Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lila Safira
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari aspek iklim psikologis (baik secara bersama-sama maupun mandiri) terhadap motivasi berprestasi karyawan Sales dan Marketing pada perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa telekomunikasi dan internet. Penelitian ini diikuti oleh 158 responden dengan rentang usia 25 - 55 tahun, yang tersebar di dalam dua divisi, yaitu divisi Retail dan divisi Enterprise. Peneliti menggunakan delapan aspek iklim psikologis yang dikemukakan oleh Koys dan DeCotiis: support, cohession, fairness, trust, recognition, pressure, innovation, dan autonomy. Sedangkan teori motivasi berprestasi yang digunakan adalah motivasi berprestasi yang dikemukakan oleh McClelland.
Hasil analisis regresi ganda dengan metode stepwise menunjukan bahwa aspek iklim psikologis secara bersama-sama memiliki pengaruh secara signifikan sebesar 12.5 % terhadap motivasi berprestasi, sedangkan aspek yang memiliki kontribusi terbesar adalah aspek pressure dan aspek support. Penyebab kecilnya hasil yang di peroleh seperti masalah alat ukur dan faktor lain yang memengaruhi motivasi berprestasi, yang salah satunya adalah usia, di bahas lebih lanjut.

The purpose of this research is to know the effect of psychological climate aspects on Sales and Marketing employee achievement motivation in telecommunication and internet business. The participants of this research are 158 Sales and Marketing employee with age ranging from 25 to 55 years old that spans in Retail and Enterprise division. The researcher uses Koys and DeCotiis?s aspects of psychological climate, which are consist of 8 aspects: support, cohesion, fairness, trust, recognition, pressure, innovation, and autonomy. While achievement motivation theories that applied are McClelland?s achievement motivation theories.
The result of multiple regression analysis with stepwise method have proven that the aspects of psychological climate altogether has a significant effect on Sales and Marketing employee achievement motivation up to 12.5 %, while the remaining achievement motivations are induced by other factor. Pressure and support is one of the most contributing aspects in achievement motivation. Therefore, with the yielded small result, instruments and other factor that induces achievement motivation, such as age, will be discussed further.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
658.314 22 SAF p
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Salim
"Negara Indonesia merupakan negara multietnik, yang terdiri dari bermacam-macam suku dan bangsa. Tetapi dari sekian banyak suku dan bangsa tersebut, dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi. Golongan Pribumi merupakan suku asli Indonesia, misalnya suku Jawa, Batak, Sunda dan sebagainya, sedangkan Golongan Non-Pribumi merupakan bangsa pendatang seperti Arab, India Cina dan sebagainya.
Tetapi semakin lama Golongan Non-Pribumi menunjuk pada satu bangsa yaitu keturunan Cina, karena dari sekian banyak bangsa pendatang, hanya bangsa Cina ini yang paling sulit berbaur. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya konflik yang terjadi diantara kedua golongan ini. Konflik-konflik yang terjadi diantara kedua golongan ini disebabkan penguasaan sektor ekonomi oleh Golongan Non- Pribumi. Selain Golongan Non-Pribumi ini sudah bergerak di bidang ekonomi sejak jaman penjajahan Belanda, diduga ada faktor budaya yang berperan. Budaya antara Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi ini berbeda.
Berbicara tentang ekonomi, tidak lepas kaitannya dengan bekerja. Bekerja merupakan peranan penting dalam kehidupan manusia karena dengan bekerja manusia dapat memenuhi kebutuhannya yang bermacam-macam. Mulai dari kebutuhan fisiologis sampai dengan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Tidak lepas kaitannya dengan bekerja adalah arti bekerja. Ada dugaan bahwa sementara bahwa titik pangkal dari mantap atau tidaknya seseorang menekuni kegiatan kerjanya, berhasil atau tidaknya seseorang menekuni kegiatan kerjanya dan bahkan pula berkembang atau tidaknya seseorang menekuni pekerjaan lebih banyak ditentukan oleh arti bekerja yang dimiliki oleh seseorang. Arti bekerja ini dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, karakteristik pekeijaan, konteks sosial dan budaya.
Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan arti bekerja bagi Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dan melihat apakah ada perbedaan diantara kedua golongan. Arti bekerja diukur dalam 5 aspek, yaitu sentralitas keija sebagai peran hidup, norma sosial mengenai bekerja, hasil bekerja yang paling bernilai, tujuan bekerja yang penting dan identifikasi peran bekerja. Subjek penelitian yang diambil adalah individu yang telah bekerja (karyawan) di Jakarta, berada pada tahapan karir awal dan mempunyai tingkat pendidikan akademi ke atas.
Hasil penelitian menyatakan bahwa arti bekerja untuk Golongan Pribumi adalah sentralitas kerja yang dimiliki tinggi, bekerja dipandang sebagai hak dan kewajiban dari individu, hasil bekerja yang paling bemilai adalah pendapatan dan hubungan interpersonal, tujuan bekerja yang penting adalah pendapatan dan belajar, dan bekerja teridentifikasi pada pendapatan dan tugas. Sedangkan Golongan Non-Pribumi sentralitas kerja tinggi, bekerja dipandang sebagai kewajiban individu, hasil bekerja yang paling bernilai adalah pendapatan serta status dan prestise, tujuan bekerja yang penting adalah pendapatan dan tugas, dan bekerja teridentifikasi pada pendapatan dan tugas. Secara keseluruhan perbedaan yang terjadi tidak signifikan.
Perbedaan arti bekerja antara Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi tidak berbeda secara signifikan, sedangkan budaya yang dimiliki oleh kedua golongan berbeda. Hal ini mungkin disebabkan adanya pergeseran nilai dari Golongan Pribumi dari budaya petani menjadi masyarakat modem, tahapan karir yang sama antara Golongan Pribumi dan Golongan Non-Pribumi, pengalihan bahasa yang mungkin kurang tepat, variabilitas sampel yang kurang besar, pengambilan sampel hanya di Jakarta, tidak dipisahkannya Golongan Pribumi ke dalam suku-suku yang lebih spesifik karena ada beberapa suku yang mempunyai budaya yang hampir sama dengan Golongan Pribumi, dan tidak dilakukannya pemisahan antara totok dan peranakan pada Golongan Pribumi. Oleh karena itu disarankan untuk memperbaiki tingkat pendidikan pada Golongan Pribumi, perbaikan dalam alih bahasa kuesioner, variabilitas sampel yang diperbesar, pengambilan sampel tidak hanya di Jakarta, dilakukannya pemisahan antara suku pada Golongan Pribumi dan pemisahan antara totok dan peranakan pada Golongan Non-Pribumi."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S3032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Paribanulia E. P.
Depok: Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sipayung, Rina Hotmarinda
"Perusahaan tambang memiliki berbagai jenis karakteristik karyawan atau disebut sebagai biographical characteristics. Menurut Robbins (2003), biographical characteristics terdiri dari usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan masa kerja. Pada penelitian ini akan dilanjutkan dengan biographical characteristics tambahan, yaitu status kepegawaian, penghasilan, jumlah jam kerja, dan riwayat pekerjaan kerja guna memperkaya hasil penelitian. Biographical characteristics tersebut dapat membedakan work engagement pada karyawan swasta yang bekerja di perusahaan tambang. Menurut Schaufeli dan Bakker (2003), work engagement merupakan keadaan pikiran yang positif dan berkaitan dengan pekerjaan yang dikarakteristikkan dengan vigor, dedication, dan absorption. Responden penelitian berjumlah 80 orang karyawan swasta yang bekerja di perusahaan tambang di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya variabel riwayat pekerjaan, F (2, 77) = 7,684, p < 0,05 yang merniliki perbedaan signifikan terhadap work engagement. Dimana, kelompok responden yang tidak pernah pindah tempat kerja, M = 91,22, SD = 9,151) memiliki perbedaan mean yang signifikan dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karyawan swasta di perusahaan tambang yang tidak pernah pindah tempat kerja memiliki work engagement yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua kelompok lainnya.

Mining company have the vary characteristics of employees or called as biographical characteristics. According to Robbins (2003), biographical characteristics consist of age, gender, marital status, and length of service with the organization. In this research will continue with add biographical characteristics, that is employee status, compensation, total hour of work, and work history to enrichment this result. Those biographical characteristics can different work engagement for private employees that works in mining company. According to Schaufeli and Bakker (2003), work engagement is defined as a positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by vigor, dedication, and absorption. The participants are 80 private employees in mining company. The main results of this research show that only work history, F (2, 77) = 7.68-4, p < 0.05 that have significant different toward work engagement. Whereas, group participants who never resign from company, (M I 91.22, SD I 9.151) have significant different mean than two other groups. As a conclusion, private employees who never resign from company have higher work engagement than two other groups."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Deasy Ratnasari
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja terhadap perilaku inovatif pada karyawan di kantor pusat PT XY. Berdasarkan hasil identifikasi masalah organisasi, karyawan merasa kurang puas terhadap gaji, imbalan nonfinansial (apresiasi), atasan, kesempatan promosi, transparansi informasi (komunikasi), dan sifat pekerjaan sehingga menghambat perilaku inovatif yang ditampilkan oleh karyawan. Hal ini perlu dibuktikan dengan mengukur pengaruh kepuasan kerja terhadap perilaku inovatif. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Job Satisfaction Survey (Spector, 1997) dan Innovative Work Behavior (Janssen, 2000) yang telah diadaptasi. Hasil penelitian pada 49 karyawan di kantor pusat PT XY menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kerja terhadap perilaku inovatif pada karyawan kantor pusat di PT XY (R2 = 0.388*, p < 0.05). Hasil perhitungan lebih lanjut menunjukan bahwa faset kepuasan terhadap sifat pekerjaan paling berpengaruh terhadap perilaku inovatif. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menetapkan intervensi yang tepat untuk menangani masalah organisasi ialah dengan memberikan pelatihan work redesign pada atasan yang memiliki subordinat dengan tingkat kepuasan terhadap sifat pekerjaan yang rendah. Selanjutnya, peneliti melakukan uji perbedaan pada skor kepuasan kerja (termasuk kepuasan terhadap sifat pekerjaan) dan skor perilaku inovatif saat sebelum dan setelah dilaksanakan intervensi. Uji ini dilakukan pada 6 orang subordinat yang atasannya telah mengikuti pelatihan. Hasilnya tidak terdapat perbedaan antara skor kepuasan kerja dan skor perilaku inovatif saat sebelum dan setelah diberikan intervensi. Namun demikian, ditemukan adanya perbedaan skor kepuasan terhadap sifat pekerjaan.

The study was conducted to find out the effect of increasing job satisfaction on innovative behavior to employee at Head Office PT XY. Based on result of organizational assessment, employees feel unsatisfied to pay, rewards, supervision, promotion, communication, and nature of work so that it inhibits employees to perform innovative behavior. This hypothesis was verified by measuring the influence of job satisfaction on innovative behavior. Instrument tools used in this study are Job Satisfaction Survey (Spector, 1997) and Innovative Work Behavior (Janssen, 2000) that has been adapted. The result of study on 49 employees indicated that there are significant effects of job satisfaction on innovative behavior to employees at Head Office PT XY (R2 = 0.388*, p < 0.05). Further result showed that nature of work as one of job satisfaction facets is the best facet giving influence to innovative behavior. Based on these result, the researcher determined appropriate interventions to solve the problems by providing work redesign training for supervisors who have subordinate with low satisfaction to nature of work. Then, the researcher conducted a comparison test in global job satisfaction (including nature of work) and innovative behavior scores before and after the intervention. These tests are conducted to 6 employees whose supervisor has already participated at training. The result indicated that there are no significant differences in global job satisfaction and innovative behavior score before and after the intervention. But, there is a significant difference in nature of work score before and after the intervention.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T35344
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaja Netra Puspita
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh peningkatan kualitas leadermember exchange terhadap perilaku inovatif pada karyawan kantor pusat PT BB melalui pemberian pelatihan coaching pada atasan. Penelitian ini dilakukan di PT BB, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri mining. Responden penelitian ini adalah 46 orang karyawan level staf. Pengukuran perilaku inovatif dilakukan dengan menggunakan alat ukur Innovative Work Behaviour dari Janssen (2000), sedangkan leader-member exchange diukur dengan menggunakan alat ukur LMX-M dari Wu (2009). Pengolahan data awal menjelaskan bahwa leader-member exchange secara signifikan mempengaruhi perilaku inovatif (r2 = 0.422) dengan dimensi affect dan exchange sebagai dua dimensi yang memiliki kontribusi terbesar.
Berdasarkan pengolahan data awal, ditentukan intervensi yang dilakukan adalah intervensi pelatihan coaching pada atasan. Responden intervensi adalah 4 orang atasan langsung dari karyawan yang memiliki skor leader-member exchange dan perilaku inovatif dalam kategori rendah. Efektifitas intervensi diukur melalui evaluasi reaksi, pembelajaran, dan tingkah laku. Pengukuran posttest dilakukan 8 hari setelah pelaksanaan pelatihan kepada 6 orang bawahan dari atasan yang mengikuti pelatihan. Hasilnya terdapat peningkatan skor leadermember exchange yang signifikan sebelum dan setelah pelaksanaan pelatihan (Z= -2,041, p =0.041). Namun demikian, tidak terdapat peningkatan skor perilaku inovatif yang signifikan sebelum dan setelah atasan diberikan pelatihan (Z= -1,095, p = 0.273).

This research aims to determine the influence of leader-member exchange enhancement on innovative behavior in PT BB's employee by providing coaching training for supervisor. This research was conducted at PT BB, a mining company. Respondents were 46 employees from staff level. Innovative behavior was measured using innovative work behavior scale by Janssen (2000), whereas leader-member exchange was measured using LMX-M scale by Wu (2009). Pretest data showed that leader-member exchange influences innovative behavior significantly (r2=0.422), furthermore affect and exchange found to have the biggest contribution.
Based on the result, researcher design a coaching training for supervisor as an intervention to enhance leader-member exchange so it predicts to enhace innovative behavior too. Intervention gived to 4 supervisor whom their subordinate had low score on leader-member exchange and innovative behavior. Effectivity of coaching training was measured by evaluate the reaction, learning, and behavior changing. Post-test was measured to 6 subordinates, 8 days after the intervention. The result showed there was significant improvement on leadermember exchange score after the intervention (Z = -2,041, p =0.041). For instance, there was not significant improvement on innovative behavior (Z = -1,095, p = 0.273).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T34828
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine
"Penelitian mengenai locus of control dan kepuasan keija telah banyak dilakukan, namun hasil-hasil penelitian tersebut masih bertentangan. Menurut Ryan (1988), faktor demografi juga turut mempengaruhi hubungan kedua variabel ini, oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan di Jambi. Tujuan penelitian ini ialah untuk menyelidiki dan menganalisis hubungan antara locus of control dan kepuasan keija, apakah semakin internal locus of control seseorang maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan keijanya. Penelitian ini penting karena kepuasan keija merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas perusahaan. Karyawan yang tidak puas terhadap pekerjaannya akan mengalami stress dan meningkatkan absenteisme atau keluar dari pekeijaannya. Hal ini dapat meningkatkan biaya operasi dan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Penelitian ini dilakukan pada karyawan Hotel X di Jambi dengan menggunakan adaptasi alat ukur the Job Satisfaction Survey (JSS) dari Spector (198S) dan Work Locus of Control Scale (WLCS) yang dibuat oleh Spector (1988) yang mengukur locus of control di dalam konteks lingkungan pekeijaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara locus of control dan kepuasan keija sebesar 0,224 dan tidak signifikan pada LOS 0,05 dan 0,01 sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara locus of control dan kepuasan kerja.

Many researches about locus of control and job satisfaction had been done, but the results showed differences. Ryan (1988) said that demographic factor also influence the relationship between those variables, therefore this research was held in Jambi. The objective of this research is to investigate and analyse the relationship between locus of control and job satisfaction, whether people with internal locus of control will lead to high job satisfaction. This research is essential because job satisfaction is one of key job factors which affects the organizational effectiveness. Employees who are dissatisfied with their job will be under stress, and tend to have high rate of absenteeism and tum over, which ultimately lead to higher operating cost or even can cause the organization to suffer a financial loss. This research was conducted in Hotel X Jambi by using adaptation of the Job Satisfaction Survey (JSS) by Spector (198S) dan Work Locus of Control Scale (WLCS) by Spector (1988) which measure locus of control in the context of work. The result of this research shows that correlation between work locus of control and job satisfaction is 0,224 and not significant in LOS 0,05 and 0,01. The conclusion is locus of control is not correlated significantly with job satisfaction.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3670
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiningtyas
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari peningkatan leader-member
exchange terhadap motivasi karyawan dengan pemberian pelatihan
komunikasi interpersonal pada atasan dalam Divisi EM di PT. XYZ. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan tipe penelitian action
research. Jumlah responden dalam penelitian adalah sebanyak 41 orang karyawan
pada level staf dan nonstaf yang berada dalam Divisi EM di PT. XYZ. Alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur leader-member exchange
yaitu LMX-MDM dari Liden & Maslyn (1998) dan alat ukur motivasi kerja yang
telah diadaptasi oleh Amaria (2000).
Untuk menguji hipotesa penelitian, peneliti melakukan uji statistik multiple
regression untuk mengetahui pengaruh LMX terhadap motivasi kerja. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari LMX
terhadap motivasi kerja dengan dimensi kontribusi dan loyalitas sebagai pemberi
kontribusi terbesar. Berdasarkan hasil tersebut peneliti menetapkan intervensi
yang tepat untuk mengatasi permasalahan yaitu dengan memberikan pelatihan
komunikasi interpersonal pada atasan. Kemudian peneliti melakukan uji beda
pada skor LMX sebelum dan sesudah diberikan intervensi juga pada skor motivasi
kerja, sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Hasilnya adalah tidak ada
perbedaan antara skor LMX sebelum dan sesudah diberikan intervensi dan juga
tidak ada perbedaan antara skor motivasi kerja sebelum dan sesudah diberikan
intervensi. Hal ini disebabkan karena jarak waktu post test yang terlalu singkat
sehingga atasan belum dapat mengimplementasikan hasil dari pelatihan dalam
pekerjaan sehari-hari yang akan berdampak pada persepsi bawahan akan kualitas
hubungan timbal balik antara atasan dan bawahan.

Abstract
The study was conducted to observe the effect of an enhancing in leader-member
exchange on employee motivation by providing interpersonal
communications training for supervisors in the Division of EM in the PT. XYZ.
This study uses quantitative and qualitative approaches to research and action
research type of design. Number of respondents in the study is 41 employees in
EM Divisions in PT. XYZ. Measuring devices used in this study is aan attitudinal
scale, leader-member exchange - LMX-MDM from Liden & Maslyn (1998) and
work motivation tool that has been adapted by Amaria (2000).
To test the hypothesis of the study, researchers conducted a multiple
regression statistical test to determine the effect of LMX on work motivation.
Calculation results indicate that there are significant effects of LMX on work
motivation and further test show that loyalty and contribution dimension form
LMX are giving the largest contribution to work motivation. Based on these
results the researchers determine appropriate interventions to address the problem
by providing interpersonal communications training for supervisors. Then the
researchers conducted a comparison test in LMX scores before and after the
intervention also provided motivation to work on the score, before and after the
intervention. The result is no difference between LMX scores before and after
intervention and also no difference between scores before and after work
motivation is given intervention. This is due to post-test interval is too short so
that the supervisors can not implement the results of training in the daily work that
will impact on the subordinate's perception of the quality of mutual relations
between superiors and subordinates."
2012
T30991
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Nuzululhayati
"Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim untuk berinovasi terhadap perilaku inovatif terkait dengan Sosialisasi Objektif 2013 PT IA dengan tema ?Synergy for Operational Excellence?. Berdasarkan hasil wawancara dan focus group discussion untuk mengetahui permasalahan organisasi, diketahui bahwa terdapat kebutuhan untuk berinovasi pada organisasi. Hal ini dikarenakan perubahan kondisi eksternal yang menyulitkan organisasi. Karyawan di organisasi khususnya di kantor pusat perlu menunjukkan perilaku inovatif dalam mendukung organisasi untuk mencapai operational excellence dalam proses kerja mereka.
Perilaku inovatif pada karyawan dipengaruhi antara lain oleh iklim organisasi yang dirasakan oleh karyawan. Iklim untuk berinovasi diukur dengan menggunakan alat ukur dari Panuwatwanich (2008) yang terdiri dari 36 item ( = 0,944) dan perilaku inovatif dengan menggunakan alat ukur dari Janssen (2000) yang terdiri dari 9 item ( = 0,895).
Hasil penelitian pada 65 karyawan di kantor pusat menunjukkan bahwa iklim untuk berinovasi mempengaruhi perilaku inovatif secara signifikan (R2 = 0,218). Berdasarkan hasil penelitian, peneliti kemudian merancang intervensi yaitu pelatihan iklim untuk berinovasi untuk dapat meningkatkan iklim untuk berinovasi sehingga perilaku inovatif pada responden dapat meningkat. Responden intervensi berjumlah 8 orang yang berasal dari divisi dengan iklim untuk berinovasi yang rendah.

This research aims to determine the influence of climate for innovation on innovative behavior related to PT IA?s Objective Socialization themed "Synergy for Operational Excellence". Based on interviews and focus group discussions known that there was a need on organization to innovate. It was related to the changing of external situation burdened the organization. The employees, specially in head office, need to improve innovative behavior in order to support organization in achieving operational excellence in their work processes.
Employee innovative behavior influenced by climate for innovation. Climate for innovation was measured using Climate for Innovation Scale by Panuwatwanich (2008) consists of 36 items (( = 0,944) whereas innovative behavior was measured using Innovative Behavior Scale by Janssen (2000) consists of 9 items ( = 0,895).
The result of 65 respondents from head office's employees showed that climate for innovation influenced innovative behavior significantly (R2 = 0,218). Based on the result, researcher designed the training as intervention to enhance climate for innovation so it predicts to enhance innovative behavior, too. The intervention conducted to 8 employees from division with low score on climate for innovation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T36025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosemary, Ariana
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan pemberdayaan psikologis (psychological empowerment) terhadap perilaku inovatif (innovative behavior). Berdasarkan hasil diagnosis permasalahan organisasi berupa wawancara dan FGD, ditemukan bahwa secara umum terlihat bahwa karyawan PT ED belum menunjukkan perilaku inovatif secara optimal. Kondisi ini dianggap kurang selaras dengan keadaan PT ED yang sedang mengalami masa krisis. Perilaku inovatif karyawan yang belum maksimal antara lain disebabkan oleh pemberdayaan psikologis yang belum tinggi. Hal ini dibuktikan dengan mengukur pengaruh pemberdayaan psikologis terhadap perilaku inovatif. Pemberdayaan psikologis karyawan diukur melalui kuesioner Psychological Empowerment yang dikembangkan oleh Spreitzer (1995) sejumlah 12 item (α = .779) dan perilaku inovatif diukur dengan kuesioner Innovative Work Behavior Scale yang dikembangkan oleh Janssen (2000) sejumlah 9 item (α = .901). Hasil penelitian pada 64 orang karyawan di Kantor Pusat menunjukkan pemberdayaan psikologis terbukti secara signifikan mempengaruhi perilaku inovatif (R2 = .287, p<0.01). Artinya, peningkatan pada pemberdayaan psikologis dapat memunculkan terjadi peningkatan perilaku inovatif. Peneliti kemudian merancang intervensi yang dapat meningkatkan pemberdayaan psikologis, berupa kegiatan pelatihan Empowerment for Innovation kepada karyawan dan atasannya, yang diharapkan dapat meningkatkan perilaku inovatif karyawan.

This research aims to determine the influence of psychological empowerment enhancement on employees' innovative behavior. Based on diagnose of organizational problems by conducting interview and FGD, it been estimated that employees' innovative behavior at PT ED should be increased. These condition do not in line with PT ED situations during company's crisis. Low level of employees' innovative behavior could be predicts by low level of employees' psychological empowerment. The influence of psychological empowerment on employees' innovative behavior is proven by quantitative measurement. Level of psychological empowerment is measured by 12-item Psychological Empowerment Questionnaire, which developed by Spreitzer (1995) (α = .779); meanwhile level of employees' innovative behavior is measured by 9- item Innovative Work Behavior Scale by Janssen (2000) (α = .901). Research on 64 Head Office Employees found the influence of psychological empowerment on innovative behavior (R2 = .287, p<0.01). Therefore, the enhancement of psychological empowerment will increase employees' innovative behavior. Researcher then design intervention program, that is Empowerment for Innovation Training for employee and their supervisor to increase employees' psychological empowerment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T35930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>