Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Natasha Citrasari
"Tidak semua anak lahir dan dapat berkembang secara normal, ada beberapa anak yang merupakan anak dengan kebutuhan khusus (exceptional children), diantaranya adalah keterbelakangan mental, carat fisik, kelainan belajar, gangguan emosional, kelainan bicara, gangguan penglihatan (visually impaired), dan gangguan pendengaran (hearing impaired). Anak-anak tersebut harus mendapat penanganan sedini mungkin agar dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya.
Gangguan pendengaran (hearing impaired) atau dapat disebut juga tunarungu merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada masa perkembangan. Tunarungu dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan, mulai dari sangat ringanlminimal sampai total.
Anak tunarungu memiliki beberapa hambatan, salah satunya adalah perkembangan bahasa. Hambatan dalam perkembangan bahasa membuat terhambatnya perkembangan inteligensi anak tunarungu. Walaupun demikian tidak semua aspek inteligensi terhambat tetapi hanya yang bersifat verbal. Aspek inteligensi yang bersumber pada penglihatan dan berupa motorik dapat berkembang lebih cepat.
Salah satu karakteristik perkembangan bahasa yang seharusnya sudah dicapai oleh anak pada masa toddler adalah anak dapat menyebutkan anggota tubuhnya. Dengan hambatan tersebut maka anak tunarungu tidak dapat menyebutkan anggota tubuhnya. Selain itu, dengan memahami anggota tubuhnya sendiri, seorang anak memiliki perasaan akan din mereka sendiri yang terpisah dari orang lain (self-awareness). PengenaIan diri secara fisik dapat membantu anak untuk menyadari diri mereka sendiri yang secara fisik berbeda dari orang lain, hal ini berkaitan dengan karakteristik perkembangan sosial seorang anak. Peneliti melakukan pelatihan mengenali anggota tubuh sebagai sarana untuk mengoptimalkan perkembangan sosial anak tunarungu pada masa toddler.
Pelatihan mengenali anggota tubuh pada anak tunarungu dilakukan melalui strategi visual. Dalam penelitian ini, strategi visual yang digunakan yaitu dengan menunjukkan kartu-kartu bergambar anggota tubuh seorang anak. Saat anak ditunj ukkan kartu bergambar tersebut, anak diminta untuk menunjukkan anggota tubuhnya sendiri. Digunakan strategi visual karena dengan menggunakan alat bantu visual akan lebih mudah untuk dipahami oleh anak yang mengalami kelainan bahasa. Instruksi akan diberikan oleh peneliti (instruktur).
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan tujuan untuk melatih anak tunarungu usia toddler mengenali anggota tubuhnya melalui strategi visual. Apabila subjek berhasil menunjuk anggota tubuhnya sendiri saat diperlihatkan kartu bergambar anggota tubuh maka subjek akan mendapatkan reward.
Hasil pelatihan memperlihatkan bahwa subjek mampu mengenali anggota tubuhnya sendiri. Namun demikian, dalam penelitian ini terdapat kelemahan dan kelebihan. KeIemahannya yaitu situasi pelatihan yang tidak terstruktur, tidak ada masa transisi dari situasi tidak terstruktur ke situasi yang terstruktur (pelatihan), dan pada sesi I instruksi yang diberikan oleh instruktur tidak jelas (instruktur tidak memperagakan) sehingga W tidak mengerti apa yang diharapkan darinya. Kelebihannya yaitu strategi visual (gambar) dirasakan sangat membantu dan mudah dipahami oleh anak yang mengalami tunarungu dan pemberian reward ditemukan cukup berhasil memaeu subjek untuk menunjukkan perilaku yang diinginkan.
Saran untuk penelitian ini, peneliti melakukan survey lapangan terlebih dahulu untuk mengetahui kegiatan anak sehari-hari sehingga dapat menetapkan waktu yang tepat untuk melakukan pelatihan. Adanya masa transisi dari situasi tidak terstruktur ke situasi terstruktur (pelatihan). Situasi pelatihan sebaiknya lebih tenang dan lebih terstruktur. Saran untuk penelitian selanjutnya, strategi visual dapat digunakan untuk membantu anak mengenali emosi, kegiatan yang dilakukan sehari-hari, aturan-aturan sosial, dan lain-lain."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18098
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elis Orchidita D.
"Berdasarkan penelitian para ahli diketahui bahwa usia tengah baya adalah masa krisis yang penuh tekanan dan sering disamakan dengan gejolak masa pubertas. Bahkan masa krisis ini dapat mengganggu hubungan suami istri, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan. Khusus bagi wanita atau istri usia tengah baya, tampaknya tekanan yang mereka hadapi lebih berat dibandingkan para suami. Selain harus menghadapi penurunan fisik mereka sendiri (dimana hal ini seringkali dipersulit dengan adanya standar ganda terhadap ciri-ciri ketuaan pada pria dan wanita), para istri usia tengah baya juga harus menghadapi rasa kehilangan karena anak-anak sudah mulai remaja (dan juga sedang mengalami masa pubertas) dan mencoba melepaskan diri dari ketergantungan ibunya. Hal ini merupakan tekanan psikologis tersendiri bagi seorang ibu, yang tidak terjadi pada para ayah atau suami. Selain itu, istri usia tengah baya juga disibukkan dengan tanggung jawab mengurus orangtua atau mertua yang mungkin sudah membutuhkan perawatan. Hal ini juga jarang terjadi pada pria, karena aturan sosial menetapkan bahwa tanggung jawab memelihara hubungan kekeluargaan terletak pada istri atau menantu perempuan. Bila seorang istri juga bekerja, dapat dibayangkan beban berlebih yang mereka hadapi yaitu mengatur berbagai peran sekaligus dalam waktu bersamaan. Keadaan penuh tekanan ini dapat menjadi lebih berat bila tidak ada dukungan sosial dari suami dalam menjalani perkawinan. Menurut penelitian, para istri memang lebih sering merasa tertekan dalam perkawinan dibandingkan suami karena mereka lebih sedikit memperoleh dukungan sosial dari pasangannya. Padahal peran dukungan sosial sangat beaar artinya dalam meringankan tekanan-tekanan yang dihadapi dan dapat menghindarkan seseorang dari tekanan yang lebih parah. Untuk itu penelitian dilakukan dalam rangka melihat gambaran persepsi dukungan sosial yang diterima istri dari suami mereka, mencari hubungan antara
persepsi dukungan sosial dan kepuasan perkawinan istri usia tengah baya serta melihat perbedaan persepsi dukungan sosial suami pada istri yang tidak bekerja maupun yang bekerja. Sebagai tambahan, dilihat pula peran komponen persepsi dukungan sosial yang paling berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Penelitian dilakukan pada istri usia tengah baya yang berusia 40-50 tahun di Jakarta dengan menggunakan teknik accidental sampling. Penulis menyusun sendiri alat untuk mengukur persepsi dukungan sosial suami, sedangkan untuk mengukur kepuasan perkawinan digunakan Dyadic Adjustment Scale dari Spanier. Hasil pengolahan data dengan menggunakan teknik korelasi menemukan hubungan yang signifikan antara persepsi dukungan sosial suami dan kepuasan perkawinan istri
usia tengah baya, namun tidak ada perbedaan persepsi dukungan sosial suami antara istri usia tengah baya yang tidak bekerja maupun yang bekerja. Hasil tambahan menemukan bahwa komponen Intimacy merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Hasil tambahan lain yang memperkuat hasil utama adalah ditemukannya kontribusi persepsi dukungan sosial suami terhadap kepuasan perkawinan istri usia tengah baya yang cukup besar yaitu sebesar 45,3%. Untuk lebih menyempurnakan penelitian selanjutnya, disarankan menggunakan teknik probability sampling atau menambahkan metode wawancara untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam. Selain itu, membandingkan subyek pria dan wanita dapat dilakukan untuk lebih membuktikan apakah benar ada perbedaan antara pria dan wanita dalam hal penerimaan dukungan sosial. Masalah istri usia tengah baya dalam menghadapi masa pensiun juga merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S2366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Dewi Farah
"Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Hal-hal yang terjadi pada masa ini sangat menentukan kepribadian, watak, serta keadaan jasmani seseorang kelak dikemudian hari. Apa yang dipelajari oleh anak sangat tergantung pada bagaimana orangtua dapat memenuhi kebutuhan anak. Sekali dipelajari sikap-sikap ini akan mempengaruhi persepsi individu terhadap orang-orang lain dan situasi-situasi selama hidupnya.
Hubungan antara anak dengan keluarganya terutama ibunya amatlah erat dan hal ini berpengaruh pada perkembangan pribadi anak. Keadaan tidak berdaya pada masa bayi menumbuhkan rasa ketergantungan yang mendasar pada anak. Seiring dengan meningkatnya usia, meningkat pula kemampuan di bidang kognisi, fisik dan ketrampilan motorik. Hal ini memungkinkan anak untuk melakukan hal- hal tertentu yang dulu tidak bisa mereka lakukan sehingga anak menjadi mandiri.
Kemandirian itu sendiri dirasakan sangat penting, mengingat hal-hal yang dilakukan anak sekarang akan mempengaruhi cara dia bertingkah laku kelak setelah dewasa. Sehingga anak perlu menerapkan sikap dan tingkah laku tepat dan sesuai. Tetapi bagaimana anak harus mandiri dan tergantung sangat ditentukan oleh norma-norma lingkungan dimana dia berada.
Seiring dengan perkembangan jaman, saat ini semakin banyak wanita yang tidak hanya menjadi ibu rumah tangga saja, tetapi juga melibatkan diri dalam dunia kerja diluar rumah. Hal ini menyebabkan waktu ibu bersama keluarga terutama anak-anaknya menjadi berkurang.
Untuk menjaga agar anak-anaknya tidak terlantar, salah satu upaya yang dilakukan adalah menitipkan anak tersebut di Tempat Penitipan Anak (TPA). TPA sendiri merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan dalam bentuk perawatan dan pengasuhan untuk anak yang ditinggal ibunya bekerja
Melihat hal tersebut, penulis ingin mengetahui apakah ada perbedaan dibidang kemandirian antara anak yang pernah masuk TPA dengan anak yang tidak pernah masuk TPA saat mereka duduk di Taman Kanak-kanak. Manfaat dari penulisan ini adalah agar mempermudah pihak orangtua khususnya kaum Ibu dalam memutuskan pengasuh pengganti yang baik dan sesuai bagi anaknya.
Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuesioner. Mengingat keterbatasan si anak dalam membaca dan memahami maksud pertanyaan alat ukur, maka yang diminta mengisi kuesioner tersebut adalah ibu si anak.
Hipotesa penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan di bidang kemandirian antara anak usia prasekolah yang mendapat program pendidikan TK plus TPA dengan anak yang mmendapat program pendidikan TK saja.
Dari hasil perhitungan, tampak ada perbedaan yang signifikan di bidang kemandirian antara anak yang mendapat program pendidikan TK plus TPA dengan anak yang mendapat program pendidikan TK saja. Artinya anak yang mendapat program pendidikan TK plus TPA memiliki derajat kemandirian yang berbeda dengan anak yang mendapat program pendidikan TK saja. Penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang mendapat program pendidikan TK plus TPA lebih mandiri dibandingkan anak yang mendapat program pendidikan TK saja.
Sedangkan saran untuk para orangtua, terutama ibu bekerja, bisa menjadikan TPA sebagai alternatif pengasuh pengganti anak yang cukup baik."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2477
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carla Meutia
"ABSTRAK
Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah memilih pasangan
hidup. Memilih pasangan hidup yang tepat sangat penting, karena akan
mempengaruhi kesuksesan dan kebahagiaan pernikahan dan kehidupan berumah
tangga kelak. Dalam memilih pasangan hidup, tiap individu mempunyai kriteria-
kriteria tertentu yang dianggap penting dan diharapkan ada pada calon pasangan
hidupnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah benar perbedaan jender
menyebabkan preferensi yang berbeda pada kriteria pasangan hidup yang
dianggap penting. lalu apakah perbedaan ideologi peran jender (tradisional atau
modern) yang dianut juga dapat menyebabkan perbedaan preferensi pada kriteria
pasangan hidup yang dianggap penting.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah 2 buah kuesioner, yang
mengukur ideologi peran jender seseorang dan preferensinya pada 13 kriteria
pasangan hidup. Alat ini disebarkan pada 150 responden dan hasilnya diolah
melalui SPSS 6.0 dengan tehnik perhitungan statistik ANOVA 1 dan 2 arah.
Dari hasil dan analisa yang diperoleh, ternyata memang benar kalau pria
dan wanita menunjukkan preferensi yang berbeda pada kriteria pasangan hidup
yang mereka anggap penting. Pria terbukti Iebih mementingkan kriteria daya tarik
fisik dibanding wanita, dan wanita Iebih mementingkan kriteria cerdas, berpotensi
sukses, mapan, berambisi, berpendidikan, beragama sama, serta belatar belakang
keluarga jelas dibanding wanita. Terbukti juga bahwa secara keseluruhan wanita lebih pemilih dibanding pria. Untuk ideologi peran jender, ternyata antara penganut
ideologi peran jender tradisional dan modern juga memperlihatkan perbedaan
preferensi pada kriteria pasangan hidup yang dianggap penting. Penganut ideologi
peran jender tradisional lebih mementingkan masih perawan/perjaka dan berlatar
belakang keluarga jelas, sedangkan penganut ideologi peran jender modern Iebih
mementingkan kriteria cerdas, berpotensi untuk sukses, berambisi untuk maju
berprestasi, mapan (mempunyai pekerjaan, kedudukan dan penghasilan) dan
berpendidikan. Ditemukan juga pengaruh yang signifikan untuk interaksi jender dan
ideologi peran jender tarhadap preferensi kriteria ekspresif dan terbuka, dimana
berdasarkan urutan kriteria ini paling dipentingkan oleh pria modern, kemudian
wanita tradisional lalu wanita modern dan terakhir oleh pria tradisional.
Kesimpulan dan penelitian ini adaiah ternyata perbedaan jender (pria dan
wanita) dan perbedaan ideologi peran jender (tradisional dan modern)
menyebahkan perbedaan preferensi kriteria pasangan hidup yang dianggap penting,
dan juga ditemukan ada perbedaan preferensi kriteria pasangan hidup yang
disebabkan oleh interaksi antara perbedaan jender dan perbedaan ideologi peran-
jender.
Saran dari penelitian ini, bila ingin dilakukan penelitian Ianjutan, bisa diteliti
variabel Iain yang mungkin berpengaruh pada preferensi kriteria pasangan hidup
seperti variabel : tingkat sosial ekonomi, agama, suku, pendidikan, generasi, dan
wilayah tempat tinggal. Untuk kriteria yang dibandingkanpun bisa ditambahkan
dengan kriteria seperti pandai memasak, mendapat persetujuan orang tua atau
berasal dari suku yang sama.
Diharapkan hasil penelitian ini bisa jadi masukan yang bermaanfaat
terutama untuk para dewasa muda yang sedang mencari atau memilih pasangan
hidup yang tepat, demi kebahagiaan dan kesuksesan pernikahan dan kehidupan
berumahtangganya kelak."
Lengkap +
1998
S2711
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lavinia Budiyanto
"Konsep diri individu mempengaruhi tingkah lakunya dalam berbagai situasi. Diskrepansi yang terjadi antara konsep diri aktual dengan konsep din ideal dapat mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku. Dalam bertingkah laku, individu didorong oleh motivasi. Motivasi terdiri dari motif afiliasi, motif kekuasaan, dan motif berprestasi. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara diskrepansi konsep diri aktual dan konsep din ideal dengan motif berprestasi pada para remaja putri yang mendatangi agensi-agensi modelling untuk menjadi fotomodel. Penelitian ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kuatnya motif berprestasi individu berhubungan dengan rendahnya diskrepansi antara konsep diri aktual dengan konsep diri ideal individu tersebut, sehingga hipotesis alternatif yang diuji berkorelasi negatif.
Sampel penelitian ini diambil dari populasi remaja putri berusia 18 sampai 21 tahun, pernah mendatangi dan mendaftar menjadi anggota agensi-agensi modelling, serta bertempat tinggal di DKI Jakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan alat tes berupa kuesioner dengan tiga bagian, yaitu konsep diri aktual, konsep diri ideal, dan motif berprestasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara kuantitatif. Hipotesis alternatif diuji signifikansinya pada l.o.s. 0,05 dengan perhitungan dua arah.
Para responden memiliki konsep diri aktual yang baik atau sehat, karena grafik distribusi statistik konsep diri aktual para responden normal (tidak skewed). Para responden juga memiliki konsep diri ideal yang baik atau sehat, karena walaupun grafik distribusi statistik tidak normal {skewed ke kiri) namun ini merupakan hal yang normal karena semakin kecil nilai konsep diri pada alat pengumpul data penelitian ini berarti semakin baik konsep diri tersebut. Diskrepansi antara konsep diri aktual dengan ideal para responden merupakan diskrepansi yang normal, karena grafik distribusi statistik normal (tidak skewed). Hal ini berarti konsep diri aktual para responden tidak terlalu jauh dengan konsep diri ideal mereka.
Pola motivasi yang terdapat pada para responden adalah sebagai berikut: 38% responden memiliki motif berprestasi yang kuat; 32% memiliki motif berprestasi yang sedang; dan 30% memiliki motif berprestasi yang lemah. Berarti hanya sepertiga dari responden yang memiliki motif berprestasi yang kuat.
Ada hubungan negatif yang signifikan antara diskrepansi konsep diri aktual dan konsep diri ideal dengan motif berprestasi. Dengan perkataan lain, dengan bertambah kecilnya diskrepansi antara konsep diri aktual dengan konsep diri ideal akan diikuti meningkatnya motif berprestasi pada para responden.
Walaupun diskrepansi konsep diri para responden merupakan diskrepansi yang normal, namun hanya sepertiga responden yang memiliki motif berprestasi yang kuat. Mungkin hal ini menandakan bahwa ada faktor lain yang ikut berperan untuk meningkatkan motif berprestasi, di mana faktor ini tidak terkontrol oleh penulis.
Dalam hal pengambilan sampel, pemilihan responden perlu diperluas dan lebih melibatkan banyak agensi modelling. Selain itu, perlu mengadakan rapport yang baik dengan para responden sehingga mereka mau menjadi responden. Alat pengumpul data yang digunakan sebaiknya menggunakan item-item standar agar lebih akurat. Selain diskrepansi antara konsep diri aktual dengan konsep din ideal, penelitian ini dapat juga dilakukan untuk meneliti diskrepansi antara konsep diri aktual dengan konsep diri sosial dan konsep din ideal dengan konsep diri sosial, serta hubungannya dengan motif berprestasi."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hidayat Martin
"Seiring dengan perkembangan zaman terjadi pergeseran dalam kehidupan bermasyarakat kita. Peran seorang ibu yang dulu hanya sebagai pengatur urusan rumah tangga kini telah bertambah karena semakin banyak ibu yang bekerja di luar rumah. Dengan bekerja di luar rumah maka waktu ibu untuk bertemu dan mengasuh anak berkurang. Terbatasnya waktu pertemuan anak dengan ibunya membawa pengaruh pada perkembangan anak. Hoffman (1989, dalam Berk 1991) menyatakan bahwa ibu bekerja lebih menekankan kemandirian pada anaknya sehingga anak akan mencapai kemandirian yang lebih baik.
Penelitian ini ingin menguji apakah benar bahwa anak yang ibunya bekerja berbeda tingkat kemandiriannya dengan anak yang ibunya tidak bekerja. Subyek penelitian ini adalah anak usia 3-5 tahun yang ibunya bekerja full time, dan anak usia 3-5 tahun yang ibunya tidak bekerja. Subyek diambil yang berusia 3-5 tahun, karena pada usia Ini diharapkan anak sudah melewati tahap autonomy vs shame and doubth. (Erikson 1963).
Kemadirian anak usia 3-5 tahun ini diukur dengan menggunakan kuesioner skala kemandirian yang disusun berdasarkan 4 aspek kemandirian, Aspek-aspek tersebut didapatkan dari berbagai literatur yang didasarkan pada teori Erikson dan Bandura. Ke-4 aspek tersebut adalah self regulation, self control, self efficacy, dan self determination. Dari hasll uji coba diperoleh 44 Item yang valid dan reliabel untuk mewakili aspekaspek kemandirian dengan angka reliabilitas 0.8945. alat tersebut diberikan pada 48 anak-anak usia 3-5 tahun yang ibunya bekerja full time dan 48 anak usia 3-5 tahun yang ibunya tidak bekerja.
Setelah data terkumpul dan dilakukan analisis diperoleh hasil yang menunjukkan adanya perbedaan yang siknifikan pada tingkat kemandirian antara anak yang ibunya bekerja full time dangan anak yang ibunya tidak bekerja. Selain itu dari data tambahan juga diperoleh informasi bahwa tidak terdapat perbedaan kemandirian yang signifikan antara anak laki-laki dan perempuan, dan juga pada anak yang anak sulung dan bukan sulung. Tetapi terdapat perbedan kemandirian antara anak yang mempunyai pengasuh dan tidak mempunyai pengasuh, serta anak yang sudah mengikuti pendidikan (pra sekolah) dan anak yang tidak mengikuti pendidikan pra sekolah.
Kami berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi semua pihak untuk menambah pengetahuan dan memberikan masukan pada ibu yang berkerja dan juga bagi ibu yang tidak bekerja. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar dibuat alat yang lebih balk lagi, yaitu yang jumlah itemnya lebih banyak dan seimbang antara yang satu dengan aspek yang lain."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2958
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Supriyadi
"ABSTRAK
Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mencapai usia ke-58, dimana pada
usia ini adalah usia yang bisa dikatakan dewasa dalam suatu perkembangan sebuah
organisasi. Dalam usia yang sudah semakin dewasa ini, Polri semakin berusaha
membenahi diri dalam segala bidang, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas.
Masyarakat yang semakin kritis dan maju, menginginkan aparat Polri-nya untuk
menjadi Polri yang mandiri dan profesional. Semenjak Polri berpisah dari ABRI, Polri
semakin berusaha untuk meningkatkan profesionalisme anggotanya. Telah banyak cara
dan usaha yang dilakukan untuk itu.
Walaupun demikian, banyak faktor yang harus diperhatikan pada individu itu
sendiri. Selain penguasaan pengetahuan tentang kepolisian dan masyarakat, harus
diperhatikan juga masalah kesejahteraan anggota Polri. Masalah ini merupakan masalah
yang sangat penting dan fundamental bagi setiap orang di dunia timur seperti Indonesia.
Sebagai aparat negara penegak hukum, akan sangat berbahaya bila kesejahteraan
mereka tidak diperhatikan atau dalam tingkat rendah karena bukan tidak mungkin mereka
akan menggunakan hukum itu sendiri untuk tujuan yang tidak kita kehendaki bersama
(Korry, dalam Kunarto, 1995).
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat
kesejahteraan subyektif anggota Polri, terutama yang masih melajang pada masa dewasa
muda di Jakarta. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan tehnik incidental
sampling. Sampel berjumlah 108 orang yang bertugas di wilayah hukum Jakarta dan
berpangkat Tamtama, Bintara dan Perwira. Alat ukur yang digunakan berbentuk
kuesioner yang peneliti susun berdasarkan dimensi-dimensi yang membentuk
kesejahteraan subyektif. Untuk melihat gambaran umum dari tingkat kesejahteraan
subyektif anggota Polri ini, dilakukan tehnik perhitungan nilai rata-rata dari seluruh
kuesioner.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan anggota Polri
yang melajang pada masa dewasa muda di Jakarta berada pada tingkat yang agak tinggi.
Banyak sekali faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Diantaranya yaitu kurangnya
perilaku asertif dari anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, aktivitas
yang cenderung monoton, neflected appraisal dari lingkungan sekitar atau masyarakat
yang sudah melabel Polri bahwa Polri bukan untuk masyarakat, kurangnya dukungan
sosial untuk Polri guna merubah dirinya serta kurangnya sumber daya yang ada dalam
tubuh Polri dan anggotanya. Terutama untuk sumber daya materi, harus diberi perhatian
lebih karena gaji polisi kita hanya 26 % dari gaji pegawai keuangan negara, padahal
standar PBB, gaji anggota polisi harus di atas gaji pegawai bank atau keuangan negara
untuk menciptakan polisi yang professional (Tabah, 2002).
Dengan meningkatkan kesejahteraan subyektif anggota Polri, merupakan salah
satu dari sekian banyak hal yang harus dilakukan oleh Polri untuk dapat mencapai Polri
yang mandiri, Polri professional yang diidam-idamkan masyarakat Indonesia selama ini. "
Lengkap +
2003
S3221
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Prawira
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai
penerapan toilet training pada orangtua yang mempunyai anak batita. Penelitian
ini juga diharapkan untuk dapat menentukan kapan waktu yang tepat untuk
memulai toilet training serta cara-cara yang digunakan.
Toilet training adalah salah satu tugas perkembangan anak yang menjadi
landasan untuk menjalani tugas perkembangan selanjutnya. Keberhasilan seorang
anak untuk melewati tugas perkembangan ini bergantung pada bagaimana cara
orangtua menerapkan toilet training kepada anak mereka.
Penelitian ini dilakukan terhadap empat orang subjek dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara dan observasi
untuk memperoleh data. Data yang berhasil dihimpun kemudian dianalisis dengan
menggunakan teori mengenai toilet training, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan toilet training.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan data bahwa usia anak tidak menjadi
patokan dalam menerapkan toilet training, mereka lebih melihat kepada
perkembangan motorik kasar anak. Apabila anak mengompol, para subjek
berupaya untuk tidak memarahi dan memahami bahwa hal tersebut adalah hal
yang biasa dilakukan oleh anak kecil. Cara yang diterapkan oleh para subjek
antara lain dengan menerangkan rangkaian tingkah laku yang harus dilakukan
pada waktu buang air dan membiasakan anak untuk buang air kecil setiap dua jam
sekali. Para subjek juga menggunakan pispot dalam mengajarkan toilet training
pada anak dan berupaya untuk memberikan contoh cara buang air kecil di kamar
mandi. Kendala yang dihadapi para subjek dalam menerapkan toilet training
antar lain adalah adanya anggapan dari anak bahwa pispot sebagai mainan dan
hilangnya hasrat untuk buang air besar akibat bermain air di kamar mandi.
Adapun bahan yang dapat menjadi pertimbangan dari penelitian ini adalah
bahwa pada sebuah penelitian kualitatif dibutuhkan keijasama antara peneliti dan
subjek, insight, serta perasaan yang peka dari keduanya. Oleh karena itu
diperlukan sebuah latihan untuk dapat mengajukan pertanyaan dan menggalinya
lebih dalam. Lebih lanjut diperlukan juga waktu observasi yang cukup untuk mendukung data-data yang ada. Sebaiknya dilakukan juga wawancara dengan
orang lain, baik suami atau orang yang mengasuh anak. Hal itu ditujukan untuk
mendapat tambahan gambaran bagaimana cara penerapan toilet training serta
untuk memperlihatkan konsistensi jawaban subjek dengan penerapan yang
dilakukannya."
Lengkap +
2004
S3302
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lita Patricia Lunanta
"Gambaran Hasil Wechsler Intelligence Scale for Children-
Revised (WISC-R) Anak dengan Keterbelakangan Mental Ringan.
Masa usia sekolah merupakan saat yang penting bagi perkembangan fisik,
kognitif dan psikososial Sebagian besar anak memiliki perkembangan
yang setara dengan rata-rata anak dalam kelompok usianya sehingga dapat memenuhi tuntutan dari tugas perkembangannya. Namun demikian
beberapa anak dapat memiliki perkembangan yang melebihi ataupun
kurang dari rata-rata, baik dalam satu maupun beberapa aspek
perkembangan. Keterbelakangan mental (mental retardation) adalah satu
fenomena yang terjadi pada masa perkembangan di mana perkembangan
aspek intelektual berada jauh di bawah rata-rata anak-anak yang seusia.
Diagnosis dan pengelompokan keterbelakangan mental diawali dengan
pengukuran taraf inteligensi di mana salah satu alat tes yang digunakan
adalah WISC-R. Berdasarkan hasil dari WISC-R dapat dilihat adanya
kekuatan dan kelemahan pada aspek-aspek inteligensi yang ditampakkan
oleh skor setiap subtest.
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
gambaran basil WISC-R pada kelompok anak keterbelakangan mental
ringan. Dengan demikian dapat bermanfaat dalam penyusunan program
intervensi bagi anak keterbelakangan mental, baik yang berupa pendidikan, pendampingan, atau pelatihan. Hal ini dapat memaksimalkan potensi anak keterbelakangan mental sehingga diharapkan mereka dapat berfunggsi secara lebih optimal dalam masyarakat. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis hasil tes inteligensi WISC-R dari sembilan anak dengan keterbelakangan mental ringan yang pemah menjadi klien di Klinik
Perkembangan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki IQ
Verbal dan IQ Performance yang setara dengan rata-rata skor yang
diperoleh berada dalam rentang 2, 67 (Picture Arrangement) hingga 6, 78 (Mazes). Pada Skala Verbal subtest yang memperoleh skor paling tinggi yang merupakan kekuatan adalah Comprehension dan subtest yang
memperoleh skor paling rendah yang merupakan kelemahan adalah
Vocabulary. Pada Skala Perfomance subtest yang memperoleh skor paling
tinggi yang merupakan kekuatan adalah Mazes dan subtest yang
memperoleh skor paling rendah yang merupakan kelemahan adalah Picture
Arrangement, Terdapat beberapa subtest yang saling berbeda secara
signifikan, antara lain pada subtest: Comprehension dan Information,
Similarities dan Vocabulary, Picture Completion dan Picture Arrangement,Comprehension dan Picture Arrangement, Serta Similarities dan Block Design
Dalam melakukan penelitian yang serupa sebaiknya digunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat diperoleh gambaran hasil WISC-R dari sampel yang lebih besar serta analisis yang lebih mendalam lagi mengenai kekuatan dan kelemahan anak keterbclakangan mental ringan Selain itu, pengumpulan data sebaiknya dilakukan secara langsung oleh peneliti (menggunakan data primer) sehingga hasil yang didapatkan menjadi Iebih luas dan lengkap."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wowor, Rinny
"Anak cacat mental adalah anak yang tergolong ?luar biasa". Maksudnya adalah anak secara signifikan dapat dianggap berbeda dengan anak-anak normal lainnya, terutama yang berkaitan dengan beberapa dimensi penting dari kemanusiaannya. Mereka mengalami hambatan baik dari aspek fisik, kognitif sosial dalam mencapai perkembangannya. Namun demikian anak cacat mental dengan klasifnkasi ringan tidak memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok, mereka mampu untuk dididik, dapat mempunyai teman, keterbelakangannya dapat di ketahui saat anak masuk sekolah dasar, dan prose; penyesuaian dirinya sedikit lebih rendah dari pada anak-anak normal lainnya (Weiner, 1982). Kebanyakan dari anak cacat mental ringan mengetahui bahwa dirinya lebih terbelakang dibandingkan dengan kemampuan yang harusnya sudah dikuasai (Halpem, 1968). Beberapa diantara mereka menjadi frustrasi, menarik diri alan bertindak ?buruk? untuk mendapatkan perhatian dari anak lain atau orang dewasa (http://www.daycre.com/fasacts/redation.html).
Hasil penelitian Reiss, Menolascino dan Bregman, menemukan bahwa tingkat gangguan emosional pada anak cacat mental lebih banyak daripada anak yang bukan cacat mental (http://www.uab.edu/cogdev/mentreta.htm). Pada anak cacat mental ringan gangguan emosional yang sering terjadi adalah mereka menampilkan perilaku aggression, anxiety, depresi, attention problem, bahkan self injury (Corbct.,l985 ;Bregnan 1991 dalam Israel,l997). Menurut Exner (1982), pada anak dengan kategori cacat mental ringan (Educable Mentally Retarded) dapat diberikan tes Rorschach, karena dapat memberikan gambaran kepribadian anak terutama menyangkut aspek emosi. Selain itu melalui tes Rorschach dapat diketahui adanya frustrasi, agresif, kecemasan, hubungan interpersonal, konsep diri, asosinsi anak terhadap figur orang tua yang dihasilkan berdasarkan stimulus value yang ada pada tiap kartu dan analisis skor Rorschach.
Teknik Rorschach adalah salah satu tes proyeksi yang digunakan untuk mengungkapkan aspek-aspek kepribadian. Aspek kepribadian yang dapat terungkap pada tes Rorschach meliputi aspek kognitif emosi dan fungsi ego. Aspek emosi yang dapat diungkap oleh tes Rorschach adalah kondisi emosi seseorang, perasaan terhadap diri sendiri, responsititas terhadap lingkungan sekitar, reaksi terhadap tekanan emosi dan pengendalian dorongan emosional (Klopfer & Davidson 1962). Menurut Exner (1982) skor Rorschach pada anak cacat mental ringan lebih banyak memberikan sumbangan pada aspek emosi dibandingkan dengan aspek kognitif dan fungsi ego.
Penelitian ini dilakukan atas dasar ketertarikan peneliti, mengingat selama ini pemeriksaan psikologis di Klinik Bimbingan Anak Fakutas Psikologi UI terhadap anak cacat mental ringan jarang diberikan tes Rorschach. Dari data sekunder yang ada di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi UI, hanya terdapat I kasus anak cacat mental ringan yang diberikan tes Rorschach. Terlihat bahwa pemeriksaan psikologis terhadap anak cacat mental ringan lebih ditekankan pada aspek kognitif dan fungsi adaptif namun kurang menekankan pada aspek emosinya. Anak cacat mental ringan mempunyai kebutuhan yang sama dengan anak normal menyangkut kebutuhan dasar, afeksi, rasa aman, dan penerimaan dari lingkungannya. Masalah emosional akan timbul saat kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi Lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat memegang peranan penting dalam membantu meningkatkan derajat stabilitas emosi anak cacat mental ringan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini menunjukan bahwa, masing-masing subyek memberikan respon berdasarkan pengalamannya, sesuai tempat tinggal atau lingkungan dimana individu tersebut berada. Gambaran aspek emosional yang tercermin melalui tes Rorschach meliputi, kondisi emosi anak cacat mental ringan mulai dari yang paling banyak hingga sedikit yaitu pasif menarik diri, merasa cemas, impulsif dan agresif. Konsep diri yang kurang baik, mengalami kesulitan untuk berhubungan secara emosional dengan orang lain, kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, selain adanya hambatan dalam memperhatikan dan mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Namun demikian mereka mampu melihat realitas dan bereaksi terhadap stimulus emosional. Mereka mengenal orang tua sebagai figure otoritas, adanya kebutuhan akan afeksi, penerimaan, dan keinginan untuk dilibatkan dalam lingkungan sosialnya."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38786
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>