Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizki Aditya
Abstrak :
Secara keseluruhan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor pembentuk purchase intention yang dilihat dari sisi personal individu (seperti attitude toward purchase intention, health consciousness) serta sisi eksternal individu (seperti collectivism, subjective norm). Penelitian ini dilakukan dilakukan secara online dan offline, dimana pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan kriteria responden yang belum pernah membeli dan/atau mengkonsumsi beras organik. Analisa data menggunakan WarpPLS 5.0 untuk melakukan uji hipotesa. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan tidak semua variable yang membentuk purchase intention memiliki cukup bukti untuk secara signifikan mempengaruhi variable tersebut. Tidak seperti Collectivism dan Social Information, terdapat cukup bukti bagi Health Consciousness, Environmental Visibilities, serta variable yang tersisa dari variable pembentuk Theory of Planned Behavior dalam membentuk konstruk purchase intention.
In general, the purpose of this research was to determine the effect of several factors that believed to able to construct purchase intention variable based on two different view: personal factors (i.e. attitude toward purchase intention, health consciousness) and the external factors of an individual (i.e. collectivism, subjective norm). This research was conducted both offline and online, by using questionnaire as gathering instrument with particular characteristic for the respondent, where the valid respondent of the research must be the one who never ate and/or bought organic rice in his/her life. WarpPLS 5.0 was used for data analysis and hypothesis testing. This research found that not every variable in this research provided enough data and evidence in order to say they significantly affected purchase intention. Unlike health consciousness and Social information who unsignificantly affected purchase intention; health consciousness, environmental visibilities and the rest variables from Theory of Planned Behavior were proved in significantly affected purchase intention.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Athaya
Abstrak :
ABSTRAK
Tren gaya hidup sendirian atau menyendiri, dalam bahasa Korea disebut nahollojok ???? . Kata ini muncul diakibatkan meningkatnya persentase rumah tangga tunggal ilin gagu /1 ? ?? , krisis ekonomi, pengangguran dan lingkungan sosial yang kompetitif. Hal tersebut, meningkatkan tren honbab makan sendirian dan honsul minum alkohol sendirian dalam masyarakat perkotaan Korea, terutama pada kalangan muda. Oleh karena itu, secara tidak langsung masyarakat Korea telah mulai meninggalkan gaya hidup masyarakat kolektivis. Jurnal ini bertujuan untuk menganalisis munculnya fenomena gaya hidup nahollojok di dalam masyarakat perkotaan akibat adanya transisisi perubahan nilai-nilai kolektivisme di dalam masyarakat Korea Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa gaya hidup masyarakat perkotaan Korea sedang berada dalam transisi perubahan, yaitu lebih menghargai privasi dan kebebasan individu ditengah budaya kolektivisme.
ABSTRACT
The living alone trend in Korean is well known as nahollojok . This term arises because of the high percentage of one person household ilin gagu 1 , economic crisis, unemployment rate and a competitive social environment. So it increases the trend of honbab eating alone and honsul drinking alcohol alone in Korean urban society. Therefore, indirectly Korean society has begun to abandon the lifestyle of collectivist society. The purpose of this journal is to analyze the emergence of the phenomenon of nahollojok lifestyle in urban society due to the transition of changes in values of collectivism in South Korean society. This journal applies descriptive qualitative method by collecting secondary datas. The result of this research shows that the lifestyle of Korean society is in transition of change, which appreciates more the privacy and individual freedom in the culture of collectivism.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kharamaria Aninditya Adinatha
Abstrak :
Budaya ditemukan sebagai moderator social loafing, dimana social loafing berkurang atau bahkan hilang di antara orang-orang dengan budaya kolektivisme tetapi tidak untuk orang-orang dari budaya individualistis. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek social loafing saat partisipan dengan budaya kolektivisme berkerjasama dengan partisipan dengan budaya individualistis dalam kelompok melalui tugas kognitif sederhana (membuat daftar nama negara dengan enam huruf atau lebih dalam dua menit). Penelitian ini menggunakan design three-level independent groups dimana 36 mahasiswa (baik orang Indonesia atau orang Australia) ditentukan secara acak untuk bekerja secara individual (coactive) atau dalam kelompok (collective) baik terdiri dari tiga orang Indonesia (collective-Indonesian) atau satu orang Indonesia dan dua orang Australia (collective-mixed). Social loafing adalah variable dependen dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian menemukan bahwa partisipan dalam kondisi coactive secara signifikan membuat daftar nama negara yang lebih panjang dibanding partisipan-partisipan di dua kondisi collective. Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara hasil partisipan di kondisi collective-Indonesian dengan partisipan di kondisi collective-mixed. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya tidak mempengaruhi social loafing. Keterbatasan dan saran juga dibahas dalam penelitian ini. ...... Culture has been found to be a moderator of social loafing in which social loafing is reduced or even eliminated among people of collectivistic cultures but not for those of individualistic cultures. This study aimed to examine the effects of social loafing when collectivistic participants work together in a group with participants who are individualistic through a simple cognitive task (listing names of countries with six or more letters in two minutes). A three-level independent-groups design was used where 36 university students (either Indonesian or Australian in ethnicity) were randomly assigned to work individually (coactively) or in groups of three (collectively) either consisting of three Indonesians (collective-Indonesian) or one Indonesian and two Australians (collective-mixed). Social loafing was the dependent variable in the study. Independent-groups t-tests revealed that participants working coactively significantly listed more countries than those working in the two collective conditions. It also revealed that there was no significance difference in the performance of participants in the collective-Indonesian condition compared to those in the collective-mixed condition, suggesting that cultural values do not influence social loafing. Improvements regarding methodological issues have been recommended as well as suggestions for future research.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Nina Chrisnawati
Abstrak :
Markus dan Kitayama (1991) mengklaim bahwa self-construal merupakan konsep yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Di sisi lain, Triandis (1995) menyatakan bahwa individualisme-kolektivisme merupakan konsep yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan di antara Para ahli untuk mengetahui dan menemukan penjelasan pasti, mana dari antara kedua konsep tersebut yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk menguji kekuatan kedua konsep tersebut dalam menjelaskan perilaku individu, yang dalam penelitian ini akan diuji pada kasus memilih pasangan pada kelompok etnik Batak. Selain menggunakan self-construal dan individualisme-kolektivisme, peneliti juga menggunakan identitas etnik sebagai variabel penelitian. Hipotesis yang diajukan adalah (1) Self-construal, individualisme-kolektivisme, dan identitas etnik mempengaruhi kecenderungan individu dalam memilih pasangan; (2) self-construal memiliki pengaruh dan daya prediksi paling besar dibandingkan individualisme-kolektivisme, dalam menjelaskan kecenderungan individu ketika memilih pasangan. Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian dengan hipotesis yang diajukan. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara self-construal laki-laki dengan selfconstrual perempuan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T 17835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Rusli
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengasuhan individualis dan kolektivis memengaruhi perolehan ToM pada anak usia 3?5 tahun. Perolehan ToM diukur dengan menggunakan skala ToM yang dikembangkan oleh Wellman dan Liu (2004), dan pengasuhan individualis dan kolektivis diukur dengan skala yang dikembangkan dari skala individualis-kolektivis Triandis dan Gelfand. Skala ToM diberikan pada 202 anak (102 laki-laki, 100 perempuan), usia 3-5 tahun/36-71 bulan (M = 55, SD = 3.253), dan kuesioner diisi oleh orangtua masing-masing anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan individualis dan pengasuhan kolektivis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan ToM., dengan R2 = .012, p > 0.05. Pengasuhan individualis berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan konsep diverse beliefs (DB) (β = 0.017, p < 0.05), sedangkan pengasuhan kolektivis tidak berpengaruh terhadap perolehan kelima konsep ToM. ...... This study aimed to investigate whether individualism and collectivism parenting affect theory of mind acquisition in children age 3-5 years. Theory of mind (ToM) acquisition was assessed using a ToM scale by Wellman and Liu (2004), and individualism and collectivism parenting was measured with a scale that was developed from Triandis and Gelfand's individualism collectivism scale. The ToM scale was given to 202 children ages 3 ? 5 years old/36-71 months (M = 55, SD = 3.253), and individualism and collectivism parenting scale was administered to their parents. The result of this study showed that individualism and collectivism parenting did not significantly influence children?s ToM (R2 = .012, p > 0.05.). Individualism parenting significantly influenced the acquisition of diverse beliefs (DB) (β = 0.017, p < 0.05), whereas collectivism parenting did not significantly predict the acquisition of the five concepts of ToM.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T46219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatiya Ranu Wardhani
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji urutan perolehan Theory of Mind ToM , serta menguji hubungan antara pengasuhan kolektivitas dengan perolehan ToM pada anak-anak di Bogor, Indonesia. Untuk itu, peneliti akan menguji 100 anak berusia 5-7 tahun 53 laki-laki, 47 perempuan menggunakan Skala ToM Wellman dan Liu 2004 . Orang tua anak juga diminta untuk mengisi self-report pengukuran Skala Pengasuhan Individualitas-Kolektivitas Rudy Grusec, 2001 , untuk melihat hubungan antara pengasuhan kolektivitas dan perolehan ToM anak. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa partisipan anak pada penelitian ini lebih banyak yang menguasai Knowledge Access dibanding Diverse Belief. Hasil tersebut menunjukkan bahwa urutan perolehan ToM anak-anak di Bogor sesuai dengan urutan perolehan ToM anak-anak di negara dengan budaya kolektivitas lain Tiongkok dan Iran . Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengasuhan kolektivitas orang tua memiliki hubungan positif yang signifikan dengan perolehan ToM anak r = .298, p < 0.01 . Selain itu, pengasuhan kolektivitas juga memiliki hubungan yang signifikan dengan perolehan Diverse Desire r = .247, p < 0.01 dan perolehan Knowledge Access anak r = .174, p < 0.05 . Hasil penelitian ini semakin memperkuat dugaan bahwa pengalaman budaya yang diterima anak akan mempengaruhi perkembangan ToM pada anak.
ABSTRACT
This study aims to examine Theory of Mind ToM sequence, and examine the correlation between collectivism parenting with the acquisition of ToM in children in Bogor. 100 children in Bogor, Indonesia age 5 7 years, 53 boys, 47 girls were assessed using the ToM Scale Wellman and Liu 2004 . Parents were also required to complete self report measurements of the Individualism Collectivism Parenting Scale Rudy Grusec, 2001 to see the correlation between collectivism parenting and the acquisition of ToM children. The results of this study indicated that children in Bogor mastered Knowledge Access more than Diverse Belief. It shows that ToM sequence of children in Bogor matched with other collectivism countries sequence Chinese and Iraninan sequence . The results of this study also showed that collectivism parenting had a significant positive correlation with the child rsquo s acquisition of ToM r .298, p
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Salsabila Putri Herfina
Abstrak :
Nilai merupakan tujuan yang bervariasi dalam kepentingannya dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Sosialisasi budaya pada kehidupan individu juga dapat memengaruhi pemilihan perilaku mereka, serta prioritas nilai yang mungkin terbentuk dalam hidup mereka. Salah satu bentuk orientasi budaya merupakan budaya kolektivisme, dimana individu mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok dan mengutamakan tujuan kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara nilai dan kolektivisme pada emerging adulthood. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 untuk pengukuran nilai dan The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) untuk pengukuran kolektivisme. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 258 partisipan emerging adults menggunakan analisis korelasional menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara 9 tipe nilai, yaitu stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism dan empat jenis hubungan kolektivisme, yaitu keluarga, teman dekat, kolega, dan orang yang tidak dikenal, pada emerging adulthood. Adanya korelasi antara nilai dan kolektivisme diharapkan dapat menjadi sarana penanaman nilai yang positif dalam masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama yang positif. ......Values are goals that vary in importance and serve as guidelines in human life. Cultural socialization in an individual's life can also influence their choice of behavior, as well as the value priorities that may form in their lives. One form of cultural orientation is collectivism, where individuals identify themselves as part of a group and prioritize group goals. This study aims to see if there is a relationship between values and collectivism in emerging adulthood. The instruments used in this study are the Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 for measuring values and The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) for measuring collectivism. The results of a study conducted on 258 emerging adults using correlational analysis showed that there is a significant relationship between 9 types of values, which are stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, and universalism and four types of collectivism relationships, which are family, close friends, colleagues, and strangers, in emerging adulthood. The correlation between value and collectivism is expected to be a means of instilling positive values in society for the achievement of positive common goals.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhira Putri
Abstrak :
Bencana alam didefinisikan sebagai sebuah peristiwa alam yang mengancam keselamatan baik individu maupun masyarakat yang ikut terkena dampak dari kejadian tersebut. Tindakan perilaku prososial biasa dikaitkan sebagai tindakan sukarela dalam bentuk pertolongan yang dapat memberi manfaat bagi orang lain dan diharapkan muncul ketika bencana alam terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana rasa empati dan kolektivisme dapat berperan dalam menentukan keberadaan perilaku prososial dalam bencana alam. Studi ini memprediksikan bahwa rasa empati dan kolektivisme akan berkorelasi positif terhadap pertolongan bencana alam. Partisipan dalam penelitian ini adalah convenience sample yang direkrut secara online melalui platform media sosial, email, dan pesan pribadi. Hasil dari studi ini menemukan adanya korelasi positif antara rasa empati dan kolektivisme dengan perilaku prososial ketika bencana alam. Aktifitas berupa kampanye yang dilakukan melalui media sosial serta adanya peran edukasi dapat membantu dalam upaya membangun rasa kebersamaan di dalam komunitas serta meningkatkan rasa keinginan setiap individu dalam melakukan perilaku prososial. ......Natural disaster is defined as an event of nature which threatens the safety of both individuals and the community affected by the occurrence. The action of prosocial behavior, a voluntary act of helping that benefit others is closely linked and expected to occur during the unfolding tragedy. The study aimed to examine how both empathy and collectivism play a role in determining the presence of prosocial behavior during natural disasters. The study hypothesised that both empathy and collectivism will be positively correlated during natural disaster helping. Participants in the study were convenience sample from the community that was recruited online through social media platforms, email, and personal messages. The study found prosocial behavior between natural disaster to be positively correlated with empathy and collectivism. In promoting prosocial behavior, campaigns supported by the media as well as education can help establish a sense of community and increase the likelihood of individuals to engage in prosocial behavior.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reandra Fasdityo Poerba
Abstrak :
Perbedaan budaya ditemukan memiliki pengaruh dalam perilaku kemalasan sosial. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan individu dari budaya individualistis, individu dari budaya kolektivis lebih cenderung mengalami masalah sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji apakah kemalasan sosial terjadi ketika individu dari budaya kolektivis bekerja dengan individu dari budaya individualistis. Dengan menggunakan eksperimen dengan desain 3-tingkat antar kelompok, 36 mahasiswa Universitas Queensland (22 orang berasal dari Indonesia & 14 orang dari Australia) secara acak ditugaskan untuk bekerja secara individu (koaktif), dalam kelompok tiga orang Indonesia (orang Indonesia dianggap memiliki budaya kolektif), atau dalam kelompok yang terdiri dari satu orang Indonesia dan dua orang Australia (campuran kolektif). Secara total, dalam penelitian ini ada empat kelompok individu, empat kelompok kolektif Indonesia, dan empat kelompok kolektif campuran. Mereka diminta untuk menuliskan nama-nama negara sebanyak mungkin di selembar kertas, di mana skor mereka digunakan untuk mengukur kemalasan sosial (variabel dependen). Hasil pengujian teknik statistik dengan menggunakan independent sample t-test menemukan bahwa peserta dalam kondisi koaktif secara signifikan menuliskan lebih banyak negara dibandingkan dengan peserta dalam kondisi kolektif. Selain itu, ditemukan pula bahwa ada perbedaan yang tidak signifikan antara peserta dalam kondisi kolektif Indonesia dan peserta dalam kondisi kolektif campuran. Hal ini  menunjukan bahwa kemalasan sosial lebih banyak terjadi dalam kerja kelompok, dan bahwa nilai-nilai budaya tidak mempengaruhi kemalasan sosial. Untuk penelitian lebih lanjut, perbaikan dalam hal  metode penelitian harus dilakukan, misalnya dengan  menghindari menempatkan peserta yang akrab dalam kelompok yang sama, menguji peserta dari negara kolektivis yang berbeda, menganalisa kepribadian peserta yang berbeda-beda, dan membuat tugas agar tidak menarik.
Cultural differences have been found to have an influence in the behaviour of social loafing. Previous research indicates that compared to individuals from individualistic cultures, individuals from collectivist cultures are more likely to do social loafing. This study objective is to examine whether social loafing occurs when individuals from collectivist culture work with individuals from individualist culture. Using experimental with 3-level between groups design, 36 University of Queensland students (22 Indonesians & 14 Australians) were randomly assigned to either work individually (coactive), in groups of three Indonesians (collective Indonesians), or in groups of one Indonesian and two Australians (collective mixed). In total, there were four groups of individuals, four groups of collective Indonesian, and four groups of collective mixed. They were required to list as many countries as they could on a piece of paper, where their scores were used to measure social loafing (dependent variable). Independent-groups t-tests revealed that participants in the coactive condition listed significantly more countries compared to participants in the collective condition. It was also revealed that there was a non-significant difference between participants in the collective Indonesian condition and participants in the collective mixed condition. This means that social loafing occurred more in group work, and that cultural values did not influence social loafing. Improvements regarding methodological issues have been recommended. Future research should avoid putting familiar participants in the same group, test participants from several collectivist countries, analyse the different personalities within participants, and make the task uninteresting.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This study investigated how managers in Korea and the U.S.A, representing collectivistic and individualistic cultures respectively, differ in their behavioral intentions to take certain actions after their groups have their eta failed to achieve the goals. Based on previous research, it was predicted would take that Korean managers, in contrast with the US managers, would take more responsibility for group failure. A field simulation more persona p methodology was used to test the hypothesized relationships. A simulated incident in a incident of group failure was presented to practicing managers in the subjects were asked Io indicate their behavioral questionnaire. Then intentions. A study of 165 managers suggested that there were cultural differences in managerial responses to group failure. As hypothesized, Korean managers were more likely to claim personal responsibility for group failure, relative to the US managers.
Journal of Population, 10 ( 2) 2004 : 79-88, 2004
JOPO-10-2-2004-79
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>