Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adela Disa Maharani Putri
Abstrak :
Klausul syarat objektif menjadi ketentuan wajib dalam membuat perjanjian kerja yang dibuat pekerja dan pemberi pekerja. Tulisan ini mencakup segala analisis mengenai perjanjian kerja yang bertentangan dengan syarat objektif yaitu perundang-undangan terdapat memuat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 732K/PDT.SUS-PHI/2021. Penulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam putusan ini pemenuhan klausul syarat objektif merupakan hal penting yang tidak dapat ditinggalkan. Mengenai ketentuan perjanjian kerja yang salah satu klausul melanggar syarat objektif akan batal demi hukum dan tidak berlaku, maka pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 732K/PDT.SUS-PHI/2021 akan mengangkat seluruh prosedur perjanjian kerja dengan benar dan ketentuan prosedur dari tahap adanya pemutusan hubungan kerja sampai ke tahap penyelesaian perselisihan dalam hubungan kerja. ......The objective condition clause is a mandatory provision in making a work agreement made by workers and employers. This paper covers all the analysis of employment agreements that are contrary to the objective requirements, namely the legislation contained in Supreme Court Decision Number 732K/PDT.SUS-PHI/2021. This writing uses doctrinal research methods. In this decision, the fulfillment of the objective requirement clause is an important thing that cannot be abandoned. Regarding the provisions of an employment agreement in which one of the clauses violates the objective conditions, it will be null and void, so the Supreme Court Decision Number 732K/PDT.SUS-PHI/2021 will appoint the entire employment agreement procedure correctly and the provisions of the procedure from the stage of termination of employment to the stage of resolving disputes in labor relations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Visky Sekar Floreta Pribadi
Abstrak :
Kepesertaan Atlet pada program jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan pekembangan yang relatif baru dan muncul bersamaan dengan berlakunya Pasal 100 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan yang menyatakan bahwa Olahragawan dan Pelaku Olahraga diberikan perlindungan jaminan sosial yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tulisan ini menganalisis bagaimana penyelenggaraan kepesertaan tersebut oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau BPJamsostek, menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tujuan problem identification dan berbentuk preskriptif. Profesi atlet berhak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan yang memadai, mengingat atlet memiliki potensi cedera yang tinggi selama beraktivitas, durasi karir yang cenderung singkat, dan adanya tantangan finansial saat memasuki masa pensiun. Dalam hal pelaksanaannya, BPJamsostek mengklasifikasikan profesi atlet dalam kategori peserta Pekerja Bukan Penerima Upah. Kategori ini dianggap kurang tepat bagi Atlet Pelatda DKI Jakarta, dikarenakan hubungan antara Atlet Pelatda DKI Jakarta dengan KONI Provinsi DKI Jakarta memenuhi unsur hubungan kerja, dan dapat disebut sebagai hubungan kerja. Sehingga Atlet Pelatda DKI Jakarta lebih pantas untuk dikategorikan sebagai “Pekerja Penerima Upah” dan memperoleh manfaat sesuai kategori tersebut. Pada tanggal 26 September 2023, KONI Provinsi DKI Jakarta menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan BPJamsostek. Kerja sama tersebut memiliki tujuan utama memenuhi amanat UU Keolahragaan yang mengharuskan negara memberikan dukungan program jaminan sosial ketenagakerjaan kepada para atlet. Akan tetapi, kerja sama tersebut masih memiliki beberapa kekurangan, diantaranya adalah belum adanya upaya sosialisasi terkait dengan jaminan sosial ketenagakerjaan kepada atlet, beberapa atlet masih mendaftarkan diri mereka secara mandiri dalam jaminan sosial ketenagakerjaan, dan iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dipotong langsung dari honor bulanan atlet. Oleh karena itu, KONI DKI Jakarta perlu mengadakan sosialisasi dan melaksanakan kewajibannya sebagai pemberi kerja dengan memberikan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan kepada Atlet Pelatda DKI Jakarta. ......The participation of athletes in the employment social security program is a relatively new development that emerged concurrently with the enactment of Article 100 of Law Number 11 of 2022 concerning Sports, which states that athletes and sports performers are entitled to social security protection as part of the National Social Security System. This paper analyzes how this participation is organized by the Employment Social Security Agency or BPJamsostek, using doctrinal research methods with the objectives of problem identification and prescriptive analysis. Athletes are entitled to adequate employment social security, considering their high potential for injuries during activities, relatively short career duration, and financial challenges upon entering retirement. In practice, BPJamsostek classifies the athlete profession under the category of Non- Wage Workers. This categorization is considered inappropriate for DKI Jakarta Regional Training Center Athletes (Pelatda) because the relationship between them and the Jakarta Provincial Sports Committee (KONI DKI Jakarta) fulfills the criteria of an employment relationship and can be considered as such. Therefore, DKI Jakarta Regional Training Center Athletes are more suitable to be categorized as "Wage Workers" and receive benefits accordingly. On September 26, 2023, KONI DKI Jakarta signed a Cooperation Agreement with BPJamsostek. The main objective of this collaboration is to fulfill the mandate of the Sports Law, which requires the state to support the employment social security program for athletes. However, this collaboration still has several shortcomings, including the lack of efforts to socialize employment social security to athletes, some athletes registering independently in the program, and the deduction of social security contributions directly from athletes' monthly honorariums. Therefore, KONI DKI Jakarta needs to conduct socialization and fulfill its obligations as an employer by providing employment social security protection to DKI Jakarta Regional Training Center Athletes.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Velna Elvisa
Abstrak :
Alasan mendesak sebagai dasar pemutusan hubungan kerja sering kali menimbulkan perdebatan hukum yang kompleks. Dalam konteks hukum ketenagakerjaan, penting untuk mendefinisikan alasan mendesak secara jelas dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tidak terjadi penafsiran yang beragam atau penyalahgunaan oleh para pihak. Alasan mendesak biasanya mencakup situasi tak terduga dan di luar kendali kedua belah pihak, seperti krisis ekonomi, keadaan darurat, atau situasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022, terjadi perbedaan pendapat antara pekerja, yang beranggapan tidak melakukan kesalahan, dan pengusaha, yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan karena pelanggaran oleh pekerja sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kriteria alasan mendesak dan prosedur pemutusan hubungan kerja, serta penerapan kedua aspek tersebut dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dengan pendekatan Deskriptif-Analitis dan menganalisis data secara kualitatif dari data sekunder yang berfokus pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh melalui studi pustaka. ......Urgent reasons as a basis for termination of employment often lead to complex legal debates. In the context of labor law, it is important to clearly define urgent reasons in accordance with applicable regulations to prevent diverse interpretations or misuse by the parties involved. Urgent reasons usually include unforeseen situations and circumstances beyond the control of both parties, such as economic crises, emergencies, or other situations regulated by law. In the case of the Supreme Court of the Republic of Indonesia's Decision No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022, there was a disagreement between the worker, who believed they had not committed any wrongdoing, and the employer, who stated that the termination of employment (PHK) was due to a violation by the worker as regulated in the Collective Labor Agreement. This paper aims to analyze the criteria for urgent reasons and the procedures for employment termination, as well as the application of these aspects in the case of the Supreme Court of the Republic of Indonesia's Decision No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022. This research uses a doctrinal method with a Descriptive-Analytical approach, analyzing qualitative data from secondary sources focusing on primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through literature study.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanivia Rahma Diani
Abstrak :
Salah satu penyebab berakhirnya hubungan hukum antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah karena terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemberlakuan akan PHK harus didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Dalam Putusan Perkara Nomor 20/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr, pihak pengusaha telah melakukan PHK terhadap pekerjanya dengan alasan gagal penuhi target karena kinerja yang dianggap menurun. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis ketentuan hukum mengenai PHK dengan alasan tidak mampu memenuhi target berikut dengan kesesuaian antara pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Perkara Nomor 20/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal yang menggunakan bahan kepustakaan atau data sekunder yang kemudian diolah secara kualitatif. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka diketahui bahwa ketentuan hukum ketenagakerjaan di Indonesia memperbolehkan PHK dengan alasan ketidakmampuan pekerja dalam mencapai target sepanjang perusahaan telah memberikan Surat Peringatan (SP) sebanyak 3 (tiga) kali sebagai upaya pencegahan sekaligus pengingat kepada pekerja untuk dapat memperbaiki kinerja masing-masing. Namun pada saat dilakukannya PHK dalam kasus ini, perusahaan hanya memberikan SP sebanyak 1 (satu) kali dan langsung melakukan PHK karena pekerja gagal memenuhi target. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menegaskan bahwa PHK dengan alasan pelanggaran SOP karena tidak dapat memenuhi target dalam kasus ini dianggap tidak sah dan batal demi hukum bukan karena alasan pemutusan hubungan kerjanya, melainkan karena ketidaksesuaian jenis perjanjian PKWT yang berubah menjadi PKWTT sehingga hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha putus sejak disahkannya putusan terkait. ......One of the reasons for the termination of the legal relationship between workers/laborers and employers is the occurrence of termination of employment (PHK). The implementation of PHK must be based on justifiable reasons as regulated in Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, as amended by Law Number 6 of 2023 concerning Job Creation. In the Decision of Case Number 20/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr, the employer terminated the employment of its workers with the reason of failing to meet targets due to perceived declining performance. This research is conducted to analyze the legal provisions regarding PHK with the reason of being unable to meet targets, along with the conformity between the considerations of the Panel of Judges in the Decision of Case Number 20/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr and the prevailing labor laws in Indonesia. The research method used is doctrinal research that utilizes literature or secondary data, which is then processed qualitatively. Based on the results of this research, it is known that labor laws in Indonesia allow PHK with the reason of the worker's inability to achieve targets, as long as the company has issued Warning Letters (SP) three times as a preventive and reminder effort for workers to improve their performance. However, in this case, the company only issued one SP and immediately carried out PHK because the worker failed to meet the target. The Panel of Judges in their considerations emphasized that the termination of employment with the reason of violating SOP because of the failure to meet targets in this case is considered invalid and null and void not because of the reasons for termination of employment, but due to the mismatch of the type of employment agreement (PKWT) that changed to PKWTT, resulting in the termination of the employment relationship between the worker and the employer since the issuance of the related decision.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Sulistyo
Abstrak :
Disrupsi teknologi telah mempengaruhi sektor ketenagakerjaan pada lingkup global maupun Indonesia. Perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang semakin pesat turut berperan dalam mengubah sistem perekrutan pekerja yang konvensional menjadi terotomatisasi. Keberadaan Automated Employment Decision Tools (AEDT) saat ini sebagai teknologi mutakhir dalam sistem perekrutan pekerja yang mampu menghasilkan keputusan sendiri menimbulkan kekhawatiran dari calon pekerja. Perwujudan Prinsip Non-Diskriminasi sebagai pilar dalam konstruksi hukum ketenagakerjaan internasional maupun nasional menghadapi tantangan dan ancaman atas penggunaan AEDT. Hal ini disebabkan oleh adanya bias algoritmik pada AEDT mengakibatkan diskriminasi terhadap calon pekerja dari kelompok-kelompok non-preferensi yang tidak didesain oleh pengembang AEDT. Dengan adanya permasalahan tersebut, New York City telah menerbitkan Local Law 144 of 2021 yang mengatur secara khusus penggunaan AEDT. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki pengaturan yang secara khusus mengatur penggunaan AEDT di Indonesia. Padahal penggunaan AEDT telah mulai dikembangkan oleh sejumlah perusahaan di Indonesia. Atas permasalahan tersebut, diperlukan penelitian dengan metode doktrinal. Berdasarkan hasil penelitian ini, Pemerintah Indonesia perlu mengatur penggunaan AEDT yang mewajibkan pemberi kerja untuk melakukan audit bias secara berkala dan memberikan hasil perekrutan secara transparan dan akuntabel. Dengan adanya pengaturan tersebut diharapkan penggunaan AEDT di Indonesia nantinya tidak menimbulkan tindakan diskriminatif dan memberikan keadilan bagi calon pekerja. ......The disruption of technology has affected the employment sector globally, including in Indonesia. The rapid development of Artificial Intelligence (AI) has played a role in transforming conventional hiring systems into automated processes. The existence of Automated Employment Decision Tools (AEDT) as the latest technology in the recruitment system, capable of making independent decisions, raises concerns among prospective employees. The realization of the Non-Discrimination Principle as a pillar in international and national labor law faces challenges and threats due to the use of AEDT. This is caused by algorithmic bias in AEDT, leading to discrimination against job candidates from non-preferred groups not designed by AEDT developers. In response to these issues, New York City has enacted Local Law 144 of 2021, specifically regulating the use of AEDT. As of now, Indonesia does not have specific regulations governing the use of AEDT, despite its development by several companies in the country. To address these problems, doctrinal research is needed. Based on the findings of this research, the Indonesian government needs to regulate the use of AEDT, requiring employers to conduct periodic bias audits and provide recruitment results transparently and accountably. With such regulations, it is hoped that the use of AEDT in Indonesia will not lead to discriminatory actions and will ensure fairness for job candidates.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Maharani
Abstrak :
Perkembangan gig economy yang semakin pesat membuka peluang pekerjaan baru yang mengandalkan teknologi sebagai pilar utama. Pekerjaan ini disebut dengan gig works–bercirikan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang individu sebagai gig workers dengan keahlian khusus pada bidangnya untuk melakukan suatu pekerjaan bersifat sekali-selesai (temporary). Ketika hendak melakukan pekerjaan, pekerja yang bekerja sebagai gig workers tidak mengikatkan dirinya dalam suatu hubungan kerja, melainkan hanya dalam hubungan kemitraan. Karena alasan tersebut, seorang gig workers tidak memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai ‘pekerja’ menurut istilah hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Sebagai seseorang yang bukan merupakan seorang ‘pekerja’ menurut definisi hukum ketenagakerjaan, gig workers tidak mendapatkan akses yang setara untuk mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak ketenagakerjaan layaknya seorang pekerja, meskipun kapasitas pekerjaan yang dilakukannya tidak jauh berbeda dengan pekerja biasa. Penelitian ini akan meneliti sistem hukum dua negara, Indonesia dan Britania Raya yang telah berhasil menjamin perlindungan dan pemenuhan hak gig workers atau kontraktor independen di negaranya. Selain itu akan dilakukan penelitian terkait sistem hubungan kemitraan antara gig workers dengan perusahaan penyedia aplikasi untuk dilakukannya pekerjaan gig. Berdasarkan penelitian ini, terdapat urgensi pembentukan peraturan yang secara khusus mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak yang terlibat di ranah gig works Indonesia, sehingga akan ada kepastian hukum dan jaminan pemenuhan hak bagi gig workers yang bekerja di Indonesia. ......The rapid development of the gig economy opens up new job opportunities that rely on technology as their main pillar. Such jobs are called gig works–a type of job which is carried out by an individual known as a gig worker with special expertise to carry out a one-time job. Workers who work as gig workers do not bind themselves into an employment relationship, but rather only as an independent contractor. For this reason, a gig worker does not meet the requirements to be called a 'worker' according to the labor law in Indonesia. As someone who is not considered a 'worker', gig workers do not have equal access to the protection and fulfillment of their basic employment rights like regular workers do, despite that the capacity of their work is not much different from regular workers. This research will inspect the legal systems of two countries, Indonesia and the United Kingdom, which have succeeded in guaranteeing the protection and fulfillment of the rights of a gig workers in their countries. Apart from that, this research will be carried out regarding to the independent contracting system between gig workers and companies providing applications to carry out gig works. Based on this research, there is an urgency to establish regulations that specifically regulate the rights and obligations of the parties involved in the Indonesian gig works sector, so that there will be legal certainty and guarantees for the fulfillment of rights for those who work as a gig workers in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Naufal Firzatulloh
Abstrak :
Artikel ini membahas tentang pengaturan kebakaran perusahaan dan force majeure dalam kerangka hukum ketenagakerjaan dan penerapannya dalam putusan pengadilan berkaitan dengan peristiwa kebakaran di perusahaan. Kebakaran merupakan peristiwa yang dapat terjadi di segala tempat, termasuk perusahaan atau tempat kerja. Peristiwa kebakaran biasanya dikaitkan dengan force majeure oleh salah satu pihak dalam perjanjian untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban akibat tidak terlaksananya perjanjian. Masalah berawal ketika kebakaran telah terjadi, tetapi pekerja/buruh dan pengusaha tidak sepakat untuk menyatakan adanya force majeure. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum doctrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan di Indonesia tidak mengatur secara jelas tentang force majeure sehingga ketentuan mengenai hal tersebut tergantung pada kesepakatan para pihak dalam perjanjian. Jika tidak terjadi kesepakatan, penyelesaian perselisihan harus melalui pengadilan. Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung telah beberapa kali menangani kasus force majeure. Namun, beberapa putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung memperlihatkan adanya perbedaan penerapan force majeure berkaitan dengan kebakaran di perusahaan. ......This article discusses the regulation of company fires and force majeure within the framework of employment law and its application in court decisions relating to fire incidents in companies. Fire incidents is an event that can occur in any place, including companies or workplaces. Fire incidents are usually attributed to force majeure by one of the parties to the agreement to free themselves from liability due to non-implementation of the agreement. The problem begins when a fire occurs, but the worker/laborer and entrepreneur do not agree to declare the existence of force majeure. This research uses a doctrinal research method, which is used in this paper is doctrinal legal research. The research results show that labor law in Indonesia does not clearly regulate force majeure so that the provisions regarding this matter depend on the agreement of the parties to the agreement. If there is no agreement, dispute resolution must go through court. The Industrial Relations Court and the Supreme Court have handled force majeure cases several times. However, several decisions from the Industrial Relations Court and the Supreme Court show that there are differences in the application of force majeure in relation to fires in companies.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wyne Aulia Rachman
Abstrak :
Pandemi COVID-19 merupakan salah satu faktor yang mempopulerkan sistem kerja jarak jauh (remote working) di Indonesia. Sistem remote working ini diketahui membawa manfaat baik bagi pekerja maupun perusahaan. Pada sisi pekerja, mereka tidak perlu merogoh kocek lebih dalam untuk commuting ke kantor. Sementara bagi perusahaan, pelaksanaan remote working dinilai dapat mengurangi biaya operasional kantor. Namun, permasalahan akan selalu muncul selama Indonesia belum memiliki regulasi yang melindungi pekerja jarak jauh (remote worker) tersebut. Berbeda dengan Belanda yang telah mengesahkan peraturan perundang-undangan terkait bekerja fleksibel dan bekerja dari jarak jauh sejak tahun 2016 dalam rangka mensejahterakan pekerjanya, khususnya pekerja perempuan, juga dalam rangka penerapan prinsip Work-Life Balance Penelitian ini bertujuan untuk mencari pelajaran yang dapat diambil dari kerangka hukum yang mengatur perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja dalam konteks pekerjaan jarak jauh di Indonesia dan Belanda. Studi ini bertujuan untuk menganalisis peraturan, pedoman, dan praktik yang berkaitan dengan implementasi sistem kerja jarak jauh untuk memastikan kesejahteraan dan keselamatan karyawan. Dengan melakukan analisis hukum di Indonesia dan Belanda, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesamaan, perbedaan, dan hal-hal yang dapat dipetik di antara praktik dari kedua sistem hukum tersebut. Tulisan ini menjabarkan poin-poin yang sekiranya dapat dipelajari oleh Indonesia, salah satunya adalah menyamakan persepsi office worker dan remote worker, bahwa keduanya sama-sama memiliki hak untuk dilindungi dalam aspek kesehatan dan keselamatan kerjanya ketika bekerja di luar kantor utama. Ketidaklengkapan regulasi inilah yang perlu dilengkapi oleh Pemerintah Indonesia guna melindungi hak-hak remote worker, khususnya dalam aspek kesehatan kerja, serta menghindari tereksploitasinya remote worker. ......The COVID-19 pandemic has been a catalyst for the widespread adoption of remote working systems in Indonesia. The remote working model has been recognized for its benefits to both employees and companies. Employees enjoy the convenience of avoiding commuting costs, while companies perceive the implementation of remote working as a means to reduce operational expenses. However, challenges persist in the absence of regulations safeguarding the rights of remote workers in Indonesia. In contrast, the Netherlands has enacted legislation related to flexible and remote work since 2016, aimed at enhancing the well-being of workers, particularly women, and promoting the principles of Work-Life Balance. This research aims to draw lessons from the legal frameworks governing health and safety in remote work contexts in Indonesia and the Netherlands. The study seeks to analyze regulations, guidelines, and practices related to the implementation of remote working systems to ensure the well-being and safety of employees. By conducting a legal analysis in both Indonesia and the Netherlands, this research aims to identify similarities, differences, and key insights that can be gleaned from the practices of both legal systems. This article outlines points that Indonesia could learn from, including the need to align perceptions of office workers and remote workers, recognizing that both are entitled to protection in terms of health and safety when working outside the main office. The inadequacy of existing regulations underscores the necessity for the Indonesian government to enhance legal protections for remote workers, particularly in the realm of occupational health, and to prevent the exploitation of remote workers.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Kamila Malik
Abstrak :
Kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan yang terjadi saat seseorang sedang menjalankan tugas atau bekerja, baik dalam jam kerja maupun di luar jam kerja. Kecelakaan tersebut dapat mengakibatkan cedera fisik atau kerugian lainnya bagi pekerja, perusahaan, atau bahkan lingkungan sekitarnya. Salah satu hak bagi pekerja adalah hak untuk kondisi kerja yang aman dan sehat. Pekerja memiliki hak untuk bekerja dalam lingkungan yang aman dan sehat tanpa risiko serius terhadap Kesehatan dan Keselamatan kerja (K3). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja meliputi kesalahan manusia, kondisi lingkungan kerja yang tidak aman, atau kegagalan sistem keselamatan kerja. Penting bagi perusahaan untuk memiliki program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang efektif guna mencegah terjadinya kecelakaan dan melindungi para pekerja. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) sangatlah penting dalam lingkungan kerja. K3 yang baik dapat membantu melindungi pekerja dari cedera, penyakit, atau bahaya lainnya yang mungkin terjadi saat bekerja. Kepatuhan terhadap peraturan K3 yang berlaku adalah kewajiban bagi perusahaan, mematuhi aturan tersebut tidak hanya membantu melindungi pekerja, tetapi juga menghindari sanksi hukum dan reputasi yang buruk bagi perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di PT MMT, dan mengidentifikasi hak pekerja yang mengalami kecelakaan kerja di PT MMT. Dengan melakukan analisis terhadap hak pekerja yang mengalami kecelakaan kerja di PT MMT, dapat diketahui apakah pekerja mendapatkan hak-haknya sebagai seorang pekerja di suatu perusahaan. Dengan memprioritaskan K3, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, sehat, dan produktif bagi semua orang yang terlibat. ......A work accident is an undesirable event that occurs when someone is carrying out their duties or working, either during working hours or outside working hours. These accidents can result in physical injuries or other losses for workers, companies, or even the surrounding environment. One of the rights for workers is the right to safe and healthy working conditions. Workers have the right to work in a safe and healthy environment without serious risks to occupational health and safety (K3). Factors that can cause work accidents include human error, unsafe work environment conditions, or failure of work safety systems. It is important for companies to have an effective Occupational Health and Safety (K3) program to prevent accidents and protect workers. Occupational Health and Safety (K3) is very important in the work environment. Good K3 can help protect workers from injuries, illnesses or other dangers that may occur while working. Compliance with applicable K3 regulations is an obligation for companies, complying with these regulations not only helps protect workers, but also avoids legal sanctions and a bad reputation for the company. This research aims to analyze provisions regarding Occupational Health and Safety (K3), the implementation of Occupational Health and Safety (K3) at PT MMT, and identify the rights of workers who experience work accidents at PT MMT. By analyzing the rights of workers who experience work accidents at PT MMT, it can be seen whether workers have their rights as workers in a company. By prioritizing K3, companies can create a safer, healthier and more productive work environment for everyone involved.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zarrah Mutia Sakinah
Abstrak :
Peraturan perusahaan merupakan aturan tertulis yang dibuat oleh pengusaha untuk mengatur hubungan kerja di lingkungan perusahaan. Aturan ini menjadi dasar hukum bagi pengusaha dan pekerja/buruh dalam menjalankan aktivitasnya. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan perusahaan oleh pekerja/buruh, hal ini dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara sepihak cenderung menimbulkan konflik antara pengusaha dan pekerja/buruh. Penelitian ini menggunakan penelitian doktrinal dengan tipologi deskriptif analitis. Data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumen dan dianalisis dengan metode kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami serta menganalisis kompensasi dan implikasi hukum dari pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan dengan alasan pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Perusahaan (PP). Studi kasus pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1076 K/Pdt.Sus-PHI/2023 menunjukkan bahwa PHK yang dilakukan oleh pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, sehingga dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Penelitian ini mengungkap bahwa PHK yang dilakukan secara semena-mena dan sepihak oleh pengusaha, tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, berpotensi menimbulkan dampak yang serius. Sebagai akibat dari PHK tersebut, pekerja berhak menerima kompensasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya kehati-hatian Majelis Hakim dalam memutus perkara mengakibatkan penggugat tidak menerima ganti rugi sebagai akibat dari PHK yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. ......Company regulations are written rules made by employers to regulate working relationships within the company. This rule becomes the legal basis for employers and workers/laborers in carrying out their activities. However, if there is a violation of company regulations by workers/laborers, this can result in termination of employment. Unilateral termination of employment tends to cause conflict between employers and workers/laborers. This research uses a doctrinal approach with analytical descriptive typology. Secondary data is collected through document study and analyzed using qualitative method. The purpose of this study is to understand and analyze the compensation and legal implications of termination of employment carried out by the company on the grounds of violation of provisions in the Company Regulation. The case study on the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 1076 K/Pdt.Sus-PHI/2023 shows that the layoffs carried out by employers are not in accordance with the provisions of Article 52 paragraph (1) of Government Regulation Number 35 of 2021, so they are categorized as Unlawful Acts. This research reveals that layoffs carried out arbitrarily and unilaterally by employers, without following the applicable procedures, have the potential to cause serious impacts. As a result of such termination, workers are entitled to receive compensation in accordance with applicable regulations. However, the results showed that the lack of caution of the Panel of Judges in deciding the case resulted in the plaintiff not receiving compensation as a result of the termination which was categorized as a tort.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>