Amerika Serikat terkait dengan mekanisme kepailitan dan PKPU terkait dengan upaya hukum terhadap kedua mekanisme tersebut. Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana peneliti akan melakukan analisis yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, serta pendapat para ahli terhadap upaya hukum kasasi atas putusan PKPU. Penelitian ini menyimpulkan idealnya terhadap putusan PKPU tetap tidak dibuka upaya hukum apapun dan untuk menghindari adanya kreditor beritikad tidak baik, maka pengajuan permohonan PKPU hendaknya diajukan oleh debitor selaku pihak yang memahami kondisi keuangan usahanya.  ......The Constitutional Court based on Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 has issued a decision that opens the opportunity to file a cassation legal remedy for PKPU decisions, where the decision is not comply with Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of the Bankruptcy Law which regulates that PKPU decisions are not allowed any legal remedies unless otherwise provided by the Bankruptcy Law. In addition to causing discrepancies with what has been regulated in the Bankruptcy Law, it also causes discrepancies with the bankruptcy case settlement process which is carried out with a fast process.The Bankruptcy Law originally stipulated not to open any legal remedies against PKPU decisions so that the PKPU settlement would not be protracted and PKPU could be implemented in line with the purpose of its establishment, which is to prevent debtors from bankruptcy, but in the development with the non-opening of any legal remedies for the PKPU mechanism, often abused by the bad faith creditors who deliberately use the PKPU mechanism as a platform to bankrupt the debtor so that the debtor cannot carry out any legal defense, therefore this research will also conduct a comparison with the United States related to the mechanism of bankruptcy and PKPU related to legal remedies for both mechanisms. This research will use normative juridical research methods, where researchers will conduct analysis related to laws and regulations, legal theories, and expert opinions on cassation legal remedies on PKPU decisions. This research concludes that ideally the PKPU decision should not be opened for any legal remedy and to avoid bad faith creditors, the PKPU application should be submitted by the debtor as a party who understands the financial condition of their business.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremy Elbert Yosanto
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai pengajuan upaya hukum kasasi oleh kreditor separatis terkait dengan rencana perdamaian. Walaupun telah diatur bahwa mengenai putusan penundaan kewajiban pembayaran utang, termasuk putusan pengesahan rencana perdamaian, tidak dapat diajukan upaya hukum apapun, namun pada kenyataannya masih banyak yang mengajukan upaya hukum, terutama kasasi terkait dengan putusan-putusan tersebut. Banyak dari upaya kasasi tersebut apabila diajukan, maka oleh Majelis Hakim Agung, permohonan tersebut akan ditolak ataupun tidak diterima. Namun, terdapat juga upaya kasasi yang dilakukan oleh kreditor separatis mengenai rencana perdamaian tersebut yang diterima dan dikabulkan oleh Majelis Hakim Agung. Hal tersebut dapat menyebabkan pihak debitur serta pihak-pihak kreditor lainnya mengalami kerugian dan dampak hukum yang tidak diinginkan. ......This paper discusses the submission of cassation by secured creditors related to the composition plan. Although it has been regulated that regarding the decision to postpone the obligation to pay debts, including the decision to ratify the reconciliation plan, no legal action can be submitted, in reality there are still many who file legal remedies, especially cassation related to these decisions. Many of these cassation efforts, if submitted, will be rejected or not accepted by the Supreme Court of Justice. However, there were also cassation efforts made by secured creditors regarding the composition plan which was accepted and granted by the Supreme Court of Justice. This can cause debtors and other creditor parties to suffer losses and unwanted legal effects.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library