Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosmayati Sonny
Abstrak :
Perwalian mempunyai pengertian orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa dalam melakukan suatu perbuatan hukum Konsep perwalian dalam Kitab Undang Undang Perdata berbeda dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dimana dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan lex specialis dari KUH Perdata menyatakan bahwa perceraian orang tua tidak menyebabkan adanya perwalian dimana kedua orang tua tetap bertanggungjawab untuk mengasuh anak anaknya Perwalian baru akan muncul ketika kedua orang tua meninggal dunia atau kekuasaan orang tua dicabut Dalam Penetapan Pengadilan Negeri Malang Nomor 121 Pdt P 2011 PN Mlg ini hakim memutuskan paman dari pihak ayah menjadi wali dari anak anak di bawah umur dimana ibu kandung dari anak anak tersebut masih hidup Hakim memutuskan dengan pertimbangan bahwa ayah dari anak anak tersebut sudah meninggal sedangkan ibu kandungnya tidak diketahui dimana keberadaannya secara pasti Inilah yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas oleh penulis apakah putusan hakim Pengadilan Negeri Malang sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di indonesia karena dalam ketentuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 ibu kandung lebih berhak atas pengasuhan kedua anak di bawah umur karena kekuasaan orang tua tetap ada setelah perceraian dan bagaimana pertimbangan hakim dapat memutuskan paman sebagai pemegang hak perwalian Dengan metode penelitian deskriptif analitis maka penulis akan menjawab pokok permasalahan dan menemukan solusi dari permasalahan tersebut Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa kekuasaan orang tua dapat digantikan dengan perwalian pihak lain apabila dapat dibuktikan bahwa ibu kandung memenuhi syarat untuk dicabut kekuasaanya sebagai orang tua
Guardianship has a meaning the others as substitution of parents who has to guard a under age child in doing law things The conceptof guardianship in wetboek is different from Law number 1 year 1974 Where it is the lex specialis from wetboek which says that the divorce of parents doesnot make any guardianship in addition the parents still have responsibility to take care the children Guardianship will happen when the parents die or the authority of parents is dismissed In the Malang Court Established Number 121 Pdt P 2011 PN Mlg the judge decided that the father rsquo s brother was the guardian of those children although their mother is still alive The judges considered that their father was dead and their mother was gone This is what will be discussed by the writer whether that judges decision Court of Malang is suitable in Indonesia law because in Law Number 1 year 1974 the real mother is still the one who has to take care the under age children because the authority of parents is forever although they are divorced and how the judges could decide that With analytical descriptive research the writer will answer the main problem and find the solution of that problem In this research found a fact that the authority of parents can be replaced by guardianship if the mother rsquo s authority as a parent could be taken.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54476
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadriah
Aceh: Aceh Justice Resource Centre (AJRC), 2009
346.04 KAD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Atagoran, Teresa Catharina Boi
Abstrak :
Wali sebagai pelaksana kekuasaan orang tua terhadap anak memiliki peran yang signifikan dalam tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. Namun jika pada kenyataannya perwalian tidak berjalan sebagaimana mestinya, wali dapat dicabut oleh Pengadilan setempat. Masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah pengertian dan pengaturan mengenai anak, perwalian, perbandingan pengaturan pencabutan perwalian antara Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta perbandingan pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 302/Pdt.G/2012/PN.Mdo dengan ketentuan pencabutan perwalian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan metode analisa data kualitatif. Perbedaan antara pengaturan pencabutan wali dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali adalah lebih spesifiknya pemohon pencabutan wali, yakni orang tua atau badan hukum atau orang yang akan ditunjuk sebagai wali serta alasan-alasan pencabutan wali yang lebih mendetail dan ada beberapa alasan baru, yakni wali melalaikan kewajibannya, wali tidak cakap melakukan perbuatan hukum, menyalahgunakan kewenangan sebagai wali, melakukan tindak kekerasan terhadap anak yang ada dalam pengasuhannya, dan orang tua dianggap telah mampu untuk melaksanakan kewajibannya. Pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 302/Pdt.G/2012/PN.Mdo seharusnya merujuk pada Undang-Undang Perkawinan sebagai dasar hukum pencabutan wali, namun keputusan hakim dalam kasus ini tetap tepat, karena hakim mempunyai wewenang untuk menggali nilai keadilan dalam masyarakat, yang dilakukan dengan cara mempertimbangan pendapat anak yang berada dalam perwalian. Alasan pencabutan wali, prosedur pencabutan wali dan penunjukan wali baru dalam kasus ini telah sesuai dengan ketentuan pencabutan wali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Citra Sari Dewi
Abstrak :
Alasan peneliti melakukan penelitian ini karena kewajiban pemberitahuan terjadinya perwalian anak yang belum dewasa dengan penetapan Hakim ke Balai Harta Peninggalan Jakarta oleh Pengadilan Negeri tidak dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 369 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Metode dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Untuk studi kepustakaan, dilakukan dengan menelaah bahan-bahan kepustakaan yang dapat menunjang teori dan fakta terkait permasalahan yang sedang diteliti. Bahan penelitian yang digunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini. Sedangkan untuk wawancara, pihak yang akan dijadikan narasumber, yaitu pihak Balai Harta Peninggalan Jakarta, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dan Hakim Pengadilan Negeri Bogor. Metode analisa data yang digunakan dilakukan secara kualitatif dengan hasil penelitian berbentuk deskriptif analisa, yaitu analisa yang digunakan untuk mendapatkan keterangan dan penjelasan yang lebih mendalam tentang permasalahan yang diteliti. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pelaksanaan kewajiban pemberitahuan kepada Balai Harta Peninggalan oleh Pengadilan Negeri tidak dilaksanakan dengan maksimal, bahkan dengan penetapan wali Golongan Tionghoa. Akibatnya pelaksanaan peran Balai Harta Peninggalan sebagai Wali Pengawas menjadi terhambat dan tidak berjalan dengan maksimal. Hal ini diperburuk dengan tidak ada undang-undang yang mengakomodasi kewajiban pemberitahuan telah terjadinya perwalian yang ditetapkan Hakim kepada Balai Harta Peninggalan oleh Pengadilan Negeri untuk Golongan Bumiputera. ...... The reason the researcher conducts this research is because the notification obligation in the event of guardianship upon a minor with Judge 39 s order to the Property and Heritage Agency by the District Court was not executed under Article 369 paragraph 1 of the Civil Code. The method of this research is normative Jurisdictional with the data collection using library research and interview. The library research is performed by examining literatures which can support theories and facts concerning the issue being researched. Sources used are the Civil Code, Article 1 of 1974 of the Marriage Act, and other laws concerning this research. For the interview, the party which will be the interviewees are the Jakarta Property and Heritage Agency, South Jakarta District Court, West Jakarta District Court, East Jakarta District Court, and Bogor District Court. The method of data analysis is qualitative while the result is in the form of a descriptive analysis, which is an analysis used to acquire more in depth information and explanation on the issue being researched. This research concludes that the execution of notification obligation to the Property and Heritage Agency by the District Court was not performed maximally, even with the custody of the Chinese. As a result, the execution of the Property and Heritage Agency 39 s role as the supervisory guardian was late and did not performed maximally. This is worsen by the absence of legislation that accommodate notification obligation on the guardianship ordered by the Judge to the Property and Heritage Agency by the District Court for the native.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, E. Fernando M.
Abstrak :
Ernst Utrecht adalah salah seorang sarjana hukum terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Pandangan politiknya menempatkan dirinya sebagai seorang intelektual organik; sarjana hukum yang terlibat dan mengutarakan kesadaran umum yang ada di dalam masyarakat, baik itu di arena akademis, maupun di arena politis. Keterlibatannya yang kontroversial ini berakhir tragis, karena membuatnya meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Artikel ini memaparkan dan merefleksikan beberapa ide hukum dan politik Utrecht yang cukup kontroversial; yaitu, pertama, pengayoman sebagai tujuan hukum Indonesia, sebuah tujuan hukum yang nyaris tidak termasuk arus utama tujuan hukum dalam teks-teks hukum masa kini, karena ia merelevansikannya dengan ide revolusi dan ajaran Marxisme, namun dengan cara yang lebih kritis. Kedua, Pancasila sebagai etika kenegaraan dan grundnorm, tema yang terus menjadi perdebatan hingga masa kini, walaupun Kelsen jelas-jelas mengatakan bahwa grundnorm harus bersih dari unsur bukan hukum, dan oleh karenanya menerima Pancasila sebagai etika kenegaraan berimplikasi hilangnya dasar teoritis menerima Pancasila sebagai grundnorm. Yang terakhir mengenai asas legalitas, yang ia kritik secara keras, karena keberadaan asas tersebut hanya merefleksikan kepentingan kaum yang berkuasa. Pemikirannya ini semua tak pelak lagi mengokohkan predikatnya sebagai salah seorang sarjana hukum terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. ...... Ernst Utrecht is one of the best legal scholars Indonesia has ever had. His political views position him as an organic intellectual; a legal scholar involved in and expressing the social consciousness, both in the academic as well as in the political arena. His controversial involvement came to a tragic end, causing him to leave Indonesia for good. This article describes and reflects on some of Utrecht?s rather controversial ideas about law and politics; namely, first, "pengayoman" (guardianship) the purpose of law in Indonesia, a purpose of law which is almost completely absent from the mainstream conception of the purpose of law in contemporary legal texts, as he relates it to the idea of revolution and the teaching of Marxism, albeit taking a more critical approach. Second, Pancasila as state ethics and grundnorm, a theme which remains debated up to the present time, in spite of Kelsen?s express statement that grundnorm must be clean from non-legal elements, thus the implication of recognizing Pancasila as state ethics is that Pancasila as grundnorm loses its theoretical ground. Finally, the principle of legality, subject to Utrecht?s strong critique for reflecting the interest of those in power only. All of his above described thinking undoubtedly reaffirm Utrecht?s predicate as one of the best legal scholars Indonesia has ever had.
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cornelia Riani Iskandar
Abstrak :
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan membedakan harta benda perkawinan berupa harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dan harta bawaan yang diperoleh masing-masing suami isteri serta berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pada saat atau sebelum perkawinan para pihak dapat membuat perjanjian perkawinan yang memisahkan harta kekayaan mereka sehingga masing-masing mengurus sediri harta baik yang dibawa ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh sepanjang perkawinan. Lain halnya jika terdapat penetapan pengadilan yang menetapkan salah satu pihak baik suami maupun isteri berada dalam pengampuan dan tidak dapat mengurus hartanya, sedangkan sidang perceraian sedang berlangsung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif, dimana penelitian mengacu pada norma-norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan harta perkawinan dan perjanjian perkawinan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder berupa bahan kepustakaan. Kesimpulan yang diperoleh adalah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan belum mengatur secara lengkap mengenai harta bersama dan perjanjian perkawinan. Jika melihat tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga yang baik maka pengurusan suami terhadap harta benda istri dapat dibenarkan selama perkawinan tersebut belum berakhir. Suami dapat melakukan pengurusan terhadap harta isteri namun apabila setelah pengampuan tersebut berakhir maka suami harus bertanggung jawab terhadap pengurusan tersebut kepada Balai Harta Peninggalan selaku pengampu pengawas. Pengurusan harta tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan isteri. Apabila terdapat kerugian akibat kelalaian suami maka suami wajib mengganti kerugian tersebut.
ABSTRACT
Law Number 1 of 1974 on Marriage defines two types of marital properties: joint property, which is acquired during marriage, and separate property, which is acquired by each husband and wife and is under each party’s power, providing that it is never stated otherwise. On the occasion of or prior to marriage, both parties may produce a prenuptial agreement which separates their properties, so that they may administer their own properties which were acquired by each party both before or during the marriage. Nevertheless, similar arrangement does not apply when a court’s decision has ruled that one of the parties (either the husband or the wife) is put under the guardianship of her/his spouse and deemed incapable of administering her/his own property, nevertheless, those parties eventually applied for a divorce. This study applies a juridical-normative research approach in which references are made to legal norms stipulated in laws on the management of marital properties and prenuptial agreement. This study utilizes secondary data in the form of literature resources. It concludes that Law Number 1 of 1974 on Marriage does not provide comprehensive regulation on joint property and prenuptial agreement. Based on the assumption that a husband should be a responsible head of his family, which appointed a husband as the guardian of his wife’s property, is justifiable provided that the marriage has not been terminated. During marriage, a husband can administer his wife’s property; however, when the marriage is terminated, he has to be deemed responsible for anything related to the said property during his guardianship to Balai Harta Peninggalan as a supervisor guardians. He must administer the property only for the benefit of his wife. Should there be any damage or loss due to his negligence, he is required to perform indemnification.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilia Irawan
Abstrak :
Male guardianship adalah konsep untuk keamanan perempuan Saudi di area publik. Konsep tersebut merupakan proteksi bagi perempuan untuk berkontribusi di ranah sosial, ekonomi dan politik. Male guardianship terhubung pada budaya patriarki. Hal itu memunculkan diskriminasi dan subordinasi pada posisi perempuan---Perempuan Saudi tidak memiliki kesempatan untuk aktif di publik dan terjadi pembatasan akses seperti larangan menyetir, terlibat dalam reformasi politik, keaktifan dalam komunitas sosial, pembatasan lahan pekerjaan sesuai kemampuan mereka, pembatasan mata kuliah dalam pendidikan dan lain-lain. Kasus-kasus tersebut merupakan permasalahan Hak Asasi Manusia di Arab Saudi. Puteri Ameera Al-Taweel, Pangeran Al-Waleed bin Abd. Aziz yakni dua elite yang memproteksi kebijakan kaku bagi perempuan di KSA dan mereka mendukung perempuan untuk bebas dan mendapatkan hak asasi mereka. Respon dalam memprotes isu perempuan telah dilakukan oleh Raja Abdullah bin Abd. Aziz. Tahun 2005 merupakan tahun transformasi kebijakan Raja Abdullah bin Abd. Aziz. Perempuan Saudi diberi hak untuk berkontribusi sesuai dengan kebutuhan proyek modernisasi dan sebagai langkah priventif untuk membatasi dominasi elite baru di KSA. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-eksplanasi dengan teorisasi induksi dan menggunakan data primer dan sekunder dalam menganalisis kasus perempuan. ...... Male guardianship is the concept to secure Saudi women in public area. It is protection for women to contribute in social, economic, politic situations. Male guardianship related Patriarkh culture. It causes to emerge discrimination and subordination in women position---Women do not have chances to active in public and limited access such as forbiden for women to drive, join in political reform, active in social community, limitation in getting work as good as their capibility, limited major in education etc. Thoses are the cases in Saudi women human rights. Princess Ameera Al-Taweel, Prince Al Waleed bin Abd. Aziz are two of elites that protest the rigid women policy in KSA and they supporting women to be free and get the human rights. Responses to hid protest and women issue have been done by Abdullah bin Abd. Aziz King. In 2005, Abdullah bin Abd. Aziz King becomes transformation in women policy. Women are given rights to contribute as need for Saudi modernitation projects and preventing step to limit domination new elite in KSA. This research uses qualitatif-explanation method within the induction theory and uses primer and secondary data to analysis women case.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadilla
Abstrak :
Pengangkatan anak idealnya dilakukan oleh orang tua yang utuh karena dianggap mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan demi perkembangan anak yang lebih baik. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi orang tua tunggal untuk melakukan pengangkatan anak, terutama apabila seseorang mampu secara finansial dan sosial dalam mengurus, mengasuh, mendidik, dan memberikan kasih sayang demi kepentingan terbaik anak dan kesejahteraan anak di masa depan. Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal memiliki akibat hukum terhadap perwalian dan hak mewaris. Namun, akibat hukum terhadap perwalian dan hak mewaris memiliki akibat yang berbeda-beda antara hukum adat, hukum perdata barat, dan hukum Islam. Orang tua tunggal yang hendak melakukan pengangkatan anak harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Menteri Sosial, untuk kemudian mendapatkan penetapan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif dengan menghasilkan data deskriptif analitis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa peraturan mengenai pengangkatan anak, khususnya pengangkatan anak oleh orang tua tunggal di Indonesia masih tersebar dalam beberapa peraturan. Peraturan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal secara implisit diatur dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang hanya berlaku bagi golongan tionghoa. Kemudian, hukum nasional yang mengatur mengenai kebolehan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal diatur dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983, dan peraturan lebih rinci terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/Huk/2009. Selain itu, praktik pengangkatan anak oleh orang tua tunggal dalam peradilan Indonesia masih belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat berdampak pada kesejahteraan dan juga perlindungan terhadap anak. Pembuat undang-undang seharusnya melakukan unifikasi hukum agar dapat memberikan kepastian hukum kepada Hakim maupun masyarakat, serta meminimalisir terjadinya permasalahan-permasalahan dalam proses pengangkatan anak oleh orang tua tunggal. ......Adoption of children is ideally carried out by parents who are intact because they are considered capable of providing welfare and protection for the better development of children. However, it is possible for single parents to adopt children, especially if a person is financially and socially capable of fostering, nurturing, educating, and providing affection for the best interests of the child and the child's welfare in the future. Adoption by a single parent also has legal implications for guardianship and inheritance rights. However, the legal consequences for guardianship and inheritance rights vary between customary, civil, and Islamic law. Single parents who want to adopt a child must first obtain permission from the Minister of Social Affairs, and then obtain a court order. The research method used in this study is normative juridical using secondary data which includes primary legal materials and secondary legal materials. The analytical method used in this study is a qualitative analysis method by producing analytical descriptive data. Based on the research conducted, it is known that regulations regarding child adoption, especially adoption by single parents in Indonesia are still scattered in several regulations. Regulations for adopting children by single parents are implicitly regulated in Staatsblad Number 129 of 1917, which only applies to the Chinese group. Then, the national law governing the permissibility of adopting children by single parents is regulated in SEMA Number 6 of 1983, and more detailed regulations are contained in Regulation of Government of The Republic of Indonesia Number 54 of 2007 and Minister of Social Regulations Number 110/Huk/2009. In addition, the practice of adopting children by single parents in Indonesian courts still does not comply with statutory provisions, so legislators should carry out unification of law to provide legal certainty to judges and the public, as well as minimize the occurrence of problems in the process of adoption by single parents.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library