Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137154 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alya Hediati Tri Charissa
"Kehadiran seorang anak dengan spektrum autisme dalam keluarga dapat menjadi sebuah tantangan bagi saudara kandung. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran keberfungsian keluarga terhadap well-being (emosi positif dan negatif, serta psychological flourishing) pada saudara dari anak dengan spektrum autisme. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, variabel keberfungsian keluarga diukur dengan Family Assessment Device (FAD), serta well-being diukur menggunakan Scale of Positive and Negative Emotion (SPANE) dan Flourishing Scale (FS). Penelitian ini melibatkan 136 partisipan dengan rentang usia 18 - 35 tahun. Hasil pada penelitian ini menunjukkan keberfungsian keluarga secara umum ditemukan dapat memprediksi well-being (emosi positif dan negatif) secara signifikan F(1,134) = 28.278, p < 0.001, R2 = 0.174, serta well -being (psychological flourishing) secara signifikan F(1,134) = 30.914, p < 0.001, R2 = 0.181). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga yang dimiliki individu, akan semakin tinggi pula kemungkinan individu tersebut memiliki well-being yang baik.

The presence of a child with autism spectrum in the family may be a challenge for their siblings. This study aims to see how the role of family functions on the well- being (positive and negative emotions, and psychological flourishing) of children with autistic sibling. This study is a quantitative study, the function of family were measured using the Family Assessment Device (FAD), and well-being was measured using the Scale of Positive and Negative Emotion (SPANE) and Flourishing Scale (FS). This study involved 136 participants with an age range of 18-35 years. The results of this study indicate that the function of family in general is found to be able to significantly predict the well-being (positive and negative emotions) F F(1,134) = 28.278, p < 0.001, R2 = 0.174, and well-being (psychological flourishing) by F(1,134) = 30.914, p < 0.001, R2 = 0.181). From these results it can be said that a higher level of function in the family results in higher possibility of the individual having good welfare."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwaningsih
"Latar Belakang: Perilaku abberant sering terdapat pada pasien GSA. Salah satu kuesioner yang bisa digunakan untuk menilai perilaku abberant adalah kuesioner ABC-C 2017. Kuesioner ABC-C 2017 mengukur 5 domain perilaku abberant (iritabilitas, penarikan diri secara sosial, perilaku stereotipik, hiperaktivitas/ ketidakpatuhan dan pola bicara yang tidak tepat) pada anak dan remaja dengan diagnosis GSA, saat ini belum ada versi Bahasa Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai kesahihan dan keandalan kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia. Kesahihan isi dihitung menggunakan Content Validity Index for Items (I-CVI) dan Content Validity Index for Scales (S-CVI). Uji keandalan konsistensi internal dihitung menggunakan Cronbach alpha. Penelitian ini juga menilai proporsi perilaku abberant berdasarkan 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan nilai I-CVI dan S-CVI kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia sebesar 0,917, sehingga kesahihan isi kuesioner ini dinilai baik. Hasil keandalan konsistensi internal baik sampai excellent dengan nilai Cronbach’s alpha untuk masing-masing domain iritabilitas 0,938; penarikan diri secara sosial 0,936; perilaku stereotipik 0,930; hiperaktivitas, ketidakpatuhan 0,949 dan domain pola bicara yang tidak tepat 0,869. Proporsi perilaku abberant berdasarkan penilaian 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM, didapatkan hasil, domain iritabilitas derajat ringan sebesar 70,6%; penarikan diri secara sosial derajat ringan 72,5%; perilaku stereotipik 100% derajat ringan; hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang 47,1%, dan pola bicara yang tidak tepat 100% derajat ringan. Proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin juga didominasi derajat ringan, kecuali domain hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik, proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin anak.
Kesimpulan: Kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia dapat dipakai di Indonesia untuk penelitian selanjutnya, mendeteksi 5 domain perilaku abberant pada pasien GSA dan sebagai modul pendidikan bagi tenaga kesehatan.

Background: Abberant behavior is often found in ASD patients. One of the questionnaires that can be used to assess abusive behavior is the 2017 ABC-C questionnaire. The 2017 ABC-C questionnaire measures 5 domains of abberant behavior (irritability, social withdrawal, stereotypic behavior, hyperactivity/non-compliance and inappropriate speech patterns) in children. and adolescents with a diagnosis of ASD, currently there is no Indonesian version.
Methods: This study used a cross-sectional design to assess the validity and reliability of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire. Content validity was calculated using the Content Validity Index for Items (I-CVI) and the Content Validity Index for Scales (S-CVI). Internal consistency reliability test was calculated using Cronbach alpha. This study also assessed the proportion of abusive behavior based on the 5 domains of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire, in children and adolescents with ASD at the Children and Adolescent Mental Polyclinic RSCM.
Results: The results of the analysis show that the I-CVI and S-CVI scores of the 2017 ABC-C Indonesian version of the questionnaire are 0.917, so the validity of the contents of this questionnaire is considered good. The results of the reliability of internal consistency are good to excellent with Cronbach's alpha value for each irritability domain 0.938; social withdrawal 0.936; stereotypic behavior 0.930; hyperactivity, non-compliance 0.949 and inappropriate speech pattern domain 0.869. The proportion of abnormal behavior based on the assessment of the 5 domains of the 2017 ABC-C questionnaire in Indonesian version, in children and adolescents with ASD at the Child and Adolescent Mental Polyclinic RSCM, the results obtained, the domain of mild irritability was 70.6%; mild social withdrawal 72.5%; 100% mild stereotypic behavior; moderate degree of hyperactivity/non-compliance is 47.1%, and inappropriate speech is 100% mild. The proportion of abberant behavior based on age and gender was also dominated by mild degrees, except for the moderate degree of hyperactivity/non-compliance domain. There was no statistically significant difference, the proportion of abusive behavior based on the age and sex of the child.
Conclusion: The Indonesian version of the ABC-C 2017 Questionnaire can be used in Indonesia for further research, detecting 5 domains of abnormal behavior in ASD patients and as an education module for health workers.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Nuraini Zulfickry
"Kecerdasan emosional merupakan salah satu keterampilan penting yang dimiliki individu karena dapat membantu seseorang berfungsi dengan baik pada lingkup personal, sosial, dan profesional. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan tingkat kecerdasan emosional individu adalah keluarga, yang merupakan tempat pertama individu mempelajari berbagai interaksi sosial. Keberadaan anak dengan spektrum autisme (SA) dalam keluarga dapat memberikan pengaruh pada interaksi antar anggota keluarga yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional individu. Studi ini bertujuan untuk melihat peran keberfungsian keluarga terhadap tingkat kecerdasan emosional saudara kandung dari anak dengan SA. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan strategi noneksperimental yang menggunakan alat ukur Family Assesment Device (FAD) untuk mengukur keberfungsian keluarga dan alat ukur Trait Emotional Intelligence Short-Form (TEIQue-SF) untuk mengukur kecerdasan emosional. Kedua alat ukur disebarkan melalui google form dan menggunakan teknik convenience sampling untuk memperoleh partisipan. Total partisipan penelitian adalah 136 remaja akhir dan dewasa muda yang memiliki rentang umur antara 18 – 35 tahun. Berdasarkan hasil ANOVA, diperoleh hasil bahwa keberfungsian keluarga secara signifikan dapat memprediksi tingkat kecerdasan emosional saudara kandung dari anak dengan SA (R 2=0,372, p<0,05). Namun demikian, berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi linear berganda, ditemukan bahwa hanya ada satu dari keenam dimensi keberfungsian keluarga yang secara signifikan dapat memprediksi tingkat kecerdasan emosional saudara kandung dari anak dengan SA. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kondisi intrapersonal saudara kandung, keluarga dapat menerapkan strategi komunikasi terbuka dan efektif untuk dapat meningkatkan tingkat kecerdasan emosional saudara kandung dari anak dengan SA.

Emotional intelligence is one of the most important components that one should have as it can affect many areas of someone’s personal, social, and professional life. Family situations and climate, acting as the first environment for the children to learn social situations, have a significant role of the development of one’s emotional and social intelligence. The existence of a child with autism spectrum disorder (ASD) can have many effects on the family interaction and communication, and later on affecting one’s level of emotional intelligence. Due to that, this quantitative study explored the role of family functioning in predicting emotional intelligence in 136 siblings of children with ASD between the age of 18 – 35 years from Indonesia. The questionnaires used on assessing family functioning is Family Functioning Device (FAD) and Trait Emotional Intelligence Questionnaire-Short Form to measure emotional intelligence, which were distributed via google form and used the technique of convenience sampling to gain the participants. Multiple linear regression analysis revealed a significant relationship between family functioning and emotional intelligence (R2= 0,372, p<0,05) where only one of the family functioning dimensions, which is communication, significantly predicts the level of emotional intelligence in siblings of children with ASD. The higher the family functioning, the higher the emotional intelligence among siblings of children with ASD. The findings disclose deeper understanding of family functioning and the sibling’s intrapersonal condition, which is emotional intelligence, and have implications for parents to administer open and strategic communication within the family to furtherly heightened the sibling’s emotional intelligence level."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deffy Maryati
"

Latar Belakang: Perawatan gigi pada anak Gangguan Spektrum Autisme (GSA) sering menimbulkan stres karena kesulitan dalam berkomunikasi. Untuk mengurangi stres anak GSA, komunikasi verbal ditingkatkan dengan sarana pembelajaran seperti modul pedagogi visual dan video modeling. Alfa amilase saliva merupakan salah satu biomarker stres yang terdapat dalam saliva. Tujuan: Mengetahui perbedaan tingkat stres anak GSA dengan intervensi Modul Pedagogi Visual dan Video Modeling Berkunjung ke Dokter Gigi melalui analisis kadar alfa amilase saliva. Metode Penelitian: Subjek penelitian sebanyak 18 anak usia 6-10 tahun dengan GSA ringan, dibagi dalam 2 kelompok intervensi, yaitu kelompok Modul Pedagogi Visual (MPV) dan Video Modeling (VM) Berkunjung ke Dokter Gigi. Pengukuran kadar alfa amilase saliva dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Hasil: Pada kedua kelompok Kadar Alfa Amilase Saliva sesudah intervensi menunjukkan penurunan. Analisis statistik dengan uji Mann-Whitney U-test menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna (p >0,05) pada penurunan tingkat stres antara kelompok dengan intervensi MPV dan VM Berkunjung ke Dokter Gigi. Kesimpulan: MPV dan VM Berkunjung ke Dokter Gigi menurunkan tingkat stress anak GSA.

Kata kunci: Alfa amilase, Gangguan Spektrum Autisme, Saliva, Pedagogi


Background: Dental treatment in children with Autism Spectrum Disorder (ASD) often causes stress because of difficulty in communicating. To reduce stress for ASD children, verbal communication is enhanced with learning tools such as visual pedagogy modules and video modelling. Salivary alpha amylase is one of the stress biomarker found in saliva. Objective: To determine the differences in stress levels of ASD children with the intervention of the Visual Pedagogy Module and Video Modelling Berkunjung ke Dokter Gigi through the analysis of salivary alpha amylase levels. Methods: Subjects were 18 children aged 6-10 years with mild ASD, divided into 2 intervention groups, namely The Visual Pedagogy Module (VPM) and Video Modeling (VM) Berkunjung ke Dokter Gigi group. Measurement of salivary alpha amylase levels was carried out before and after intervention. Result: In both groups the alpha amylase levels of saliva after the intervention showed a decrease. Statistical analysis using The Mann-Whitney U-test showed that there was no significant difference (p>0.05) in the reduction in stress levels between the VPM and VM Berkunjung ke Dokter Gigi intervention groups. Conclusion: VPM and VM Berkunjung ke Dokter Gigi reduce the stress levels of ASD children.

Keywords : Autism, alpha amylase, saliva, pedagogy

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Nasyaa Auraliesa
"Keluarga dengan anak berkebutuhan khusus seperti Gangguan Spektrum Autisme, sering dikaitkan dengan peran keluarga yang besar dalam menjaga tumbuh kembang mereka, termasuk membantu anak berkomunikasi, berinteraksi, serta melakukan aktivitas sehari-hari. Tentunya dalam membantu anak dengan spektrum autisme untuk tumbuh dan berkembang tidaklah mudah, orang tua sebagai pengasuh utama sering dikaitkan dengan kondisi psikologis yang lebih buruk dibandingkan dengan orang tua dengan anak yang normal. Saudara kandung sebagai anggota keluarga juga mengalami tingkat stress yang tinggi dalam menghadapi aktivitas sehari-hari dan juga menghadapi tekanan lingkungan sosial ketika mereka bersama saudara kandung dengan spektrum autisme. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan keberfungsian keluarga dengan distres psikologis pada saudara kandung dari anak dengan spektrum autisme. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dan menggunaka Teknik nonprobability sampling yang berhasil menyaring 136 partisipan penelitian. Keberfungsian keluarga diukur dengan Family Assessment Device (FAD) yang terdiri dari 60. Sementara distress psikologis diukur dengan General Health Questionnaire (GHQ-12) yang terdiri dari 12 item. Partisipan penelitian ini adalah 136 partisipan dengan rentang usia 18-35. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi dimensi Penyelesaian Masalah, dimensi Komunikasi dimensi Peran, dimensi Responsivitas Afektif,dan dimensi Keberfungsian Keluarga secara Umum berkorelasi negatif secara signifikan dengan  distres psikologis. Sedangkan dimensi Kontrol perilaku tidak berkorelasi dengan Distres Psikologis.

Families with children with special needs, such as Autism Spectrum Disorder, are often associated with a large family role in maintaining their growth and development, including helping children communicate, interact, and perform daily activities. Of course, helping children with the autism spectrum to grow and develop is not easy, parents as primary caregivers are often associated with worse psychological conditions than parents with normal children. Siblings as family members also experience high levels of stress in dealing with daily activities and also face pressure from the social environment when they are with siblings on the autism spectrum. Therefore, this study aimed to examine the relationship between family functioning and psychological distress in siblings of children with autism spectrum. This study used a quantitative design and used a non-probability sampling technique that successfully screened 136 participants. Family functioning was measured by the Family Assessment Device (FAD), which consisted of 60. Meanwhile, psychological distress was measured by the General Health Questionnaire (GHQ-12) which consisted of 12 items. The participants of this study were 136 participants with an age range of 18-35. The results of this study indicate that the dimensions of Problem Solving, Communication dimensions, Role dimensions, Affective Responsiveness dimensions, Affective Involvement dimensions, and Family Functioning dimensions in general have a significant negative correlation with psychological distress. While the behavioral control dimension is not correlated with Psychological Distress."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Meilany
"Latar Belakang. Anak dengan Spektrum Gangguan Autisme (SGA) seringkali mengalami gangguan gerak halus, yang dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta mengganggu performa sekolah. Hingga saat ini belum ada data mengenai prevalens maupun gambaran gangguan gerak halus pada anak SGA di Indonesia, termasuk dampaknya terhadap performa sekolah.
Tujuan. Mengetahui prevalens gangguan gerak halus anak SGA, mengetahui gambaran gangguan gerak halus anak SGA, mengetahui dampak gangguan gerak halus terhadap performa sekolah anak SGA.
Metode. Penelitian analitik potong lintang dilakukan sejak bulan Januari sampai Mei 2014. Subjek anak SGA didapatkan dari Klinik Anakku CMC Kayu Putih. Subjek pada kelompok kontrol dari sebuah sekolah swasta yang telah dilakukan matching usia dan jenis kelamin dengan kelompok SGA. Terhadap subjek penelitian dilakukan pemeriksaan keterampilan gerak halus dengan BOT-2 dan penilaian performa fungsional sekolah melalui pengisian kuesioner SFA oleh guru atau terapis.
Hasil. Subjek penelitian pada kelompok SGA dan kelompok kontrol masing- masing berjumlah 43 anak. Prevalens gangguan gerak halus pada kelompok SGA sebesar 91%. Jumlah subjek pada kelompok SGA yang mengalami gangguan gerak halus pada komposit fine manual control dan manual coordination, serta subtes fine motor precision, fine motor integration, manual dexterity, dan upper- limb coordination lebih besar dibanding kelompok kontrol, dengan median skor kelompok SGA yang lebih rendah pada semua komposit/subtes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat hubungan bermakna antara gangguan gerak halus kelompok SGA dengan performa fungsional sekolah.
Simpulan. Prevalens gangguan gerak halus anak SGA pada penelitian ini adalah 91%. Gangguan gerak halus yang dialami anak SGA berdasarkan pemeriksaan dengan BOT-2 mencakup komposit fine manual control dan manual coordination, serta subtes fine motor precision, fine motor integration, manual dexterity, dan upper-limb coordination. Pada anak SGA, gangguan gerak halus berhubungan dengan gangguan pada performa fungsional sekolah.

Background. Children with Autism Spectrum Disorders (ASD) often have fine motor impairment, which may present barriers in performing their daily activities and interfere with their school performance. Until now there has been no data on the prevalence and description of fine motor impairment in children with ASD in Indonesia, including its impact on the children’s school performance.
Objective. To determine the prevalence of fine motor impairments in children with ASD, to provide the description of fine motor impairments in children with ASD, and to determine the impact of fine motor impairments on the school performance of children with ASD.
Method. A cross-sectional analytic study conducted from January to May 2014. Subjects were children with ASD from Klinik Anakku CMC Kayu Putih. Subjects in the control group were students from a private school matched by age and sex with the ASD group. Fine motor examination was performed using BOT-2 and assessment of school functional performance was conducted through SFA questionnaires filled by teachers or therapists.
Result. There were 43 subjects each on ASD and control groups. Prevalence of fine motor impairments in children with ASD in this study was 91%. The number of subjects in the ASD group having fine motor impairement on the fine manual control and manual coordination composites, as well as fine precision motors, motors fine integration, manual dexterity, and upper-limb coordination subtests are greater than the control group, with median score of all the composites/subtests lower on ASD group compared to that in the control group. There was a significant correlation between fine motor impairments in ASD children with their school function performance.
Result. Prevalence of fine motor impairments in children with ASD in this study was 91%. Fine motor impairments experienced by children with ASD based on examination using BOT-2 covers fine manual control and manual coordination composites, as well as fine precision motors, motors fine integration, manual dexterity, and upper-limb coordination subtests. In children with ASD, fine motor impairment was associated with disturbances in the school function performance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fasya Farah Hernawan
"Penelitian ini mengenai remaja yang memiliki saudara kandung penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) yang dibahas dari disiplin ilmu Kesejahteraan Sosial. Latarbelakangnya karena kehadiran anak penyandang ASD dalam keluarga umumya menjadi fokus perhatian dari orang tua, dibandingkan saudara kandungnya yang memasuki masa remaja dan sedang mengalami perubahan besar-besaran dalam kehidupan yang sebenarnya membutuhkan perhatian besar. Menjadi penting untuk meneliti bagaimana resiliensi, sebagai kemampuan remaja mengelola kesulitan atau stress, pada remaja yang memiliki saudara kandung penyandang ASD agar menjadi jelas dan tidak terabaikan pemenuhan hak-hak asasi dan kebutuhan mereka. Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dilaksanakan pada September 2022 sampai dengan Juni 2023. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara bersama empat informan yang merupakan saudara kandung dari siswa di Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa dan tiga orang tua serta observasi di rumah masing-masing informan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang dialami oleh semua informan adalah munculnya emosi sebagai remaja dan tanggung jawab atas saudara kandung penyandang ASD. Sementara itu, masalah lain yang juga dialami meliputi perbedaan perlakuan dari orang tua, relasi yang terbatas dengan lingkungan, juga remaja merasa tidak nyaman karena penyandang ASD sedang dalam masa perkembangan seksual. Remaja informan yang paling sedikit mengalami masalah adalah informan H yang jarak usianya paling jauh dengan saudara kandung penyandang ASD. Dari tujuh dimensi resiliensi, semua informan berkembang dengan relatif baik pada dimensi regulasi emosi, analisis kausal, dan empati. Lalu, dimensi pengendalian impuls masih harus dikembangkan pada informan F. Sementara itu, informan Z masih harus mengembangkan kemampuan resiliensi dalam dimensi optimisme, efikasi diri, dan reaching out. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa rekomendasi yang meliputi (1.) Untuk Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa, dapat menjadi referensi untuk melanjutkan program Sibling & support system hingga pada tahap implementasi dan menjadi landasan topik dalam forum tahunan orang tua murid; (2.) Untuk remaja yang memiliki saudara kandung penyandang ASD, sebaiknya mengembangkan resiliensi pada diri masing-masing dengan cara memperdalam informasi akan materi terkait melalui berbagai sumber, bergabung dengan komunitas pendukung, juga meminta bantuan ketika melakukan hal-hal yang berisiko negatif; (3.) Untuk orang tua, sebaiknya membantu remaja mengembangkan resiliensinya dengan mendekatkan diri, mempelajari isu-isu keluarga dengan ASD, serta membantu remaja mengakses bantuan professional jika diperlukan; dan (4.) Untuk penelitian selanjutnya, dapat meneliti terkait sumber resiliensi keluarga penyandang ASD dan meneliti juga terkait dampak perkembangan seksual penyandang ASD terhadap anggota keluarga lainnya.

This study discusses the problems experienced by adolescents who have siblings with Autism Spectrum Disorder (ASD). This research is motivated by conditions where the presence of children with ASD in the family is the focus of attention from parents. On the other hand, when siblings enter their teenage years, they are also going through major life changes that require big attention. In this case, resilience as the ability of adolescents to manage adversity or stress becomes very important. This study uses a qualitative approach by collecting data through interviews with four informants who are siblings of students at Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa and three of their parents, also observations at the homes of each informant. The results of this study indicate that the problems experienced by all informants are the emergence of emotions in adolescents and responsibility for siblings with ASD. Meanwhile, other problems that are also experienced are the differences in treatment from parents, limited relationships with the environment, also teenagers feel uncomfortable because the siblings with ASD are in a period of sexual development. Adolescents who experienced the fewest problems were informant H who was the farthest in age from siblings with ASD. Of the seven dimensions of resilience, all informants developed relatively well on the dimensions of emotion regulation, causal analysis and empathy. Then, the impulse control dimension still has to be developed in informant F. Meanwhile, informant Z still has to develop resilience skills in the dimensions of optimism, self-efficacy, and reaching out. Based on the results of the research, there are several recommendations which include (1.) For Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa, it can be a reference for continuing the Sibling & support system program up to the implementation stage and become the basis of the topic in the annual parent-student forum; (2.) For adolescents who have siblings with ASD, to develop resilience in each of them by deepening information on related topic through various sources, joining a support community, also asking for help when doing things that have a negative risk; (3.) For parents, it is better to help adolescents develop their resilience by getting closer to themselves, studying family issues with ASD, and helping adolescents to access professional help if needed; and (4.) For further research, it can examine the sources of resilience in families with ASD and also examine the impact of sexual development of people with ASD on other family members."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi Anindia Anugrah Putri
"Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui persepsi kemampuan perawat pada anak dengan gangguan spektrum autisme (GSA) yang dirawat di rumah sakit. Desain penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan menggunakan metode cross sectional dengan teknik total sampling menggunakan sampel 59 perawat dari rawat inap anak, unit thalasemia, serta ruang bedah anak di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Instrumen yang digunakan Survey. Brachlow5 milik Allison Golnik tahun 2009 dengan perubahan demografi sesuai kebutuhan populasi di Indonesia.
Hasil penelitian antara lain persentase usia muda 54,2%, perempuan 91,5%, jenjang pendidikan D3 78%, pengalaman kerja kurang dari 5 tahun 39%, lokasi ruangan rawaat inap 57,6%, tidak pernah training 98,3%, tingginya kapasitas perawat 55,9%, tingginya kapasitas perawat 58,8%, tingginya pengetahuan perawat 57,1%, tingginya kepercayaan orang tua 100%, hambatan perawat 59,3% mengaku kurangnya pendidikan mengenai gangguan spektrum autisme. Saran dari penelitian antara lain diadakan training pada perawat di rumah sakit serta penambahan ilmu mengenai GSA di instansi pendidikan.

The purpose of this study was to determine the perception of the ability of nurses in children with autism spectrum disorders (ASD) were hospitalized. This study was a descriptive analysis using cross sectional method with a total sampling technique using samples of 59 nurses from the children’s inpatient, thalassemia unit, as well as the child's surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital. Instruments used Survey.Brachlow5 owned by Allison Golnik (2009) with the changing demographics of the population in Indonesia as needed.
The results of the study include the percentage of young age of 54.2%, 91.5% female, 78% diploma degree, work experience of less than 5 years of 39%, the location of the children’s inpatient was 57.6%, 98.3% said never training, the high capacity of nurses 55.9%, 58.8% of high source of knowledge, nurse 57.1% high knowledge, high trust of parents 100% , barrier 59.3% of nurses admitted lack of education about autism spectrum disorders. Suggestions of research are conducted training to nurses in hospitals as well as the addition of knowledge about the ASD in educational institutions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S57864
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretta
"Latar belakang: Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kondisi heterogen dengan gejala yang bervariasi disebabkan berbagai etiologi, dan komorbiditas yang berdampak pada defisit komunikasi sosial, gangguan perilaku berulang dan minat terbatas. Sudah banyak penelitian yang mengaitkan ASD dengan variasi gambaran pemanjangan masa laten gelombang dan antar gelombang pada Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Beberapa penelitian menghubungkan BERA dengan derajat keparahan ASD berdasarkan The Childhood Autism Rating Scale (CARS), namun masih kontroversi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara masa laten gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang III-V BERA Click dengan derajat keparahan ASD berdasarkan skoring CARS anak usia 3-8 tahun dengan pendengaran normal. Metode: Studi potong lintang ini terdiri dari 26 subjek ASD yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penilaian derajat keparahan subjek dilakukan menggunakan skoring CARS dan pemeriksaan BERA. Pengolahan data dilakukan dengan analisis uji korelasi masa laten absolut dan masa laten antar gelombang BERA dan CARS. Hasil: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara masa laten absolut gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang III-V BERA Click dengan CARS (r<0,3 dan p>0,05). Namun berdasarkan analisis deskriptif, terdapat pemanjangan masa laten gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang I-III pada anak ASD dengan pendengaran perifer normal. Kesimpulan: Anak ASD dengan pendengaran perifer normal menunjukkan karakteristik BERA abnormal. Hal ini menunjukkan potensi BERA sebagai alat objektif untuk mengevaluasi perkembangan ASD di masa depan namun diperlukan penelitian lebih lanjut.

Background: Autism Spectrum Disorder (ASD) is a heterogeneous condition with variable symptoms due to various etiologies, and comorbidities that result in social communication deficits, repetitive behavioral disorders and restricted interests. Many studies have linked ASD to variations in the latent wave and inter-wave lengthening images on Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Some studies have linked BERA to ASD severity based on The Childhood Autism Rating Scale (CARS), but it is still controversial. Aim: This study aims to determine whether there is a correlation between latencies of waves III and V, as well as interpeak latencies of waves III-V BERA Click and ASD severity based on CARS scoring in children aged 3-8 years with normal hearing. Methods: This cross-sectional study consisted of 26 subjects with ASD met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were assessed for severity using CARS scoring and BERA examination. Data processing was done by correlation test analysis between latencies of waves III and V BERA and CARS waves. Results: There was no significant relationship between the latencies of waves III and V and interpeak latencies of waves III-V and interpeak latencies of waves III-V BERA Click with CARS (r < 0.3 and p>0.05). However, based on descriptive analysis, there was a lengthening of the latency of waves III and V and interpeak latency of waves I-III in ASD children with normal peripheral hearing. Conclusion Children with ASD display abnormal ABR characteristics. This shows the potential of BERA as an objective tool to evaluate ASD development in the future but further research is needed"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Danu Tri Subroto
"Latar Belakang: Angka prevalensi GSA semakin meningkat dan kekhawatiran orang tua tentang kondisi anaknya, mendorong dilakukannya skrining deteksi dini GSA. Beberapa tanda untuk deteksi dini GSA yaitu 1) respon terhadap godaan, 2) respon ketika dipanggil dan 3) respon terhadap penghambatan. Terdapat tanda lain yang dapat digunakan sebagai deteksi dini GSA, yaitu respon colek. Tujuan: Mengetahui seberapa besar nilai diagnostik respon colek dalam mendeteksi GSA pada anak usia 18 bulan - 4 tahun dengan keterlambatan bicara. Metode:Studi potong lintang dilakukan terhadap subyek berusia 18 bulan - 4 tahun dengan keterlambatan bicara. Pada subyek diberikan rangsangan colek, godaan saat bermain, dipanggil namanya saat bermain dan penghambatan saat bermain (dengan tangan) kemudian dinilai respon subyek terhadap pemberi respon. Subyek kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok, GSA dan bukan GSA berdasarkan kriteria DSM-5. Hasil:Dibandingkan ketiga respon lain, respon colek memiliki spesifitas paling tinggi (93%) dengan sensitivitas 75% dalam mendeteksi GSA. Bila ke 4 pemeriksaan uji diagnostik digabungkan, dengan hasil tes negatif menandakan tidak adanya respon terhadap pemeriksaan, maka akan didapatkan nilai spesifisitas sangat tinggi (100%) dengan sensitivitas 42%. Simpulan: Dibandingkan ketiga pemeriksaan yang sudah ada, respon colek memiliki spesifisitas paling tinggi dalam menyingkirkan GSA pada anak dengan keterlambatan bicara.
Background: ASD prevalence are increasing and parents' concerns about their child's condition, encourage early detection by screening of ASD. Several signs for early detection of ASD: 1) teasing response, 2) calling response, 3) blocking response. There are other signs can be used as early detection of ASD, which is a poke response. Objective:To know the diagnostic value of poke response in detecting ASD in children aged 18 months - 4 years with speech delay. Methods:A cross-sectional study was conducted on subjects aged 18 months - 4 years with speech delay. The subjects given poke stimulation, teasing when playing, called by name and inhibition when playing then assessed the subject's responses. The subjects were grouped into 2 groups, ASD and not ASD based on DSM-5. Results:Compared to the other 3 responses, poke response had the highest specificity (93%) with 75% sensitivity in detecting ASD. If all 4 diagnostic test examinations are combined, with a negative test result indicating no response to the examination, a very high specificity (100%) with a sensitivity of 42% will be obtained. Conclusion:Compared the others, the poke response has the highest specificity to rule out ASD in children with speech delay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>