Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adinur Prasetyo
"Dalam rangka pembiayaan pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara dalam menjalankan pemerintahan dan pelaksanaan program pembangunan nasional diperlukan pajak.
Berdasarkan rasio tingkat pengembalian SPT dan tax ratio sebagai indikator kepatuhan Wajib Pajak, tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia tergolong rendah yang disebabkan oleh permasalahan pada beberapa faktor dalam sistem administrasi pajak, yakni faktor manusia (rendahnya gaji fiskus dan mental negatif bangsa Indonesia yang cenderung suka menerabas), faktor lemahnya law enforcement (yakni, tidak adanya kesungguhan dalam penindakan-penindakan kasus KKN oleh aparat penegak hukum, sifat permisif masyarakat yang cenderung toleran terhadap praktek KKN, dan tidak adanya teladan dari para pemimpin dalam memerangi KKN), dan faktor organisasi (yakni, tidak produktifnya sebagian karyawan Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menghimpun tambahan pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak kepada Negara).
Pencapaian penerimaan pajak secara optimal harus dilakukan melalui institutional arrangement dan program kerja terhadap tiga permasalahan yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak tersebut. Tumbuhan akan hidup dan berkembang/berbuah di atas tanah yang subur, oleh karena itu tanah yang subur harus diberi pupuk. Ibarat tumbuhan, tingkat kepatuhan Wajib Pajak (sebagai tanah subur) optimal, apabila didukung oleh ketiga faktor tersebut di atas (sebagai pupuk). Oleh karena itu, Penulis mengajukan solusi alas permasalahan faktor-faktor dalam sistem administrasi pajak yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak tersebut.
Solusi bagi permasalahan faktor manusia adalah dengan memberikan insentif selain gaji kepada aparat pajak dalam jumlah yang memadai dan perbaikan faktor mental manusia Indonesia yang cenderung negatif, suka menerabas, dan korup secara bertahap melalui program pendidikan moral dan kampanye nasional anti KKN secara berkesinambungan.
Solusi bagi permasalahan faktor law enforcement adalah dengan :
a) political will pemerintah dan kesungguhan segenap lapisan masyarakat dalam penindakan kasus-kasus KKN, melalui restrukturisasi badan-badan penegak hukum (seperti, kejaksaan, pengadilan, dan POLRI) dan pembentukan tim penyidik independen pemberantas KKN).
b) Menumbuhkembangkan sikap kritis masyarakat terhadap akumulasi kekayaan aparat negara yang diperolch sccara tidak wajar serta tidak toleran terhadap pelaku korupsi, dan
c) mengorbitkan para pemimpin yang mampu menggerakkan dan memberikan inspirasi bagi pemberantasan KKN secara menyeluruh.
Sedangkan, solusi bagi permasalahan faktor organisasi Ditjen Pajak adalah dengan merancang struktur organisasi matriks pada kantor pelayanan pajak dalam rangka mengantisipasi masalah free rider dalam tubuh organisasi Ditjen Pajak yang dibarengi dengan upaya menciptakan aparat pajak sebagai tax officer profesional."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5551
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahman Putra
"Sebagai salah satu negara yang menerapkan Pajak Pertambahan Nilai, Indonesia memiliki suatu sistem Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan penerapan bentuk, prinsip, metode penghitungan pajak, tarif pajak, dan perlakuan kebijakan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perundangan. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai dalam suatu peraturan perundangan tentunya tidak terlepas dari pemenuhan konsep teoritis dan kelaziman. Berangkat dari hal tersebut, penulis membuat tesis ini dengan tujuan menelaah Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000 secara konsep teoritis dan membandingkan kelaziman penerapan ketentuan tersebut dengan yang dilakukan oleh negara lain, dengan mengacu kepada Sixth Directive yang menjadi pedoman peraturan Pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5554
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Agus Suparman
"Dalam rangka menyongsong perdagangan bebas baik di tingkat ASEAN pada tahun 2003 maupun Asia Pasifik pada tahun 2020, maka Indonesia perlu mempersiapkan diri agar tidak ketinggalan dengan luar negeri, termasuk dalam peraturan perpajakan yang sesuai dengan kaidah perpajakan internasional khususnya prinsip netralitas. Pemajakan atas premi asuransi oleh negara sumber merupakan salah satu isu yang sering diperdebatkan dalam perpajakan internasioanal. Untuk meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak dan pihak pelaksana di lapangan maka perlu adanya ketegasan dari Direktorat Jenderal Pajak selaku lembaga yang berwenang.
Sebagai pelaksana di lapangan, penulis sering menemukan kesulitan untuk mengenakan pajak atas premi asuransi yang dikirim ke luar negeri. Padahal penghasilan premi asuransi yang dikirim ke luar negeri sangat besar. Karena itu, penelitian penulis lebih ditujukan untuk menjawab permasalah sebagai berikut :
1. Apakah setiap pembayaran premi asuransi ke luar negeri dapat dikenakan PPh Pasal 26?
2. Apakah pembebasan pengenaan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Surat Dirjen telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku?
Karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui peraturan perundang-undangan perpajakan khususnya ketentuan tax treaty yang membebaskan pengenaan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri dan mengetahui peraturan yang berlaku tentang perantara asuransi yaitu pialang asuransi dan agen asuransi.
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki kewenangan memungut pajak dari penghasilan yang berasal dari Indonesia (asas sumber). Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6241KMK.0411994 tanggal 27 Desember 1994. Aplikasi ketentuan ini dapat dibatasi dengan tax treaty antara Indonesia dengan negara mitra perjanjian (treaty partner). Pembebasan pemotongan PPh Pasai 26 sebagaimana dimaksud dalam Surat Dirjen seharusnya hanya dapat dilakukan jika diatur dalam tax treaty.
Metode penelitian yang diiakukan oleh penulis adalah deskriptif analisis. Metode penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam membahas tesis ini pertama-tama penulis akan menguraikan mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, perlunya suatu tax treaty dan peraturan perantara asuransi di Indonesia. Sesudah memberikan deskripsi atas berbagai hal yang relevan, penulis melakukan analisis data-data tersebut guna memecahkan permasalahan pokok yang diperoleh dalam penelitian. Data-data yang diperoleh penulis berasal dari studi kepustakaan dan studi lapangan.
Berdasarkan penelitian terhadap literatur dan wawancara dengan berbagai pihak, penulis berkesimpulan bahwa pembayaran premi asuransi ke luar negeri wajib dipotong oleh pembayar premi asuransi jika negara tujuan premi asuransi tersebut tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka tidak ada kewajiban pemotongan berdasarkan tax treaty dan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Selanjutnya pemajakan terhadap perusahaan asuransi di luar negeri diperlakukan sama dengan Bentuk Usaha Tetap perusahaan jasa lain dan mengacu kepada Pasal 5 UU PPh.
Sebagian besar tax treaty Indonesia dengan treaty partner memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi yang menerima penghasilan premi dari negara sumber. Ketentuan ini mengadopsi Pasal 5 ayat (6) UN model. Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan asuransi di negara domisili dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara sumber asal perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan premi asuransi dari negara sumber atau menanggung resiko di negara sumber. Sebagian lain, tax treaty Indonesia dengan treaty partner tidak memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi. Tax treaty ini mengadopsi ketentuan dalam OECD model. Menurut OECD model, perusahaan asuransi di suatu negera yang menerima penghasilan premi asuransi dari negara lain dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut jika perusahaan asuransi tersebut memiliki a fixed place of business sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD model atau perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan asuransi dari negara lain melalui agen tidak babas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.
Pengiriman premi asuransi ke luar negeri dibawah ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap :
1. Tertanggung langsung mengadakan pertanggungan dengan penanggung di luar negeri. Jika luar negeri tempat domisili perusahaan asuransi merupakan treaty partner yang memiliki ketentuan khusus tentang asuransi (UN model), maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas Bentuk Usaha Tetap tersebut.
2. Perusahaan asuransi di luar negeri menerima penghasilan premi asuransi melalui agen asuransi di Indonesia. Jika dalam praktek ditemukan cara ini maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap baik berdasarkan tax treaty yang mengacu Ice OECD model maupun tax treaty yang mengacu ke UN model.
Terakhir, untuk meningkatkan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan kemudahan pelaksanaan di lapangan, penulis mengajukan tiga saran, yaitu :
1) Direktur jenderal pajak hendaknya mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang depedensi agen asuransi. Berdasarkan ketentuan UU Perasuransian dan kebiasaan yang lazim di dunia asuransi bahwa jika perusahaan asuransi di luar negeri menerima premi asuransi atau premi reasuransi melalui agen asuransi yang berada di Indonesia maka perusahaan asuransi tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia karena telah memenuhi Pasal 5 ayat (5) OECD model. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk : (i) menghilangkan silang pendapat antara Wajib Pajak dengan pelaksana di lapangan; (ii) memberikan panduan bagi petugas pelaksana di lapangan.
2) Hendaknya menteri keuangan menetapkan penghasilan neto bagi Bentuk Usaha Tetap khusus perusahaan asuransi luar negeri berdasarkan Pasal 15 UU PPh. Pertimbangan ketetapan ini adalah pertimbangan praktis untuk memudahkan pelaksanaan dilapangan. Pertimbangan ini dibolehkan dijadikan dasar keputusan menteri keuangan oleh undang-undang selain kelaziman. Pertimbangan lain adalah sulitnya menentukan penghasilan neto berdasarkan Pasal 16 ayat (3) UU PPh. Dengan norma penghasilan neto maka setiap pembayaran premi ke luar negeri langsung yang dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat dipotong oleh pembayar premi asuransi.
3) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-4281PJ.43211995 tanggal 05 Desember 1995 merupakan jawaban direktur jenderal pajak yang dilayangkan kepadanya. Surat ini merupakan surat biasa dan bukan surat yang bersifat mengatur. Karena itu tidak dapat dijadikan pegangan bagi pelaksana dilapangan. Berdasarkan pengalaman penulis, Surat Dirjen tersebut banyak dijadikan dasar pemeriksaan aparat Direktorat Jenderal Pajak ditingkat pelaksana. Begitu juga dengan konsultan pajak. Seharusnya, acuan atau dasar hukum yang dipakai adalah tax treaty, undang-undang dan keputusan menteri keuangan atau keputusan direktur jenderal pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gathot Subroto
"Dalam penjelasan Pasal 16C Undang-undang PPN 1984 dijelaskan mengenai latar belakang dan tujuan diberlakukannya kebijakan tersebut, bahwa kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan, dikenakan PPN dengan pertimbangan : sebagai upaya untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan PPN; dan yang kedua untuk memberikan perlakuan yang sama dan untuk memenuhi rasa keadilan antara pihak yang membeli bangunan dari Pengusaha Real Estat atau yang menyerahkan pembangunan gedung kepada pemborong dengan pihak yang membangun sendiri.
Dari penjelasan tersebut, jelas diketahui bahwa rasa 'keadilan' dan 'perlakuan yang sama' menjadi salah satu alasan untuk memberlakukan pasal tersebut. Pengertian keadilan dalam penjelasan tersebut perlu dikaji lebih lanjut, apakah keadilan yang dimaksud dalam penjelasan tersebut sudah sesuai dengan prinsip keadilan (the equality principle) seperti yang di kemukakan oleh Adam Smith atau hanya sebatas keadilan (fairness) saja.
Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dengan pokok permasalahan yang pertama, apakah pengenaan PPN terhadap kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan nilai lain sebagai tax base sudah memenuhi azas keadilan pajak bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan tersebut? Yang kedua adalah Apakah ada alternatif lain mengenai cara penghitungan untuk menetapkan dasar pengenaan pajak yang lebih memenuhi kriteria keadilan dengan tetap menjaga kesederhanaan administrasinya?
Mengacu kepada teori kebijakan publik khususnya dalam mendesain suatu kebijakan perpajakan, kebijakan yang diberlakukan seharusnya memenuhi kriteria struktur pajak yang baik, memenuli unsur keadilan pajak, distribusi beban pajak yang adil, penentuan base pajak yang tepat, kemudahan dalam administrasinya, dan biaya pemungutan yang efisien.
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini antara lain yang pertama adalah, bahwa untuk menjangkau kegiatan tersebut dari pengenaan PPN, maka dapat saja diupayakan untuk membuat suatu ketentuan yang bersifat pengecualian dari sistem pengenaan pajaknya, mengingat bahwa memajaki pengeluaran konsumsi adalah tujuan dari pengenaan pajak tersebut, sedangkan sistem PPN itu sendiri semata hanyalah sebagai alai atau teknik untuk memajaki pengeluaran konsumsi.
Kemudian dari definisi kegiatan membangun sendiri, masih terdapat kelemahan-kelemahan pada pendefinisian kegiatan membangun sendiri dalam peraturan pelaksanaan PPN Pasal 16C Undang-undang PPN 1984. Dihubungkan dengan maksud pemberlakuan Pasal 16C Undang-undang PPN 1984 salah satunya untuk menghindari adanya hole yang tercipta, yang dapat dimanfaatkan untuk menghindari pengenaan PPN, dari analisis yang dilakukan ternyata masih ada kegiatan membangun yang masih belum ter-cover oleh Pasal 16C tersebut. Untuk memenuhi kriteria perlu dibuat definisi kegiatan membangun sendiri yang lebih sesuai dengan kaidah bahasa dan mampu mengcover hole yang masih terdapat pada definisi lama.
Selanjutnya mengenai pengenaan PPN Pasal 16 C yang berlaku, schedutar rate yang diterapkan pada PPN atas kegiatan membangun sendiri mengakibatkan adanya titik yang tidak dapat lagi dikendalikan oleh mekanisme PPN. Sehingga potensi terjadinya cascading effect sangat dimungkinkan terjadi. Akibat dari scheduIar rate tersebut akan dapat menimbulkan ketidakadilan terhadap pihak wajib pajak yaitu membayar lebih dari yang seharusnya (utang pajak yang seharusnya terjadi) sementara pihak lain justru terutang PPN lebih kecil (dari yang seharusnya ) dari nilai tambah yang sebenarnya tercipta. Sesuai dengan karakteristik kegiatannya, untuk menghitung nilai tambah dalam kegiatan membangun sendiri lebih cocok untuk digunakan addition method.
Untuk menguji atau menentukan nilai bangunan, Direktorat PBB dan BPHTB telah mengembangkan Sistem Daftar Biaya Komponen Bangunan (Sistem DBKB), metode ini dapat dipakai untuk membantu pemeriksa pajak dalam menentukan nilai bangunan yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak atas PPN Pasal 16C Undang-undang PPN 1984, mengingat belum adanya standar dan cara pemeriksaan untuk jenis pajak PPN Pasal 16C ini.
Hasil simulasi terhadap 40 data objek pajak di KP PBB Jakarta Barat Dua, khususnya untuk bangunan perumahan dengan luas bangunan 200 m2 ke atas, dan dibangun setelah tahun 2002, disimpulkan bahwa pengenaan PPN dengan dasar pengenaan pajak nilai lain yaitu 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun, menghasilkan penerimaan PPN Pasal 16C yang lebih sedikit dibandingkan dengan apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah nilai tambah yang tercipta, atau apabila PPN dihitung dengan menggunakan addition method."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Baidowi
"Salah satu jenis pajak yang mempunyai peranan dalam penerimaan Negara adalah Pajak Pertambahan Nilai, dimana penerapannya di Indonesia untuk pertama kali yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 dan merupakan upaya reformasi perpajakan menggantikan pelaksanaan pemungutan pajak penjualan berdasarkan Undang-Undang Darurat nomor 19 tahun 1951 dan Undang-Undang nomor 35 tahun 1953.
Pajak Pertambahan Nilai memiliki legal karakter sebagai pajak objektif dimana timbulnya suatu kewajiban pajak sangat ditentukan oleh factor objektif yaitu karena adanya peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak, sedangkan kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri merupakan perluasan objek Pajak Pertambahan Nilai yang baru diatur dalam pasal 16.C Undang-Undang nomor 11 tahun 1994 dimana kebijakan tersebut masih kurang selaras dengan memori penjelasan pada pasal 4.
Disamping itu dalam memori penjelasan pasal 16.C Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yaitu untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah juga belum sesuai dengan implementasi kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri yang telah dijalankan.
Berdasarkan hal tersebut penulis mendapatkan beberapa permasalahan pokok sebagai sumber dalam penulisan tesis ini yaitu :
1. Apakah Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya dapat mempengaruhi masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
2. Bagaimana pengaruh Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan NiIai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya terhadap penerimaan Negara dari Pajak Pertambahan Nilai.
3. Apakah Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya dapat dilaksanakan sesuai kondisi di Indonesia.
Hasil analisis yang menggunakan metode desk iptif analisis melalui studi kepustakaan diketahui bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam usaha atau pekerjaan oleh Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, Pengusaha Kecil, maupun membangun sendiri yang dilakukan dalam kawasan real estate tujuannya adalah untuk memajaki pengeluaran konsumsi dan adanya kecendrungan masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan jasa pemborong yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Dari kesimpulan diatas untuk mengoptimalkan Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap kebijakan-kebijakan yang mengatur sehingga maksud dan tujuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat dioptimalkan.

Analysis On The Implementation Of Value Added Tax (VAT) Policy Toward Self Establishment Activity
One type of the tax which has an important role for State revenue is Value Added Tax (VAT), which was firstly implemented in Indonesia by UU (Code of Law) number 8, 1983 and is one of tax reform action to subsirute for the implementation of sale tax collection based on Undang-undang Dana-at Number 19,1951 and Undang-undang Number 35, 1953.
Value Added Tax has legal characteristics as an objective tax in which the obligation to pay the tax is fully determined by objective factors, i.e. due to a legal event or action from which the tax can be collected, where as the subjective condition of the tax payer does not determine. VAT toward self establishment activity is the extension of VAT object which is regulated an article 16C UU (Code of Law) number 11,1994, of which policy is not in accordance with the explanation of article 4.
Besides, on the explanation of article 16C of VAT Code of Law, that is to stop the avoidance of VAT collection, as well as to protect low-income society which is not in accordance with the implementation of VAT policy toward self establishment activity. Based on those explanations the writer formulizes several research problems as the sources in writing this thesis, i.e.
1. Whether the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can stimulate tax payers to fulfill the duty in accordance with the tax regulation.
2. How the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can affect state revenue from VAT.
3. Whether the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can be implemented in Indonesian setting.
From the result of the analysis utilizing Descriptive method through library study, it is found that VAT policy implemented toward self establishment activity which is done outside the work by individuals, Institutions, Soft Office, as self establishment done by real estate in order to collect the tax from consumption and the tendency of tax payers to do self establishment activity by using the construction company which is not legalized as Tax Payer.
It can be concluded that the effort to increase the implementation of VAT Policy toward self establishment activity should be improved especially toward the regulating policies so that the purpose of VAT collection can be optimalized."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mishbaahul Bararah
"This study is about woman as part of family. Indonesian tax imposition system considers family as one economic unit Since women population is relatively same compared to men population (year 1971 up to 2000 Population Census Data), it means that women take a significant role in tax revenue. Additional data from Manpower and Transmigration Department shows that job vacancies are provided for women more than for men. Hence, taxation policy for woman is an important object to study.
The first matter to study is whether any discriminatory taxation treatment for woman. If it is so, then it is analyzed whether discrimination emerges due to the concept of family as one economic unit. The next thing to find out is discrimination causes other than above concept. Is it discriminative because of government takes affirmative action against women? The following study is to elaborate taxes implication if taxation regulation connected to another regulation such as The Law of Marriage. As a comparator, it brings up a glance of implementation in Singapore, Malaysia and Philippines.
In connection with PTKP (Untaxed Income) as one of reflections of family as one economic unit concept, study is carried out on a 2003 regulation concerning Government-Borne income Tax on Workers' Employment Income. Government bears income tax on income received by workers up to Rpl.000.000. This amount is bigger than tax exemption. The analysis is needed to find out whether women get advantage from this regulation.
This study is based on The Four Maxims of Adam Smith. Government shall apply 4 concepts for tax imposition (equality, certainty, convenience and economy). For the objective study, it has been used some methods of interpretation. The study is analytical descriptive and carried out by policy research approach in qualitative way. Data collected by library research then observed by using census method. The Data are taxes regulations which were issued during January 3, 1994 up to March 29, 2004. Those data sorted by using key word: "wanita", "ibu", "perempuan", "karyawati", "janda", isteri", dan ?istri" (woman, mother, female employee, widow, divorcee, and wife)
The analysis result conclusion that, in general, Indonesian taxation policy uphold Adam Smith's concept of equality which is in this study means equal treatment between woman and man; non discriminative. It is equal in all fields of taxation i. e. General Provisions and Taxation Procedures, Income Tax, Value Added Tax on Goods and Services and Sales Tax on Luxury Goods, Land and Buildings Tax, Fees for Acquisition of Title to Land and Buildings, Tax Collection by Warrant and Tax Court.
There are 14 discriminative regulations among 6.544 data, i.e. field of General Provisions and Taxation Procedures, Income Tax, and Tax Collection by Warrant. 6 of those discriminations due to Indonesian tax imposition system considers a family as one economic unit.
Decree of Finance Minister number 2941KMK.0312003 concerning Procedures for Entrusting Tax Guarantor Who is Taken into Custody in the Course of Tax Collection by Warrant, provide special treatment upon woman as Tax Guarantor who is taken hostage. This is an affirmative action for protecting, respecting and upholding women's special rights. However there is uncertainty in interpretation of 7 regulations because of inconsistency in drafting. In order to avoid misunderstanding on a regulation, it would be better if the regulation use neutral language (non gender base) where an indefinite gender is intended.
If taxation policy for women is connected to another regulation other than taxation, such as The Law of Marriage, then there are some difference subjects, i.e_:
1. starting date of manage 1 child status change;
2. starting date/ending date of marriage agreement regarding income and assets separation;
3. polygamy phenomenon:
4. non legal child;
5. marriage which is held abroad.
Married women as workers who earn in money up to Rp2.000.000 get the most advantage due to implementing Decree of the Minister of Finance No. 4861KMK 0312003 concerning Government-Borne Income Tax on Workers' Employment Income."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprapto
"Konfirmasi Faktur Pajak melalui Sistem Informasi Perpajakan (SIP) telah berjalan selama tiga tahun sejak tahun 2001. Keberadaannya mendukung kegiatan administrasi Pajak Pertambahan Nilai yaitu melakukan konfirmasi dengan penyandingan Faktur Pajak Masukan dengan Faktur Pajak Keluaran. PPN menyumbang kurang lebih 33% dari seluruh penerimaan pajak dalam negeri. PPN merupakan sistem perpajakan yang stabil dan mempunyai kekuatan untuk memajaki (taxing power) lebih unggul dari sistem perpajakan tidak langsung lainnya.
Penurunan pertumbuhan penerimaan PPN dari tahun 2001 cukup signifikan yaitu dari pertumbuhan 58% menjadi 13% di tahun 2003 dan munculnya praktek-praktek penyalahgunaan Faktur Pajak memerlukan peningkatan sistem dan prosedur PPN. Membandingkan dengan negara lain dalam pelaksanaan cross matching Faktur Pajak pada tahun pertama pelaksanaannya secara komputerisasi menunjukkan mutu dan kualitas perekaman yang masih perlu ditingkatkan. Keterbatasan administrasi perpajakan, keadaan pelaksanaan perekaman, konfirmasi selektif (tidak menyeluruh), jumlah Faktur Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang cocok (matching) masih rendah dan konfirmasi Faktur Pajak melalui surat yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan masih tinggi sebesar 16% (turun dari sebelum pelaksanaan konfirmasi melalui Sistem Informasi Perpajakan sebesar 66%) merupakan gambaran administrasi PPN yang masih perlu peningkatan.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, komputer, Internet serta shod massage service (SMS) dapat digunakan untuk lalu lintas data khususnya data PPN. Perkembangan tersebut dapat mendorong regulasi baru untuk menggeser beban perekaman Faktur Pajak dari petugas kepada Wajib Pajak. Dengan inovasi baru cara pelaporan/komunikasi data PPN antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak diharapkan perekaman data PPN dapat lebih baik. Penyandingan/konfirmasi (cross-matching) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak identik dengan mekanisme kliring pada sistem pembayaran Bank Indonesia. Penelitian ini menganalisis sistem, prosedur dan mekanisme konfirmasi dengan sistem kliring seperti yang diselenggarakan Bank Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis, dengan menganalisis data Faktur Pajak Masukan dan Faktur Pajak Keluaran pada Sistem informasi Perpajakan tanpa mencantumkan indentitas Wajib Pajak disertai studi kepustakaan, mempelajari peraturan perpajakan dan laporan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa penyandingan Pajak Masukan-Pajak Keluaran harus didukung perekaman yang memadai. Mengadopsi teknologi komputer, internet, telepon dan SMS sangat diperlukan. Disarankan untuk menerapkan sistem kliring dalam program konfirmasi.
xviii + 154 halaman + lampiran
Daftar Pustaka : 18 buku literatur, 21 artikel, 1 laporan, 12 peraturan perpajakan (1965-2003)

The Tax Invoice Confirmation through the Taxation Information System (SIP) has been running for three years since 2001. Its presence supports the Value Added Tax administrative activities in terms of confirming by cross matching the Input Tax Invoice to the Output Tax Invoice. The Value Added Tax contributes more or less 33% of the domestic income from tax total. The Value Added Tax is a stable taxation system with a better taxing power than the other indirect taxation systems.
Year 2001 witnesses a significant slowdown in the growth of the income from this Value Added Tax that is from 58% into 13% in 2003 and the tampering of Tax Invoice calls for an improvement in the VAT system and procedure. Compared to other countries, the quality and the recording quality of the Tax Invoice cross matching in its first year's computerized implementation must still be improved. The limited taxation administration, recording implementation condition, selective confirmation (not overall), the matching number of Input Tax Invoice and Output Tax Invoice and the high Tax Invoice confirmation by mail that is 16% (lower than prior to the implementation of the confirmation through the Taxation Information System that was 66%) suggest the contingency of the VAT Administration improvement.
Information and communication technology, computer, the Internet and Short Message Service (SMS) are available for use in the data traffic especially data on VAT. Such advanced technology may lead to the adoption of new regulation to relieve the burden of recording Tax Invoice off the officers' shoulders to Taxpayers. This innovative VAT data communication/reporting between the Taxpayers and the Directorate General of Taxation will hopefully produce a better VAT data recording. The cross matching by the Directorate General of Taxation is identical with the clearing mechanism in Bank Indonesia's payment system.
This research applies the analytic descriptive method, by analyzing the data on Input Tax Invoice and Output Tax Invoice in the Taxation Information System without revealing the taxpayers' identity along with a literary study, comprehending taxation regulations and report.
This research results in a conclusion that the Input Tax - Output Tax cross matching requires an adequate recording. It is urgent to adopt the computer, Internet, telephone and SMS technologies. It is advisable to apply the clearing system in the confirmation program.
viii + 154 pages + enclosures
Bibliography: 18 referential books, 21 articles, 1 report, 12 tax regulations (1965 - 2003)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anang Mury Kurniawan
"Invoice method merupakan metode penghitungan PPN yang didasarkan pada faktur pajak. Dalam invoice method PPN dihitung dari selisih faktur pajak keluaran yang diterbitkan ketika melakukan penjualan dengan faktur pajak masukan yang diperoleh ketika melakukan pembelian.
Berdasarkan teori perpajakan kepatuhan sukarela (voluntary compliance) pengusaha kena pajak dapat didorong dengan adanya prosedur administrasi perpajakan yang sederhana. Faktur pajak merupakan beban bagi pengusaha kena pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan (complience cost), sehingga perlu kesederhanaan administrasi yang dapat memudahkan pengusaha kena pajak dalam menjalankan kewajibannya. Namun upaya penyederhanaan administrasi faktur pajak perlu diimbangi dengan pengawasan yang memadai karena faktur pajak merupakan pengaman dalam penerapan invoice method pada PPN.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah administrasi faktur pajak dalam penerapan invoice method pada PPN telah terdapat kesederhanaan yang memudahkan pengusaha kena pajak dan telah terdapat pengawasan dalam pemungutan PPN. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesederhanaan dan pengawasan dalam administrasi faktur terhadap kepatuhan pengusaha kena pajak dalam melaksanakan kewajibannya.
Penelitian dilakukan di wilayah KPP Jakarta Tanjung Priok dengan melakukan survai melalui kuesioner untuk mengetahui sikap atau pendapat pengusaha kena pajak mengenai pelaksanaan administrasi faktur pajak. Selain itu untuk lebih memahami permasalahan menyangkut administrasi faktur pajak dan kepatuhan pengusaha kena pajak dilakukan wawancara mendalam dengan petugas pajak di KPP Jakarta Tanjung Priok. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan deskriptif maupun analisis kuantitatif dengan statistik.
Hasil analisis menunjukkan administrasi faktur pajak dalam rangka penerapan invoice method pada PPN, telah terdapat kesederhanaan administrasi yang memudahkan pengusaha kena pajak dalam melaksanakan kewajibannya dan telah terdapat pengawasan yang memadai dari segi pengawasan preventif maupun represif. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan kepatuhan pengusaha kena pajak dipengaruhi oleh kesederhanaan dan pengawasan administrasi faktur pajak. Semakin sederhana administrasi faktur pajak yang memberikan kemudahan bagi pengusaha kena pajak dan disertai dengan pengawasan yang baik dalam administrasi faktur pajak maka pengusaha kena pajak akan semakin patuh dalam melaksanakan ketentuan PPN.
Berdasarkan penelitian ini disarankan beberapa penyederhanaan administrasi faktur pajak masih perlu dilakukan, diantaranya menyangkut pengkreditan pajak masukan. Pajak masukan yang belum dikreditkan pada masa yang sama hendaknya dapat dikreditkan pada masa berikutnya tidak dibatasi tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak. Untuk kepentingan pengawasan, pembatasan jangka waktu pengkreditan pajak masukan memang masih perlu dilakukan, namun sebaiknya diperpanjang menjadi tiga bulan setelah berakhirnya tahun buku. Dalam rangka menciptakan kepastian hukum dalam pemungutan PPN sebaiknya segera dibuat pengaturan mengenai pengembalian (return) PPN atas penyerahan jasa yang tidak sepenuhnya dilakukan sedangkan PPN sudah dipungut sepenuhnya sebab sementara ini Pasal 5A Undang Undang No, 18 Tahun 2000 hanya mengatur mekanisme penerbitan nota retur dalam hal pengembalian barang kena pajak. Selain itu sosialisasi kepada masyarakat perlu ditingkatkan terutama menyangkut diperkenankannya faktur penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan untuk diperlakukan sebagai faktur pajak standar mengingat masih banyaknya keraguan di kalangan pengusaha kena pajak mengenai pelaksanaan ketentuan tersebut.
x + 126 halaman + 4 lampiran + 4 tabel + 1 gambar
Daftar Pustaka : 41 buku, 8 peraturan, 8 artikel lainnya (tahun 1982 s.d 2004)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narti Eka Putri
"During the last three years, the role of taxation is increasing. According to RI's Finance Minister, Boediono, this increase represent fair matter due to RAPBN 2004 is "self supporting", after the cooperation program with IMF ended in 2003. That is why the government hope that the expected fund comes from the tax.
Acceleration of Value Added Tax (VAT) restitution management, one of the cause of the increasing of state earnings from taxation, has not strived maximally by the Tax Authority. This can be seen in the duration of completion of VAT restitution application that is applied by PT Yamaha Indonesia (PT YI) which is a musical instrument manufacturer and are exporter that sell around 90 % of the production to other countries.
In 2002, there were 2 (two) tax periods that need more than 12 (twelve) months to finalize PT Yl's VAT restitution application. The other period, even less than 12 (twelve) months, but those period were over the duration that is stated in Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-160/PJ.12001 which is Direktorat Jenderal Pajak effort to increase the service to Tax Payer and to give lave certainty in relation of VAT and Tax on Luxury Goods restitution. According to those problems, the aims of this thesis are to identify and to analyze the factors that influence the period of VAT restitution application that is applied by PT YI. Those factors can be seen from external and internal factors of PT YI. External factors consist of good and effective coordination among Tax Offices, information technology role that is used by the tax payers and tat officers' professionalism. For internal factors consists of information technology role, controllership and PT YI taxation staffs' professionalism. Other aims are :reeking recommendation to she ten the period of VAT restitution based on the factors that influence the period of VAI restitution.
The data in this research is from the prime data, from the respondents and information from Tax Experts, and also secondary data, from literature PT YI's Organization Structure. In this research, to choose a sample, use Slovin Formula and from that formula there are 1 respondents from 5 (five) KPPs.
The research find that co ordination among KPPs is not good and effective because not all the principles are fulfill, like there is no coordinator who coordinate accomplishment of tax invoice clarification and most of the duration of tax invoice clarification is beyond the schedule that has stated in tax regulation. For information technology has a very big role in acceleration VAT restitution application, but unfortunately this facility is not used by the tax payers and less socialized to them. For tax officers professionalism, according to indicators, can be said that their professionalism is good.
For internal, the less control from the manager cause the tax officer receive the documents that are needed in completion of VAT restitution in more than 5 (five) working days from PT YI tax staff and this influence in accelerating VAT restitution process. About the technology, PT YI use tax application program and report the VAT application by using diskette. This is also influence the accelerating PT YI's VAT restitution.
According to the research, it is suggested that it is important to have a good and effective coordination system that coordinate all KPPs in Indonesia, especially in connecting with tax invoice clarification. Besides, it is also important to socialize the policy about making VAT report by using diskette to all tax payers. For PT YI, it is suggested to make an intensive control to the employee that prepare all documents needed to process VAT restitution."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14052
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Tirto Nugroho
"Berkernbangnya dunia usaha jasa penyiaran stasiun televisi swasta yang dapat memberikan penghasilan kepada pengelola stasiun swasta, industri rumah industri, artis juga bermanfaat bagi masyarakat luas dalam memberikan pengetahuan, hiburan, informasi, dll. Sedangkan bagi pemerintah, siaran televisi stasiun swasta berdampak besar terhadap penerimaan negara dari sektor pajak. Hal ini seiring dengan tuntutan kemandirian pembiayaan pembangunan nasional, maka sektor pajak sebagai ujung tombak sumber penerimaan APBN memerlukan langkah-langkah pengamanan. Salah satu langkah pengamanan penerimaan dengan intensifikasi adalah melakukan pengawasan pembayaran pajak terhadap transaksi pengadaan acara/film asing yang dilakukan stasiun televisi swasta. Pengadaan acara/film merupakan unsur biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk kelangsungan jalannya operasi televisi. Atas penayangan acara/film asing didalamnya terutang :
· Hak tayang/siar film yang merupakan obyek royalti PPh Pasal 26 sebesar 20% (tarif sesuai Tax Treaty)
· Pemanfaatan/konsumsi hak tayang oleh stasiun televisi swasta di Indonesia yang merupakan obyek PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri sebesar 10%.
Untuk mengetahui pengawasan pembayaran pajak terhadap transaksi pengadaan acara/film asing, maka dirumuskan pokok permasalahan penelitian, yang terdiri dari :
1. Apakah pengawasan atas transaksi pengadaan acara/film asing yang didalamnya menyangkut obyek PPh Pasal 26 dan PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sudah dilakukan secara maksimal dalam rangka pengamanan penerimaan negara
2. Adakah faktor yang mendukung atau menghambat pelaksanaannya
3. Apakah efektifitas dari pelaksanaan peraturan yang ada dapat secara optimal menunjang penerimaan negara
Untuk menjawab permasalahan optimalisasi pengawasan dalam rangka pengamanan penerimaan pajak digunakan teknik Korelasi Product Moment dari data hasil jawaban kuesioner yang disebarkan kepada Pegawai bagian pajaklakuntansi di 10 (sepuluh) stasiun televisi swasta dan Pegawai di lingkungan KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Kuesioner bagi Pegawai bagian pajak/akuntansi stasiun televisi swasta ditujukan untuk mengetahui kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran dan pelaporan pajak, sedangkan kuesioner bagi Pegawai di lingkungan KPP tempat Wajib Pajak terdaftar digunakan untuk mengetahui tingkat pengawasan yang dilakukan aparat pajak.
Dari hasil perhitungan, terdapat hubungan positif sebesar 0,825 antara kepatuhan dan pengawasan. Berdasarkan pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi 0,825 masuk kategori sangat kuat. Hasil uji signifikansi korelasi product moment terhadap hipotesa menghasilkan terdapat hubungan antara optimalisasi pengawasan dengan penerimaan negara.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan atas transaksi acara/film asing meliputi :
· transaksi yang terjadi adalah baranglharta tidak berwujud yang dalam hal ini hak siar 1 tayang;
· sulitnya melakukan equalisasi antara antara pelaporan PPN (SSP BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean) dengan PPh Pasal 26 (bukti pemotongan);
· perlunya dukungan sistem administrasi perpajakan yang memadai untuk melakukan pengawasan secara optimal.
Peraturan perpajakan yang ada saat ini, seperti KMK Nomor 568/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, SE-08/PJ.5/1995 tanggal 17 Maret 1995, KMK Nomor 541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 bisa mengakibatkan perbedaan Masa Pajak untuk pelaporan bukti potong PPh Pasal 26 dan SSP PPN BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean atas sebuah transaksi pengadaan acara/film asing. Sehingga hal tersebut dapat mengurangi efektifitas pengawasan terhadap Wajib Pajak yang dapat berdampak terhadap kepatuhan untuk pengamanan penerimaan negara. Sebenarnya, peraturan perpajakan yang ada sudah cukup baik untuk menjaring penerimaan negara, sedangkan langkah-langkah yang diperlukan adalah mengoptimalkan pengawasan terhadap stasiun televisi yang dilakukan aparat pajak yang ada di Kantor Pelayanan Pajak.
Hal-hal yang diperlukan untuk mengoptimalkan pengawasan diantaranya :
· Diperlukan dukungan sistem perpajakan yang memadai.
· Menggalakkan himbauan kepada KPP untuk melakukan equalisasi atas kewajiban obyek PPh Pasal 26 dengan kewajiban PPN.
· Diperlukan penyempurnaan aturan untuk memudahkan pengawasan bagi aparat pajak serta kemudahan penyetoran dan pelaporan bagi Wajib Pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>