Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62383 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mario Djabbar Aidil Hibatullah
"Kebutuhan interpersonal guru dalam menjalankan tugas mengajar masih belum cukup tergali dengan dalam (Newberry & Davis, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara Emotional Intelligence dengan persepsi guru mengenai hubungan guru-siswa. Penelitian ini menggunakan metode korelasional untuk menggambarkan hubungan antara emotional intelligence pada guru dengan persepsi guru terhadap hubungannya dengan siswa. Emotional intelligence guru diukur menggunakan Schutte Emotional Intelligence Scale (Schutte et al., 1998). Persepsi guru mengenai hubungan dengan siswa diukur menggunakan Student-Teacher Relationship (Aldrup et al., 2018). Partisipan merupakan 116 guru SD/SMP/SMA/sedejarat. Perekrutan partisipan dilakukan secara daring, menggunakan kuesioner yang disebarkan dalam bentuk Google Form. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi signifikan antara emotional intelligence dengan persepsi guru terhadap hubungan dengan siswa (r = 0,404, p < 0,05, two-tailed). Hasil tersebut menunjukkan bahwa emotional intelligence guru berkorelasi secara positif dengan hubungan guru-siswa. Implikasi penelitian ini adalah pentingnya aspek emotional intelligence pada guru dalam membina hubungan yang positif dengan siswa.

Teacher’s interpersonal needs in teaching have not been researched in-depth (Newberry & Davis, 2008). This research aims to explore the relationship between teacher emotional intelligence and teacher perception in regard to their relationship with students. This research used correlational methods to describe the correlation between teacher emotional intelligence and student-teacher relationship. Teacher emotional intelligence was measured using translated Schutte Emotional Intelligence Scale (Schutte et al., 1998). Student-teacher relationship was measured using translated Student-Teacher Relationship (Aldrup et al., 2018). The participants were 116 teachers, ranging from elementary, middle, to high school and their equivalence. Participants were recruited online, using Google Form questionnaire.  Results showed that teacher emotional intelligence is significantly correlated to student-teacher relationship (r = 0.404, p < 0.05, one-tailed). This result means teacher emotional intelligence has a positive relationship with student-teacher relationship. The implication of this research is the importance of teacher’s emotional intelligence in developing a positive relationship with students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yazid Nugraha
"Hubungan yang terjalin antara guru dengan siswa merupakan faktor terpenting yang membentuk teacher wellbeing O Connor, 2008. Akan tetapi, terdapat faktor penting lainnya yang dapat mempengaruhi teacher wellbeing guru, yang diperkirakan dipengaruhi oleh status kepegawaian guru (guru tetap dan guru honorer) (Setiyawan, 2017). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan guru- iswa dan status kepegawaian guru dapat memprediksi teacher wellbeing pada guru di jenjang sekolah menengah. Penelitian ini dilakukan pada guru sekolah menengah (N = 284; 65.8% Perempuan; M-usia = 38.58 tahun) dengan alat ukur berupa skala Teacher Subjective Wellbeing Questionnaire (TSWQ) yang dikembangkan oleh Renshaw, Long, dan Cook (2015) dan skala Student-Teacher Relationship Scale (STRS) yang dikembangkan oleh Aldrup, Klusmann, Lüdtke, Göllner, dan Trautwein 2018. Kedua alat ukur sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan memiliki hasil uji psikometrik yang baik. Diketahui bahwa hubungan guru siswa dan status kepegawaian guru sebagai prediktor terhadap teacher wellbeing sebagai variabel terikat menunjukkan hasil yang signifikan F2,281 = 78,118, p < .0005. Hasil ini menunjukkan bahwa hubungan guru siswa dapat memprediksi teacher wellbeing pada guru sekolah menengah secara positif dan status kepegawaian guru juga akan memprediksi teacher wellbeing pada guru jenjang sekolah menengah, dimana guru tetap memiliki teacher wellbeing yang lebih baik dibandingkan guru honorer.

The relationship that is bonded between teachers and their pupil is the most crucial factor of teacher wellbeing O Connor, 2008. However, there is another important predictor beside student-teacher relationship which could affect teachers wellbeing. Teachers employment status is regarded as another important predictor towards teacher wellbeing and it is shown as to whether the teacher is permanently employed or is a temporary teacher (Setiyawan, 2017). This research aims to see whether student-teacher relationship and teachers employment status could predict teacher wellbeing amongst teachers of secondary level of education. The subjects of this study were secondary teachers (N = 284; 65.8% Female; M-age = 38.58 years old). The instrument used in this research were Teacher Subjective Wellbeing Questionnaire (TSWQ) developed by Renshaw, Long, and Cook 2015 and Student Teacher Relationship Scale (STRS) developed by Aldrup, Klusmann, Lüdtke, Göllner, and Trautwein 2018. Both instruments were adapted to Bahasa Indonesia and showed having good psychometrical attributes. Multiple Regression Analysis were deployed to test both predictors and the result indicates both predictors successfully predict teacher wellbeing amongst secondary teacher F(2,281) = 78,118, p < .0005. The result indicates that student teacher relationship predicts teacher wellbeing positively and teachers employment status also predicts teacher wellbeing which permanent teachers show better teacher wellbeing than temporary teachers."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Utama Pramasta
"ABSTRAK
Terdapat pengaruh dari hubungan yang terjalin dari guru dengan siswanya terhadap bagaimana seorang guru mempersepsikan dirinya berkaitan dengan fungsi kesuksesan dan kesehatannya dalam pekerjaannya di sekolah atau biasa disebut dengan teacher well-being. Namun dalam pengaruh tersebut terdapat kaitan yang menarik dengan jenis kelamin guru pada jenjang sekolah menengah. Untuk itu peneliti ingin untuk melihat apakah jenis kelamin guru memoderasi pengaruh dari hubungan guru-siswa terhadap teacher well-being pada guru sekolah menengah. Alat ukur yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Teacher Subjective Well-being Questionnaire (TSWQ) dan Student-Teacher Relationship Scale (STRS). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 284 guru sekolah menengah yang terdiri dari guru laki laki dan perempuan. Hasil analisis statistik menggunakan macro PROCESS menyatakan hasil bahwa jenis kelamin memoderasi pengaruh dari hubungan guru-siswa terhadap teacher well-being (b3 = -0,272; t = -2,055; p = 0,041 [-0,533; -0,012]). Dengan demikian jenis kelamin pada guru memperkuat atau memperlemah pengaruh dari hubungan guru-siswa terhadap teacher well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brahmanditha Ardian Mahatma
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kecerdasan emosi dan self-efficacy dengan prestasi akademik. Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi dan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 1999). Self-efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang mengenai kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan dalam mencapai suatu tujuan tertentu (Bandura, 1997). Menurut KBBI, prestasi akademik adalah hasil pencapaian seseorang yang diperoleh dari kegiatan belajar mengajar di sekolah atau perguruan tinggi yang biasanya ditunjukan dengan nilai angka atau simbol. Kecerdasan emosi diukur menggunakan Emotional Intelligence Inventory (EII) dan self-efficacy diukur menggunakan College Academic Self-Efficacy Scale (CASES). Penelitian ini dilakukan pada 178 mahasiswa Universitas Indonesia angkatan 2012, 2013, 2014, dan 2015. Data penelitian diolah menggunakan teknik statistik Pearson Correlation & Multiple Correlation.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dan prestasi akademik, self-efficacy dengan prestasi akademik, maupun kecerdasan emosi dan self-efficacy secara bersama-sama mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan prestasi akademik. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan kepada seluruh sivitas akademik terutama psikologi pendidikan, untuk mempertimbangkan aspek kecerdasan emosi dan self-efficacy demi pencapaian prestasi akademik mahasiswa yang lebih baik.

This study aimed to examine the relationship between emotional intelligence and self-efficacy with academic achievement. Emotional intelligence is the ability to recognize our own feelings and the feelings of others, motivating and managing emotions well in ourselves and in relationships with others (Goleman, 1999). Self-efficacy is the belief that one has the ability to organize and carry out actions in achieving a particular goal (Bandura, 1997). According KBBI, academic achievement is the achievement of an individual derived from teaching and learning activities in schools or colleges that usually indicated by the value of numbers or symbols. Emotional intelligence was measured using the Emotional Intelligence Inventory (EII) and self-efficacy was measured using the College Academic Self-Efficacy Scale (CASES). This study was conducted on 178 students of the University of Indonesia class of 2012, 2013, 2014, and 2015. Data were analyzed using statistical techniques Pearson Correlation and Multiple Correlation.
The results showed that there is a positive and significant relationship between emotional intelligence and academic achievement, self-efficacy with academic achievement, as well as emotional intelligence and self-efficacy together have a positive and significant relationship with achievement. The results of this study can be input to all academic faculty primarily educational psychology, to consider aspects of emotional intelligence and self-efficacy for the sake of academic achievement of students better.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63256
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhila Nuhanisa Radian
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara trait emotional intelligence dengan lamanya individu mengikuti pendidikan musik klasik. Dalam Data diambil dari sekolah musik yang secara khusus mengajarkan musik klasik. Penelitian ini menggunakan partisipan sebanyak 52 orang, dengan lama belajar musik klasik minimal 5 tahun. Untuk mengukur trait emotional intelligence, penulis menggunakan Trait Emotional Intelligence-Short Form (TEIQue-SF) yang dikembangkan oleh Petrides dan Furnham. Hasil dari penelitian menunjukkan ada korelasi yang signifikan sebesar 0.397 antara trait emotional intelligence dengan lamanya individu mengikuti pendidikan musik klasik.

The objective of this study is to find out the relationship between trait emotional intelligence and the length of classical music education. Participants were taken from music schools which are specilized in teaching classical music. This study involved 52 participants, with at least 5 years of classical music training. Trait emotional intelligence was measured by Trait Emotional Intelligence-Short Form (TEIQue-SF) that developed by Petrides and Furnham. The result showed that there was a 0.397 significant relationship between trait emotional intelligence and length of classical music training.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55313
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah Ardiana
"Perilaku caring perawat yang didasari kecerdasan emosional tinggi dapat mendorong pencapaian pelayanan keperawatan yang berkualitas. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku caring perawat. Jenis penelitian deskriptif korelasi dengan sampel 92 perawat pelaksana dan 92 pasien. Analisis menggunakan uji Chi-Square dan regresi logistik berganda. Sebanyak 54 % perawat berperilaku caring menurut persepsi pasien. Hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi memahami dan mendukung emosi orang lain dengan perilaku caring perawat (p = 0,049). Perawat yang memiliki dimensi ini berpeluang 2,567 kali lebih caring. Rumah sakit perlu mengembangkan program pelatihan komunikasi efektif dan komunikasi terapeutik, sebagai salah satu bentuk perilaku caring.

Nurses caring behavior based on high emotional intelligence can encourage the achievement of quality nursing service. This research was to recognize the relationship between nurses emotional intelligence with their caring behavior according to patients perceptions. This is a descriptive correlation, with 92 nurses and 92 patients as samples. Analysis was using Chi Square and multiple logistic regressions. An approximately 54 % of nurses are caring. The result showed that the dimension of understanding and support of other people's emotions is significantly associated with nurses caring behavior (p= 0,049). Nurses who are having high level in this dimension are having opportunity as much as 2,567 times more caring. The manager of hospital can develop a sustainable training program on effective and terapheutic communication as one of nurses caring behavior.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T29396
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Nurjanah
"Kecerdasan emosional dihasilkan dari lingkungan sosial dimana individu dapat mengembangkan kemampuan kesadaran, kontrol, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Salah satu lingkungan sosial tersebut adalah wahana kegiatan ekstrakurikuler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dengan tingkat kecerdasan emosional remaja. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-korelatif dengan pendekatan potong lintang. Sampel penelitian ini berjumlah 106 siswa SMAN 14 Jakarta dengan menggunakan teknik quota sampling.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara tingkat partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dan tingkat kecerdasan emosional remaja (p= 0,041, α= 0,05). Penelitian ini merekomendasikan perlunya peningkatan kuantitas dan kualitas pembinaan kegiatan ekstrakurikuler sehingga dapat menunjang optimalisasi kecerdasan emosional siswa.

Emotional intelligence is a result of social environment where can improve five competences: self-awareness, self-control, self-motivation, empathy, and social- skill. One of it is the extracurricular activity. The purpose of this study is to examine the relationship between participation in extracurricular activity and adolescent’s emotional intelligence. This study used correlative-descriptive with cross sectional design approach. The sample of this study are 106 students in 14 Senior High School Jakarta through quota sampling.
The result showed that was significant relationship between participation in extracurricular activity and adolescent’s emotional intelligence (p= 0,041, α= 0,05). This study recommended educational institutions to improve quantity and quality of estabilishing extracurricular activities in order to support optimalization of emotional intelligence.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S47349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Eka Putri
"Counterproductive work behavior (CWB) merupakan perilaku secara sengaja untuk membahayakan organisasi dan orang lain di dalamnya yang dapat meningkatkan kerugian organisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kecerdasan emosi memediasi hubungan antara trait mindfulness dengan CWB. Responden penelitian ini terdiri dari 134 pria dan 176 wanita (N = 310) yang bekerja penuh waktu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mindfulness Attention Awareness Scale (MAAS), Wong and Law Emotional Intelligence Scale (WLEIS), dan CWB-Checklist (CWB-C). Berdasarkan hasil analisis, terdapat indirect effect (ab = -.046, p < .01) dan direct effect (c = -.225, p < .01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memediasi secara parsial hubungan antara trait mindfulness dengan CWB.

Counterproductive work behavior (CWB) is behavior intends to harm organization and other people inside it that increased organizational loss. The purpose of this study is to find out whether emotional intelligence mediates the relationship between trait mindfulness and CWB. Respondents of this study consist of 134 men and 176 women (N = 310) who work full-time. Instruments used in this study are Mindfulness Attention Awareness Scale (MAAS), Wong and Law Emotional Intelligence Scale (WLEIS), dan CWB-Checklist (CWB-C). Based on the result of analysis, there is significant indirect effect (ab = -.046, p < .01) and direct effect (c = -.225, p < .01). It has shown that emotional intelligence partially mediates the relationship between trait mindfulness and CWB."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhil Mahendra Wardana
"Membangun kepercayaan diri dalam mengajar memerlukan wellbeing yang baik. Studi sebelumnya menjelaskan ada faktor di lingkungan sekolah yang mempengaruhi subjective wellbeing seorang guru salah satunya Student-teacher relationship. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Student-teacher relationship dan Teacher’s Subjective Wellbeing di sekolah inklusif. Partisipan merupakan 55 guru (19 pria & 36 Wanita; M = 32.16, SD = 7.223) yang mengajar di Sekolah dasar inklusif. untuk mengukur student-teacher relationship, peneliti menggunakan Student-teacher relationship scale short form dan teacher’s subjective wellbeing diukur menggunakan Teacher’s Subjective Wellbeing: Teacher Subjective Wellbeing Questionnaire. Hasil perhitungan spearman correlation menunjukan tedapat hubungan positif yang signifikan antara student-teacher relationship dan teacher’s subjective wellbeing (r 3.48, p< 0,05). Hal ini menunjukan bahwa Artinya jika guru memiliki perspesi positif terhadap hubungan yang dimiliki dengan murid, maka semakin baik persepsi subjective wellbeing yang ia miliki. Penelitian ini menunjukkan pentingnya peranan menjaga hubungan yang baik antara guru dan siswa agar guru merasa sejahtera mengajar di sekolah dasar inklusif.

Building self-confidence in teaching requires good well-being. Previous studies have explained that there are factors in the school environment that affect the subjective well-being of a teacher, one of which is the student-teacher relationship. This study aims to determine the relationship between Student-teacher relationship and Teacher's Subjective Wellbeing in inclusive schools. The participants were 55 teachers (19 male & 36 female; M = 32.16, SD = 7,223) who teach in inclusive primary schools. To measure student-teacher relationship, researchers used Student-teacher relationship scale short form and teacher's subjective well-being was measured using Teacher's Subjective Wellbeing: Teacher Subjective Wellbeing Questionnaire. The results of the Spearman correlation calculation show that there is a significant positive relationship between student-teacher relationship and teacher's subjective well-being (r 3.48, p < 0.05). This shows that this means that if the teacher has a positive perception of the relationship he has with his students, the better his subjective well-being perception will be. This study shows the importance of the role of maintaining a good relationship between teachers and students so that teachers feel prosperous teaching in inclusive elementary schools."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teresa Anyelir Putri
"Artikel ini mengkaji gejala interaksi sosial antara guru dan murid dengan ldquo;kesulitan belajar spesifik rdquo; KBS seperti murid-murid autis, ADHD, dan disleksia di sekolah khusus. Tujuannya untuk menyingkap fungsi interaksi sosial guru dan murid KBS sebagai pembelajaran nilai dan norma penuntun tindakan sosial. Topik ini belum dibahas dalam studi-studi terdahulu yang memusatkan analisisnya pada masalah psikologis murid KBS, antara lain masalah kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah umum, pelabelan negatif oleh guru dan teman, perkembangan perilaku, dan ketergantungan murid pada guru. Dengan mengggunakan konsep-konsep fungsi sosial sekolah Meyer , tindakan komunikatif Habermas , dan interaksionisme simbolik Blumer , fungsi interaksi sosial guru dan murid sebagai pembelajaran nilai dan norma sosial diungkapkan melalui studi kasus kualitatif di Sekolah Pantara, sebuah sekolah khusus di Jakarta Selatan. Hasil penelitian menunjukkan interaksi sosial guru dan murid KBS di Sekolah Pantara merupakan proses pembelajaran nilai-nilai kesantunan, kepekaan, tanggungjawab, dan kemandirian yang terkandung dalam kurikulum tersembunyi. Penelitian menyimpulkan interaksi simbolik antara guru dan murid KBS di kelas intervensi dini di Sekolah Pantara sampai batas tertentu meningkatkan kemampuan sosial murid KBS.

This article examined the phenomenon of social interaction between teachers and students with ldquo specific learning difficulties rdquo SLD , namely autism, ADHD, and dyslexia at the special school. It uncovered the function of that social interaction as a learning process of social values and norms which guide the social actions. This subject has not yet studied properly since the previous researches mainly examined the psychological aspect of students with SLD, such as the difficulties they faced in regular school, negative labelling gave them by teachers and classmates, their behaviour development, and their depencency to the teachers. Using an analytical framework linked the concepts of school social function Meyer , of communicative action Habermas , and of symbolic interactonism Blumer , the function of social interaction between teachers and students with SLD as a learning process of social values and norms examined through a qualitative case study on Sekolah Pantara, a special school at South Jakarta. The research pointed out that social interaction between teachers dan students with SLD at Sekolah Pantara is a learning process of social values namely politeness, sensitifity, responsibility, and independency included in a hidden curriculum. This research concluded simbolic interaction between the teachers and the student with SLD in the early intervention class at Sekolah Pantara, to some extent, increased the social abilities of the student with SLD."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>