Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kuswardani Susari Putri
Abstrak :
Kesejahteraan Psikologis adalah konsep multi dimensional mengenai sejauh mana seseorang menjalankan fungsi-fungsi psikologisnya secara positif. Berdasarkan teori psikologi klinis, psikologi perkembangan dan teori kesehatan mental, Ryff mengemukakan 6 dimensi yang tercakup dalam kesejahteraan psikologis, yaitu 1) dimensi penerimaan diri (Self-Acceptance) yang mengacu pada penilaian diri dan penerimaan masa lalu secara positif dimana hubungan yang positif dengan orang lain (Positive Relationship with Othem), yang mengacu pada kemampuan seseorang menjalin hubungan yang berkualitas dengan orang lain, 3)dimensi otonomi (Autonomy), yang mengacu pada mengacu pada kemandirian, 4) dimensi penguasaan lingkungan (Environmental Mastery), yang mengacu pada kemampuan individu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis dan kebutuhan individu. 5) dimensi tujuan hidup (Purpose in LW), yang mengacu pada kehidupan yang dirasa bermakna dan adanya tujuan hidup yang jelas dan 6) dimensi pertumbuhan pribadi (Personal Growth) yang mengacu pada pengembangan potensi-potcnsi yang ada, tumbuh dan berkembang sebagai pribadi.
Dalam penelitian ini, dampak psikologis dari kekerasan yang pernah dialami oleh seorang istri diasumsikan sebagai titik tolak keadaan kesejahteraan psikologisnya pada saat ini. Tindak kekerasan terhadap istri yang terjadi dalam lingkup rumah tangga lebih kita kenal dengan istilah kekerasan domestik (domestic violence), di mana pelaku kekerasan pada umumnya adalah pasangan atau suami. Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dapat membahayakan kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis bagi seorang istri. Secara psikologis perempuan akan memiliki self esteem yang rendah. Selain itu, kekerasan yang dilakukan secara berulang-ulang juga akan menyebabkan perempuan menjadi pasif dan mengembangkan learned helpiessness (kehilangan keyakinan akan kemampuan untuk keluar dari suatu keadaan) karena tidak menemukan jalan keluar, sehingga percaya bahwa setiap tindakan yang diambil akan memperburuk situsi, yang lebih dikenal dengan islilah batered women 's syndrome.
Pandangan umum menyatakan bila kita berada dalam situasi yang menyakitkan atau membahayakan, maka kita akan menghindari atau keluar dari situasi tersebut. Akan tetapi, dalam menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, keputusan untuk meninggalkan hubungan kekerasan merupakan keputusan yang sulit karena berbagai faktor yang harus dipertimbangkan oleh istri seperti ketergantungan ekonomi pada suami, tidak adanya dukungan sosial dari lingkungan bahkan adanya ancaman dari suami yang akan membunuhnya.
Selanjutnya, perempuan juga akan menghadapi stigma sosial bahwa ia dianggap tidak mampu menjadi istri yang baik sehingga suami bertindak kasar terhadapnya. Pertimbangan-pertimbangan tersebut seringkali membuat perempuan tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Bertahan dalam situasi kekerasan dan penganiayaan membuat perempuan belajar suatu survei techniques atau strategi coping. Namun, ketika strategi coping ini ternyata tidak mampu untuk melindungi diri dan anak dan kekerasan, maka mereka akhimya pergi atau keluar dari hubungan tersebut. Mengakhiri hubungan yang penuh kekerasan berarti harus berpisah dari suami. Pada kenyataannya, hukam hal yang mudah bagi istri untuk melanjutkan kehidupan beserta anak-anaknya setelah bercerai dari suami yang abusive. Banyak hal yang harus dilakukan, dihadapi, dan dibcnahi atau diperbaiki oleh perempuan tersebut. Misalnya, apa yang harus ia lakukan untuk membiayai hidupnya dan anaknya jika dulunya ia hanya tergantung secara finansial pada suaminya, bagaimana ia memulihkan luka-luka (fisik dan psikis) setelah mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mantan suaminya, dan sebagainya. Hal-hal tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, diperlukan tenaga dan waktu yang lama, juga perjuangan yang besar karena secara psikologis dampak kekerasan yang dialami dapat menyebabkan istri mengalami stres pasca trauma (PTSD), deprsi, bahkan muncul keinginann untuk bunuh diri. Selain itu, luka batin yang dirasakannya dapat mengakibatkan istri memiliki self esteem 'rendah yang akan berpengaruh pada kesejahteraan psikologisnya walaupun ia sudah meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan tersebut. Dari uraian di atas, terlihat bahwa akibat dari kekerasan yang dialami, bukan saja menyebabkan istri memiliki perasaan learned heyrlessnavs saat masih bertahan dalam situasi kekerasan. Bahkan setelah bercerai sekalipun dampaknya masih tetap dirasakan, seperti merasa tidak percaya pada kemampuannya, selalu berpikir negatif tentang dirinya dan masih memiliki rasa bersalah mengenai keputusannya untuk bercerai dari suaminya. Hal tersebut secara langsung menghambat perempuan tersebut dalam merealisasikan fungsi positif yang ada pada dirinya yang dapat mengganggu kondisi kesejahteraan psikologisnya. Penelitian ini mengkaji kesejahteraan psikologis istri yang telah bercerai dari suami pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : Secara umum ke 3 subyek merasa kurang sejahtera secara psikologis jika dibandingkan dengan ibu-ibu rumah tangga biasa. Hal ini tampak pada profil yang dihasilkan terhadap pengukuran SKP yang menunjukkan bahwa 3 subyek menunjukkan skor yang lebih rendah pada setiap dimensinya jika dibandingkan dengan skor rata-rata pembandingnya. Namun demikian dari hasil ‘wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa 2 diantaranya (V dan Y) merasa lebih sejahtera dan satu subyek lainnya (S) merasa kurang sejahtera secara psikologis sesuai dengan profil SKP yang dihasilkan. Memperhatikan hasil penelitian ini dapat diajukan beberapa saran agar penelitian berikutnya dapat menjadi lebih baik 1 yaitu perlu memperbanyak subyek penelitian hingga diperoleh suatu kesimpulan yang lebih luas mengenai gambaran kesejahteraan psikologis istri setelah bercerai meninggalkan suami yang abusive. Kemudian juga disarankan bahwa mengingat topik ataupun persoalan yang ingin diteliti merupakan persoalan yang sensitif, maka peneliti selanjutnya diharapkan dapat membentuk raport yang lebih baik lagi terhadap subyek penelitian, yaitu lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan subyek dan lingkungannya sebelum melakukan wawancara penelitian Hal ini dilakukan agar peneliti mengetahui penyebab yang dapat menimbulkan perbedaan antara hasil self report dengan wawancara yang dilakukan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan melibatkan significant others agar pemahaman mengenai kesejahteraan psikologis pada istri yang telah bercerai dari suami yang abusive, dapat menjadi lebih banyak dan menyeluruh. Perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan bagaimana keadaan kesejahteraan psikologis dengan pengalaman yang sama pada subyek yang sudah lama masa bercerainya dan tidak bergabung dalam Mitra Apik. Selain itu saran praktis yang diajukan apabila konselor menghadapi permasalahan tersebut adalah diutamakan melakukan konseling yang bertujuan untuk meningkatkan self esteem dan mereduksi perasaan learnerd helplesness yang masih menjadi keluhan utama bagi istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga meskipun telah bercerai dari suaminya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Megawaty Affriany
Abstrak :
Perkawinan kembali merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan setelah seorang wanita bercerai. Hasil survey di Amerika Serikat yang dilakukan kepada wanita bercerai menyebutkan bahwa 90% mempertimbangkan akan melakukan perkawinan kembali jika menemukan pasangan yang tepat (Thabes,dalam Papalia dkk 2001). Setelah perceraian, anak-anak umumnya tinggal bersama ibunya. Karenanya wanita seringkali membawa anaknya pada perkawinan berikutnya. Perkawinan kembali pascacerai yang melibatkan anak dan perkawinan sebelumnya cenderung memiliki masalah. Masalah akan semakin bertambah ketika wanita bercerai melakukan perkawinan kembali dengan pria lajang, Penyesuaian dalam perkawinan cenderung semakin sulit bila orang tua tirinya belum pernah menjadi orang tua sebelumnya (Hurlock, 1986). Untuk mewujudkan perkawinan kembali yang berhasil dan bahagia pasangan perlu melakukanpenyesuaian perkawinan pada berbagai area dalam perkawinan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan jumlah responden 2 pasangan suami istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang biasa dihadapi pada perkawinan kembali pascacerai adalah masalah persetujuan keluarga, masalah hubungan ayah tiri dan anak tiri yang berusia remaja, masaiah hubungan dengan mantan suami, masalah antara suami dan istri akibat hubungan ayah tiri dan anak tiri yang kurang baik, masalah keuangan keluarga, kesulitan ijin dari suami jika mantan suami ingin berternu, dan masalah penggantian nama mantan suami dalam akte kelahjran anak. Strategi penyesuaian yang dilakukan setiap pasangan berbeda pada setiap masalah. Strategi yang paling dominan adalah aktif kompromi di mana penyelesaian masalah hanya memuaskan satu pihak. Gambaran penyesuaian perkawinan yang cukup berhasil tampak pada sedikit masalah pada area penyesuaian perkawinan. Gambaran penyesuaian yang kurang berhasil ditandai dengan masalah pada berbagai area penyesuaian yang belum terselesaikan.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Riana
Abstrak :
Hidup bersama orang lain dalam suatu pernikahan, penuh dengan tuntutan dan masalah yang harus dihadapi. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah konflik suami istri dan kehadiran anak yang dapat menambah konflik tersebut. Jika masalah-masalah tersebut tidak dapat diatasi dengan baik, maka dapat menimbulkan kekecewaan. Kekecewaan yang terus menerus disertai stres kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan terjadinya burnout. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat gambaran burnout pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan memiliki anak usia sekolah. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan metode wawancara Pengambilan data dilakukan pada tiga orang ibu rumah tangga yang telah mengalami burnout. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi ibu rumah tangga sehingga dapat menimbulkan burnout adalah overload, conflicting, demands, Kebosanan, perselingkuhan suami tidak terpenuhinya kebutuhan afeksi dan komunikasi sering perubahan sikap suami. Upaya subyek untuk menghadapi masalah mereka adalah dengan menggunakan strategi emolionfocusea' coping, yaitu subjek cenderung menerima keadaan mereka saat ini. Hal ini menyebabkan mereka berada pada kondisi humour. Mereka mengalami kelelahan fisik berupa badan terasa Lelah, keluhan sakit badan seperti sulit bernafas. sakit kepala mudah terkena sakit dan badan panas. Kelelahan mental, berupa perasaan tidak berharga, tidak berguna, merasa lebih tua dari umur yang sebenarnya dan merasa terjebak. Sedangkan kelelahan emosional berupa merasa kesal, marah, berubahnya perasaan terhadap suami dan merasa tidak pernah merasakan bahagia. Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan untuk menambah subjek penelitian dan juga mewawancarai suami.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Venie Viktoria RM
Abstrak :
Pada awalnya, seseorang yang menderita skizofrenia mungkin tidak diketahui oleh lingkungan mengenai gangguan yang dideritanya. Ketika keluarga mengetahui hal ini, tidak jarang mereka harus hidup bersama dengan penderita. Di rumah, para penderita tinggal bersama anggota keluarga yang lain, termasuk di antaranya adalah orang tua. Bagi orang tua, kehadiran anak merupakan suatu prestasi tersendiri. Beberapa orang tua bahkan menganggap kehadiran anak sebagai penegasan akan kesuksesan dan kemampuan mereka sebagai orang tua (Gargiulo, 1985). Ketika orang tua mendengar dari dokter atau psikolog bahwa anaknya menderita skizofrenia, mereka biasanya akan mengalami shock. Menurut Duncan & Moses (dalam Gargiulo, 1985), shock merupakan fase awal yang biasanya terjadi ketika seseorang mengetahui salah satu anaknya mengalami gangguan skizofrenia sebelum akhirnya mereka menerima keadaan anaknya. Duncan & Moses, berdasarkan konsep penerimaan dari Kübler-Ross (dalam Gargiulo, 1985), menyatakan bahwa penerimaan orang tua terhadap anak mereka dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tiga tahap penerimaan orang tua tersebut terdiri atas primary phase, secondary phase, dan tertiary phase. Shock terjadi pada tahap primary phase dan penerimaan berada pada tahap tertiary phase. Ketika lingkungan mengetahui gangguan yang dialami penderita, lingkungan sekitar sering kali menjauhi dan mempermalukan penderita maupun keluarganya. Keluarga dan masyarakat juga menganggap bahwa skizofrenia merupakan penyakit yang berbahaya, memalukan, dan membawa aib keluarga. Bahkan mereka menganggap skizofrenia sebagai akibat dari terkena guna-guna, kemasukan setan, kemasukan roh jahat, kutukan, dilanggarnya larangan (tabu), dan lain sebagainya yang berlandaskan kepercayaan supranatural (Hawari, 2001). Menurut Hawari (2001), sebagai konsekuensi kepercayaan di atas, banyak penderita skizofrenia tidak dibawa ke dokter. Di antara mereka, penderita sering disembunyikan oleh keluarga mereka. Padahal mereka justru membutuhkan dukungan dan penerimaan dari keluarga serta lingkungan sekitar mereka. Masalah lain yang berkaitan dengan hal ini adalah biaya pengobatan penderita. Hal ini juga dapat menjadi beban tersendiri bagi orang tua, karena membutuhkan dana yang tidak sedikit dan ini akan meningkatkan pengeluaran biaya, yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi keluarga. Masalah-masalah tersebut dapat mempersulit penerimaan keluarga terhadap penderita. Dengan demikian, penelitian ini ingin melihat gambaran penerimaan keluarga, khususnya orang tua dari penderita skizofrenia, dengan melihat tahapan penerimaan dari orang tua menurut Duncan & Moses yang didasarkan dari konsep penerimaan Kübler-Ross serta masalah-masalah yang dapat mempengaruhi penerimaan orang tua. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tahap-tahap yang terjadi pada kedua pasangan orang tua terlihat tumpang tindih dan masing-masing orang tua memiliki keunikannya masing-masing. Kedua pasangan orang tua juga belum dapat menerima sepenuhnya keadaan anak mereka. Masalah-masalah yang dihadapi orang tua, yaitu masalah biaya, lingkungan, dan intensitas gangguan penderita, pernah dialami oleh kedua pasangan orang tua dan bahkan ada yang masih mengalaminya hingga saat ini. Beberapa masalah tersebut telah dapat ditangani oleh kedua pasangan orang tua.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wesmira Parastuti
Abstrak :
Tingkah Iaku yang ditampilkan individu salah satunya ditentukan oleh motif yang ada dalam dirinya. Tidak semua motif disadari oleh individu, bahkan sebagian besar motif tidak disadari individu. Motif intimacy merupakan salah satu dari sejumlah motif yang dimiliki individu. Motif intimacy merupakan dorongan intemal individu dalam berbagi keterbukaan, kontak, komunikasi timbal balik, kesenangan Kasih saying dan perhatian pada orang lain. Intimacy semakin stabii saat inividu memasuki tahapan usia dewasa muda Pada S881 temebut motif dan kebutuhan untuk intimacy menjadi hal yang disadari penuh. Karena ini, individu mulai mencari pasangan yang tetap untuk mempersiapkan dalam tugas perkembangan selanjutnya, yaitu berkeluarga. Adanya perbedaan stereotipi gender yang mengatakan bahwa wanita memiliki karakteristik yang lebih bisa menampilkan intimacy dibandingkan pria Untuk mengukur perbedaan motif intimacy ini dapat digunakan sistem skoring dari McAdams (1980) melalui suatu asesmen yang diesebut dengan Hiemaric' Apperception Test, yang berusaha mengungkap motif yang sifatnya beium tentu disadari sepenuhnya Sistem skoring ini terdiri dari 10 kategori motif intimacy. Dalam penelitian ini penulis berusaha melihat apakah motif intimacy yang terungkap pada TAT juga dapat terungkap dalam bentuk lapor diri (wawancara) yang bentuknya lebih disadari individu dan juga sebaliknya, apakah basil wawancara yang temngkap mendukung apa yang telah idapatkan berdasarkan TAT. Penulis juga ingin mlihat apakah benar bahwa wanita pada umumnya memiliki motif intimacy yang lebih tinggi daripada pria Sesuai penelitian yang dilakukan McAdams, penulis memakai 7 kartu TAT, dan ditambah dengan metode kualitatif (wawancara) untuk mengungkapkan motif intimacy yang bentuknya iebfih disadari individu Jumlah subyek sebanyak 8 orang, yang terdiri dari pasangan pacaran pria dan wanita kelompok usia dewasa muda (4 orang wanita, dan 4 orang pria). Hal ini ditujukan untuk dapat sekaligus melihat dinamika keinginan untuk intimacy yang berbeda pada wanita dan pria pasangan yang sedang pacaran. Hasil yang didapatkan sesuai dengan pandangan umum gender, yaitu rata-rata skor motif inrimacy berdasarkan TAT pada pasangan pacafan usia dewasa muda menunjukkan bahwa subyek wanita memiliki skor motif intimacy yang Iebih tinggi darioda subyek pria Ini menunjukkan bahwa pada subyek wanita umumnya memiliki dorongan intemal (yang bentuknya kurang/tidak disadari) yang lebih besar dalam berbagi keterbukaan, kontak, komunlkasi timbal balik., kesenangan, kasih sayang dan perhatian pada orang lain. Motif intimacy berdasarkan wawancam secara umum terungkap bahwa pada setiap subyek wanim secara sadar mengemukakan keinginan untuk lebih banyak menikmati kebersamaan dengan paaangannya (union) dan daiam bentuk escape to im'fmak.y. Hal ini tidak terungkap pada subyek laki-Iaki pasangannya. Hampir seluruh kategori motif intimacy yang muncul pada TAT juga muncul pada wawancara Ini menunjukkan bahwa pada umumnya semua motif intimacy yang sifatnya tidak disadari dapat terungkap secara disadari. Sedangkan, ada banyak kategori motif intimacy yang hanya muncul pada wawancara, namun tidak muncul berdasarkan TAT. Ini menunjukkan bahwa wawancara mengungkapkan kategoli motif intimaqf yang tidak terungkap melalui TAT- Hal ini dapat te|jadi karena biasanya dalam bentuk laporan biografi dari individu (wawancara) banyak muncul Iapor diri yang diterima secafa sosial dan terlihat "normal". Sehingga keinginan/dorongan inrimacy -yang merupakan keinginan yang sangat diterima secara sosial dan terlihat "normal"~ lebih banyak muncul dari wawancara yang diperoleh Terlebih lagi subyek penelitian yang digunakan adalah kelompok usia dewasa muda yang memiliki kebutuhan untuk intimaqy yang disadari penuh. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan agar memperbanyak jumlah sampel agar dapat lebih digeneraiisasikan, membuat standarisasi motif intimacy dari McAdams, sehingga dapat ditentukan motifintimaqy yang tergolong tinggi, sedang atau rendah, dan mélihat perbedaan tingkah laku antara individu yang bermotif tinggi, sedang dan rendah melalui setting yang menyerupai kehidupan sehari-hari (misalnya psikodrama). Penulis juga menyarankan agar memperdaiam pertanyaan wawancara yang diberikan pada subyek penelitian, dengan menambahkan butir pertanyaan mengenai pandangan subyek wanita terhadap pasangannya, dan sebaliknya. Hai ini ditujukan unmk lebih memahami dinamika motif intimacy pada pasangan, sehingga hasil yang diperoleh lebih kaya dan mendaiam Penulis menyarankan agar melakukan penelitian ini pada berbagai kelompok usia, untuk mengetahui apakah motif intimacy (seperti juga motif-motif lainnya yang dapat diterima secara sosial) memang biasanya lebih banyak terungkap melalui wawancara (lapor diri yang disadari) dibandingkan melalui TAT. Iuga disarankan untuk penyekor scoring dengan memakai beberapa pemeriksa, sehingga reliabilitas penyekoran lebih sahih (dengan menggunakan inter rarer reliability), dan mempertimbangkan jangka waktu pacaran pada subyek penelitian. Terakhir, penulis menyarankan melakukan penelitian pada sejumlah kelompok yang dinilai memiliki sifat androgini untuk mengetahui apakah pada umumnya wanita dalam kelompok tersebut juga memiliki motif imimacy yang lebih tinggi daripada pria.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusung, Zoya Dianaesthika
Abstrak :
Sebagian besar tugas perkembangan dewasa muda adalah mencari pasangan dan menikah. Salah satu aspek yang penting di persiapkan adalah seksualitas. Seksualitas artinya adalah nilai, sikap dan perilaku indivu sehubungan dengan kepriaan dan kewanitaannya. Dewasa muda yang memperoleh informasi yang .benar mengenai seksualitas, dapat menjalani eksistensinya secara natural. Karena alasan tersebut penlis tertarik melakukan penelitian untuk melihat gambaran wawasan seksualitas dewasa muda saat ini, agar nantinya memudahkan pekerjaan psikolog klinis dalam melakukan konseling pranikah. Penelitian ini juga bertujuan memberikan gambaran pengetahuan mengenai seksualitas agar dapat dikembangkan menjadi pendidikan seks untuk dewasa muda. Penelitian ini dengan pendekatan kualitatif akan digunakan teknik interviu in depth.Interviu in depth merupakan instrumen penelitian yang netral dan empatis dalam proses dan cara pengumpulan datanya dalam penelitian kualitatif, khususnya pada penelitian dengan tema seksualitas sebaiknya peneliti memiliki kepekaan terhadap isu-isu seputar seksualitas dalam melakukan penelitian. Hasil penelitian menggambarkan bahwa wawasan seksualitas dewasa muda saat ini lebih pada seksualitas dalam arti sempit seperti senggama, genital,dan pornoografi. Pria sangat perduli térhadap performa seksual dan wanita lebih perduli pada bentuk tubuhnya. Dewasa muda memiliki kemauan melakukan komunikasi yang baik dalam hubungan seksualnya tetapi kurang pengetahuan mengenai kontrasepsi. Baik yang sudah melakukan hubuhgan seks pranikah ataupun belum kurang mengetahui bagaimana tubuh secara fisik,biologis dan psikologis bekerja dalam tahapan senggama. Padahal dengan mengerti tahapan senggama maka individu dapat memaksimalkan kualitas hubungan saksualnya. Harapan penulis penelitian ini dapat dikembangkan menjadi sebuah modul pendidikan seks untuk dewasa muda dan atau sebagai pendidikan seks untuk persiapan pernikahan juga untuk konseling pranikah.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenya Puspita W.
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah sistem nilai, intemalisasi nilai, dan konf1iI< antar nilai pada individu yang memiiih unmk menjadi wanita simpanan. Penelitian ini mcngacu pada teori Sistem Nilai Schwartz. Penelitian dilakukan secara kualitatif tcrhadap dua orzmg wanita dewasa muda yang menjadi wanita simpanan. Partisipan dipilih secara purposiil dan pengambilan data dilakukan dengan mctodc wawancara serta observasi partisipatif. Berdasarkan basil penelitian, dikctahui bahwa Iingkungan keluarga, terutama ibu amat berperan dalam intemalisasi nilai, baik melalui moralisasi maupun imitasi. Kcdua partisipan juga melakulcan intemalisasi melalui pemilihan beliqf yang ada., sctclah sebelumnya didahului olch pengalaman subyektif kcdua partisipan. Nilai yang paling berperan pada kedua partisipan adalah nilai Hedonism, dan Power: Kedua nilai ini biasa mcreka jadikan acuan dalam resolusi konflik antar nilai. Kedua partisipan mengalami koni1lk antar nilai yang bcrbeda, tcrkait dengan sistem nilai yng mereka miliki. Kedua partisipan memiliki pemahaman bahwa nilai-nilai tersebut dapat terpenuhi melalui banyaknya materi yang mereka miiiki. Hal-hal ini mempengaruhi individu untuk memilih menjadi wanita simpanan. ......The purpose of this research is to discover the value system, value intemalization, and conflict between values in individuals who chooses to become mistresses. The research was based on Value System Theory by Schwartz. The research was conducted qualitatively on 2 young adult woman who chases to become mistresses_ Participants were chosen putjposively, and data was gathered by interview and participant observation method. According to the results of the research, it is known that famiht, especiallv mother, contributed signyicantly on value internalteation, either by moralization or imitation. One of the value internalizattbns method used by partichtants is choosing among other belief with previous subjective experience. Hedonism and Power seemed to be the two dominant values held by the participants. These values are also used in values conflict resolution. These two particmants are experiencing diferent kind of value conflict, related to their unique value system. From particn:ants‘ point of view, these two dominant values can be jityilled by material sufficiency. These factors aject participants to choose to become mistresses.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34070
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hoshael Waluyo Erlan
Abstrak :
Peneliiian ini bertujuan untuk mengetahui efek jangka panjang dari bullyng bagi para individu dewasa yang pemah menjadi korban. Subyek penelitian ini berjumlah 3 orang, 2 orang pria dan 1 orang wanita, yang pemah mengalami menjadi korhan bullying ketika duduk bersekolah di jenjang SMA. Semua subyek penelitian melaporkan pernah di-bully di sekolah dengan rata-rata 2 kali seminggu atau lebih, selama paling tidak 2 tahun. Dua subyek penelitian di-bully di sekolah negeri dan satu orang di sekolah swasta. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif dan menggunakan teknik wawancara mendalam. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa para subyek mempersepsikan adanya efek jangka panjang seperti rasa malu, kecemasan, dan kesulitan dalam menjalin relasi sosial dalam masa dewasa mereka. Dengan demikian melalui penelitian ini ditemukan bahwa bullyng dipersepsikan memiliki dampak yang serius, dan dampak ini dapat menetap bila tidak ditangani dengan baik.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34209
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gantina Komalasari
Abstrak :
Penelitian ini berawal dari pemikiran bahwa memasuki pensiun bukan merupakan hal yang mudah dan sering kali menimbulkan masalah psikologis bagi yang menjalaninya. Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, nilai dan pola hidup individu secara menyeluruh. Bagi individu yang belum siap menghadapi pensiun dan belum siap untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan psikologis, finansial dan social yang mungkin terjadi akan menganggap bahwa pensiun merupakan suatu periode kepahitan, kegetiran dan sesuatu yang mengancam, karena terpaksa harus kehilangan hal-hal yang pernah menjadi miliknya dan harus menyesuaikan diri dengan cara hidup baru yang belum diketahuinya. Berbagai perubahan dan penyesuaian yang khas sifatnya akan dihadapi seorang individu pada saat memasuki masa pensiun, demikian pula di kalangan PNS. Keadaan ini menuntut pengertian dan perlakuan tersendiri dari orang lain maupun dirinya sendiri. Sejalan pula dengan arah pembangunan jangka panjang kedua, kita perlu memberi perhatian terhadap penduduk usia lanjut agar dapat tetap berperan dalam pembangunan khususnya pembinaan generasi muda dan masyarakat. Untuk itu pemahaman mengenai pensiun merupakan hal yang mendasar; dengan dasar pemahaman yang komprehensif diharapkan PNS yang MPP dapat menghadapi pensiun dengan lebih baik, yaitu terciptanya penduduk usia lanjut yang produktif dan kreatif, sehingga mampu mengisi hidupnya dengan sesuatu yang bermakna. Penelitian ini mengkaji hubungan antara makna hidup, dukungan sosial dan sikap terhadap pensiun dengan kecemasan dalam menghadapi pensiun pada PNS yang MPP. Berdasarkan kajian teori diajukan 4 hipotesis untuk dibuktikan kebenarannya. Penelitian ini dilakukan pada PNS yang MPP terdiri dari golongan I sampai golongan IV dari Departemen Penerangan, Departemen Tenaga Kerja dan Departemen 'Pendidikan Dan Kebudayaan di DKI Jakarta tahun 1994. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : 1. Hasil analisis Korelasi Sederhana Product Moment dan analisis regresi berganda terhadap variabel yang diteliti menunjukkan Makna Hidup, Dukungan Sosial dan Sikap terhadap pensiun secara keseluruhan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan Kecemasan menghadapi pensiun. Dengan perkataan lain semakin Bermakna Hidup PNS yang MPP, semakin tinggi Dukungan Sosial dan semakin positif Sikap terhadap pensiun, maka akan semakin rendah Kecemasan menghadapi pensiun. Akan tetapi berdasarkan analisis lanjutan Korelasi Parsial terbukti Dukungan Sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan Kecemasan menghadapi pensiun. Dengan demikian dapat diartikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kecemasan menghadapi pensiun pada PNS yang MPP hanya dipengaruhi tinggi rendahnya makna hidup yang dimiliki dan positif tidaknya sikap mereka terhadap pensiun. 2. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, menunjukkan PNS yang MPP pada umumnya memiliki Makna Hidup yang tinggi, Dukungan Sosial yang tinggi, Sikap yang positif terhadap pensiun dan Kecemasan yang rendah dalam menghadapi pensiun. Selanjutnya dengan hasil temuan pada penelitian ini diajukan saran agar ditingkatkan usaha menumbuh kembangkan sikap positif terhadap pensiun dan makna hidup, melalui pengembangan situasi dan kondisi yang memungkinkan kedua aspek tersebut dapat berkembang secara optimal. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan meneliti individu yang telah memasuki masa pensiun, sehingga dapat ditelaah lebih lanjut bagaimana para pensiunan menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dengan menggunakan metode pengumpulan data yang terpadu. Serta dimanfaatkannya hasil penelitian ini sebagai salah satu bahan masukan dalam upaya pengembangan program pelatihan pra pensiun agar individu siap untuk memasuki dan menyesuaikan din terhadap berbagai perubahan pada masa pensiun dan dapat mengembangkan produktivitasnya.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Gemala
Abstrak :
Masa dewasa muda ditandai dengan tugas perkembangan intimacy vs isolation, yaitu individu membuat komitmen yang mendalam dcngan orang lain agar mereka tidak terisolasi (Enikson, dalam Papalia et al., 2001). Menurut Erikson, mengembangkan hubungan intim merupakan tugas yang krusial pada masa ini. Bagi sebagian besar manusia, pernikahan merupakan ekspresi utama/ultimate expression dalam suatu hubungan intim ( Brehm, 1992). Pria dan wanita biasanya menikah atas dasar cinta dan memiliki anak adalah ekspresi dari cinta mereka kepada satu sama lainnya (Duvall & Miller, 1985). Cinta adalah kombinasi atau gabungan dari emosi atau perasaan, kognisi, dan perilaku yang terdapat dalam hubungan intim (Baron & Bymc, 2000). Stcrnberg mendefinisikan cinta terdiri dari tiga komponen, yaitu intimacy, commitment, dan passion (Stemberg & Barnes, 1988). Intimacy, yang merupakan komponen emosional, adalah perasaan dekat, terikat yang dirasakan seseorang dalam hubungan cinta. Passion, yang merupakan komponen motivasional, adalah dorongan-dorongan yang mengarah pada percintaan, ketertarikan iisik, dan seksual. Komponen yang terakhir yaitu commiirnenl yang merupakan komponen kognitif, adalah keputusan untuk mencintai seseorang (jangka pendek) dan komitmen untuk mempertahankan cinta tersebut (iangka panjang). Dalam suatu hubungan, tidak selalu terdapat keseimbangan dalam ketiga komponen cinta sebagaimana yang diketemukakan oieh Stemberg. Geometri pada segitiga cinta tergantung pada intensitas dan keseimbangan dari cinta (Stemberg &. Bames, 1988). lntensitas cinta dalam suatu hubungan dapat dilihat dari area atau ukuran dari segitiga cinta, yakni semakin besar intensitas cinta yang dirasakan seseorang terhadap orang lain maka scgitiga cintanya pun akan semakin besar. Sedangkan keseimbangan cinta dalam suam hubungan dapat dilihat dari bentuk segitiga cinta. Hubungan yang seimbang (dalam ketiga komponen cinta) akan dipresentasikan dalam segidga yang seirnbang. Sedangkan hubungan yang tidak seimbang direpresentasikan dalam bentuk segitiga yang tidak sama sisi, yang didalamnya terdapat salah satu komponen yang paling besar atau dominan. Dalarn suatu hubungan, tidak hanya terdapat segitiga yang menggambarkan cinta terhadap orang lain (bentuk nyata), namun juga merepresentasikan bcntuk yang ideal dalam hubungan terscbut (bentuk ideal). Semakin besar perbedaan pada ukuran maupun bentuk dari segitiga cenderung diasosiasikan dengan rendah atau berkurangnya tingkat kepuasan dalam suatu hubungan (Stemberg & Bames, 1988). Dalam rangka membantu pasangan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam hubungan mereka terkait dengan komponen-komponen cinta, maka Stemberg mcngembangl-can suatu skala yang disebut The Triangular Love Scale (Stemberg, 1988). Skala ini ditujukan untuk mengukur masing-masing komponen dari cinta, namun juga memiliki dua aplikasi praktis. Pertama, dengan adanya skaia ini, dapat membantn pasangan mendapatkan basil yang lebih baik dalam hubungan mereka. Kedua, skala ini juga merumuskan perbedaan-perbedaan di antara pasangan sehingga dapat disarankan perubahan-perubahan apa yang mungkin diperlukan untuk membuat hubungan menjadi Iebih berhasil Pasangan juga dapat mcnjadi lebih dekat atau setidaknya mereka dapat memahami dan menghargai perbedaan yang ada di antara mercka satu sama lain. Melihat kedua fungsi dari Stemberg's Triangular Love Scale. maka dirasakan sangat bermanfaat bila skaia ini diaplikasikan dalam penelitian mengenai gambaran cinta terkait dengan keseimbangan ketiga komponen cinta Stemberg. Dengan mengetahui gambaran dan keseimbangan dari komponen cinta Sternberg, maka dapat juga diiihat bagaimana kepuasan yang dirasakan oleh individu tersebut akan hubungan yang rnereka jalani dengan pasangan. Karena keterbatasan waktu, penelitian dilakukan sebagai pengembangan alat tes psikologi, yaitu dengan melakukan validasi alat tes hanya pada individu dewasa muda. Validasi yang dilakukan adalah dengan meiihat validitas dan reliabilitas dari Slemberg’s Triangular Love Scale. Selain validasi alat tes, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat gambaran cinta pada individu dewasa muda yang menikah, dengan memberikan skala pada sampel yang cukup bcsar, yaitu 100 subjek yang terdiri dari 50 pria dan 50 wanita. Sebagai ilustrasi akan dilakukan wawancara dengan sepasang suami istri dewasa muda untuk mengetahui apakah ada kesesuaian antara segitiga cinta mereka dengan kepuasan dalam hubungan mereka. Hasil uji validitas per item menunjukkan bahwa hampir semua item memiliki korelasi yang tinggi dengan skor total dimensinya, kccuali pada item no.2 dan 5 pada dimensi intimacy, yang memiliki tingkat korelasi lebih tinggi dengan komponen passion (item no.2) dan komponcn commilmem (item 1105). Kedua item ini tidak valid karena saling tumpang tindih antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain, dan hal ini dapat dilihat dari tingkat korelasi yang signifikan antar dimensi.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T34125
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>