Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Morganstern, Stanley
New York: Oceana Publications, 1978
343.730 7 MOR l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Elvandari
"Kemajuan teknologi dunia yang semakin pesat, ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan khususnya perbankan. Hal ini terlihat dan terbukti adanya produkproduk perbankan yang lebih menjamin keamanan dan kepraktisan dalam lalulintas pembayaran khususnya kartu kredit.
Pada dasarnya, bentuk perjanjian penggunaan kartu kredit, pada dasarnya mengacu pada klausula baku, yang berarti substansi perjanjiannya telah ditentukan sepihak oleh pihak produsen yakni Bank, dimana Bank sebagai pihak yang dominan, maka konsekuensi dipihak konsumen, adalah :
a. Konsumen berada dipihak yang tidak dominan, konsumen hanya dapat menyepakati, yang berarti akan tunduk terhadap seluruh kewajiban dan persyaratan dalam perjanjian baku tersebut, tanpa punya kesempatan tawar menawar atau konsumen tidak menyepakati.
b. Pada perjanjian baku banyak terdapat klausula eksorerasi, yaitu syarat yang secara khusus membebaskan pihak yang dominant yaitu produser yakni pihak Bank dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan yang timbul dari pelaksanaan perjanjian baku.
Akan tetapi didalam pelaksanaannya, sering kita jumpai penyalahgunaan kartu kredit, oleh karena itu praktek penyalahgunaan kartu kredit meliputi aspek-aspek hukum yang terkait dalam penerbitan, penggunaan kartu kredit, dan secara perlindungan konsumen dapat dikaitkan dengan jenis perlindungan hukum yang diberikan kepada pengguna kartu kredit, serta kendala-kendala yang dihadapi dan upaya penyelesaiannya. Aspek-aspek tersebut diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kasus penyalahgunaan kartu kredit dari waktu dan kewaktu."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
""Halal" legalization on food product is supposed to in which the consumers can be protected from the "haram" consumtion of foods,remembering that Indonesians are moslem...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Twigg-Flesner, Christian, 1975-
"For almost three decades, the European Union (EU) has adopted measures to regulate consumer transactions within the internal market created by the EU Treaties. Existing legislation is largely based on directives harmonizing aspects of national consumer laws. This Brief argues that a more appropriate approach for EU consumer law would be legislation in the form of a regulation which is applicable to cross-border transactions only. The author considers the constitutional constraints of the EU Treaties, before examining the case for a cross-border-only measure. He argues that the cross-border approach is preferable, because it would provide clearer benefits for consumers seeking to buy goods and services across borders, while not upsetting domestic law unnecessarily, in particular in the context of e-commerce, with implications for industry, policymaking, and regional development. The Brief concludes by suggesting that a successful EU measure on cross-border consumer transactions could create a template for global initiatives for transnational consumer law."
New York: Springer, 2012
e20396424
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Brigita
"Jumlah penduduk yang padat mempengaruhi pola konsumsi dan kebutuhan masyarakat Indonesia menjadi lebih tinggi. Hal tersebut membuka peluang bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnis dengan mencari inovasi baru berkaitan dengan strategi pemasaran untuk memperoleh keuntungan sebesar- besarnya. Salah satunya, menerapkan strategi upselling. Upselling merupakan strategi pemasaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan berupaya menyakinkan konsumen untuk membeli barang dan/atau jasa yang mengalami peningkatan sehingga menyebabkan harga yang dibayarkan lebih mahal dari harga awal. Secara umum, praktik upselling tidak dilarang bagi pelaku usaha untuk menerapkannya. Akan tetapi, tidak semua pelaku usaha menerapkan praktik upselling dengan jujur dan adil. Ditemukan pelaku usaha yang menerapkan praktik upselling tidak memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur serta transaksi yang dilakukan tidak berdasarkan persetujuan konsumen. Dalam hal ini, konsumen tidak memperoleh hak-haknya secara utuh. Indonesia secara umum tidak melarang penerapan strategi penjualan upselling dan belum mempunyai pengaturan secara spesifik mengenai upselling. Penulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai perbandingan pelindungan konsumen terhadap strategi upselling oleh pelaku usaha yang tidak memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur serta tidak berdasarkan persetujuan konsumen di Indonesia dengan Amerika Serikat. Negara Amerika Serikat melihat praktik upselling oleh pelaku usaha yang tidak memberikan informasi serta tidak berdasarkan persetujuan konsumen merupakan salah satu praktik usaha yang tidak adil (unfair pratices). Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode doktrinal. Dari hasil penelitian dapat dipahami bahwa Indonesia dan Amerika Serikat memiliki kesamaan yakni sama-sama tidak melarang upselling sepanjang tidak mencederai hak - hak konsumen serta dilaksanakan dengan jujur dan adil. Dibutuhkannya peran pemerintah untuk meningkatkan pengawasan kepada pelaku usaha serta membuat suatu pedoman lebih khusus mengenai strategi upselling untuk dijadikan landasan bagi pelaku usaha untuk melaksanakan praktik upselling. Tidak hanya itu, dibutuhkannya kesadaran pelaku usaha untuk melaksanakan kewajibannya dan konsumen harus lebih kritis dan teliti terhadap strategi upselling yang dilakukan oleh pelaku usaha.

The dense population influences the consumption patterns and needs of Indonesian society, making them higher. This creates opportunities for business operators to innovate in marketing strategies to gain maximum profits. One such strategy is upselling. Upselling is a marketing strategy where business operators try to convince consumers to buy goods and/or services that have increased in value, resulting in a higher price than the initial price. Generally, upselling practices are not prohibited for business operators. However, not all business operators apply upselling practices honestly and fairly. Some business operators do not provide accurate, clear, and honest information, and transactions are conducted without consumer consent. In these cases, consumers do not fully receive their rights. Indonesia does not generally prohibit the application of upselling strategies and does not have specific regulations regarding upselling. This writing aims to discuss the comparison of consumer protection against upselling strategies by business operators who do not provide accurate, clear, and honest information and do not obtain consumer consent in Indonesia and the United States. The United States views upselling practices by business operators who do not provide information and do not obtain consumer consent as an unfair practice. The method used in this writing is the doctrinal method. From the research results, it can be understood that Indonesia and the United States share a similarity in not prohibiting upselling as long as it does not harm consumer rights and is conducted honestly and fairly. There is a need for the government's role in increasing supervision of business operators and creating more specific guidelines regarding upselling strategies to serve as a basis for business operators to carry out upselling practices. Additionally, there is a need for business operators to be aware of their obligations and for consumers to be more critical and thorough regarding upselling strategies carried out by business operators."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Srie Agustina
"Penelitian ini bertujuan mencari jawaban mengenal kemandirian konsumen sebagai salah satu ukuran kinerja pelaksanaan kebijakan Pemerintah, yaitu Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemandirian konsumen tersebut, dilihat dari 2 pendekatan, yaitu pertama, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandiran konsumen; kedua, kondisi kemandirian yang dilihat dari rata-rata tingkat kemandirian (%) dan klasiflkasi kemandirian. Kondisi tersebut, membawa implikasi kepada analisis lebih lanjut, yaitu upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk lebih meningkatkan kemandirian konsumen sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa tujuan diterbitkannya Undang-Undang ini antara lain adalah untuk: meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Tujuan ini terkait erat dengan upaya membentuk konsumen yang mandiri. Konsumen mandiri tersirat dalam Undang-Undang dimaksud yaitu konsumen yang mengerti hak dan kewajibannya dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari selaku konsumen. Dalam Undang-Undang ini terdapat 9 hak dan 4 kewajiban konsumen, yang bila diterapkan dapat diindikasikan sebagai bentuk kemandirian seorang konsumen .
Pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah berjalan kurang lebih 5 tahun, selama ini berbagai langkah telah dilakukan Pemerintah terutama oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk mengimplementasikannya. Secara umum langkah tersebut dapat dikelompokkan: penyiapan dan penerbitan berbagai aturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut; peningkatan pengetahuan dan pendidikan kepada konsumen, pemasyarakatan kebijakan dan informasi perlindungan konsumen; peningkatan peran dan kualitas kelembagaan perlindungan konsumen dalam memberikan pelayanan kepada konsumen; upaya pembinaan dan pengawasan terhadap produk yang diperdagangkan pelaku usaha. Namun sampai saat ini belum ada yang mengevaluasi dan meneliti secara komprehensif sejauhmana dampaknya dapat membentuk konsumen menjadi mandiri.
Untuk mengevaluasinya, faktor peran peningkatan pengetahuan konsumen melalui sosialisasi serta peran kelembagaan konsumen, memegang peranan penting, karena merupakan bentuk kegiatan yang dapat berinteraksi langsung dengan konsumen. Faktor-faktor tersebut tentu terkait juga dengan kondisi yang secara inherent ada pada konsumen itu sendiri antara lain tingkat pendidikan konsumen, pekerjaan konsumen serta tingkat pengeluaran konsumsi konsumen.
Faktor-faktor inilah yang kemudian penulis jadikan variabel untuk menguji hubungannya dengan kemandirian konsumen.
Hubungan antara variabel-variabel tersebut dengan kemandirian konsumen, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik regresi logistik. Beberapa faktor berpengaruh secara signifikan yaitu pengeluaran konsumsi, peran sosialisasi Pemerintah dan peran lembaga perlindungan konsumen. Sedangkan pendidikan dan jenis pekerjaan tidak.
Selanjutnya, didasari pemikiran bahwa ternyata variabel pendidikan tidak berpengaruh terhadap kemandirian konsumen. Ditambah dengan argumentasi bahwa variabel ini telah terwakili dalarn variabel pengeluaran konsumsi, maka model kemudian dimodifikasi tanpa variabel pendidikan.
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi, sosialisasi pemerintah dan peran kelembagaan secara signifikan masih berpengaruh terhadap kemandirian konsumen.
Tingkat kemandirian konsumen relatif baik, yaitu rata-rata 60,4% diatas batas klasifikasi kemandirian yang ditetapkan, dengan tingkat kemampuan prediksi sebesar 78,2 %.
Berdasarkan hasil analisis efektifitas pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen, diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen belum sepenuhnya optimal. Tingkat kemandirian sebesar 60,4% belum dapat mengindikasikan konsumen Indonesia mayoritas telah mandiri, mengingat penelitian ini masih terbatas pada responders di wilayah DKI Jakarta. Responden di wilayah ini dianggap memiliki pengetahuan dan akses informasi yang lebih memadai dibandingkan dengan konsumen di wilayah lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen masih perlu ditingkatkan, baik melalui intensitas sosialisasi, penguatan peran kelembagaan konsumen, maupun upaya-upaya lainnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Wijayanti
"ABSTRAK
Layanan jasa premium call merupakan salah satu penyelenggaraan jasa telekomunikasi dalam bentuk jasa nilai tambah teleponi melalui jaringan tetap lokal milik Penyelenggara jaringan telekomunikasi yaitu PT. Telkom, yang disediakan Provider Layanan Jasa Premium Call dengan nomor akses 0-809-1-XXX-3 dan tarif layanannya lebih mahal daripada tarif pulsa telepon biasa, karena jasa premium call dapat memberikan berbagai manfaat bagi para peneleponnya, antara lain informasi, konsultasi, hiburan, dan permainan, dan tagihannya dibebankan bersamaan dengan tagihan telepon biasa. Namun, seringkali penyelenggaraan layanan jasa premium call disalahgunakan oleh Provider layanan jasa premium call, sehingga layanan jasa premium call tidak sesuai lagi dengan peruntukan (manfaat) nya. Konsumen PT. Telkom sebagai pemakai jasa telepon (sistem kabel) dapat menggunakan layanan jasa premium call dan berhak mendapatkan perlindungan hukum melalui pengaturan hak, kewajiban, larangan, dan sanksi yang berlaku bagi konsumen dan pelaku usaha berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu W Telekomunikasi dan W Perlindungan Konsumen. Jasa telepon yang ditawarkan secara bersamaan oleh PT. Telkom dengan jasa nilai tambah teleponi berupa layanan jasa premium call, yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Provider layanan jasa premium call melalui kerjasama antara PT. Telkom sebagai Penyelenggara Jaringan Tetap Lokal dengan Provider layanan jasa premium call sebagai Penyelenggara layanan jasa premium call yang memberikan layanan jasa premium call kepada Konsumen PT. Telkom, sehingga tercipta suatu hubungan hukum di antara para pihak. Penyelenggaraan layanan jasa premium call dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, ketika Provider layanan jasa premium call melakukan kegiatan usaha secara tidak jujur dengan menagih pernbayaran atas pemakaian jasa premium call melalui PT. Telkom kepada konsumen yang tidak menggunakan jasa premium call."
2007
T18764
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafisya Akbar
"Tulisan ini menganalisis perlindungan hukum bagi konsumen jasa kapal angkutan perairan dalam hal terjadinya kecelakaan kapal, dengan fokus pada kasus tenggelamnya kapal wisata KM Ali Baba di Kepulauan Seribu. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Fokus utama penelitian ini adalah untuk memahami implementasi hukum perlindungan konsumen bagi penumpang jasa kapal angkutan perairan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menjamin hak-hak konsumen bagi penumpang kapal jasa kapal angkutan perairan dan juga tanggung jawab pelaku usaha yang berkaitan dengan prinsip-prinsip yang ada pada perlindungan konsumen. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga telah mengatur mengenai standar keselamatan dan keamanan pelayaran di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih ditemukan kekurangan, yakni kurangnya pengawasan dan kesadaran hukum dari pihak yang bertanggung jawab. Adapun dalam hal terjadinya kecelakaan pada kapal yang menyebabkan kerugian pada penumpang, membuktikan adanya pelanggaran hak konsumen atas keamanan dan keselamatan oleh pelaku usaha. Selain itu, pelaku usaha juga gagal memenuhi kewajiban menjamin mutu jasanya. Dengan demikian, pelaku usaha sepatutnya dikenakan sanksi ganti rugi, administratif, dan pidana. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaturan terkait perlindungan konsumen bagi penumpang kapal telah diatur secara komprehensif, tetapi terdapat tantangan berupa kurangnya kesadaran masyarakat serta penegakan hukum yang sesuai. Upaya lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan perlindungan konsumen dan penegakkan hukum kepada pihak-pihak yang melanggar. Konsumen juga perlu diberikan edukasi lebih lanjut dan regulasi terkait kelayakan kapal pelayaran rakyat perlu dibenah.

This paper analyzes the legal protection for consumers of water transportation services in the event of a ship accident, focusing on the case of the KM Ali Baba tourist boat sinking in the Thousand Islands. This study employs a doctrinal research method. The main focus of the research is to understand the implementation of consumer protection laws for passengers of water transportation services in Indonesia. The research findings indicate that Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection guarantees consumers' rights for passengers of water transportation services and the responsibility of business operators concerning consumer protection principles. Law Number 17 of 2008 on Shipping also regulates safety and security standards for maritime transportation in Indonesia. However, in practice, shortcomings remain, particularly regarding the lack of supervision and legal awareness among responsible parties. In cases of ship accidents causing passenger losses, there is evidence of violations of consumers' rights to safety and security by business operators. Additionally, business operators failed to fulfill their obligations to ensure service quality. Therefore, business operators should be subject to compensation, administrative, and criminal sanctions. Overall, the study concludes that regulations regarding consumer protection for ship passengers have been comprehensively established. However, challenges remain in terms of public awareness and law enforcement. Further efforts are needed to enhance consumer protection and law enforcement against violators. Consumers also need further education, and regulations concerning the seaworthiness of local maritime transport vessels require improvement. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Kesia
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai Perlindungan hukum yang diberikan bagi
masyarakat yang dirugikan dalam kasus Penipuan Investasi Emas yang dilakukan
oleh Pelaku Usaha. Kedudukan masyarakat ditinjau dari Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-
Undang Perdagangan Berjangka Komoditi. Pembahasan ini merupakan hal
penting dikarenakan adanya ketidakpastian kedudukan masyarakat yang dirugikan
di dalam kasus penipuan investasi emas. Penelitian dalam skripsi ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap aturanaturan
dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Hasil dari
penelitian ini adalah meskipun tidak diatur sebagai konsumen atau nasabah,
masyarakat perlu mendapatkan perlindungan hukum dengan adanya penerapan
regulasi khusus yang efisien mengenai perlindungan konsumen dalam sektor jasa
keuangan, khususnya dalam hal investasi emas dan komoditi.

ABSTRACT
This thesis discusses the legal protection given to people who are disadvantaged
in the fraud case of Gold Investment committed by business actor in terms of Law
on Consumer Protection and Law on Commodity Futures Trading. This study is
important because of the uncertainty position of the disadvantaged communities in
the fraud case of Gold Investment. The research in this paper uses the method of
normative legal research is a study of the rules by using a literature study and
interviews. The results of this study is although not regulated as consumer or
customer, the community needs to get legal protection in the presence of an
efficient implementation of specific regulations on consumer protection in
financial services, particularly in terms of gold and commodities investments"
2014
S54377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Farazenia
"ABSTRAK
Perusahaan Pembiayaan Konsumen menggunakan perjanjian baku dalam kegiatan perusahaannya. Pada perjanjian baku perusahaan pembiayaan tersebut pada pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa menentukan bahwa penyelesaian sengketa akan dilakukan melalui pengadilan negeri. Hal ini menghilangkan hak konsumen dalam memilih forum penyelesaian sengketa konsumen karena pada dasarnya hukum sudah mengembangkan pilihan forum penyelesaian sengketa agar kasus sengketa tidak menumpuk di pengadilan negeri. Penulis melakukan peninjauan perjanjian baku tersebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan serta dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang dapat ditinjau melalui keadaan pengadilan maupun lembaga penyelesaian sengketa saat ini. Kemudian setelah melakukan peninjauan tersebut, dapat dipahami bahwa pembakuan pilihan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri tidak dilarang ataupun dibatasi secara jelas dalam Peraturan Perundang-Undangan namun hal tersebut tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang menyebutkan bahwa Konsumen dapat menggunakan dua cara penyelesaian sengketa yaitu melalui pengadilan negeri dan di luar pengadilan negeri. Maka dari itu seharusnya para pelaku usaha dalam hal ini Perusahaan Pembiayaan Konsumen tidak membakukan pilihan penyelesaian sengketa melainkan membuat ketentuan bahwa penyelesaian sengketa akan dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan sesuai kondisi kedua belah pihak.

ABSTRAK
The Consumer Finance Company nowadays has been using a standardized contract in their financing business. The standardized contract in the clause which declare that a dispute resolution can only through the court, has been eliminating the consumer rsquo s rights for choosing the dispute resolution forum that the law can offer and eliminating the chance to decentralize law cases for piling up in the court. The writer will review the standardized contract by reviewing Indonesia rsquo s consumer protection act and other review that delineate the court rsquo s and the alternative dispute resolution rsquo s circumstances. After reviewing the standardized contract, shows that the constitution has not yet forbidding or limiting explicitly for standardizing a dispute resolution options. However, standardizing a dispute resolution options is not in accordance with the consumer protection act which declare that consumer has two options in resolving a dispute and those are dispute resolution through the court or the alternative dispute resolution. Therefore, The Consumer Finance Company should not standardize a dispute resolution option, instead they rather stating a clause that leave the choice wide open for both the consumer and The Consumer Finance Company themselves to choose the best dispute resolution based on both of their condition."
2017
S68656
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>