Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moh. Sarief Arief
"Kebijakan pemerintah kolonial terhadap perfilman di Hindia Belanda tergantung kepada satu hal. Yaitu, semakin menguatnya penonton pribumi memasuki pasaran perfilman, dalam arti pengkonsumsi bentuk film. Bila film-film itu secara _nuansa_ dapat memberikan hasil relatif positif terhadap pemerintah kolonial tentulah kebijakan pemerintah kolonial tidak akan mengutak-katik keberadaan bentuk perfilman ini. Yang terjadi adalah, penonton pribumi yang ketika itu menjadi penonton aktif di bioskop banyak mengkonsumsi film-film keluaran Hollywood yang jelas-jelas memperlihatkan kebrutalan orang barat, ketidak efektifan hukum yang dipergunakan. Kesemuanya ini jelas-jelas akan mengaburkan pandangan orang pribumi terhadap orang barat. Citra yang kemudian ditakutkan oleh pemerintah kolonial adalah orang pribumi melihat orang baratbukan sebagaimana yang telah diracik oleh pemerintah kolonial dengan ujudnya menjadikan orang barat orang nomor satu di Hindia Belanda yang secara tak tertulis menyiratkan bahwa orang baratlah yang harus dicontoh dalam hidup sehari-hari orang pribumi. Ketidak sinkronan ini menyebabkan pemerintah kolonial mengambil kebijakan. Kebijakan menghentikan masuknya film import amat mustahil, karena bentuk hiburan film ketika itu bisa dikatakan menjadi mata pencaharian cukup baik bagi beberapa orang Belanda dan Indo Belanda. Untuk itulah pemerintah kolonial mengambil dua kebijakan. Pertama, kebijakan memperketat jaringan perluasan pemutaran film import. Ini ditempuh dengan pembentukan komisi sensor serta hak dan wewenang anggota komisi sensor. Sayangnya, komisi sensor ini tidaklah terikat dengan lembaga apapun dalam birokrasi kolonial. Sehingga anggota komisi sensorpun tidak bertanggung jawab secara formal terhadap kekuasaan pemerintah. Hal ini tercermin dengan direvisinya beberapa kali kebijakan pemerintah kolonial akan komisi sensor film ini. Kebijakan kedua adalah membantu dasar hukum peredarannya serta menyokong fasilitas pembuatannya. Namun konsekuensi yang harus dibuat adalah film-film produksi di Hindia Belanda haruslah dapat menyiratkan pula bagaimana rendahnya moral dan tidak taatnya orang pribumi dengan hukum yang ada. Hal ini dikaitkan dengan keinginan pemerintah kolonial untuk menyemakan citra buruk orang barat dalam fil Genre Hollywood dengan film produksi dalam negeri. Kondisi inilah yang tidak disadari oleh pemerintah Indonesia setelah tampuk kedaulatan diakui oleh seluruh bangsa di muka ini. Jadilah kemudian persinggungan yang ada adalah monopoli film dalam kerangka mengindonesiakan film Indonesia. Bukan berupaya memberikan alternatif citra lain terhadap film-film buatan dalam negeri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Irawanto
Yogyakarta: Media Pressindo, 1999
791.43 BUD f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Pada dekade 1940an dan 1950an, film-film neorealis Italia dianggap sebagai salah satu
dari gerakan dan pencapaian Film terbaik di dunia hingga saat ini. Tetapi, membincangkannya
lagi, apakah sudah kadaluwarsa? atau masihkah relevan saat ini, mengingat banyak sekali
pencapaian, kemajuan, dan perkembangan dalam dunia perfilman internasional? Artikel ini
mencoba mendiskusikan pendapat bahwa madzhab neorealisme Italia masih relevan untuk
sinema dunia saat ini,khususnya di Asia dan Indonesia. Misalnya, film-film awal Usmar
Ismail, Bapak Film Indonesia, diwarnai oleh gaya dan elemen aliran ini, dan banyak yang
tidak tahu hal ini. Baaimana Neorealisme Italia mempengaruhi Sinema dunia ketiga,
khususnya sineas Asia dan Indonesia? Tulisan ini akan menjawabnya. Tetapi, diskusi itu
menjadi lebih luas ketika kita menganalisis pengaruhnya pada satu film mutakhir. "Apakah
ia film neorealis?", "apakah film ini bagian dari neorealisrne? Artikel ini menyatakan bahwa
tidak ada yang namanya film neorealis murni, dan hal itu dimulai sejak dari awal mula
gerakan. Argumen ini akan mengubalh banyak hal, misalnya kemungkinan bahwa seorang
akademisi untuk nrelakukan pembacaan dari dekat terhadap satu film terkini lewal element-
elemen neorealis.
"
Jurnal Kajian Wilayah Eropa Vol. 4 No. 3 2008: 57-66, 2008
JKWE-4-3-2008-57
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jugiarie Soegiarto
"ABSTRAK
Film Mother Dao The Turtlelike(fMD) merupakan sebuah film yang disusun dari penggalan-penggalan film dokumenter Hindia-Belanda (1912-1933). Penggalan film dari masa kolonial tersebut disusun dalam bentuk kolase dan dibubuhi sonor berupa bunyi-bunyian, tembang dalam bahasa Jawa dan Sunda, puisi dalam bahasa Indonesia serta sebuah mitos penciptaan Nias. Disertasi ini berusaha mengungkap cara sineas memanfaatkan unsur-unsur sinematografis dan naratif untuk menawarkan suatu memori kolektif poskolonial yang lebih kritis.
Dengan memperlakukannya sebagai teks, analisis struktur film dilakukan dengan menggunakan teori naratologi film. Hasil analisis memperlihatkan perbedaan pandangan tentang kolonialisme antara para kinematograf film Hindia-Belanda(fHB) dan sineas fMD. Bagi para kinematograf dan pemesannya kolonialisme diyakini sebagai upaya pengentasan penduduk dan pengembangan wilayah koloni. Pandangan sineas fMD sebagaimana tercermin dalam sonor memperlihatkan hal yang bertentangan: kolonialisme adalah eksploitasi manusia atas manusia dan alam.
Susunan berbentuk kolase dan pengimbuhan sonor mengubah gambaran kolonial dalam fHB. Dengan cara itu sineas menjadikan filmnya sebagai langkah awal pembentukan memori poskolonial yang lebih kritis.

ABSTRACT
The documentary film Mother Dao the Turtlelike (MDT) is not a remake but composed from footages of the Ducth East Indies (DEI) films made between 1912 and 1933. A sound-over is then added on this collage composition which consist of Javanese and Sundanese songs, Indonesian poems, and the mythology of creation of Batu Islands, Nias. This dissertation tried to find out the way the filmmaker uses the cinematographic and narrative elements in an attempt to construct a new postcolonial collective memory.
Assuming film as a text, the film?s structure is then analysed using the theory of film narratology. Despite the highly complicated structure, sinds there is no commentary added to the collage composition, a comprehensive analyses have to be conducted. The analysis showed the different perspectives of the cinematographers of DEI films and of MDT. Colonialism is still believed as an effort to develop the colony and its people. On the contrary the composition of collages and sonores in MDT clearly show the missery and extreme sufferings of the indigenous people. As well as the exploitation of their nature for the sake of the welfare of the colonialist.
The composition of colages and sonores in MDT change the colonial image of DEI films. The colage and the sonores in MDT give the chance to the viewer to see what colonialism really meant. MDT will enhance spectators critical thinking as well as their an humanistic postcolonial collective memory;The documentary film Mother Dao the Turtlelike (MDT) is not a remake but composed from footages of the Ducth East Indies (DEI) films made between 1912 and 1933. A sound-over is then added on this collage composition which consist of Javanese and Sundanese songs, Indonesian poems, and the mythology of creation of Batu Islands, Nias. This dissertation tried to find out the way the filmmaker uses the cinematographic and narrative elements in an attempt to construct a new postcolonial collective memory.
Assuming film as a text, the film?s structure is then analysed using the theory of film narratology. Despite the highly complicated structure, sinds there is no commentary added to the collage composition, a comprehensive analyses have to be conducted. The analysis showed the different perspectives of the cinematographers of DEI films and of MDT. Colonialism is still believed as an effort to develop the colony and its people. On the contrary the composition of collages and sonores in MDT clearly show the missery and extreme sufferings of the indigenous people. As well as the exploitation of their nature for the sake of the welfare of the colonialist.
The composition of colages and sonores in MDT change the colonial image of DEI films. The colage and the sonores in MDT give the chance to the viewer to see what colonialism really meant. MDT will enhance spectators critical thinking as well as their an humanistic postcolonial collective memory.
"
2012
D1383
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Fahlevi
"ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk memperdebatkan apakah film harus konform ke masyarakat atau tidak karena beberapa alasan bertentangan bahwa film harusnya bisa ditampilkan sesuai dengan apa yang sutradara inginkan daripada melalui proses sensor yang bisa mengurangi nilai dari film itu sendiri. Literature review digunakan sebagai metode penelitian ini, yang diambil dari Heider 1991 , Haryanto 2008 , Heeren 2012 , dan Bazin 2005 . Penelitian ini menemukan bahwa alasan film harus konform adalah: 1 Konformitas dalam sinema berarti bahwa citra film belum diakui sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia karena film berasal dari budaya luar, yang berarti masyarakat Indonesia takut budaya mereka akan tergantikan. 2 Hal yang mendorong pasar film di Indonesia berasal dari persepsi penonton umum. Persepsi mereka didukung oleh latar belakang budaya mereka sendiri, namun, satu hal yang membuat penonton memiliki pendapat sejenis adalah agama. 3 Menurut undang-undang, film harus mendidik bangsa. Namun, kata ldquo;mendidik rdquo; tidak pas jika tidak berasal dari sutradara, dan film juga tidak seharusnya mendidik kalangan muda tentang budaya barat karena itulah apa yang film luar negeri tekankan.

ABSTRACT
AbstractThis article aims to argue whether the cinema has to conform to the society or not; due to contradicting arguments that a movie should be screened as the director rsquo;s intended instead of sensored according to certain values. Literature review is used as the research method, analyzing arguments based on Heider 1991 , Haryanto 2008 , Heeren 2012 , and Bazin et.al. 2005 articles. This research found that the reason film has to conform is 1 because its origin from the foreign culture. Conformity means that the nature of the cinema hasn rsquo;t been approved completely from Indonesian people. Lembaga Sensor Film still thinks that a film is vulnerable to the western culture, in which, like colony, Indonesian fear it will have an invasive effect towards Indonesian society. 2 The mainstream audience perspective is the force that drive Indonesian film market. What motivates the audience rsquo;s perspective is based on their cultural background, but one aspect that overruled the difference is the religion. 3 The constitutional law that a film has to educate people. The term ldquo;educating rdquo; is not valid if it isn rsquo;t come from the director, that film should not teach young people about the western culture because it rsquo;s what foreign films are advertised."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rafi Syabi Aferza
"Penelitian ini membuktikan bahwa di era sekarang telah muncul berbagai fenomena di media sosial yang mendegradasi hakikat medium sinema menuju konten. Penelitian ini juga membuktikan adanya implikasi dari problem tersebut, berupa distorsi terhadap relasi antara kemampuan gambar sinematik dalam menangkap realitas dengan aktivitas atau proses mental penontonnya seperti melakukan refleksi hingga merasakan emosi tertentu. Penelitian ini di sisi lain menunjukkan bahwa mengembalikan pemaknaan medium sinema secara filosofis sekaligus merekonstruksi relasi antara gambar sinematik dan proses mental melalui pengalaman menonton yang utuh mampu memenuhi kondisi ambivalen manusia untuk mengetahui realitas. Tujuan dari penelitian ini adalah membongkar dimensi paling optimum dari sinema yang mampu dimaknai serta diinvestigasi secara filosofis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui kajian literatur terhadap buku, artikel, maupun jurnal yang berkaitan dengan tema penelitian. Teori ontologi film Stanley Cavell juga digunakan sebagai basis untuk melakukan analisis secara runut terhadap bentuk-bentuk fenomena konten yang ada. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah fenomena konten terbukti mendegradasi hakikat serta potensi sinema dalam mereproduksi realitas dan membangun relasi dengan penontonnya.

This study demonstrates that, in the current era, various phenomena on social media have emerged that degrade the essence of cinema as a medium into mere content. It also proves the implications of this problem, such as the distortion of the relationship between the cinematic image's ability to capture reality and the audience's mental activities or processes, including reflection and the experience of specific emotions. On the other hand, this research shows that restoring the philosophical meaning of cinema as a medium, while reconstructing the relationship between cinematic images and mental processes through a holistic viewing experience, can fulfill the human condition of ambivalence in understanding reality. The purpose of this study is to uncover the most optimal dimensions of cinema that can be interpreted and philosophically investigated. This research employs a qualitative method by conducting a literature review of books, articles, and journals related to the research theme. Stanley Cavell's theory of film ontology is also utilized as a basis for systematically analyzing the various forms of content phenomena. The conclusion of this study is that content phenomena are proven to degrade the essence and potential of cinema in reproducing reality and establishing a relationship with its audience. Keyword: cinema; image; content; mental process, reality"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ifa Isfansyah
"Berangkat dari pengalaman menginisiasi Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Ifa Isfansyah menyusun buku Mengelola Festival Film. Selain ditujukan untuk kalangan internal JAFF sebagai pegangan penyelenggaraannya, buku ini bisa dijadikan referensi pelaksanaan festival film lain secara umum.
Dengan membaca buku ini, penyelenggara festival film mempunyai acuan untuk menjalankan organisasi, memahami teknis pelaksanaan, meningkatkan kapasitas penonton dengan tetap menjaga karakteristik festival, serta membangun jaringan dan kolaborasi yang mempunyai visi yang sama.
Buku ini dilengkapi dengan langkah-langkah persiapan, saat berlangsung, dan setelah festival film selesai. Panduan yang memungkinkan kita untuk fokus pada tujuan utama penyelenggaraan festival film: menghidupkan acara yang menyatukan masyarakat dengan film beserta pembuatnya untuk menciptakan budaya sinema."
Jakarta: Gramedia, 2024
791.430 25 IFA m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkiya Chaerani Athaya Hakim
"Pada umumnya film merupakan representasi dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Namun melalui representasi tersebut, perempuan kerap ditempatkan sebagai gender yang tersubordinasi dan didominasi. Et Dieu... créa la femme (1956) merupakan salah satu film Prancis yang menunjukkan bahwa terdapat pergeseran pada cara media merepresentasikan perempuan di layar lebar Prancis pada tahun 50-an. Dengan menggunakan kajian film dari Boggs & Petrie (2018) serta teori male gaze oleh Mulvey (1989), artikel ini memaparkan bagaimana unsur-unsur dalam film menempatkan perempuan sebagai objek maskulin dalam rangka melanggengkan jaringan patriarki yang telah lama terkonstruksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa konstruksi perempuan dalam film Et Dieu... créa la femme bersifat ambigu: narasi film seolah menawarkan wacana kebebasan berekspresi bagi perempuan yang mendobrak wacana dominan patriarki yang kerap mengekang ruang gerak perempuan, tetapi nyatanya masih tidak membebaskan perempuan dari jeratan objektivikasi melalui sudut pandang laki-laki. 

In most cases, films are a representation of the social realities that occur in society.  However, through these representations, women are often placed as the subordinated and dominated gender. Et Dieu... créa la femme (1956) is one of the French films that shows that there was a shift in the way the media represented women on the French big screen in the 50s. Using Boggs & Petrie's (2018) film studies and Mulvey's (1989) male gaze theory, this article explains how elements in the film place women as masculine objects in order to perpetuate long-constructed patriarchal networks. The results of the analysis show that the construction of women in Et Dieu... créa la femme is ambiguous: the film's narrative seems to offer a discourse of freedom of expression for women that breaks the dominant patriarchal discourse that often restricts women's space, but in fact still does not free women from the trap of objectification through the male point of view."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sujatrini
"Skripsi ini mengungkapkan permasalahan tentang pemikiran_pemikiran dasar feminisme di tahun 70-an, serta dampaknya dalam sinema di Perancis di masa itu. Analisis dibuat berdasarkan teori Dominique Noguez, yang diilhami oleh pemikiran Karl Marx mengenai materialism dialektik. Setiap kelompok masyarakat mempunyai ideologi yang dihayati secara tak sadar oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Ideologi tersebut terungkap dalam karya-karya seni yang dihasilkan oleh para seniman. Teori Noguez menyebutkan bahwa ideologi dan sinema tidak dapat dipisahkan. Film merupakan ungkapan ideologi dari sutradara yang membuatnya dan merupakan media yang efektif untuk menanamkan ideologi tertentu kepada penontonnya.
Dalam bab II diuraikan perkembangan konsep-konsep baru menyangkut kedudukan perempuan dalam masyarakat Perancis. Konsep-konsep yang kemudian disebut feminisme ini, pertama kali diutarakan oleh Poullain de la Barre pada abad XVII. Pada dasarnya, konsep-konsep terebut melihat bahwa kedudukan perempuan sebenarnya secara alamiah sama dengan pria, sehingga kaum perempuan berhak memperoleh pendidikan dan mendapat kedudukan yang sama dengan pria dalam masyarakat, dalam pekerjaan maupun perkawinan."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S14500
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewa Ketut Alit Wedhantara
"ABSTRAK
Gerakan feminisme gelombang kedua yang muncul di Belanda sekitar awal
tahun 1960-an merupakan salah satu gerakan wanita termahsyur di daratan Eropa.
Namun, penyampaian pesan-pesan dan gagasan feminisme tak hanya melalui untaian
kata-kata yang dituangkan dalam poster, demo besar-besaran yang dilakukan di
jalanan, namun pula dapat berbentuk media lain, yaitu melalui film. Sebagai salah
satu media propaganda paling efektif, film tak luput pula menjadi salah satu media
penyampaian gagasan feminisme di Belanda. De Stilte Rond Christine M. merupakan
contohnya. Film yang digarap oleh sutradara Marleen Gorris ini menyimpan banyak
gagasan dan ide-ide feminisme yang disampaikan baik melalui bangunan cerita,
dialog antar tokoh, hingga unsur sinematografi yang dibungkus secara apik sehingga
menjadi salah satu ihwal yang influensial dalam pergerakan feminisme gelombang
kedua di Belanda, melalui media film. Tulisan ini membahas tentang unsur-unsur
feminisme yang terdapat dalam film De Stile Rond Christine M. karya Marleen
Gorris, dan juga kaitan feminisme dengan penggambaran perempuan dalam film.

ABSTRACT
Dutch's second wave feminist movement is one of the most renowned
women's movement in mainland Europe. However, conveying the messages and ideas
of feminism were engaged not only by peaceful demonstration and words of mouth,
but also through another form of media, namely film. As one of the most effective
media for propaganda, film is shaped as one of the key components to deliver ideas of
feminism in the Netherlands. One of the example is De Stilte Rond Christine M.
Directed by Marleen Gorris, the film holds feminist ideas and messages that is
delivered through the build up of the story, dialogues between characters, as well as
elements of cinematography that wrapped up nicely so it became one of the most
influential in the women's movement. This final thesis examines feminist elements
contained in De Stilte Rond Christine M. and also the relation between feminism and
the portrayal of women in the film.;"
2016
S65423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>