Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165413 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasoetion, Karina
"Tugas akhir ini merupakan Iaporan kegiatan penulis yang disusun untuk memberikan rekomendasi dalam meningkatkan ketrampilan kepemimpinan situasional bagi pimpinan karyawan PT Citra Marga Nusaphala Pcrsada Tbk yang menempati posisis Eselon II dan Ill. Pclatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan motivasi kerja para karyawan, sesuai dengan visi dan misi perusahaan yang diperbaharui pada tahun 2001. PT CMNP Tbk mengalami ujian yang sangat berat akibat dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 yang masih terasa hingga kini. Perubahan kondisi sosial dan instabilitas politik berdampak pula terhadap kinerja perusahaan antara lain dikaitkannya keberadaan Citra Marga dengan stigma masa Ialu. Dalam rangka mengatasi permasalahan ini, maka berbagai kebijakan dan langkah-langkah strategis mulai diambil, sehingga perusahaan dapat bangkit dan berkembang. Pada 6 Juni 2001, diputuskan bahwa PT CMINP Tbk akan memperluas bidang usaha mereka ke dalam usaha infrastruktur lainnya seperti telekomunikasi, transportasi, propeni, pembangunan sarana jalan, pipanisasi, pengadaan lisrlik, air, minyak dan gas dan lain-lainnya. Perluasan bidang usaha juga mendorong PT CMNP Tbk mengadakan reorganisasi dan perubahan visi dan misi yang terangkurn di dalam program jangka panjang yang disebut “Cirra Marga Prima 2025”. Konsekuensi dari reorganisasi ini adalah dituntutnya para karyawan untuk meningkatkan kinerja mereka. Kinerja karyawan sangat tergantung kepada atasan, yang dipercaya dapat membantu pemenuhan kebutuhan karyawan dalam mengembangkan diri dalam bekerja dan dapat memotivasi kerja mereka sehingga akan meningkatkan produktifitas dan menciptakan lingkungan kerja yang baik. Fakta yang telah diuraikan di atas menimbulkan berbagai pemikiran di dalam pemikiran penulis, yaitu: Untuk membantu pemenuhan kebutuhan perkembangan diri karyawan, maka dibutuhkan pimpinan yang dapat menjadi fasilitator Pimpinan yang efektif dipercaya mampu diagnosa kebutuhan karyawannya dan mampu menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka sesuai dengan tuntutan lingkungan kerja. Kunci dari seluruh organisasi adalah kinerja dari karyawannya, dan kualitas kinerja karyawan sangat tergantung kepada sikap mereka terhadap atasannya. Itu sebabnya motivasi menjadi bagian yang sangat penting dalam menentukan kinerja karyawan karena motivasi menggambarkan mengapa seseorang memilih perilaku tertentu untuk mencapai tujuan pribadi ataupun organisasi. Untuk periode 2001-2005 yang temanya adalah Reposizioning for Suvtainable Growth, peningkatan produktivitas tidak dapat dilakukan karena keseluruhan pendapatan diperoleh hanya dari bidang usaha JIUT. Ada baiknya pada periode ini dilakukan peningkatan kualitas pelayanan konsumen. Usaha peningkatan produktiiitas dapat dilakukan pada periods berikutnya, yaitu saat bidang usaha infrastruktur lainnya sudah berjalan. Dari perhitungan statistik yang dilakukan, hasilnya adalah kuesioner terbukti valid dan reliable. Dimana gaya kepemimpinan yang dorninan pada Eselon II adalah coaching (50%), dan Eselon III adalah supporzing (59,1%). Pada pengujian hipotesa, terbukti ada hubungan antara kepemimpinan situasional dan motivasi kerja yang hasil perhitungan Chi-Square untuk Eselon Il adalah 0,036 dan eselon III adalah 0.0l5. Sedangkan penggolongan tingknt perkembangan (D) untuk Eselon II dan III rata-rata adalah D2 (76%) dan D3 (l4%). Ada beberapa solusi yang dapat diajukan oleh penulis. Pertama adalah menjalankan pelatihan coaching yang tujuannya adalah untuk meningkatkan ketrampilan kepemimpinan situasional. Kemudian penulis juga merekornendaslkan agar dilakukan peningkatan kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh karyawan eselon IV, karena langsung berhubungan dengan pelanggan jalan tol Tujuannya adalah untuk meningkatkan company image."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saurma Imelda Christina
"Penelitian yang dilakukan beranjak dari pengamatan dan kajian literatur yang dilakukan oleh peneliti terhadap kelompok gay di Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan lingkungan (orang tua, rekan kerja, dan lingkungan sosial secara umum) dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay. Seperti diketahui, lingkungan sosial pada umumnya masih bersikap negatif dan menolak keberadaan kelompok homoseksual, khususnya kelompok gay. Kelompok ini dikatakan sebagai kelompok minoritas yang sering mendapatkan sikap dan perlakuan negatif dari masyarakat di sekitarnya.
Pada umumnya, setiap manusia mendambakan hidup bahagia. Bahkan menurut Aristoteles, pada dasarnya ‘kebahagiaan’ merupakan tujuan hidup dari setiap manusia (Aristoteles, dalam Waterman, 1993). Lebih jauh Diener dkk (Pavot & Diener, 1993; Diener, Suh, Oishi, 1997; Diener & Diener, 2000) mengatakan bahwa konsep kesejahteraan subjektif merupakan konsep yang paling tepat untuk mengukur ‘kebahagiaan` seseorang. Kesejahteraan subjektif itu sendiri terdiri dari aspek kepuasan hidup, afek positif afek negatif dan penerimaan diri.
Berkaitan dengan kondisi kesejahteraan subjektif pada kelompok gay, Rotblum(1994) serta Gasiorek & Weinrich (1991) berpendapat bahwa kelompok tersebut tampaknya kurang bahagia dan sering merasa tertekan dalam hidupnya. Lebih jauh beberapa peneliti mengatakan perlunya penelitian tentang kesejahteraan subjektif pada kelompok. Topik penelitian tentang kesejahteraan subjektif itu sendiri merupakan topik yang masih jarang diteliti pada kelompok gay (Dew) Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini dilakukan untuk melihat kaitan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua, rekan kerja, dan lingkungan sosial secara umum, dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay.
Masalah dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua., rekan kerja, dan lingkungan sosial secara umum, dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay. Secara khusus, penelitian ini hendak melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua, rekan kerja, dan lingkungan sosial secara umum, dengan aspek-aspek dalam kesejahteraan subjektif yaitu: kepuasan hidup,afek positif afek negatif dan penerimaan diri.
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif-kuantitatif dan merupakan penelitian yang bersifat non-eksperimental dengan tingkat kepercayaan 95%. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang, yaitu kaum gay yang berusia 20-40 tahun, berpendidikan minimal tamat SMP dan telah bekerja. Alat ukur yang digunakan adalah: Satisfaction with The Life Scale yang disusun oleh Diener dkk (dalam Pavot & Diener, 1993), Positive Affect and Negative Affect Scale yang disusun oleh Diener, Smith & Fujita (1995), serta Self-Acceptance Scale yang disusun oleh Ryff dkk (Ryff 1989; Ryff & Keyes, 1995)- Sedangkan analisis statistik yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian adalah uji korelasi antara variabel-variabel bebas dan variabel-variabel terikat dalam penelitian.
Hasil uji korelasi menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay. Namun, hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan rekan kerja dan lingkungan sosial secara umum, dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay tersebut.
Peneliti berasumsi bahwa hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan lingkungan dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay, hanya akan terjadi pada lingkungan yang memiliki interaksi secara langsung dengan kelompok gay (dalam hal ini adalah rekan kerja dan lingkungan sosial secara umum). Persepsi terhadap penerimaan orang tua tidak berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay, sebab (berdasarkan data penelitian) pada umumnya para responden tidak lagi tinggal bersama dengan orang tua mereka. Berdasarkan asumsi ini, peneliti berpendapat bahwa persepsi terhadap penerimaan kelompok (yaitu kelompok gay) tentunya juga akan berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan subjektif kelompok gay tersebut.
Penelitian ini hanya membatasi pengukuran pada persepsi kaum gay terhadap penerimaan lingkungan. Menurut peneliti, akan lebih baik jika juga dilakukan pengukuran penerimaan dari lingkungan secara obyektif (orang tua, rekan kerja,dan lingkungan sosial secara umum) terhadap kelompok gay tersebut. Dari hal ini diharapkan akan diperoleh data penelitian mengenai persepsi lingkungan terhadap kaum gay serta persepsi kaum gay terhadap lingkungan tersebut, dan dengan demikian diperoleh deskripsi yang lebih akurat mengenai sikap lingkungan terhadap kelompok gay serta sikap kelompok gay terhadap lingkungan, khususnya kelompok gay di Jakarta. Akan lebih baik jika juga dilakukan penelitian yang mengukur kondisi kesejahteraan subjektif pada kelompok gay yang telah coming out dan kelompok gay yang masih tertutup. Kendala dalam penelitian ini adalah minimnya data penelitian mengenai sikap lingkungan terhadap kelompok gay, Serta gambaran kondisi kesejahteraan subjektif pada kelompok gay di Jakarta. Menurut peneliti, akan lebih baik jika
dilakukan penelitian-penelitian yang bersifat kualitatif tentang hal tersebut, agar diperoleh gambaran yang lebih mendalam mengenai sikap lingkungan dan kondisi kesejahteraan subjektif pada kelompok gay di Jakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuswardani Susari Putri
"Kesejahteraan Psikologis adalah konsep multi dimensional mengenai sejauh mana seseorang menjalankan fungsi-fungsi psikologisnya secara positif. Berdasarkan teori psikologi klinis, psikologi perkembangan dan teori kesehatan mental, Ryff mengemukakan 6 dimensi yang tercakup dalam kesejahteraan psikologis, yaitu 1) dimensi penerimaan diri (Self-Acceptance) yang mengacu pada penilaian diri dan penerimaan masa lalu secara positif dimana hubungan yang positif dengan orang lain (Positive Relationship with Othem), yang mengacu pada kemampuan seseorang menjalin hubungan yang berkualitas dengan orang lain, 3)dimensi otonomi (Autonomy), yang mengacu pada mengacu pada kemandirian, 4) dimensi penguasaan lingkungan (Environmental Mastery), yang mengacu pada kemampuan individu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis dan kebutuhan individu. 5) dimensi tujuan hidup (Purpose in LW), yang mengacu pada kehidupan yang dirasa bermakna dan adanya tujuan hidup yang jelas dan 6) dimensi pertumbuhan pribadi (Personal Growth) yang mengacu pada pengembangan potensi-potcnsi yang ada, tumbuh dan berkembang sebagai pribadi.
Dalam penelitian ini, dampak psikologis dari kekerasan yang pernah dialami oleh seorang istri diasumsikan sebagai titik tolak keadaan kesejahteraan psikologisnya pada saat ini. Tindak kekerasan terhadap istri yang terjadi dalam lingkup rumah tangga lebih kita kenal dengan istilah kekerasan domestik (domestic violence), di mana pelaku kekerasan pada umumnya adalah pasangan atau suami. Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dapat membahayakan kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis bagi seorang istri. Secara psikologis perempuan akan memiliki self esteem yang rendah. Selain itu, kekerasan yang dilakukan secara berulang-ulang juga akan menyebabkan perempuan menjadi pasif dan mengembangkan learned helpiessness (kehilangan keyakinan akan kemampuan untuk keluar dari suatu keadaan) karena tidak menemukan jalan keluar, sehingga percaya bahwa setiap tindakan yang diambil akan memperburuk situsi, yang lebih dikenal dengan islilah batered women 's syndrome.
Pandangan umum menyatakan bila kita berada dalam situasi yang menyakitkan atau membahayakan, maka kita akan menghindari atau keluar dari situasi tersebut. Akan tetapi, dalam menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, keputusan untuk meninggalkan hubungan kekerasan merupakan keputusan yang sulit karena berbagai faktor yang harus dipertimbangkan oleh istri seperti ketergantungan ekonomi pada suami, tidak adanya dukungan sosial dari lingkungan bahkan adanya ancaman dari suami yang akan membunuhnya.
Selanjutnya, perempuan juga akan menghadapi stigma sosial bahwa ia dianggap tidak mampu menjadi istri yang baik sehingga suami bertindak kasar terhadapnya. Pertimbangan-pertimbangan tersebut seringkali membuat perempuan tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Bertahan dalam situasi kekerasan dan penganiayaan membuat perempuan belajar suatu survei techniques atau strategi coping. Namun, ketika strategi coping ini ternyata tidak mampu untuk melindungi diri dan anak dan kekerasan, maka mereka akhimya pergi atau keluar dari hubungan tersebut. Mengakhiri hubungan yang penuh kekerasan berarti harus berpisah dari suami. Pada kenyataannya, hukam hal yang mudah bagi istri untuk melanjutkan kehidupan beserta anak-anaknya setelah bercerai dari suami yang abusive. Banyak hal yang harus dilakukan, dihadapi, dan dibcnahi atau diperbaiki oleh perempuan tersebut. Misalnya, apa yang harus ia lakukan untuk membiayai hidupnya dan anaknya jika dulunya ia hanya tergantung secara finansial pada suaminya, bagaimana ia memulihkan luka-luka (fisik dan psikis) setelah mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mantan suaminya, dan sebagainya. Hal-hal tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, diperlukan tenaga dan waktu yang lama, juga perjuangan yang besar karena secara psikologis dampak kekerasan yang dialami dapat menyebabkan istri mengalami stres pasca trauma (PTSD), deprsi, bahkan muncul keinginann untuk bunuh diri. Selain itu, luka batin yang dirasakannya dapat mengakibatkan istri memiliki self esteem 'rendah yang akan berpengaruh pada kesejahteraan psikologisnya walaupun ia sudah meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan tersebut. Dari uraian di atas, terlihat bahwa akibat dari kekerasan yang dialami, bukan saja menyebabkan istri memiliki perasaan learned heyrlessnavs saat masih bertahan dalam situasi kekerasan. Bahkan setelah bercerai sekalipun dampaknya masih tetap dirasakan, seperti merasa tidak percaya pada kemampuannya, selalu berpikir negatif tentang dirinya dan masih memiliki rasa bersalah mengenai keputusannya untuk bercerai dari suaminya. Hal tersebut secara langsung menghambat perempuan tersebut dalam merealisasikan fungsi positif yang ada pada dirinya yang dapat mengganggu kondisi kesejahteraan psikologisnya. Penelitian ini mengkaji kesejahteraan psikologis istri yang telah bercerai dari suami pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa :
Secara umum ke 3 subyek merasa kurang sejahtera secara psikologis jika dibandingkan dengan ibu-ibu rumah tangga biasa. Hal ini tampak pada profil yang dihasilkan terhadap pengukuran SKP yang menunjukkan bahwa 3 subyek menunjukkan skor yang lebih rendah pada setiap dimensinya jika dibandingkan dengan skor rata-rata pembandingnya. Namun demikian dari hasil ‘wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa 2 diantaranya (V dan Y) merasa lebih sejahtera dan satu subyek lainnya (S) merasa kurang sejahtera secara psikologis sesuai dengan profil SKP yang dihasilkan. Memperhatikan hasil penelitian ini dapat diajukan beberapa saran agar penelitian berikutnya dapat menjadi lebih baik 1 yaitu perlu memperbanyak subyek penelitian hingga diperoleh suatu kesimpulan yang lebih luas mengenai gambaran kesejahteraan psikologis istri setelah bercerai meninggalkan suami yang abusive. Kemudian juga disarankan bahwa mengingat topik ataupun persoalan yang ingin diteliti merupakan persoalan yang sensitif, maka peneliti selanjutnya diharapkan dapat membentuk raport yang lebih baik lagi terhadap subyek penelitian, yaitu lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan subyek dan lingkungannya sebelum melakukan wawancara penelitian Hal ini dilakukan agar peneliti mengetahui penyebab yang dapat menimbulkan perbedaan antara hasil self report dengan wawancara yang dilakukan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan melibatkan significant others agar pemahaman mengenai kesejahteraan psikologis pada istri yang telah bercerai dari suami yang abusive, dapat menjadi lebih banyak dan menyeluruh. Perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan bagaimana keadaan kesejahteraan psikologis dengan pengalaman yang sama pada subyek yang sudah lama masa bercerainya dan tidak bergabung dalam Mitra Apik. Selain itu saran praktis yang diajukan apabila konselor menghadapi permasalahan tersebut adalah diutamakan melakukan konseling yang bertujuan untuk meningkatkan self esteem dan mereduksi perasaan learnerd helplesness yang masih menjadi keluhan utama bagi istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga meskipun telah bercerai dari suaminya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lyly Puspa Palupi Sutaryo
"Persahabatan merupakan salah satu bentuk hubungan yang dikembangkan oleh individu pada masa dewasa muda. Dalam hubungan persahabatan ini individu dapat mengembangkan keintiman dan ikatan yang kuat. Hal ini berkaitan erat dengan salah satu tugas perkembangan yang penting bagi individu dewasa muda yakni menjalin hubungan intim. Tugas perkembangan ini berkaitan dengan krisis intimacy versus isolation dalam pandangan teori perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson.
Persahabatan dapat terjadi antara individu yang berjenis kelamin sama (same-sex friendship) dan berjenis kelamin berbeda (cross-sex fiendshzp). Persahabatan lawan jenis merupakan hubungan murni yang tidak berorientasi seksual, romantis, atau cinta. Saat ini ternyata pada umumnya orang masih meragukan apakah pria dan wanita dapat menjadi sahabat. Karakteristik utama dari hubungan persahabatan adalah keintiman Keintiman adalah pengalaman yang ditandai oleh adanya kedekatan, kehangatan dan komunikasi
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran keintiman persahabatan lawan jenis pada dewasa muda yang belum menikah, serta bagaimana gambaran masalah yang dihadapi individu dalam persahabatan tersebut. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif Metode pengambilan data adalah wawancara. Subyek yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 4 orang terdiri dari 2 orang wanita dan 2 orang pria. Usia subyek berada pada rentang 24 - 25 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi keintiman pada persahabatan lawan jenis yang belum menikah diwujudkan dalam bentuk keterbukaan diri, kepercayaan, kebebasan pengekspresian emosi, dukungan di saat suka dan duka, dan melakukan kegiatan bersama. Sedangkan masalah yang dihadapi antara lain adalah memberi batasan tentang persahabatan, mengatasi ketertarikan pada sahabat, dan menghadapi pandangan orang lain yang meragukan hubungan persahabatan lawan jenis."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Christina Ruth Elisabeth; Junita Elvira Pandji Surya
"Ilustrasi Gambar Cerita (IGC) sebagai salah satu media pengajaran untuk anak prasekolah turut menentukan keberhasilan proses belajar mengajar anak. Penggunaan IGC pada cerita atau saat cerita disampaikan pada anak prasekolah dimaksudkan untuk membantu anak memahami isi cerita. Hal ini disebabkan karena saat anak mendengar cerita, beberapa kata atau kalimat tidak mereka pahami karena bersifat abstrak atau belum pernah mereka alami.
Pada pendidikan prasekolah sendiri terdapat penekanan untuk menstimulasi kemampuan mengingat anak sebagai salah satu aspek pengembangan kemampuan dasar daya pikir anak (Depdiknas, 2001). Sejalan dengan hal itu pemakaian IGC ditekankan saat mengajar anak dengan bercerita. Dari berbagai penelitian mengenai IGC di luar negeri, didapat pandangan yang berbeda (pro dan kontra) mengenai pengaruh IGC terhadap belajar anak
Pada beberapa penelitian tersebut, diketahui pula bahwa pemaknaan unsur warna dalam IGC membuat IGC lebih berpengaruh secara efektif dalam memahami dan mengingat isi tulisan yang ilustrasikan (Spaulding dalam Anglin, Towers &. Levie, 1996).
Penelitian-penelitian yang disebutkan diatas sebagian besar belum melihat apakah pengaruh IGC menetap dalam waktu yang lama/durable over time (Anglin, Towers & Levie, 1996). Di Indonesia sendiri masih jarang dilakukan penelitian mengenai pengaruh IGC terhadap belajar anal; khususnya kemampuan mengingat anak. Oleh karena itulah penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh IGC terhadap kemampuan mengingat isi cerita jangka pendek dan jangka panjang pada anak prasekolah usia 5-6 tahun. Mengingat warna membuat anak lebih mudah menyimpan informasi dalam memori, maka penelitian ini juga akan meneliti perbedaan pengaruh dari IGC berwarna dan IGC Tidak berwarna terhadap kemampuan mengingat anak.
Pada awalnya direncanakan penelitian ini bersifat eksperimental, tapi pada pelaksanaannya tidak dapat dilakukan random assignment schinggts penelitian ini lebih bersifat quasi-experimental. Penelitian ini dilakukan terhadap anak-anak TK B Sekolah Tina Marla-Yayasan BPK Penabur, Pondok Indah_ Sampel penelitian berjumlah 36 anak yang diperoleh dengan teknik accidental sampling. Dan hasil penelitian diperoleh bahwa secara umum tingkat kemampuan mengingat isi cerita pada anak prasekolah usia 5-6 tahun, paling rendah jika tidak menggunakan IGC saat cerita disampaikan. Pada kemampuan mengingat jangka pendek, IGC tidak berwarna berpengaruh secara signifikan positifi Pada kemampuan mengingat jangka panjang, baik IGC tidak berwarna maupun IGC berwarna berpengaruh secara signifikan positif hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara IGC berwarna dan IGC tidak berwarna.
Pada penelitian lebih lanjut disarankan untuk melakukan random assigment saat pembagian kelompok penelitian dan juga melakukan pengontrolan terhadap kecenderungan gaya belajar anak (visual dan verbal). Jumlah sampel penelitian juga perlu diperbanyak, misalnya dengan melibatkan beberapa sekolah agar hasil penelitian bisa digeneralisir secara lebih luas. Untuk menghindari berpengaruhnya variabel sekunder pencerita, cerita bisa disampaikan pada anak dengan cara mendengarkan cerita yang direkam dalam kaset.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan mengingat anak berada pada tingkat paling rendah jika tidak menggunakan IGC dan IGC tidak berwarna memberikan pengaruh yang signifikan positif terhadap kemampuan mengingat isi cerita pada anak prasekolah usia 5-6 tahun. Oleh karena itu disarankan pada pendidik anak prasekolah dan orang tua untuk memakai IGC saat bercerita pada anak, karena informasi yang diberikan akan lebih banyak dipahami dan diingat anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jacinta Fransisca Rini
"Pola asuh orang tua memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian seorang anak. Bagaimana orang tua mengasuh anak banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadi di masa Ialu yang membentuk karakter dan kepribadiannya.
Para orang tua berinteraksi dengan anak dan kedekatan yang terjalin antara mereka amat mempengaruhi persepsi anak terhadap dirinya. Orang tua yang menunjukkan sikap dan tindakan abusive, otoriter, menanamkan rasa malu dan bersalah pada anak sejak dini, merupakan umpan balik yang negatif dan dipersepsi sebagai penolakan yang disebabkan kekurangan dan kelemahan dirinya.
Orang tua yang abusive, dikatakan menerapkan aturan secara kaku disertai hukuman yang menyiksa. Siksaan yang dialami oleh seorang anak, tidak hanya menimbulkan trauma secara fisik (mengalami hambatan perkembangan Fisik dan intelectual), tapi juga secara psikis karena ia akan hidup dalam ketakutan, kemarahan, kebencian, kesedihan, kecemasan, keputusasaan dan ketidakberdayaan atas perlakuan orang tua yang tidak adil. Semua pengalaman emosional yang traumatis dalam kehidupan bersamanya dengan orang tua dapat mendorong berkembangnya gangguan kepribadian paranoid di masa selanjutnya.
Pada umumnya, penderita gangguan kepribadian paranoid dikatakan oleh para ahli, memiliki orang tua yang abusive. Menurut DSM IV, gangguan kepribadian paranoid bam menampakkan manifestasinya di awal masa dewasa.
Masalahnya, manifestasi gangguan kepribadian paranoid di masa dewasa mempengaruhi seluruh aspek kehidupan individu tersebut, termasuk kehidupan berkeluarga. Sikap dan perilaku individu paranoid akan mempengaruhi pola asuh dan interaksinya baik dengan anak-anak maupun pasangan. Penelitian ini menemukan, bahwa pola asuh yang negatif di masa Ialu tidak hanya mempengaruhi pembentukan karakter individu, namun mempengaruhi cara individu tersebut mendidik dan mengasuh anaknya sendiri di masa selanjutnya.
Penelitian ini menemukan adanya pola-pola yang sama seperti yang terdapat pada generasi sebelumnya, seperti dalam pemilihan pasangan, cara berinteraksi dengan pasangan, cara interaksi dan pengasuhan terhadap anak. Terlihat dalam penelitian ini bagaimana gangguan kepribadian paranoid yang dialami subyek utama penelitian, menyebabkan distimgsi pada keluarga, seperti yang dialami pula dalam keluarga asalnya dahulu. Hal yang membedakan adalah adanya intervensi penanganan terhadap gangguan kepribadian paranoid serta sikap positif yang ditunjukkan pihak keluarganya sendiri (bukan keluarga asal) terhadap subyek utama penelitian ini yang membawa pengamh terhadap pengembalian fungsi keluarga ke arah yang lebih baik.
Penelitian yang bersifat generasional ini pada dasarnya menarik untuk dipelajari dan dilakukan penggalian secara lebih dalam terhadap seluruh anggota keluarga agar dapat menemukan mata rantai yang jelas antara karakter, sikap dan perilaku orang tua terhadap persoalan kejiwaan dan kepribadian yang dialami anggota keluarga yang Iain. Saran yang dapat diberikan bagi peneliti selanjutnya, agar penelitian selanjutnya benar-benar bisa mencari dan menemukan informasi dari anggota keluarga Iain, baik dad satu generasi maupun antar generasi agar lebih bisa mengenali pola-pola yang nampak, yang dapat memberikan pengaruh baik positif maupun negatif pada pembentukan kepribadian seseorang."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jane Simon
"Anak penderita asma memiliki risiko mengalami masalah penyesuaian diri. Pada usia sekolah dan remaja, dimana anak sedang mengalami perkembangan fisik, kognitif£ dan psikososial, mereka juga harus menyesuaikan diri terhadap penyakit kronis yang menghambat fungsi pernafasan yang sulit diduga kapan terjadinya serangan asma tersebut. Keberhasilan seorang penderita asma melakukan penyesuaian diri dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah faktor usia, jenis kelamin, berat ringannya penyakit, relasi keluarga., sikap ibu terhadap anaknya yang sakit, serta sikap anak terhadap penyakitnya.
Penelitian ini bertujuan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri anak penderita asma usia sekolah dan remaja. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif Untuk mengungkapkan hal ini digunakan teknik analisis multiple regression terhadap subyek (N) = 76, yang terdiri alas 37 orang anak usia sekolah dan 39 orang anak usia remaja. Alat ukur yang dipakai adalah tiga buah kuesioner yang disusun berdasarkan teori pendukung serta The Child Attitude Towards Illness Scale (CATIS) dari Austin & Huberty (1993) yang diadaptasi terlebih dahulu.
Hasilnya ditemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri penderita asma usia sekolah adalah faktor sikap anak terhadap penyakitnya, dan pada penderita asma usia remaja adalah faktor sikap anak terhadap penyakitnya, jenis kelamin, dan sikap ibu terhadap anaknya yang sakit. Pada penelitian ini juga diperoleh hasil tambahan yaitu tidak ditemukan perbedaan penyesuaian diri yang signifikan pada usia anak sekolah dan usia remaja, serta tidak ditemukan pula perbedaan penyesuaian diri yang signifikan pada penderita asma kategori ringan, sedang, dan berat. Namun ditemukan adanya perbedaan penyesuaian diri yang signifikan antara remaja Iaki-Iaki dan remaja perempuan, dimana penyesuaian diremaja perempuan lebih baik dibandingkan remaja laki-laki; sementara pada anak usia sekolah tidak ditemukan perbedaan penyesuaian diri yang sigfinikan antara anak laki-laki dan anak perempuan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miniwaty Halim
"Kematian merupakan hal yang pasti akan terjadi pada semua manusia Walaupun demikian, kematian tetap tinggal sebagai suatu misteri karena manusia tidak pernah tahu kapan, dimana, bagaimana kematiannya akan terjadi serta apa yang akan terjadi setelah kematiannya. Sifat kematian sebagai misteri yang tak terelakkan ini menimbulkan perasaan ketakutan atau kecemasan pada diri manusia. Konstruk inilah yang dikenal dengan death anxiety atau fear of death, dimana penggunaan istilah ketakutan maupun kecemasan dapat saling menggantikan dalam topik tentang kematian (Rahim dkk, 2003). Peneiitian mengenai death anxiety umumnya diarahkan untuk menghasilkan alat ukur, misalnya Tempier's Death Anxiety Scale, Threat Index dan Bugen's Death. Shale (Mooney dalam Rahim dkk 2003). Di Indonesia sendiri alat ukur death unxiety dikembangkan oleh Sihombing dengan dasar teori dari Florian & Kravetz (Sihombing, 2002), yaitu Skala Ketakutan Akan Kematian. Alat yang kedua dikembangkan oleh Rahim dkk (2003) dengan dasar teori Florian & Kraveiz (Sihombing, 2002) serta Kastenbaum & Aisenberg (1976), yaitu Skala Ketakutan Terhadap Kematian Diri Sendiri. Skala ini terdiri dari empat dimensi death anxiety, yaitu Dying (ketakutan akan proses menghadapi kematian), Ajterlife (ketakutan akan apa yang terjadi setelah kemntian), Extinction (ketakutan akan kehilangan eksistensi diri, materi dan identitas sosial akibat kematian) serta Interpersonal Consequnces (ketakutan akan konsekuensi kematian diri sendiri terhadap orang-orang dekat).
Skala ini menggunakan bentuk skala sikap 2 poin, yaitu setuju/tidak setuju. Pada pengujian reliabilitas dan validitas skala ini, didapat hasil yang cukup baik Reliabilitas total alat ini adalah 0,87- Sedangkan reliabilitas masing-masing dimensi berkisar antara 0,61 sampai 0,83. Sampel yang digunakan berjumlah 38 orang, terdiri dari orang dewasa berusia 40-65 tahun yang beragama Islam, Katolik dan Kristen. A Namun alat ukur ini masih memiliki beberapa kekurangan. Bentuk item setuju/tidak setuju kurang mampu mendiskriminasi derajat ketakutan subyek, bahasa dalam kalimat pernyataan beberapa item cenderung ambigu, serta indikator perilaku dalam dimensi Alterlfe dan Extinction yang masih tumpang tindih. Kekurangan-kekurangan ini mengakibatkan sebanyak I2 item dalam skala ini harus direvisi karena tidak valid.
Penelitian ini bertujuan untuk merevisi Skala Ketakutan terhadap Kemaiian Diri Sendiri dari Rahim dkk (2003), Revisi ini terdiri dari revisi indikator perilaku dari dimensi Afterlife dan Extinction, revisi bentuk item menjadi skala Likert 6 poin, revisi atas kalimat pemyataan item termasuk menambah jumlah item negatif serta revisi alas sampel penelitian ini. Sampei penelitian ini menjadi 80 orang. Dari kelompok usia dewasa awal yang berkisar 20 sampai 40 tahun sebanyak 40 orang. Dari kelompok dewasa madya yang berkisar 40-65 tahun juga sebesar 40 orang. Sampel penelitian berasal dari agama Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha
Dari hasil analisis data ternyata diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara derajat ketakutan pada kelompok usiadewasa awal dan dewasa madya. Hasil ini tidak mendukung teori yang menyatakan bahwa kelompok usia dewasa madya merupakan kelompok dengan derajat ketakutan terhadap kematian yang paling tinggi (Papalia dkk, 1998). Implikasi dan hasil analisis data ini adalah bahwa kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya dapat diperlakukan sebagai kelompok norma yang sama. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan metode koefisien alpha menghasilkan koeflsien sebesar 0,92- Koeflsien reliabilitas sebesar ini menunjukkan bahwa skala revisi memiliki konsistensi yang baik (Anastasi & Urbina, 1997). Sedangkan korelasi antara item dengan dimensi mendapatkan adanya 2 item yang tidak: valid, yaitu item 4 dan item 17. Hal ini tampaknya disebabkan bahasa kalimat pernyataan yang susah dipahami. Item 4 menggunakan kalimat negasi ganda sedangkan item 17 mengandung kata kata yang ambigu Korelasi dimetsi dengan skor total juga menunjukkan hasil yang baik dimana semua dimensi berkordinasi secara signifikan pada level 0,01 dengan skor total. Hal ini berarti semua dimensi valid untuk memprediksi skor total subyek. Penghitungan norma dengan standard score menghasilkan tabel norma yang mencakup kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya. Yang perlu dicermati dalam penelitian ini adalah bahwa subyek penelitian cenderung menghasilkan skor yang rendah pada dimensi Extinction. Sedangkan dimensi Afterlife memiliki standar deviasi yang paling besar. Tampaknya pada kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya di Indonesia, ketakutan akan hilangnya eksistensi diri akibat kematian tidak terlalu berpengaruh. Sedangkan ketakutan akan apa yang terjiadi setelah kematian (kehidupan setelah mati) tampaknya dipengaruhi pandangan religiusitas subyek, dimana ada subyek yang sangat takut dan ada subyek yang tidak takut.
Dari penclitian ini juga muncul indikator perilaku khas budaya yang tampaknya belum tercakup dalam teori Kastenbaum & Aisenberg (1976) serta Florian & Kravetz (Sihombing, 2002). lndikator perilaku ini adalah ketakutan akan sendirian dalam menghadapl proses kematian (loneliness). Indikator ini dapat menjadi sumbangan pada dlmensi Dying pada pengembanan lebih lanjut dari Skala Ketakutan terhadap Kematian Diri Sendiri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jane Savitri
"Adversiry Quotient adalah kemampuan individu untuk berespon terhadap kesulitan yang didasari oleh keempat dimensinya yaitu kontrol, Ownership, Reach dan Endurance
(Stoltz, 1997). Advemily Quonenr rnemberikan pcmahaman baru mengenai apa yang diperlukan siswa untuk mencapai kesukscsan , terutama bagi peningkatan kemampuan
untuk mengatasi hambatan 31811 keaulitan yang dihadapi dalam proses pendidikan maupun tantangan kehidupan . `
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang timbul dengan menguji
tiga hipotesis. Metode penelitian yang digunakan yaitu korelasi. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi ( sumbangan yang bermakna ) dari Orientasi Masa Depan dalam bidang pcndidikan dan iklim kelas baik secara bersama-sama
maupun tersendiri atau parsial terhadap Adversify Qumienr siswa, besamya sumbangan yang bermakna tersebut.
Sampel penelitian adalah siswa kelas dua SMUK 2 BPK Penabur Bandung
sebanyak 169 orang. Alat ukur yang digunakan adalah Adversiry Quorienr yang diadaptasi oleh Lesmawati , dari alat ukur yang dikembangkan oleh Stoltz, Orientasi Masa Depan dalam bidang pendidikan hasil modifikasi Victoriana dari tcori Nurmi, dan iklim kelas yang dimoditikasi bcrdasarkan skala iklim kelas dari Trickett dan Mons. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi Multiple Regression dengan metode stepwise.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Orientasi Masa Depan dalam bidang
pendidikan memberikan sumbangan yang bermakna terhadap Adverxi/y Quolienr, bcrbeda dengan iklim kelas yang tidak memberikan sumbangan bermakna terhadap Advenviry Quolienl Namun secara bcrsama-sama , Orientasi Masa Depan dalam bidang pendidikan
dan iklim kelas masih membcrikan sunibangan bcmnakna terhadap Adversity Quotient.
Berdasarkan pengolahan Iebih lanjut diperoleh hasil bahwa aspek perencanaan dan evaluasi dari Orientasi Masa Depan dalam bidang pendidikan membcrikan sumbangan bermakna
terhadap dimensi conrrol, ownership dan endurance dari Adversily Quorienl , sedangkan dimensi Involvement dan Teacher Comm! memberikan sumbangan bemakna bagi dimensi control , owncrzv/tip dan reach dariadversity Quntient
Saran yang dibcrikan pada sekolah adalah berusaha untuk mengembangkan ketiga aspek Orientasi Masa Depan dalam bidang pendidikan secara berkesinambungan dan membekali guru dengan pemahaman /hlvenwry Qfmfiem dan mcrancang aktivitas kelas yang memfasilitasi siswa untuk tcrlibal dan berpartisipasi aktiff Sclain ilu guru berupa unluk
lebih banyak menekankan pengalaman-pcngalaman keberhasilan siswa daripada pengalaman-pengalaman kegagalan mcreka agar keyakinan diri siswa dalam mencapai keberhasilan semakin meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan pula untuk melakukan penulitian mengenai Adversiry Quorien/ pada setting pendidikan yang lain dengan cakupan yang lebih luas. Selain ilu yang dapat ditclili variabcl-variabci Iain yang mungkin mempengaruhi
Adversity Quorienr seperti pengaruh-pcngaruh dari orang tua, guru, teman sebaya dan orang-orang yang memiliki peran penting selama masa kanak~kanak , sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang Adversity Quurient."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michiko Listiyo Komala
"Mengambil keputusan merupakan tindakan yang biasa dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari Pengambilan keputusan adalah proses mencari informasi tentang alternatif-alternatif` yang relevan dan membuat pilihan yang tepat (Atwater,1983). Empat tahap pencarian informasi sebelum pengambilan keputusan, meliputi : screening, memilih alternatif yang paling menjanjikan, dominance building, dan jika tidak berhasil, kembali ke masalah dan memilih altenatif yang paling menjanjikan (Montgomery dalam Lewicka, 1997). Menurut teori subjective expecred ulility, variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan adaiah subjective probability dan utility (Lewicka, 1997).
Pcngambilan keputusan terdiri dari yang sederhana. sampai yang kompleks,seperti memutuskan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Saat ini, remaja kota dan daerah banyak yang telah melakukan hubungan seksual pranikah (“Prilaku’°, 2001; “93%”, 2001; “Remaja”, 2001). Padahal banyak akibat negatif yang dapat ditimbulkan dari hubungan seksual pranikah (Sarwono, 1991). Salah satunya adalah kehamilan di Iuar nikah_ Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mencatat bahwa setiap tahunnya diperkirakan terjadi 1,5 juta kehamilan yang tidak dikehendaki dan sebagian besar dialami oleh remaja yang belum menikah (“Banyak", l999). Dibandingkan dengan remaja awal, remaja akhir lebih kompeten dalam mengambil keputusan (Rice, 1999). Jadi seharusnya remqa akhir sudah lebih mampu membuat keputusan daripada remaja awal. Tetapi mengapa ada remaja akhir yang memutuskan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran proses pengambilan keputusan remaja akhir untuk melakukan hubungan seksual pranikah,dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran proses pengambilan keputusan yang lebih menyeluruh, dan sesuai dengan makna yang dirasakan individu. Subyek penelitian ini berjumlah sepuluh orang, lima perempuan dan lima laki-laki. Karakteristik subjck penelitian ini meliputi 2 remaja yang bemsia 16 - 24 tahun,berjenis kelamin perempuan dan laki-laki, belum pernah menikah, yang sudah melakukan hubungan seksual pranikah, dan remaja yang bukan melakukan hubungan seksual pranikah sebagai pekerjaan Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan pengisian kuesioner (motivasi dan religiusitas). Analisa data dilakukan secara dua tahap, Tahap pertama, analisa dilakukan pada masing-masing kasus. Tahap kedua, analisa dilakukan secara antar kasus.
Dengan demikian, peneliti berharap dapat diperoleh suatu pola proses pengambilan keputusan untuk melakukan hubungan seksual pranikah secara individu dan secara ummm. Pada penelitian ini ditemukan bahwa masalah umum yang dialami remaja akhir adalah adanya ajakan untuk melakukan hubungan seksual dari pacar. Dalam proses pengambilan keputusan, remaja akhir dipengaruhi oleh emosional utility sehingga mereka memberikan nilai positif terhadap hubungan seksual pranikah Remaja akhir juga merasa yakin terhadap kemungkinan keberhasilan mereka dalam mencapai tujuan (subjeclive probability) jika melakukan hubungan seksual pranikah Temuan lain penelitian ini adalah faktor-faktor penyebab remaja akhir melakukan hubungan seksual pranikah, motivasi remaja akhir untuk melakukan hubungan seksual pranikah, religiusitas remaja akhir dan hubungan seksual pranikah, penilaian remaja akhir tentang hubungan seksual pranikah, inisiatif pihak perempuan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, keutuhan keluarga dan hubungan seksual pranikah remaja akhir, dan keterbukaan subjek dalam menjawab pertanyaan peneliti
Saran praktis yang didapat dari penelitian ini meliputi : informasi tentang hubungan seksual pranikah diberikan sejak dini mengikuti perkembangan seksual remaja; perbanyak kesempatan untuk latihan dan diskusi tentang pengambilan keputusan dengan topik fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan schari-hari orangtua dan anggota keluarga lain mengawasi perilaku seksual anak mereka di rumah dan memberikan kegiatan kepada remaja yang sesuai dengan minat dan hobi sehingga remaja dapat menggunakan waktu mereka dengan kegiatan yang berguna."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>