Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tinambunan, Iriawan Rembak
Abstrak :
[ABSTRAK
Gangguan bipolar dikenal memiliki kaitan dengan berbagai komorbiditas klinis yang memengaruhi pekerjaan, kehidupan berkeluarga, dan fungsi interpersonal. Duapertiga pasien dengan gangguan bipolar memiliki komorbid yang akan memperburuk luaran gangguan bipolar dan dapat menganggu penatalaksanaan terhadap penyakitnya. Belum ada penelitian yang menggambarkan frekuensi komorbiditas fisik yang terjadi pada penderita bipolar di Indonesia. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi sebagai rumah sakit jiwa tertua di Indonesia juga belum memiliki data mengenai jenis dan frekuensi komorbid fisik, mengingat bahwa rumah sakit ini juga menangani rawat inap umum di samping rawat inap psikiatri Metode: Penelitian menggunakan rancangan potong lintang pada 100 orang dengan Gangguan Bipolar di Poliklinik Jiwa Dewasa dan Bangsal Psikiatri R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Penelitian ini menggunakan instrument Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders untuk menentukan Gangguan Bipolar, dan kriteria diagnostik sepuluh komorbid fisik yang mengacu pada kriteria diagnostik masing-masing komorbid fisik. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna antara umur dengan terjadinya komorbid fisik yaitu p= 0.001(p di bawah 0.005). Pada analisis tambahan didapatkan adanya hubungan bermakna antara pemberian obat polifarmasi/monoterapi dengan terjadinya komobid fisik terbanyak yakni hipertensi (nilai p= 0,0001). Pada sepuluh komorbid fisik yang dinilai, migrain, hipertensi dan dermatitis merupakan yang paling banyak. Simpulan Hipertensi, migrain dan dermatitis merupakan tiga besar komorbid fisik di R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Terdapat hubungan bermakna antara umur dengan terjadinya komorbid fisik. Pemberian obat polifarmasi/monoterapi juga bermakna dalam terjadinya hipertensi. Diperlukan kewaspadaan psikiater dalam mengawasi terjadinya komorbid fisik pada gangguan bipolar di layanan psikiatri.
ABSTRACT
Bipolar disorders are known to cause various clinical comorbidity that may affect work, family and interpersonal function. Two third of bipolar disorder have comorbidities that may worsen the outcome of bipolar itself and interfere with it's therapy. There has not been sufficient study about physical comorbidities in bipolar in Indonesia. As the oldest psychiatric hospital in Indonesia that treats physical and psychiatric inpatients, Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital still lacks data concerning types and frequencies of physical comorbidities. Method: This research uses cross-sectional design from 100 people with bipolar disorder at Psychiatric Clinic and Psychiatric Ward at Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Hospital. This research also uses the Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders to ensure the bipolar diagnosis, and criteria diagnostic for ten physical comorbidities from each of their field. Result: There is a significant relationship in this research between age and physical comorbidities p=0.001 (p below 0,005). In the additional analysis, there are significant relationship in this research between polypharmacy / monotherapy and hypertension (p=0,0001). Migraine, hypertension, and dermatitis were the top three physical comorbidities in this research. Conclusion: Hypertension, migraine and dermatitis are the top three in our physical comorbidities in Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital. Age has a significant relationship with physical comorbidities. Polipharmacy and monotherapy also has significances in hypertension. Therefore psychiatrist must be aware about the possibility of physical comorbidity in the psychiatric care, Bipolar disorders are known to cause various clinical comorbidity that may affect work, family and interpersonal function. Two third of bipolar disorder have comorbidities that may worsen the outcome of bipolar itself and interfere with it’s therapy. There has not been sufficient study about physical comorbidities in bipolar in Indonesia. As the oldest psychiatric hospital in Indonesia that treats physical and psychiatric inpatients, Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital still lacks data concerning types and frequencies of physical comorbidities. Method: This research uses cross-sectional design from 100 people with bipolar disorder at Psychiatric Clinic and Psychiatric Ward at Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Hospital. This research also uses the Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders to ensure the bipolar diagnosis, and criteria diagnostic for ten physical comorbidities from each of their field. Result: There is a significant relationship in this research between age and physical comorbidities p=0.001 (p below 0,005). In the additional analysis, there are significant relationship in this research between polypharmacy / monotherapy and hypertension (p=0,0001). Migraine, hypertension, and dermatitis were the top three physical comorbidities in this research. Conclusion: Hypertension, migraine and dermatitis are the top three in our physical comorbidities in Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital. Age has a significant relationship with physical comorbidities. Polipharmacy and monotherapy also has significances in hypertension. Therefore psychiatrist must be aware about the possibility of physical comorbidity in the psychiatric care]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizatunnisa
Abstrak :
Angka kejadian kasus DBD masih tinggi setiap tahunnya meskipun jumlah kasus kematiannya cenderung menurun, namun DBD menyebabkan gejala penyakit yang lebih berat dan sulit penanganannya bila telah menjadi koinfeksi bagi virus COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui sebaran kejadian kasus DBD Kota Palembang dan menganalisa kewaspadaan sebelum dan selama masa pandemi COVID-19. Metode penelitian kualitatif desktiptif dengan teknik wawancara mendalam terhadap 3 informan, serta melakukan telaah dokumen dari instansi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Kesehatan Kota Palembang, dan Puskesmas terkait. Hasil menunjukkan Kejadian DBD di Kota Palembang sebelum masa pandemi COVID- 19 pada Tahun 2018 memiliki nilai IR 39,06 per 100.000 penduduk hal ini meningkat di tahun 2019 mencapai 41,91 per 100.000 penduduk, namun angka ini tidak melebihi target kejadian DBD yaitu 49 per 100.000 penduduk. Sedangkan kejadian DBD di Kota Palembang selama masa pandemi COVID-19 pada tahun 2020 mencapai 26,07 per 100.000 penduduk, angka ini tidak melebihi target kejadian DBD yaitu 49 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2020 semua kecamatan di kota Palembang tidak ada yang melebihi target kejadian DBD, hal ini menunjukkan bahwa selama masa pandemi COVID-19 terjadinya penurunan kasus pada setiap kecamatan di Kota Palembang. Tingkat kewaspadaan pada tahun 2018-2019 dalam kategori baik sekali, sedangkan tahun 2020 dalam kategori cukup. Berdasarkan Analisa terhadap kejadian DBD kota Palembang dapat disimpulkan bahwa terjadinya penurunan kasus DBD selama masa pandemi COVID-19 dibandingkan sebelum masa pandemi COVID-19, karena pada masa pandemi COVID-19 adanya peraturan yang ketat yaitu PSBB, dan kewaspadaan petugas terhadap penyakit DBD menjadi teralihkan karena lebih mementingkan penurunan kasus COVID-19. ......The incidence of DHF is still high every year, although the number of cases of death tends to decrease. DHF causes more severe symptoms of the disease and is treated if it has become co-infected with the COVID-19 virus. This study aims to determine the distribution of cases of dengue fever in Palembang City and analyze vigilance before and during the COVID-19 pandemic. A descriptive qualitative research method with in-depth interview techniques with 3 informants was used, as well as reviewing documents from the Directorate for Prevention and Control of Vector Infectious Diseases and Zoonoses, South Sumatra Provincial Health Office, Palembang City Health Office, and related public health centers. The results show that the incidence of DHF in Palembang City before the COVID-19 pandemic in 2018 had an IR value of 39.06 per 100,000 population, this fact increased in 2019 reaching 41.91 per 100,000 population, but this figure did not exceed the target of DHF incidence of 49 per 100,000 population. 100,000 inhabitants. While the incidence of DHF in Palembang City during the COVID-19 pandemic in 2020 reached 26.07 per 100,000 population, this figure did not exceed the target of DHF incidence of 49 per 100,000 population. In 2020, none of the sub-districts in the city of Palembang exceeded the target for the incidence of dengue, this issue shows that during the COVID-19 pandemic there was a decrease in cases in every sub-district in the city of Palembang. The level of awareness in 2018-2019 was in the very good category, in 2020 it was in the moderate category. Based on the analysis of the incidence of dengue fever in Palembang, it can be ensured that there is a decrease in dengue cases during the COVID-19 pandemic compared to before the COVID-19 pandemic, because during the COVID-19 pandemic There were strict regulations, namely PSBB, and Officers' awareness of dengue has been diverted because they are more concerned with reducing COVID-19 cases
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaerul Yani
Abstrak :
ABSTRAK
Jumlah pengguna internet di Indonesia diproyeksikan mencapai 175 juta orang pada tahun 2019, atau sekitar 65,3% dari total 268 juta penduduk. Media sosial telah dieksploitasi untuk penyebarluasan hoax, hate speech dan sentimen SARA. Penyebarluasan hoax melalui media sosial ini cenderung tidak mempertimbangkan dampak harmoni sosial yang ditimbulkan. Penyebarluasan konten negatif seperti hoax di media sosial semakin masif karena masyarakat di era post-truth lebih mudah menerima sentimen personal seperti agama dan ras, dibandingkan fakta. Mewabahnya hoax juga turut dipengaruhi oleh ketidakjelasan regulasi dan efektivitas penegakan hukum, yang membuat pelaku hoax sulit dilacak dan dihukum dengan sanksi yang kurang memberikan efek jera. Apalagi penyebarluasan hoax menjadi semakin sulit dicegah karena minimnya literasi media di tengah masyarakat Indonesia. Pencegahan hoax di media sosial harus berangkat dari perspektif Padnas, dengan diiringi oleh kemampuan untuk melakukan deteksi dini dan cegah dini. Selain itu segenap komponen bangsa juga harus memiliki keyakinan atas ideologi bangsa dan nasionalisme yang kukuh sehingga terbangun kesamaan pemahaman bahwa penyebarluasan akan dapat merusak harmoni sosial. Pencegahan hoax di media sosial menjadi suatu keniscayaan, sebagai wujud dari konsepsi Kewaspadaan Nasional. Hal ini harus dibangun melalui kemampuan untuk mendeteksi bahwa suatu informasi adalah hoax, mencegah penyebarluasannya dan memiliki pemahaman bahwa dampak hoax di media sosial akan berimplikasi terhadap nasionalisme dan keutuhan bangsa.
Jakarta : Biro Humas Settama Lemhannas RI , 2019
321 JKLHN 40 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kharisma Muffti Pratama
Abstrak :
Beberapa kecelakaan besar di anjungan lepas pantai disebabkan oleh adanya kurangnya kewaspadaan dan kejadian kelelahan yang dialami oleh pekerja. Kelelahan dan kekurangwaspadaan dalam beberapa literatur disebabkan oleh kurangnya kualitas dan kuantitas tidur yang baik. Kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi oleh sleep hygiene yang dilakukan oleh pekerja, dan juga dipengaruhi oleh kondisi akomodasi dan shift kerja yang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kuantitas dan kualitas tidur, hubungan sleep hygiene dengan kualitas dan kuantitas tidur, serta untuk melihat hubungan antara kualitas tidur dengan aspek kewaspadaan dan kelalahan yang dialami pekerja. Penelitian dilakukan di anjungan lepas pantai PT. X, dengan responden kuesioner sebanyak 24 pekerja, dan pemakai alat aktigrafi sebanyak 22 pekerja. Pengambilan data aktigrafi dilakukan selama 14 hari kerja dan dibedakan menjadi tiga kelompok shift yang berbeda. Dari PSQI didapatkan 63,1% responden memiliki kualitas tidur yang buruk dan 36,9% responden miliki kualitas tidur yang baik. Durasi tidur rata-rata terendah berdasarkan pengambilan data dengan perangkat aktigrafi diperoleh pada shift malam (300 menit), sedangkan durasi tidur tertinggi diperoleh pekerja non shift (358 menit). Data aktigrafi menunjukkan bahwa durasi tidur rata-rata pekerja PT. X menggunakan HVAC A lebih panjang daripada menggunakan HVAC B. Terdapat 59,5% responden mengalami normal fatigue dan 40,5% responden mengalami mild fatigue. Hampir seluruh responden memiliki sleep hygiene yang baik (95,2%) dan tidak ada hubungan antara sleep hygiene dengan PSQI/Kualitas Tidur. Tidak ada perbedaan yang signifikan kewaspadaan saat bekerja antara pekerja dengan kualitas tidur baik dan pekerja dengan kualitas tidur buruk (p-value : 0,466). Dan tidak terdapat hubungan antara Kualitas Tidur dengan kondisi kelelahan pekerja (p-value : 0,062). ......Some major accidents on offshore platforms are caused by a lack of awareness and fatigue experienced by workers. Fatigue and lack of awareness in some literature is caused by a lack of good quality and quantity of sleep. The quality and quantity of sleep is affected by the sleep hygiene practiced by workers, the conditions of accommodation and work shifts performed. This study aims to observe of the quantity and quality of sleep, the relationship between sleep hygiene and the quality and quantity of sleep, and to observe the relationship between sleep quality and the aspects of alertness and fatigue experienced by workers. The research was conducted at the offshore platform of PT. X, with 24 workers responding to the questionnaire, and 22 workers using actigraphy tools. Actigraphic data collection was carried out for 14 working days and divided into three different shift groups. From the PSQI 63.1% of respondents had poor sleep quality and 36.9% of respondents had good sleep quality. The lowest average sleep duration based on data collection with actigraphic devices was obtained during the night shift (300 minutes), while the highest sleep duration was obtained by non-shift workers (358 minutes). Actigraphy data shows that the average sleep duration with HVAC A longer than using HVAC B. There were 59.5% of respondents experiencing normal fatigue and 40.5% of respondents experiencing mild fatigue. Almost all respondents had good sleep hygiene (95.2%) and there was no relationship between sleep hygiene and sleep quality. There was no relationship between sleep quality and worker alertness (p-value:0,466). And there is no relationship between sleep quality and worker fatigue (p-value: 0.062).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Mulia Sari
Abstrak :
Terbatasnya waktu respon, penurunan daya tahan tubuh, serta banyaknya prosedur invasif yang dilakukan perawat kepada pasien menjadi penyebab tingginya risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di instalasi gawat darurat dan ruang perawatan intensif. Insiden infeksi terkait pelayanan kesehatan dapat dicegah dan dihindari melalui penerapan kepatuhan kewaspadaan standar. Namun, tingkat kepatuhan kewaspadaan standar pada perawat masih tergolong rendah. Perilaku kepatuhan kewaspadaan standar pada perawat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor demografi, predisposisi, pemungkin, dan penguat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan kewaspadaan standar pada perawat. Desain riset menggunakan deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini melibatkan 100 perawat ruang perawatan intensif dan IGD yang dipilih dengan menggunakan metode convenience sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Nilai kepatuhan kewaspadaan standar perawat relatif cukup rendah yaitu sebesar 54.66 (SD = 4.68) atau sekitar 67.89 persen dari total nilai kepatuhan tertinggi. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa usia (p = 0.939), lama bekerja (p = 0.564), jenis kelamin (p = 0.064), tingkat pendidikan (p = 0.870), unit kerja (p = 0.078), jenjang karir (p = 0.919), pelatihan (p = 0.065), pengetahuan (p = 0.137), sikap (p = 0.738), ketersediaan fasilitas (p = 0.810), standar prosedur operasional (p = 0.229), dan dukungan atasan (p = 0.436) tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hanya efikasi diri (p = 0.009) yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kepatuhan kewaspadaan standar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa efikasi diri merupakan faktor yang esensial untuk meningkatkan kepatuhan kewaspadaan standar. Hasil penelitian ini merekomendasikan rumah sakit untuk menyelenggarakan atau menggiatkan program atau aktivitas yang mampu meningkatkan efikasi diri perawat agar tingkat kepatuhan kewaspadaan standar perawat dapat meningkat. ......The limited response time, decreased immune system, and many invasive procedures performed by nurses to the patient are responsible for the high risk of healtcare-associated infections (HAIs) in the emergency and intensive care units. The incidence of HAIs can be prevented and avoided through compliance on standard precautions. However, the level of nurses compliance on standard precautions is still low. The compliance on standar precautions can be influenced by several factors, such as demographic, predisposing, enabling, and reinforcing factors. This study aimed to identify factors affecting nurses compliance on standard precautions.  This study used descriptive correlation with cross sectional approach. The study involved 100 intensive care and emergency care nurses who were selected using convenience sampling method. Data were collected using questionnaires. The study revealed that the mean score of nurses compliance on standard precaution was 54.66 (SD = 4.68) or 67.89 percent of the total correct score. The results of the study, furthermore, showed that there was no significant correlation between age (p = 0.939), working experience (p = 0.564), gender (p = 0.064), level of education (p = 0.870), working unit (p = 0.078), level of career (p = 0.919), training (p = 0.065), knowledge (p = 0.137), attitude (p = 0.738), facility (p = 0.810), standard operational procedure (p = 0.229), managerial support (p = 0.436) with standard precaution compliance. Only self-efficacy showed significant correlation with standard precaution compliance (p = 0.009). The study concluded that self- efficacy could increase nurses compliance on standard precautions. The results of the study recommended the hospitals conducting programs or activities that may enhance nurses efficacy, because it can improve nurses compliance on standar precautions.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Amarta
Abstrak :
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (Permenkes RI, 2016). High-alert medication adalah obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan obat yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD). Kelompok obat yang termasuk high-alert diantaranya adalah obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA). Dispensing obat-obatan high alert perlu dilakukan pengecekan ulang dan verifikasi oleh staff farmasi lainnya untuk meminimalisir risiko kesalahan pemberian obat ke pasien. Faktor risiko yang mungkin terjadi saat melakukan dispensing obat-obatan high alert diantaranya adalah rute administrasi, kesalahan dalam preparasi, kesalahan dalam memahami pesanan, kesalahan dosis yang diberikan, kesalahan obat yang diberikan, dan penandaan yang ambigu (Ministry of Health Malaysia, 2020). Berdasarkan observasi pengelolaan obat-obatan high alert di depo rawat inap dan rawat jalan RSUI dapat disimpulkan bahwa penyimpanan dan penyiapan obat-obatan high alert sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. ...... Pharmacy Installation is a functional implementing unit that organizes all pharmaceutical service activities in the Hospital. Pharmaceutical Service Standards are benchmarks used as guidelines for pharmaceutical personnel in administering pharmaceutical services (Permenkes RI, 2016). High-alert medications are drugs that must be watched out for because they often cause serious mistakes/errors (sentinel events) and drugs that have a high risk of causing unwanted drug reactions (ROTD). The drug group that includes high-alert includes drugs that look alike and sound similar (NORUM, or Look Alike Sound Alike/LASA). Dispensing of high alert medicines needs to be double-checked and verified by other pharmacy staff to minimize the risk of drug administration errors to patients. Risk factors that may occur when dispensing high alert drugs include routes of administration, errors in preparation, errors in understanding orders, dosage errors given, medication errors administered, and ambiguous labeling (Ministry of Health Malaysia, 2020). Based on observations of the management of high alert medicines at the RSUI inpatient and outpatient depots, it can be concluded that the storage and preparation of high alert medicines are in accordance with applicable regulations.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Triyanto Rusli
Abstrak :
Pendahuluan: Penerapan kewaspadaan standar telah menjadi tantangan besar bagi petugas kesehatan, terutama di negara-negara berkembang, membahayakan keselamatan mereka dan meningkatkan paparan mereka terhadap patogen terkait darah. Mempertimbangkan hal ini, sebuah penelitian dilakukan pada ketidakpatuhan perawat terhadap praktik kewaspadaan standar dengan pengamatan langsung terhadap perilaku perawat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat terhadap praktik SP. Metode: Sebuah studi cross-sectional dilakukan pada 120 perawat yang bekerja di sebuah rumah sakit di Palembang. Komponen Health Belief Model dari subjek dicatat melalui kuesioner. Formulir observasi 12 poin menilai kepatuhan SP perawat. Model regresi logistik ganda digunakan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang terkait dengan kepatuhan perawat. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa 56,7% dari peserta memiliki kepatuhan yang baik meskipun lima momen kebersihan tangan perlu ditingkatkan. Studi ini mengungkapkan bahwa proporsi perawat yang bekerja di ruang operasi dan ruang gawat darurat lebih besar daripada proporsi yang bekerja di bangsal lain dalam hal kepatuhan terhadap kewaspadaan standar(OR=2,57, 95% IK 1,51-4,36). Proporsi perawat yang telah menerima pelatihan juga menunjukkan proporsi yang lebih besar dalam kepatuhan terhadap kewaspadaan standar dari mereka yang belum dilatih (OR=2,70, 95% IK 1,07-6.79). Kesimpulan: Perilaku perawat terhadap SP secara signifikan terkait dengan kecukupan unit pelatihan dan kerja. Disarankan bahwa praktik SP juga dipengaruhi oleh faktor pendukung dan norma subjektif. Pelatihan perawat yang memadai, penyediaan peralatan pencegahan infeksi, dan penilaian pajanan pekerjaan perlu diperkenalkan. ......Introduction: The application of standard precautions (SPs) had become a significant challenge for healthcare workers, especially in developing countries, endangering their safety and increasing their exposure to blood-related pathogens. Objective: This study was aimed at exploring the factors related to nurses‟ compliance with the practice of SP. Methods: A cross-sectional study was conducted on 120 nurses working at a hospital in Palembang. Health Belief Model components of the subjects were recorded through questionnaires. A 12-point observation form assessed the nurses‟ SP compliance. Multiple logistic regression models were used to explore factors associated with nurses‟ compliance. Results: The results showed that 56,7% of participants had good compliance, although the five moments of hand hygiene was still needed to be improved. The study revealed that the proportion of the operating room and emergency room nurses who complied to the SPs was larger than the proportion of those who work at the other wards(OR=2.57, 95% CI 1.51-4.36). The proportion of nurses who had received training also showed a larger proportion in compliance with SPs than those who had not been trained (OR=2.70, 95% CI 1.07-6.79). Conclusion: Nurses‟ behavior to SP was significantly associated with the adequacy of the training and work unit. It is suggested that the practice of SP was also influenced by enabling factors and subjective norms. Adequate training of nurses, provision of infection prevention equipment, and assessment of occupational exposures need to be introduced.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Andriyani Pratamawati
Abstrak :
Program pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue (DBD) telah berlangsung sekitar 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kema- tian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87% pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Bahkan, Indonesia men- duduki urutan tertinggi kasus DBD di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada tahun 2010. Salah satu faktor belum efektifnya pencegahan DBD di Indonesia adalah masih lemahnya sistem kewas- padaan dini. Peran juru pantau jentik (jumantik) sangat penting dalam sis- tem kewaspadaan dini mewabahnya DBD karena berfungsi untuk meman- tau keberadaan dan menghambat perkembangan awal dari vektor penular DBD. Seiring masih tingginya angka kasus DBD di Indonesia, muncul per- tanyaan bagaimana peran jumantik dalam sistem kewaspadaan dini DBD selama ini di Indonesia. Artikel ini mencoba menelaah masalah tersebut berdasarkan tinjauan pustaka. Secara umum, peran jumantik dinilai cukup berhasil dalam pencegahan DBD, namun terdapat beberapa hal yang per- lu menjadi bahan evaluasi.

Programs of prevention and eradication of dengue hemorrhagic fever (DHF) has been around 43 years and managed to reduce mortality from 41,3% in 1968 to 0,87% in 2010, but has not managed to reduce morbidity. Indonesia even ranked the highest of dengue cases in Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) by the year 2010. One factor that made has not been effective dengue prevention in Indonesia is the early warning system is still weak. Jumantik role is very important in the early warning system outbreaks of dengue hemorrhagic fever because it serves to moni- tor the presence and inhibit the early development of vector-borne dengue fever. During the high number of dengue cases in Indonesia, question rous- es how jumantik role in the dengue hemorrhagic fever early warning sys- tem so far in Indonesia. This article takes a closer look based on a litera- ture review. In general, the role of jumantik considered quite successful in preventing dengue hemorrhagic fever early warning system but neverthe- less there are things that need to be evaluated.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, 2012
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Pristiana Mulya
Abstrak :
ABSTRAK
Merujuk data dari Mabes Polri ada 5 daerah yang masuk kategori rawan yaitu Jawa barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan barat dan Papua, Dari kelimanya, hanya Papua yang indikator kerawanannya bebas dari persoalan hoax dan SARA. Halhal seperti inilah yang harusnya perlu diwaspadai sehingga ke depan, dalam proses penyelenggaraan Pemilu baik Pilkada serentak 2018 dan Pileg dan Pilpres 2019. Penulis membahas dalam tulisan ini tentang pentingnya mewaspadai dampak penggunaan media sosial dalam tahun politik 2018-2019 dan upaya yang dapat dilakukan guna terjaganya keamanan yang kondusif.
Jakarta: Biro humas settama lemhanas RI, 2018
321 JKLHN 36 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Farida D. Andayani
Abstrak :
Gizi adalah masukan vital dalam pengembangan sumberdaya manusia. Prevolensi gizi kurang di Kabupaten Bogor tahun 2005 masih tinggi, yaitu 15,3 persen. Di UPID Puskesmas Kecamatan Cileungsi tahun 2005 ditemukan 1170 balita gizi kurang (9,1 %) dan 269 (1,3 %) balita gizi buruk. Jika dibandingkan dengan tahun 2004, jumlah kasus balita gizi buruk mengalami kenaikan yaitu dari 0,8% menjadi 1,3% . Adanya peningkatan status gizi buruk tersebut antara lain disebabkan penanganan gizi buruk belum cukup dilaksanakan secara menyeluruh dengan keterlibatan penuh dari link sektor. sehingga dapat, dikatakan setiap hari terjadi KLB Gizi di wilayah tersebut. Hal ini perlu sekali mendapat perhatian dari semua pihak terkait dan menempatkan Sistem Kewaspadaan Dini KLB Gizi sebagai kegiatan· yang penting dilaksanakan secara berkesinambungan. Dalam pelaksanaannya,. surveilance gizi didukung sistem infonnasi yaitu Sistem Kewaspadaan Dini KLB Gizi yang telah dimiliki oleh setiap puskesmas tingkat kecamatan di Kabupaten Bogor, tetapi belum dioperasikan secara maksimal karena masih ditemui kendala dalam pelaksanaannya. Kendala tersebut diantaranya adalah sulitnya melengkapi input data karena memerlukan koordinasi lintas sektor, tidak terscdianya basis data' untuk penelusuran kasus, pemanfaatan komputer belum optimal, ketepatan waktu pengiriman dan kelengkapan laporan rendah. Untuk itu perlu dikembangkannya sistem informasi SKD KLB Gizi dcngan basis pelayanan kesehatan dasar, yaitu puskesmas, yang dilengkapi dengan fasilitas basis data di Kecamatan Cileungsi. Metodologi yang digunakan adalah operasional research melalui pengamatan sistem yang sudah berjalan selama ini dengan berdasarkan siklus hidup pengembangan sistem yang terdiri dan tahap perencanaan, analisis, perancangan dan ujicoba sistem. Pengujian sistem hanya dilakukan di laboratorium dengan menggunakan data sampel. Pengumpulan data dan informasi melalui wawancara, telaah dokumen dan observasi. Unit kerja. yang menjadi obyek penelitian adalah UPTD Puskesmas Kecamatan CHeungsi. beserta dua UPF puskesmas dan 3 posyandu. Sebagai hasil dari penelitian ini adalah diperolehnya prototipe Sistem informasi SKD KLB Gizi yang dihampkan dapet effektif dan effisien dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan. Informasi yang diperoleh akan dirancang agar benar -benar relevan; cepat dan tepat serta dapat lebih bermanfaat, terutama untuk kepentingan program gizi pada umumnya, dan surveilance gizi pada khususnya, sehingga dapat tercapai optimalisasi pemantauan kewaspadaan gizi di wilayah tersebut. Agar pelaksanaan sistem informasi ini dapat berjalan dcngan baik dan berkelanjutan. dibutuhkan komitmen dan kebijakan pendukung, termasuk mekanisme umpan balik dan pengawasan. ......Nutrient is the most important intake for the growth of human being. The nutrient deficiency in Bogor Municipal in 2005 is still high. that is 15.3 percent. It was found that there was 1770 infant suffering nutrient deficiency ( 9,1%) and 269 infant in poor nutrient intake ( 1,3 % ) at UPTD Public Health Medical Center Cileungsi sub district in 2005. Compared to 2004 the case of infant with nutrient deficiency had been increased from 0.8% to 1,3%. It seem that the increasing infant in nutrient deficiency was caused by lack of capacity and coordination among the government offices within the department of health. As a result of this condition is that almost everyday could be found KLB Nutrition as the main program and to be maintain continually. In fact, the computerized nutrient surveilance which is early warning system KLB nutrition is applied by every Public Health Medical Center in Bogor Municipal. However, the system was not conducted properly due to some difficulties, such as unavailable of data, unsuffience of base data for case tracking, unoptimize computer usage, incomplete report? and delay in reporting. Therefore, it is important to develop the information system on Early Warning system KLB Nutrition at Public Health Medical Center level supported by database facility at Cileungsi sub district. The method for this research was operational research by investigating the current system which was separated into three stages naming planning, analysis. and trial system. In the trial system the sample data was tested in the laboratorium. The data collection was done through interview, document study and observation. The research with conducted at UPTD Public Health Medical Center Cileungsi Sub distric. including two UPF Public Health Medical Centre and three Posyandu. The study results in the creation of prototype fur the information system on early warning system KLB nutrient. It is expected that the system could provide the data required effectively and efficiencively. The data needed could he more relevant, accurate and useful, particularly those related to the nutrient improvement program. In order the result to be useful it is important that the related government offices to be commit and to provide further supporting policy on feedback and control.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T32023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>