Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203697 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Nur H.S
"ABSTRAK
Tuna grahita seperti populasi yang normal juga memiliki kebutuhan fisiolofis,
sosial dan emosional yang sama dengan mereka yang normal. Seperti
dikemukakan oleh Lindsey (1993) bahwa tidak ada kaitan langsung antara
inteligensi dengan seksualitas, demikian juga pada remaja tuna grahita.
Remaja tuna grahita mampu didik seperti remaja sebayanya yang normal, juga
akan mengalami pubertas dan mulai mengalami ketertarikan dengan lawan jenis
mereka. Mereka seperti yang dikemukakan oleh Richmond, Tarjan dan
Mendelsohn (1976), memiliki dorongan seksual yang normal namun memiliki
kontrol diri yang lemah. Mereka memiliki kesulitan dalam membedakan perilaku
yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat diterima secara sosial (Payne &
Patton, 1981).
Hal-hal diatas dapat menyebabkan mereka menunjukkan ketertarikan pada lawan
jenisnya atau mengadakan hubungan interpersonal yang dianggap tidak sesuai
dengan norma karena ketidakpahaman mereka akan baik buruknya suatu perilaku
atau kurangnya kontrol diri mereka.
Kurangnya mereka berinteraksi dengan populasi normal kecuali di rumah dan di
sekolah dengan sesama siswa tuna grahita (Guralnick, 1986), menjadikan guru
sebagai contoh penting dari populasi normal pada saat mereka berada di sekolah.
Setiap perilaku adalah hasil pembelajaran dan karenanya contoh perilaku yang
didapat seseorang akan menentukan perilaku selanjutnya dari orang tersebut
(Haring, 1974).
Penelitian ini dilakukan di SDS / SDLB Budi Waluyo II, dengan subyek 4 orang
guru, yaitu 3 orang wali kelas dan 1 orang guru BP. Metode yang digunakan
adalah metode kualitatif dengan metode pengambilan data wawancara dan
observasi.
Para siswa Budi Waluyo masih berada pada tingkatan hubungan interpersonal
pertemanan dengan lawan jenis mereka (Deaux, Dane & Wrightsman, 1993).
Sebagian kecil siswa yang telah mengalami pubertas memang mengalami masalah
dalam hal hubungan interpersonal mereka dengan lawan jenisnya. Diantara mereka ada yang tidak dapat mengontrol diri dan mendekati lawan jenisnya tanpa
menghiraukan norma.
Dalam menangani masalah ini, guru menggunakan berbagai pendekatan seperti
pengawasan, negative attenlion dan modelling (Gage & Berliner, 1992). Juga
melakukan konferensi dengan orangtua, kepala sekolah dan konselor seperti
pendapat Evertson, Emmer dan Worshan (dalam Santrock, 2001).
Guru juga melakukan koordinasi dengan berbagai pihak seperti orangtua, para
siswa itu sendiri dan orang-orang yang mengantar atau menunggui siswa seharihari
di sekolah dalam hal pengawasan dan dalam penanganan masalah.
Tindakan atau cara guru menangani masalah hubungan interpersonal dengan
lawan jenis yang terjadi dapat menjadi masukan bagi siswa yang bersangkutan
maupun bagi siswa lain untuk membantu mereka mengetahui mana perilaku yang
dapat diterima secara sosial dan mana yang tidak."
2003
S3288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Febrina Ekasari
"Emosi dapat timbul oleh suatu stimulus yang dialami individu yang bersangkutan, baik yang datang dari luar seperti peristiwa kehilangan anggota keluarga maupun yang datang dari individu itu sendiri seperti pikiran-pikirannya, hanya jika stimulus tersebut diangap penting atau menyentuh kepedulian (concern) individu tersebut. Emosi yang dialami individu bukan merupakan sesuatu hal yang selalu diekspresikan, melainkan dialami sebagai penilaian atas situasi serta kesiapan aksi (tendensi aksi atau aktivasi) dan juga gejala-gejala perubahan faali. Ada berbagai macam emosi, salah satunya adalah emosi marah. Adalah suatu hal yang wajar jika individu mengalami emosi marah, namun yang penting adalah bagaimana individu tersebut memahami pengalaman marahnya sehingga apa yang dialaminya tidak mengganggu dirinya maupun keserasian hubungannya dengan orang lain. Walaupun emosi marah merupakan emosi umum yang dapat ditemui pada setiap individu dalam berbagai macam kelompok, namun perbedaan antar kelompok dapat membawa pada perbedaan pengalaman marahnya, termasuk pada penilaian dan kesiapan aksi. Kelompok yang diteliti dalam penelitian ini adalah guru yang mengajar di pendidikan pra-sekolah (preschool). Sebagai seorang pendidik, guru dituntut mempunyai kematangan emosi. Kematangan emosi tersebut bisa tercapai melalui pengenalan atau pemahaman emosi dirinya sendiri sehingga ia tidak terpengaruh secara berlebihan sewaktu mengalami suatu emosi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman emosi marah khususnya dalam penilaian dan kesiapan aksi pada guru pendidikan pra-sekolah di Jakarta. Selain itu penelitian ini juga merupakan bagian dari penelitian yang akan dilakukan oleh Prof. DR. Suprapti Sumarmo Markam dengan berbagai macam kelompok di Indonesia.
Subyek penelitian ini adalah guru pendidikan pra-sekolah yang ada di Jakarta yang masih aktif mengajar. Sampling yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Penelitian ini menggunakan kuesioner emosi Frijda dan Markam (1992) yang merupakan terjemahan kuesioner Frijda-Kuipers-TerSchure sebagai instrumen penelitian. Kuesioner itu terdiri dari tiga bagian, yaitu kuesioner penilaian, kuesioner kesiapan aksi, dan kuesioner umum emosi. Gambaran penilaian dan kesiapan aksi diperoleh dengan menghitung mean score tiap item/dimensi penilaian dan kesiapan aksi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi penilaian pada pengalaman emosi marah yang paling menonjol pada guru pendidikan pra-sekolah adalah: valensi, kemudahan, kemungkinan dapat diubah, keterkendalian, antisipasi usaha, dapat diharapkan, dan dapat diharapkan oleh orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap situasi yang menyebabkan emosi marah pada kelompok ini berkaitan dengan situasi yang dinilai: tidak menyenangkan, menghambat tujuan pribadi, dapat diubah, dapat dikendalikan, memerlukan usaha untuk mengatasinya, tidak diharapkan oleh pribadi, namun diharapkan oleh orang lain. Sedangkan dimensi kesiapan aksi pada pengalaman emosi marah yang menonjol dalam penelitian ini adalah: menghilangkan, mendidih di dalam, reaktans, memperhatikan, melawan, membetulkan, dan ketergantungan. Hal ini menunjukkan bahwa guru pendidikan prasekolah dalam penelitian ini memiliki kecenderungan yang mencolok untuk: menghilangkan atau menghapus perisiwa yang telah teijadi, darah terasa mendidih, menangani situasi, mencoba memberi perhatian penuh pada apa yang terjadi, menahan atau melawan, meluruskan apa yang telah teijadi, dan ingin ada yang menolong. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data awal untuk dapat lebih mengetahui pengalaman emosi marah pada guru pendidkan pra-sekolah di Jakarta."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
S3290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teresa Anyelir Putri
"Artikel ini mengkaji gejala interaksi sosial antara guru dan murid dengan ldquo;kesulitan belajar spesifik rdquo; KBS seperti murid-murid autis, ADHD, dan disleksia di sekolah khusus. Tujuannya untuk menyingkap fungsi interaksi sosial guru dan murid KBS sebagai pembelajaran nilai dan norma penuntun tindakan sosial. Topik ini belum dibahas dalam studi-studi terdahulu yang memusatkan analisisnya pada masalah psikologis murid KBS, antara lain masalah kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah umum, pelabelan negatif oleh guru dan teman, perkembangan perilaku, dan ketergantungan murid pada guru. Dengan mengggunakan konsep-konsep fungsi sosial sekolah Meyer , tindakan komunikatif Habermas , dan interaksionisme simbolik Blumer , fungsi interaksi sosial guru dan murid sebagai pembelajaran nilai dan norma sosial diungkapkan melalui studi kasus kualitatif di Sekolah Pantara, sebuah sekolah khusus di Jakarta Selatan. Hasil penelitian menunjukkan interaksi sosial guru dan murid KBS di Sekolah Pantara merupakan proses pembelajaran nilai-nilai kesantunan, kepekaan, tanggungjawab, dan kemandirian yang terkandung dalam kurikulum tersembunyi. Penelitian menyimpulkan interaksi simbolik antara guru dan murid KBS di kelas intervensi dini di Sekolah Pantara sampai batas tertentu meningkatkan kemampuan sosial murid KBS.

This article examined the phenomenon of social interaction between teachers and students with ldquo specific learning difficulties rdquo SLD , namely autism, ADHD, and dyslexia at the special school. It uncovered the function of that social interaction as a learning process of social values and norms which guide the social actions. This subject has not yet studied properly since the previous researches mainly examined the psychological aspect of students with SLD, such as the difficulties they faced in regular school, negative labelling gave them by teachers and classmates, their behaviour development, and their depencency to the teachers. Using an analytical framework linked the concepts of school social function Meyer , of communicative action Habermas , and of symbolic interactonism Blumer , the function of social interaction between teachers and students with SLD as a learning process of social values and norms examined through a qualitative case study on Sekolah Pantara, a special school at South Jakarta. The research pointed out that social interaction between teachers dan students with SLD at Sekolah Pantara is a learning process of social values namely politeness, sensitifity, responsibility, and independency included in a hidden curriculum. This research concluded simbolic interaction between the teachers and the student with SLD in the early intervention class at Sekolah Pantara, to some extent, increased the social abilities of the student with SLD."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mario Djabbar Aidil Hibatullah
"Kebutuhan interpersonal guru dalam menjalankan tugas mengajar masih belum cukup tergali dengan dalam (Newberry & Davis, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara Emotional Intelligence dengan persepsi guru mengenai hubungan guru-siswa. Penelitian ini menggunakan metode korelasional untuk menggambarkan hubungan antara emotional intelligence pada guru dengan persepsi guru terhadap hubungannya dengan siswa. Emotional intelligence guru diukur menggunakan Schutte Emotional Intelligence Scale (Schutte et al., 1998). Persepsi guru mengenai hubungan dengan siswa diukur menggunakan Student-Teacher Relationship (Aldrup et al., 2018). Partisipan merupakan 116 guru SD/SMP/SMA/sedejarat. Perekrutan partisipan dilakukan secara daring, menggunakan kuesioner yang disebarkan dalam bentuk Google Form. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi signifikan antara emotional intelligence dengan persepsi guru terhadap hubungan dengan siswa (r = 0,404, p < 0,05, two-tailed). Hasil tersebut menunjukkan bahwa emotional intelligence guru berkorelasi secara positif dengan hubungan guru-siswa. Implikasi penelitian ini adalah pentingnya aspek emotional intelligence pada guru dalam membina hubungan yang positif dengan siswa.

Teacher’s interpersonal needs in teaching have not been researched in-depth (Newberry & Davis, 2008). This research aims to explore the relationship between teacher emotional intelligence and teacher perception in regard to their relationship with students. This research used correlational methods to describe the correlation between teacher emotional intelligence and student-teacher relationship. Teacher emotional intelligence was measured using translated Schutte Emotional Intelligence Scale (Schutte et al., 1998). Student-teacher relationship was measured using translated Student-Teacher Relationship (Aldrup et al., 2018). The participants were 116 teachers, ranging from elementary, middle, to high school and their equivalence. Participants were recruited online, using Google Form questionnaire.  Results showed that teacher emotional intelligence is significantly correlated to student-teacher relationship (r = 0.404, p < 0.05, one-tailed). This result means teacher emotional intelligence has a positive relationship with student-teacher relationship. The implication of this research is the importance of teacher’s emotional intelligence in developing a positive relationship with students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Desita
"Remaja lebih banyak menghabiskan waktu mereka di sekolah, sehingga interaksi dengan orang-orang di sekolah dapat memengaruhi perkembangan sosial emosional remaja. Dalam hal keberhasilan akademik siswa di sekolah, pihak yang paling memengaruhi siswa ialah guru. Seringkali untuk keberhasilan akademik siswa, guru memberikan harapan yang diwujudkan dalam perilaku yang berbeda terhadap siswa di kelas. Berdasarkan beberapa penelitian, harapan guru yang berbeda dapat menjadi salah satu faktor risiko munculnya salah satu masalah kesehatan mental yang umum terjadi pada remaja, yaitu kecemasan. Tujuan dari penelitian ini yaitu melihat apakah terdapat hubungan antara kecemasan dan harapan guru pada siswa SMA di DKI Jakarta. The Hopkins Symptom Checklist HSCL-25 digunakan untuk mengukur kecemasan dan Expectations for Students Achievement ESA subskala Related Teacher Practices digunakan untuk mengukur harapan guru yang dipersepsikan oleh siswa. Penelitian dengan desain one-shot study dilakukan pada lima SMA di lima kota besar DKI Jakarta. Sebanyak 764 siswa SMA kelas 1 berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kecemasan dan harapan guru yang dipersepsikan siswa SMA di DKI Jakarta. Hal itu menunjukkan bahwa siswa SMA di DKI Jakarta tidak lagi mempersepsikan harapan guru atau peran guru sebagai hal yang membuat diri mereka merasa cemas, sehingga faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kecemasan siswa SMA di DKI harus lebih diteliti lebih jauh.

Adolescents as students spend their times more in school, so interaction with people in school could also affect their socio emotional development. In achieving academic achievement, teacher has big role for adolescents in school. Teacher usually gives expectation in form of different behavior and attitude for each student in class. Based on previous researches, different teacher expectation towards students could be one of risk factor of common adolescents mental health problem, anxiety. Aim of this study is to see relationship between anxiety and teacher expectation on high school students in Jakarta. This study used The Hopkins Symptom Checklist HSCL 25 to measure anxiety and Expectations for Students Achievement ESA Related Teacher Practices subscale to measure perceived teacher expectation. This one shot study conducted in five high schools in five urban cities of Jakarta. 764 first grade high school students participated on this study. Result indicated that there is no relationship between anxiety and teacher expectation on high school students in Jakarta. This finding revealed that high school students in Jakarta don rsquo t perceive teacher rsquo s role or spesifically teacher expectation as risk factor of high anxiety that found on this study. Therefore, other school based risk factors should be studied in the future to figure out the threat of adolescents mental health. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67473
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faridh Ihatrayudha
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara modal psikologis dengan perilaku pencarian umpan balik pada mahasiswa baru di Universitas Indonesia. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 121 orang dan merupakan mahasiswa semester satu di Universitas Indonesia. Modal psikologis diukur dengan menggunakan Psychological Capital Questioner (PCQ) yang dikembangkan oleh Luthans, Youssef dan Avolio. Sementara itu perilaku pencarian umpan balik diukur menggunakan Feedback Seeking Measurement (FSM) yang dikembangkan oleh Gong, Wang, Huang, dan Cheung. Hasil penelitian menenjukkan modal psikologis memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku pencarian umpan balik (self-positive, self-negative, other positive dan other negative).

This study was conducted to examine the correlation between psychological capital and feedback seeking behavior on first year college student in University of Indonesia. The participants of this study were 121 first year college student in University of Indonesia. Psychological capital was measured using Psychological Capital Questioner (PCQ) developed by Luthans, Youssef and Avolio. Meanwhile, feedback seeking behavior was measured using Feedback Seeking Measurement (FSM) developed by Gong, Wang, Huang and Cheung. The results indicated there was significant correlation between psychological capital and feedback seeking behavior (self-positive, self-negative, other positive and other negative)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Novi Ernalita
"Sekolah, sebagai salah satu Iingkungan pendidikan, sangat dibutuhkan untuk mengembangkan individu dalam aspek kognitif dan afektif, yang penting sesuai dengan tuntutan masa sekarang ini sebagai masa pembangunan. Salah satu petunjuk bahwa seorang siswa berhasil mengembangkan aspek kognitif dan afektifnya di sekolah adalah prestasinya. Tetapi prestasi belajar siswa inilah yang menjadi masalah dalam jenjang pendidikan SMU. Jenjang pendidikan dimana siswa yang dididik adalah individu usia remaja, yang merupakan usia transisi dimana individu mengalami perubahan baik secara fisik dan psikologis dari anak-anak menjadi dewasa. Matematika adalah salah satu disiplin ilmu yang diajarkan di SMU. Ia berperan mempersiapkan siswa masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, menjadi pemikiran yang melandasi semua ilmu pengetahuan dan filsafat.
Salah satu komponen vital di sekolah yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, termasuk prestasi belajar matematika adalah guru, dalam hal ini guru matematika melalui harapannya yang dikomunikasikan dalam tingkahlakunya selama interaksi guru-siswa di dalam kelas. Tingkahlaku guru yang mengindikasikan harapannya terhadap siswa dapat muncul dalam empat kategori, yaitu Umpan Balik, Interaksi Verbal, Interaksi Interpersonal dan Strategi Instruksional yang operasionalisasinya terbagi menjadi 16 jenis tingkahlaku. Tingkahlaku guru matematika menjadi penting untuk diteliti karena dapat menjadi faktor yang meningkatkan sekaligus menghambat siswa untuk menyukai dan berprestasi dalam mata pelajaran matematika. Mengingat besarnya pengaruh tingkahlaku guru tersebut, maka timbul pertanyaan apakah ada perbedaan harapan guru matematika yang dikomunikasikan melalui tingkahlakunya terhadap siswa yang dipersepsi prestasi belajar matematika yang berbeda, antara siswa yang berprestasi belajar matematika tinggi dan berprestasi belajar matematika rendah.
Alasan peneliti untuk rnembatasi penelitian hanya pada siswa SMU karena peneliti melibat bahwa siswa SMU sudah cukup dewasa untuk dapat menangkap dan mengerti harapan guru yang dikomunikasikan melalui tingkahlakunya selama interaksi guru-siswa di dalam kelas. Selain itu, mata pelajaran matematika yang menjadi pelajaran utama di semua jenjang pendidikan, dianggap lebih penting perannya terhadap siswa SMU untuk mempersiapkan siswa masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 24 orang siswa kelas 2 SMU yang diambil dari 2 kelas yang berbeda (27:12) dan 2 orang guru matematika SMU yang diambil dari SMU Negeri 21, Jakarta. Subyek ini untuk tiap-tiap kelas kernudian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok siswa yang dipersepsi oleh guru memiliki prestasi matematika tinggi dan kelompok siswa yang dipersepsi oleh guru memiliki prestasi matematika rendah. Untuk mengukur perbedaan harapan guru matematika terhadap kedua kelompok siswa tersebut, digunakan metode wawancara guru dan observasi natural perbedaan tingkahlaku guru matematika terhadap siswa yang dipersepsi berprestasi matematika tinggi dan berprestasi matematika rendah. Untuk mengontrol pengaruh inteligensi terhadap prestasi belajar matematika siswa, digunakan tes Advanced Progressive Matrices dari Raven. Analisa terhadap hasil wawancara guru dan observasi di dalam kelas dibagi menjadi 4 macam. Pertama, menghitung reliabilitas observasi dengan menghitung kesepakatan antar pengamat. Kedua, adalah menghitung signifikansi perbedaan tingkah laku masing-masing guru terhadap siswa di kelas yang ia ajar dengan menggunakan metode statistik nonparametrik, tes tanda (sign test). Ketiga adalah analisa terhadap hasil observasi tingkahlaku guru terhadap siswa di dalam kelas yang berbentuk deskripsi hasil observasi dan yang terakhir adalah analisa terhadap hasil wawancara dengan guru berupa harapan guru terhadap prestasi belajar matematika siswa serta tingkahlakunya terhadap siswa selama interaksi guru-siswa di dalam kelas.
Hasil analisa menunjukkan untuk Bapak A, ada perbedaan yang signifikan dalam tingkahlaku 6 (mengajukan pertanyaan kepada siswa), tingkahlaku 10 (berinteraksi dengan siswa di depan umum), tingkahlaku 11 (berinteraksi dengan siswa tidak di depan umum) dan tingkahlaku 14 (mengajarkan strategi belajar yang efektif) terhadap kelompok siswa yang dipersepsi berprestasi matematika tinggi dan berprestasi matematika rendah. Sedangkan tingkahlaku Bapak A tidak berbeda secara signifikan terhadap kedua kelompok tersebut dalam jenis tingkahlaku lainnya. Analisa terhadap Bapak B menunjukkan ada perbedaan yang signifikan dalam tingkahlaku 9 (melakukan kontak mata dengan siswa), tingkahlaku 10 (berinteraksi dengan siswa di depan umum), tingkahlaku ll (berinteraksi dengan siswa tidak di depan umum) dan tingkahlaku 16 (mengabaikan untuk memberi bantuan ketika siswa mengerjakan tugas mandiri terhadap kelompok siswa yang dipersepsi berprestasi matematika tinggi dan berprestasi matematika rendah. Sementara itu hasil analisa terhadap hasil wawancara dengan kedua guru ditemukan bahwa untuk Bapak A ada perbedaan harapan terhadap prestasi belajar siswa yang dipersepsi berprestasi matematika tinggi dan berprestasi matematika rendah. Sedangkan Bapak B tidak memiliki harapan yang berbeda terhadap kedua kelompok siswa tersebut.
Untuk penelitian lanjutan disarankan penelitian pada guru dan siswa dengan jumlah yang lebih besar, agar diperoleh gambaran yang lebih kaya lagi. Selain itu dapat pula dilakukan penelitian yang sama dengan membandingkan harapan dari guru yang mempunyai kepribadian yang berbeda-beda terhadap prestasi belajar siswa."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2563
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apri Rahma Dewi
"Ketidakefektifan manajemen kesehatan merupakan masalah pada klien dengan gangguan jiwa yang apabila tidak ditangani akan menimbulkan kerugian pada klien, keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah. Tujuan dari penanganan kasus ini untuk mengetahui pengaruh terapi Acceptance and Commitment Therapy (ACT) pada ketidakefektifan manajemen kesehatan serta mengidentifikasi kepatuhan, penerimaan, serta komitmen dalam regimen demi mencapai self care yang mandiri. Tindakan keperawatan dilakukan terhadap 5 klien dengan ketidakefektifan manajemen kesehatan. Penulisan karya ilmiah ini berdasarkan pendekatan Case Study. Pengukuran kepatuhan menggunakan kuesioner MARS (Medication Adherence Rating Scale). Hasil yang didapatkan setelah pemberian tindakan keperawatan ners dan ACT terjadi peningkatan kepatuhan sebesar 71% (14 poin), kemampuan penerimaan dan komitmen meningkat sebesar 70% pada kelima klien dengan ketidakefektifan manajemen kesehatan. Tingkat kepatuhan, penerimaan, serta komitmen lebih rendah pada klien yang memiliki usia lebih muda, mendapat stigma dari orang terdekat, dan dukungan  keluarga yang kurang. Studi ini merekomendasikan terapi ACT untuk meningkatkan manajemen kesehatan pada klien gangguan jiwa dan teori Orem sebagai pendekatan dalam meningkatkan kemandirian dalam perawatan.

 

 


Ineffective health management is a problem in mentally ill patient if not handled will harm to clients, families, communities, and even the government.The aim of this study was to identify the effect of Acceptance Commitment Therapy (ACT) on Inefective health management and  identfy adherance, acceptance, and commitment in the regimen to achieve independent self care. The research approach used in this  study was case study conducted on 5 respondents consist of  mentally ill patient with Ineffective health management. Measurement used the MARS (Medication Adherence Rating Scale). The analysis result showed, after the client were given ACT and nursing intervention, the adherence increased 71% (14 points), the acceptance ability and commitment increased into 70% on five clients with Ineffective health management. Medication adherence, acceptance and commitment level were lower on the younger clients, client who gets stigma from family and client with lack of family support. Nursing care and ACT were recommended as the basic management of mentally ill patient with Ineffective health management and Orem's theory as an approach in increasing self care."

Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3250
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifma Ghulam Dzaljad
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada penderita gangguan jiwa yang secara sosial terisolasi dan tidak dapat menjalankan peran sosialnya di masyarakat. Asumsi yang dipakai dalam penelitian ini melihat gangguan jiwa bukan sebagai problem psikologis dan medis individu. Kegilaan atau gangguan jiwa merupakan akibat situasi yang dilukiskan Michel Foucault (1988) sebagai ketegangan antara disiplin kuasa governmenfalify masyarakat terhadap individu penderita gangguan jiwa (the dangerous individual). Kondisi yang dilegalkan lewat pendirian Rumah Sakit Jiwa (focal institutions) menurut Goffman (196 I). Penelitian ini menekankan pada tiga masalah pokok, yaitu: Pertama, bagaimana aktifitas keseharian di Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzoeki Mahdi Bogor. Kedua, bagaimana masyarakat memaknai pasien Rumah Sakit Jiwa. Dan ketiga, bagaimana masyarakat memandang institusi Rumah Sakit Jiwa dan berlakunya kontroI sosial di dalam masyarakat.
Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzoeki Mardi Bogor. Informasi diperoleh dari 16 informan. Mereka terdiri dari 2 orang dokter, 2 orang kepala seksi keperawatan dart rehabilitasi RS, 2 orang perawat dan kepala ruangan, 4 orang pasien, 2 pegawai RS; seorang pihak keluarga pasien, seorang warga desa, seorang tokoh masyarakat, dan seorang pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. Observasi dan wawancara mendalam dilakukan intensif sebagai langkah dalam pengumpulan data.
Studi ini didasarkan pada tesis, bahwa perawatan kedokteran jiwa telah melahirkan adanya label sakit dan status pasien di masyarakat. Akibatnya terjadi proses stigmatisasi dan kontrol sosial terhadap pasien gangguan jiwa di masyarakat. Stigmatisasi bukan hanya terjadi pada pasien, melainkan juga lewat stereotip terhadap Rumah Sakit Jiwa. Lebih dari itu, kontrol tidak hanya terjadi terbatas di Rumah Sakit Jiwa, tetapi telah tersebar luas di masyarakat.
Hasil studi di lapangan menunjukkan, bahwa Rumah Sakit Dr. Marzoeki Mahdi Bogor telah lama menjalankan praktek perawatan kesehatan jiwa kedokteran Barat. Arsitektur Rumah Sakit tetap merepresentasikan bangunan lama yang didesain bersifat tertutup dan berjarak antara satu bangsal dengan bangsal lain, serta dipagar besi sekelilingnya untuk bangsal khusus. Akibatnya Rumah Sakit Jiwa memiliki reputasi buruk di masyarakat. Stereotip sebagai tempat pembuangan, pengumpul, dan. kurungan bagi pasien gangguan jiwa melekat padanya. Sementara itu kondisi pasien jiwa rata-rata acak-acakan, lusuh dan kurang terurus baik. Pasien cenderung menutup dan relatif hanya berinteraksi dalam aktifitas terapi semata. Pasien kebanyakan diidentifikasi memiliki gangguan jiwa akut, kronis, membahayakan lingkungan, dan membutuhkan perawatan intensif jangka panjang kedokteran jiwa. Akibatnya label sakit dan status pasien berpengaruh kuat dalam stigmatisasi di masyarakat.
Di Rumah Sakit Jiwa Bogor, para pasien menjalani aktifitas keseharian dari makan, minum dan injeksi obat, mandi, tidur, dan aktifitas terapi dijalankan secara teratur, terjadwal, dan berada dalam pengawasan perawat selama 24 jam. Relasi dokter dengan pasien menunjukkan relasi yang dominatif, menindas, dan menjadikan pasien sebagai obyek pengobatan. Pasien menjadi individu yang lemah, tidak berdaya, dan menjadi tanggungan individu lain. Praktek perawatan gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa memperlihatkan, bahwa para pasien yang telah masuk akan sukar keluar kembali ke masyarakat. Mereka akan menjadi pasien tetap, yang keluar-masuk Rumah Sakit untuk jangka waktu yang lama. Data menunjukkan, bahwa hampir separuh dari jumlah pasien di beberapa bangsal merupakan pasien lama. Mereka kebanyakan menderita Schizophrenia Paranoid dan Psikotik Reaktif 'Singkat yang sulit, dan belum bisa disembuhkan.
Kondisi ini memperlihatkan, bahwa kontrol sosial terhadap pasien tidak lagi terbatas di Rumah Sakit Jiwa. Pengawasan dalam skala yang lebih luas telah tersebar ke seluruh sektor masyarakat. Praktek penanganan pasien tidak lagi terbatas dilakukan aparat kesehatan, melainkan telah dilakukan oleh semua komunitas dan institusi pemerintah yang ada di masyarakat, mulai dari pihak keluarga, RT, RW, Kepolisian, Dinas Sosial, Dinas Ketertiban, maupun institusi sosial yang lain. Praktek kontrol sosial ini tidak hanya menghasilkan reproduksi kegilaan dalam dunia medis kedokteran, melainkan telah melahirkan kuasa governmentality bersemayam di dalam kesadaran bersama masyarakat. Suatu kesadaran yang membentuk societal regulation di masyarakat, yaitu suatu kontrol sosial yang termanifestasi ke dalam diri masyarakat sebagai tubuh yang patch, sehat, berguna, dan produktif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>