Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulia Zubir
"Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian di dunia yang akan terus meningkat dan menjadi pandemi tanpa memandang batas negara. Setiap tahun di dunia sebanyak 3.8 juta laki-laki dan 3.4 jiwa wanita meninggal karena penyakit jantung koroner. Perubahan daya hidup, peningkatan usia harapan hidup dan urbanisasi mendorong timbulnya abnormalitas metabolisme seperti obesitas, dislipidemia, resistensi insulin dan hipertensi. Kumpulan abnormalitas metablik ini disebut dengan sindroma metabolik pada akhirnya akan meningkatkan kemungkinan menderita penyakit jantung koroner tiga kali lipat Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuinya hubungan sindroma metabolik dengan penyakit jantung koroner di RS. DR. M. Djamil Padang Tahun 2008 setelah dikontrol dengan variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol dan aktivitas fisik.
Desain penelitian ini adalah kasus kontrol. Kasus adalah penderita baru penyakit jantung koroner berdasarkan pemeriksaan EKG oleh dokter, penyakit tersebut baru terdiagnosis pada Bulan Januari sampai Mei 2008. Kontrol adalah semua pengunjung ang dinyatakan sebagai bukan penderita penyakit jantung koroner, pada Bulan Januari sampai Mei 2008 berdasarkan pemeriksaan EKG oleh dokter. Sindroma Metabolik menurut AHA/NHLBI 2005 ditegakkan diagnosis bila terdapat empat kriteria dibawah ini: tekanan darah > 130/85 mmHg, kadar trigliserida darah >150mg/dl, kolesterol HDL pada laki-laki < 40 mg/dl dan wanita < 50 mg/dl dan kadar gula darah puasa > 100mg/dl Telah dilakukan panelitian terhadap 300 orang responden terdiri dari 150 pada kelompok kasus dan 150 pada kelompok kontrol.
Hasil analisis multivariat didapatkan kejadian penyakit jantung koroner (PJK) berisiko 4,67 kali lebih besar pada orang yang mengalami sindroma metabolik dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami sindroma metabolik setelah dikontrol dengan variabel jenis kelamin (95% CI:1,20-18,06).
Pada hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sindroma metabolik dengan kejadian penyakit jantung koroner di RS. DR. M. Djamil Padang tahun 2008."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T21279
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Yuneva
"Saat ini, banyak pekerjaan yang dapat dilakukan dengan aktivitas fisik yang minimal dalam durasi yang cukup lama. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab munculnya sindroma metabolik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan aktivitas fisik antara karyawan FKUI dengan dan tanpa sindroma metabolik. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Data penelitian diambil dari medical check-up tahun 2012 dan pengisian kuesioner Bouchard pada April-Mei 2015. Hasil analisis menunjukan tidak adanya perbedaan bermakna aktivitas fisik antara kedua kelompok (p>0,050). Dapat disimpulkan bahwa sindroma metabolik merupakan penyakit multifaktorial yang dapat disebabkan kurangnya aktivitas fisik dan faktor-faktor metabolik lainnya.

These days, there are plenty jobs that involve mild physical activity for long periods of time. It can be one of the causes of metabolic syndrome. This research was done to find out whether the physical activity between employees of FMUI with and without metabolic syndrome were different using cross-sectional method. The data were collected from medical check-up results in 2012 and filled-out questionnaire in April-May 2015. The analysis results showed that the physical activity between the two groups (p>0.050). It was concluded that metabolic syndrome is a multifactorial illness caused by the lack of physical activity, as well as another metabolic factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Kelvianto
"Gangguan psikiatri meningkatkan risiko penderitanya mengalami obesitas dan sindroma metabolik akibat interaksi faktor genetik, lingkungan, gejala penyakit psikiatri dan pengobatannya. Pengaturan asupan makan dan perubahan pola hidup tetap menjadi tatalaksana awal pada pasien dengan gangguan psikiatri. Penggunaan metformin telah disarankan dalam studi sebagai adjuvan dalam tatalaksana berat badan pada pasien gangguan psikiatri terutama yang menggunakan obat psikiatri dalam jangka panjang. Empat pasien rawat inap dengan gangguan psikiatri dipantau selama perawatan dan sebulan setelah rawat jalan dengan kontak per minggu. Dilakukan pencatatan masalah subjektif, objektif, riwayat peningkatan berat badan, riwayat pengobatan pola asupan serta pengukuran antropometri dan komposisi tubuh. Pola asupan harian dan 24 jam terakhir dikumpulkan dengan metode FFQ semi kuantitatif dan 24h dietary recall. Perencanaan terapi medik gizi dilakukan dengan restriksi kalori, peningkatan asupan protein, penyesuaian asupan karbohidrat, motivasi melakukan aktivitas fisik yang cukup dan pemberian metformin dengan dosis bertahap. Tiga pasien memiliki status gizi obes 2, 1 pasien memiliki status gizi obes morbid yang disertai massa lemak yang tinggi dan massa otot yang rendah. Seluruh pasien memiliki lingkar pinggang diatas normal, kadar kolesterol total, LDL yang tinggi dan HDL yang rendah. Tiga pasien tidak mematuhi preskripsi selama perawatan. Setelah rawat jalan, dua pasien memiliki caregiver yang memberikan pemantauan dan motivasi yang baik terhadap pasien selama sebulan dan terdapat penurunan berat badan, penurunan lingkar pinggang, dan perbaikan komposisi tubuh. Terapi medik gizi pada pasien dengan gangguan psikiatri membutuhkan kerjasama dengan caregiver agar dapat bermanfaat bagi pasien.

Patients with psychiatric disorders experienced an increased risk of obesity and metabolic syndrome due to genetic, environmental, disease symptoms and medication factor. Diet and lifestyle modification remained the firstline modalities for management of obesity in patients with psychiatric disorders. Metformin as an adjuvant therapy is recommended for preventing weight gain in patients especially with long-time psychiatric medication usage. Four inpatients with various psychiatric disorders were monitored during hospital stay and one month after discharge with weekly contact for monitoring. Subjective symptoms and objective signs, including history of weight gain, psychiatric medication history, intake pattern, anthropometric and body composition measurements were recorded. Daily intake pattern and 24 hour food intake were recorded and analyzed with semi-quantitative FFQ method and 24h food recall, respectively. Energy restriction, adjustment of protein and carbohydrate intake, physical activity encouragement and oral metformin administration with increasing dose were implemented in all patients. Three patients were grade 2 obese, one patients was morbidly obese with high fat mass and low muscle mass. All patients showed an increased waist circumference, high total cholesterol and LDL level, and low HDL level. Three patients failed to comply with nutrition prescription. After discharge, two patients had a supportive caregivers that gave an adequate monitoring and encouragement. Weight loss, reduced waist circumference, and better body compositition were found in 2 patients with supportive caregivers. Medical nutrition therapy on patient with psychiatric disorder will benefit greatly from supportive caregiver to bring benefit for patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Yogaswara
"Latar Belakang: Komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh disfungsi endotel menjadi salah satu penyebab mortalitas yang cukup tinggi pada pasien Artritis Reumatoid AR. Faktor Reumatoid RF merupakan autoantibodi yang sering dijumpai pada AR dan diduga dapat meningkatkan respon inflamasi dan disfungsi endotel. Sindroma metabolik dapat pula meningkatkan disfungsi endotel. Belum ada studi yang menilai korelasi RF dengan disfungsi endotel pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Metode: Penelitian desain potong lintang terhadap pasien AR dewasa yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo tanpa sindroma metabolik. Pengumpulan data dilakukan sejak Februari hingga Maret 2018 dari data penelitian sebelumnya yang diambil periode Februari 2016 hingga September 2017. Kadar RF dan VCAM-1 dinilai melalui pemeriksaan serum darah dengan metode ELISA. Analisis korelasi antar kedua variabel dibuat dengan SPSS 20,0.
Hasil: Sebanyak 46 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar 95,7 subjek adalah perempuan dengan rerata usia 44,43 tahun, median lama sakit 36 bulan, dan sebagian besar memiliki derajat aktivitas sedang 52,2. sebagian besar pasien memiliki RF positif 63. Korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 memiliki kekuatan korelasi yang lemah tetapi tidak bermakna secara statistik r = 0,264; p = 0,076 . Subjek dengan RF positif memiliki kadar VCAM-1 yang lebih tinggi 626,89 vs 540,96 ng/mL.
Simpulan: Belum terdapat korelasi antara RF dengan VCAM-1 pada pasien Artritis Reumatoid tanpa sindroma metabolik.

Background: Cardiovascular complications caused by endothelial dysfunction become one of the highest causes of mortality in patients with Rheumatoid Arthritis RA . Rheumatoid Factor RF is an autoantibody that is commonly found in RA and is thought to increase the inflammatory response and endothelial dysfunction. Metabolic syndrome may also increase endothelial dysfunction. There have been no studies assessing correlation between RF and endothelial dysfunction in RA patients without metabolic syndrome.
Aim: To determine the correlation between RF levels with VCAM-1 levels in RA patients without metabolic syndrome.
Method: Cross sectional design study of adult AR patients treated in Rheumatology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital without metabolic syndrome. Data collection was conducted from February to March 2018 from the previous research data taken from February 2016 to September 2017. The levels of RF and VCAM-1 were assessed through blood serum testing using the ELISA method. Correlation analysis between the two variables was made with SPSS 20.0 for windows version.
Results: A total of 46 subjects were included in the study. Most 95.7 subjects were women with an average age of 44.43 years, median duration of 36 months, and most had moderate activity 52.2. Most patients had a positive RF 63. The correlation between RF levels and VCAM-1 levels had a weak correlation strength but was not statistically significant r = 0.264; p = 0.076. Subjects with RF positive had higher VCAM-1 levels 626.89 vs 540.96 ng/mL.
Conclusion: We did not found correlation between RF and VCAM-1 in Rheumatoid Arthritis patients without metabolic syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Yogaswara
"Pendahuluan:
Komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh disfungsi endotel menjadi salah satu penyebab mortalitas yang cukup tinggi pada pasien Artritis Reumatoid (AR). Faktor Reumatoid (RF) merupakan autoantibodi yang sering dijumpai pada AR dan diduga dapat meningkatkan respon inflamasi dan disfungsi endotel. Sindroma metabolik dapat pula meningkatkan disfungsi endotel. Belum ada studi yang menilai korelasi RF dan disfungsi endotel pada pasien AR tanpa sindroma metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Metode:
Penelitian desain potong lintang terhadap pasien AR dewasa yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo tanpa sindroma metabolik. Pengumpulan data dilakukan sejak Februari hingga Maret 2018 dari data penelitian sebelumnya yang diambil periode Februari 2016 hingga September 2017. Kadar RF dan VCAM-1 dinilai melalui pemeriksaan serum darah dengan metode ELISA. Korelasi antarkedua variabel dibuat dengan analisis korelasi Spearman menggunakan SPSS versi 20.0.
Hasil:
Sebanyak 46 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar (95,7%) subjek adalah perempuan dengan rerata usia 44,43 tahun, median lama sakit 36 bulan, dan sebagian besar memiliki derajat aktivitas sedang (52,2%). sebagian besar pasien memiliki RF positif (63%). Korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 memiliki kekuatan korelasi yang lemah tetapi tidak bermakna secara statistik (r=0,264; p=0,076). Subjek dengan RF positif memiliki kadar VCAM-1 yang lebih tinggi (626,89 vs. 540,96 ng/mL).
Simpulan:
Belum didapatkan korelasi antara RF dengan VCAM-1 pada pasien Artritis Reumatoid tanpa sindroma metabolik."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Septiandy Runtuk
"Latar Belakang: Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang kompleks
dengan angka harapan hidup yang rendah karena penyakit kardiovaskular. Orang
dengan skizofrenia rentan mengalami sindroma metabolik meskipun tidak
mendapat pengobatan antipsikotika. Sebuah penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo menunjukkan prevalensi sindroma metabolik sebanyak 3,3%
sampai 68% yang berhubungan dengan stress oksidatif dan berpotensi menurunkan
produksi ATP. Penelitian ini berusaha menjelaskan patofisiologi sindroma
metabolik pada skizofrenia dan hubungannya terhadap polimorfisme gen GCLC
GAG TNR, stres oksidatif dan aktivitas metabolisme seluler.
Metode: Penelitian merupakan penelitian observasional analitik. Subjek sebanyak
25 pasien skizofrenia dan 25 pasien kontrol sehat dilakukan pengambilan fibroblas
dan PBMC kemudian dilakukan pengamatan polimorfisme gen GCLC GAG TNR,
stres oksidatif (kadar MDA, MnSOD, GSH, GSSG, dan rasio GSH/GSSG),
aktivitas metabolisme seluler (kadar ATP), dan parameter sindroma metabolik
(lingkar pinggang, Indeks Massa Tubuh (IMT), LDL-c, HDL-c, TG, HbA1C, dan
tekanan darah). Hubungan dianalisis dengan uji komparasi atau uji korelasi.
Hasil: Terdapat korelasi pada sel fibroblas dengan PBMC yaitu korelasi kuat pada
MnSOD (r=0.797) dan korelasi sedang pada GSSG (r=0.581). Didapatkan
perbedaan yang bermakna pada kadar stres oksidatif yaitu MDA (p=0.013), GSH
(p≤0.001), GSSG (p≤0.001), dan rasio GSH/GSSG (p≤0.001) pada kelompok
skizofrenia dan kontrol serta didapatkan hubungan polimorfisme gen GCLC GAG
TNR terhadap MDA (p=0.054) dan GSSG (p=0.010) pada kelompok skizofrenia
tetapi tidak ditemukan perbedaan kadar ATP dan hubungan antara polimorfisme
GCLC GAG TNR terhadap kadar ATP. Pada orang dengan skizofrenia didapatkan
lingkar pinggang, IMT, LDL-c, dan HDL-c yang lebih rendah
(p=0.025;p=0.003;p=0.022;p=0.010) dan TG yang lebih tinggi (p=0.038)
dibandingkan kelompok kontrol.
Simpulan: Polimorfisme gen GCLC GAG TNR memiliki hubungan terhadap stres
oksidatif tetapi tidak ada hubungan terhadap aktivitas metabolisme seluler. Tidak
terdapat perbedaan aktivitas metabolisme seluler pada orang dengan skizofrenia
dan tidak ditemukan hubungan antara metabolisme seluler dengan sindroma
metabolik. Terjadi perubahan kadar penanda stres oksidatif yang memiliki
hubungan terhadap sindroma metabolik pada orang dengan skizofrenia

Background: Schizophrenia is a complex severe mental disorder with low life
expectancy due to cardiovascular disease. People with schizophrenia is prone to
metabolic syndrome even if they do not receive antipsychotic. One study in Cipto
Mangunkusumo General Hospital showed the prevalence of metabolic syndrome
as much as 3.3% to 68% which correlate with oxidative stress and has the potential
to reduce ATP production. This study aims to explain the pathophysiology of the
metabolic syndrome in schizophrenia and its relationship to the GCLC GAG TNR
gene polymorphism, oxidative stress and metabolic activity.
Methods: This research is an observational analytic study. Twenty five
schizophrenic patients and 25 healthy control patients were admitted to study.
Fibroblast and PBMC (peripheral blood mononuclear cell) were taken to measure
GCLC GAG TNR gene polymorphism, oxidative stress (levels of MDA, MnSOD,
GSH, GSSG, and GSH/GSSG ratio), cellular metabolic activity (ATP levels), and
metabolic syndrome parameters (waist circumference, body mass index (BMI),
LDL-c, HDL-c, TG, HbA1C, and blood pressure). Relationship between variables
were analyzed by comparison test or correlation test.
Results: There is a correlation in fibroblast cells with PBMC with a strong
correlation in MnSOD (r=0.797) and a moderate correlation in GSSG (r=0.581).
There were significant differences in the levels of oxidative stress, namely MDA
(p=0.013), GSH (p≤0.001), GSSG (p≤0.001), and GSH/GSSG ratio (p≤0.001) in
the schizophrenia and control groups. There was correlation found for the
polymorphism of the GCLC GAG TNR gene towards MDA (p=0.054) and GSSG
(p=0.010) in the schizophrenia group but found no difference in ATP levels in the
schizophrenia and control groups alongside with GCLC GAG TNR polymorphism
and ATP levels. In people with schizophrenia, waist circumference, BMI, LDL-c,
and HDL-c were lower (p=0.025;p=0.003;p=0.022;p=0.010) and higher TG
(p=0.038) than the control group.
Conclusion: GCLC GAG TNR gene polymorphism has correlation to oxidative
stress but not to cellular metabolic activity. There is no difference in metabolic
activity in people with schizophrenia and no relationship between cellular
metabolism and the metabolic syndrome. There is alteration of oxidative stress
markers which have an association with metabolic syndrome in people with
schizophrenia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Safitri
"Sindroma metabolik merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perhatian. Prevalensi sindroma metabolik di Indonesia diketahui sebesar 21,66%, dengan prevalensi di Jakarta sebesar 37,5%. Kejadian sindroma metabolik seringkali dihubungkan dengan faktor risiko terkait gaya hidup di antaranya aktivitas fisik dan perilaku sedenter. Berdasarkan data Riskesdas 2013 dan 2018, terjadi penurunan tingkat aktivitas fisik pada penduduk Indonesia. Pekerja perkantoran merupakan salah satu populasi yang berisiko terhadap penurunan aktivitas fisik. Hal ini karena rendahnya kebutuhan akan aktivitas fisik selama bekerja dan tinggnya waktu yang dihabiskan dalam posisi sedenter. Pandemi COVID-19 menyebabkan pemberlakuan pembatasan aktivitas dan kebijakan work from home (WFH). Kebijakan tersebut menyebabkan semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik pada pekerja disertai peningkatan perilaku sedenter yang menyebabkan pekerja menjadi lebih rentan mengalami sindroma metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19, serta mengetahui faktor-faktor lain yang memengaruhi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder yang diperoleh dari data Posbindu PTM yang dilaksanakan pada salah satu institusi pendidikan negeri di DKI Jakarta. Subjek penelitian berjumlah 270 pekerja berusia 22-58 tahun yang terdiri dari 99 laki-laki dan 171 perempuan. Pada analisis bivariat ditemukan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian sindroma metabolik (p = 0,321), namun ditemukan hubungan yang signifikan antara waktu sedenter (p = 0,017), usia (p <0,001), dan jenis kelamin (p = 0,04). Berdasarkan analisis multivariat, ditemukan variabel usia yang memengaruhi kejadian sindroma metabolik. Dapat disimpulkan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dan tidak memengaruhi kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19.

Metabolic syndrome is one of the health problems of concern. The prevalence of metabolic syndrome in Indonesia is known to be 21.66%, with a prevalence in Jakarta of 37.5%. The incidence of metabolic syndrome is often associated with lifestyle-related risk factors, including physical activity and sedentary behavior. Based on data from Riskesdas 2013 and 2018, there was a decrease in the level of physical activity in the Indonesian population. Office workers are one of the populations at risk for decreased physical activity. This is due to the low need for physical activity during work and the high time spent in a sedentary position. The COVID-19 pandemic has led to the implementation of activity restrictions and work from home (WFH) policies. This policy causes a decrease in the level of physical activity in workers accompanied by an increase in sedentary behavior which causes workers to become more susceptible to metabolic syndrome. This study aims to determine the relationship between the level of physical activity with the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic, as well as to determine other influencing factors. This study used a cross-sectional design with secondary data obtained from Posbindu PTM data which was carried out at one of the public educational institutions in DKI Jakarta. The research subjects were 270 workers aged 22-58 years consisting of 99 men and 171 women. Bivariate analysis found that the level of physical activity was not significantly associated with the incidence of metabolic syndrome (p = 0.321), but found a significant relationship between sedentary time (p = 0.017), age (p < 0.001), and gender (p = 0 ,04). Based on multivariate analysis, it was found that age variable that affects the incidence of metabolic syndrome. It can be concluded that the level of physical activity is not significantly related and does not affect the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library