Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Purnomo
Abstrak :
ABSTRAK
Penetapan Karesidcnan Jambi ke dalam Propinsi Sumatera Tengah berdasarkan kcputusan sidang KN1 Daerah Sumatcra 18 April 1946 di Bukittinggi dan desentralisasi Sumatera Tengah. Kemudian, diberlakukannya Peraturan Pcmerintah No. 10 tahun 1948 dan Undang-Undang No. 15 tahun 1949 tanpa melihat perkembangan dan keinginan masyafakat Jambi serta faktor-faktor politis, sosiologis, ekonomis, historis dan adat-istiadat Semua itu dipandang oleh sebagian masyarakat Jambi telah memperkosa hak-hak demokrasi rakyat.

Pada akhimya, melahirkan pergolakan, pro kontra atau dualisme keinginan masyarakat. Masyarakat yang merasa dimgikan berupaya memisahkan daerah Jambi dari Sumatera Tengah ke Sumatera Selatan yang dipandang dari segi politis cocok dan sesuai dengan mereka (masyarakat Jambi). Kurangnya alat transportasi dan rusaknyajalan-jalan mengakibatkan sulitnya daerah Jambi berhubungan dbngan pusat propinsi di Medan dan Sub Propinsi Sumatera Tengah di Bukininggi. Keadaan ini ikut menumbuh kembangkan aliran-aliran dan usaha-usaha untuk memisahkan daerah Jambi dari Sumatera Tengah ke Sumatera Selatan.

Munculnya gerakan Fropedja 10 April 1954 yang mendapat dukungan dari kalangan outoritas dan partai-partai politik memberikan wacana bam bagi masyarakat Jambi. Pada akhimya, gerakan Fropedja yang semua mendapat tentangan daii H.P. Mcrbahari rnampu mengakhiri pro kontra atau dualisme kcinginan masyarakat itu dan membangun satu kckuatan bersama untuk menuntut tegaknya Daerah Tingkat I Propinsi Jambi.

Barangkat dari kesamaan pandangan atau aspirasi itulah, yang akhimya membawa mereka ke dalam Kongres Rakyat Jambi 15-18 Juni 1955. Konsekuensi dari kongres im melahirkan suatu badan yang bemama Badan Kongrcs Rakyat Djambi (BKRD). BKRD merupakan satu-satunya wadah perjuangan untuk memenuhi (mcnampung) aspirasi masyarakat Jambi. Begitu juga, BKRD Iahir sebagai cerminan kekuatan kualisisi dari scmua komponen atau kekuatan masyarakat yang ada, baik dari unsur organisasi massa dan pernuda, mantan pejuang, tokoh-tokoh masyarakat maupun partai-partai politik.

Tuntutan status daerah Jambi mcnjadi daerah otonomi setingkat propinsi itu, znenlpakan tuntutan atas ketidakadilan (pcrimbangan keuangan) dan upaya penyelesaian konflik (pcrimbangan kekuasaan). Karena dipandang dari segi geograiis, sosiolngis, politis dan ekonomi daerah Jambi telah dapat dan sudah selayaknya berotonomi sendiri setingkat propinsi. Karena itu, tuntutan rakyat jambi mempunyai dasar yang kuat dan tidak dapat dielakkan lagi baik dari aspek politis, ekonomis dan sosial.

Propinsi Jambi yang telah bertahun-tahun dipeljuangkan dan seiama itu tidak menjadi perhatian pemerintah pusah, akhimya lahir. Dilahirkannya dengan suatu cara yang luar biasa Dia lahir atas pemyataan rakyat Jambi sendiri. Kemudian diakui dan diresmikan Dewan Banteng, Suatu dcwan yang lahir di tengah-tengah masyarakat Sumatera Tengah. Begitu juga, propinsi Jambi lahir dalam suatu suasana dimana pemerintah pusat sedang sibuk menghadapi pertentangan-pertentangan dengan daerah-daerah yang merasa tidak puas dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, keuangan, pembangunan, kemasyarakatan atau angkatan perang.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charles P. R. Joseph
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1981
S16606
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Wibisono
Abstrak :
Dalam studi di banyak negara, dimensi regional dari pembangunan ekonomi mendapat perhatian yang serius. Hal ini umumnya berkaitan dengan masalah regional equality dan spatial distribution resources. Di Indonesia, sebagaimana di negara besar dunia ke-3 lainnya, daerah selalu mendapat perhatian khusus. Tak ada negara yang memiliki keragaman seperti Indonesia dalam ekologi, demografi, ekonomi, etnis, dan budaya. Begitu pula dalam aspek wilayah, tak ada negara yang menyamai Indonesia dalam hal keunikan geografi yang menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Persatuan nasional telah menjadi komponen utama negara sejak negara ini merintis kemerdekaannya. Demikian pentingnya hal ini sampai jargon persatuan nasional telah menjadi sesuatu yang klasik di Indonesia. Semua rezim yang berkuasa selalu menempatkan masalah persatuan nasional ini sebagai prioritas tertinggi.
2001
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Pramono Priyo Wibowo
Abstrak :
ABSTRAK
Pembangunan subsektor kehutanan lima tahun mendatang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, serta untuk menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman basil hutan bagi pembangunan industri.

Keinginan pemerintah di atas masih belum terpenuhi, karena dalam kurun 20 tahun pelaksanaan pengusahaan hutan melalui HPH, pembangunan subsektor ini masih ditekankan pada peningkatan produksi. Misi forest for people yang diobsesikan oleh para rimbawan masih sulit diwujudkan karena masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan obyek. Kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan bersifat "paternalistik" dan "sentralistik" diduga oleh banyak pihak sebagai penyebab lemahnya peran lembaga-lembaga lokal karena tidak memberi tempat bagi berkembangnya kelembagaan lokal. Penulis tertarik dan berusaha mempelajari pengembangan kelembagaan yang terjadi, serta kemudian mencoba mengetengahkan model pengembangan kelembagaan lokal yang efektif.

Melalui studi ini penulis ingin melanjutkan tradisi studi pengembangan kelembagaan yang sempat tenggelam, serta mencari alternatif model dan metode pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan permasalahan. Penulis percaya dengan apa yang dikatakan Uphoff dan Esman bahwa diperlukan adanya organisasi lokal untuk bisa mempercepat proses pembangunan di pedesaan. Adanya organisasi yang menjangkau sampai ke tingkat lokal, yang bertanggung jawab pada masyarakat lokal, dan yang melibatkan fungsi-fungsi pembangunan pedesaan, dapat mencapai tujuan-tujuan pembangunan pedesaan lebih sukses. Dengan kata lain, jika pembangunan subsektor kehutanan diintegrasikan dengan pembangunan pedesaan, maka tujuan pembangunan subsektor kehutanan akan semakin efektif dicapai dengan mengembangkan kelembagaan lokal. Apakah pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan sudah seperti itu? Ini merupakan pilihan, dan akan dipelajari efektivitasnya dalam dimensi-dimensi karakteristik hutan dan penggunanya, batasan-batasan hutan dan penggunanya, serta bagaimana distribusi biaya dan manfaatnya.

Upaya untuk mengembangkan kelembagaan lokal, penulis mengetengahkan pembangunan Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTI-Rakyat) tanaman Sungkai. Untuk pembahasan mengenai alternatif local institutional development, penulis menggunakan pendekatan Pembinaan Kapasitas Pembangunan Desa (The Rural Development Capacity-Building Approach) yang dikembangkan oleh Development Alternatives Inc. (DAI). Honadle mengidentifikasikan 7 (tujuh) elemen yang hares diperhatikan dalam upaya pengembangan kelembagaan lokal, yaitu: pembagian risiko diantara para klien dan penyedia jasa; keterlibatan para aktor pada berbagai level kegiatan; keberhasilan atau kemanfaatan yang ditunjukkan oleh teknologi atau perilaku yang baru atas yang lama; gaya operasi yang kolaboratif serta tindakan bersama; penekanan pada belajar; perangsang yang sesuai; dan menggunakan basis sumberdaya yang ada.

Hasil studi menunjukkan bahwa kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan memberi peran yang terlalu banyak kepada perusahaan HPH, termasuk diantaranya pecan-peran non-ekonomis yang berkaitan dengan kelestarian hutan. Sebagai swasta, perusahaan HPH terbukti cukup efektif mengusahakan hutan, mengeksploitasi hutan dan mengubahnya menjadi uang dan devisa pembangunan. Namun aktivitas-aktivitas non-ekonomis yang diperankan pengusaha HPH cenderung tidak berhasil. Gangguan terhadap kelestarian hutan tidak terjamin, kuantitas dan kualitas hutan terus-menerus merosot, dan distribusi manfaat dari pengusahaan tidak sesuai dan seimbang dengan biaya yang ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kebanyakan berkurang tingkat kesejahteraannya, karena peningkatan penghasilan hanya terjadi secara absolut. Sedangkan biaya hidup secara keseluruhan di sekitar lokasi pengusahaan hutan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan penghasilan mereka. Ini terutama karena semakin sulitnya warga masyarakat mengakses ke hutan, dan ikut memanfaatkan hasil hutan, meskipun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (sayur-sayuran, buah, getah karat liar, dsb.).

Sejak diundangkannya UU No.5/1967 dan kemudian dienforcement dengan UU No.511979, semakin membuat masyarakat lokal tidak memiliki posisi tawar untuk ikut menentukan bentuk dan mekanisme pengelolaan hutan. Lembaga-lembaga lokal yang dulu cukup menentukan dalam menjaga kelestarian fungsi hutan sudah tidak efektif lagi, dan partisipasi masyarakat semakin pasif. Kondisi ini yang kemudian mendorong penulis untuk mengetengahkan set-up kelembagaan yang lebih memberi kemungkinan bagi lembaga-lembaga lokal untuk berkembang dan (paling tidak) menjadi penentu bagi masa depan kehidupannya sendiri.

Melalui ide HTI-Rakyat, penulis bekerjasama dengan Kantor Kehutanan Rengat dan Tembilahan, berusaha memassalkan penanaman kayu Sungkai (peronema canescens jacks) yang selama ini lebih banyak tumbuh sebagai tanaman liar dan tidak memiliki nilai ekonomis. Ide semacam ini pernah dicoba, yaitu dengan pemassalan penanaman kayu Akasia (acacia mangium), Sengon (aibirium falcata), dll., namun kurang berhasil karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek teknis (kecocokan, dsb.). Ide inilah yang penulis ajukan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan efektivitas pembangunan subsektor kehutanan.

Pemassalan jenis Kayu Sungkai ini memiliki prospek yang cerah di masa mendatang untuk dipilih menjadi tanaman hutan rakyat, karena disamping memiliki fungsi konservasi, tanaman ini juga memiliki keuntungan marginal. Secara teknis, pemilihan jenis kayu Sungkai sebagai tanaman pokok pada hutan tanaman rakyat di lokasi penelitian mengingat beberapa karakteristik yang ada, seperti : kesesuaian dengan tempat tumbuh; jenis yang khas dengan keunggulan tertentu; riap volume yang cukup tinggi;. daur yang relatif rendah; serta jenis dan kualitas kayu sesuai dengan industri IPKH yang ada.

Secara ekonomis, hasil penghitungan tahun 1992 terhadap percobaan budidaya Kayu Sungkai ini menunjukkan adanya keuntungan yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, dengan biaya per hektar sebesar Rp 2.826.000,- dapat diperoleh hasil kayu senilai hampir Rp 16 juta dalam kurun waktu 15 tahun. Ini masih ditambah lagi dengan berbagai hasil tambahan, seperti di antaranya hasil kayu dari penjarangan pada tahun ke 8 serta hasil tumpang sari, dsb. Jelas, bahwa usaha penanaman kayu Sungkai sebagai hutan tanaman akan menguntungkan. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti: nilai akhir tanaman tidak dipengaruhi oleh adanya inflasi; produk ini tidak dapat disubtitusi; pertambahan nilai jual pasti; memiliki hasil antara, yaitu hasil dari kegiatan penjarangan; dan dapat dilakukan pula sistem tumpang sari yang akan memberikan hasil tambahan.

Dari segi kelembagaannya, dapat dikembangkan lebih jauh dengan cara di antaranya dengan menyerahkan pengelolaannya kepada kelompok-kelompok lokal yang terkait, seperti misalnya melalui semacam Kelompok Tani Hutan (KTH), dsb. Dalam penelitian, kegiatan belum sampai pada tahapan ini karena memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun demikan, mendasarkan pada pertimbangan yang diajukan oleh Honadle, usaha ini layak diterima, mengingat perimbangan antara cost dan benefit tidak lagi memberatkan masyarakat lokal. Disamping itu, dengan melibatkan langsung masyarakat lokal, maka estimasi terhadap kebutuhan kelangsungan ekologis cukup bisa dipertanggungjawabkan.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Hidayat
Abstrak :
Obyek wisata Taman Nasional Way Kambas merupakan salah satu obyek wisata di Propinsi Lampung yang memiliki potensi sumberdaya alam dan keanekaragaman jenis fauna langka dan jumlah pengunjung yang paling tinggi bila dibandingkan dengan kawasan konservasi lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah biaya perjalanan ke obyek wisata Way Kambas, biaya waktu, pendapatan individu, tingkat pendidikan dan waktu luang mempengaruhi jumlah permintaan kunjungan wisata ke Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur dengan menggunakan metode biaya perjalanan (Travel Cost Method). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda dengan menggunakan OLS, untuk menduga kesediaan membayar dan analisis biaya perjalanan (Travel Cost Analysis) dalam menghitung manfaat Wisata Taman Nasional Way Kambas. Hasil penelitian menunjukkan lima variabel berpengaruh terhadap jumlah permintaan pariwisata ke Taman Nasional Way Kambas yaitu biaya perjalanan, biaya waktu, pendapatan individu, pendidikan dan waktu luang. Distribusi manfaat biaya perjalanan terdiri dari biaya transportasi (48,67%), biaya akomodasi (2,1%), biaya konsumsi (27,6%), biaya sewa (7,79%), biaya tiket masuk (8,04%) dan biaya dokumentasi (5,81%). Penelitian ini merekomendasikan pengembangan obyek wisata Taman Nasional Way Kambas perlu ditingkatkan lagi selain dalam pengelolaan juga dalam pengoptimalan potensi yang dimiliki. ......Way Kambas National Park is one of the tourist destinations in Lampung province that has the beauty of natural resources and endangered fauna species diversity. It also has the highest number of visitors compared to other conservation areas. The objective of this study was to determine whether the travel cost to Way Kambas, time cost, individual income, educational level and leisure excursions affect the number of visit to the Way Kambas National Park in East Lampung regency by using the travel cost method. The analytical tool used in this study is multiple linear regression using OLS, to estimate willingness to pay and travel expenses (Travel Cost Analysis) in calculating the benefits of Way Kambas National Park. The results showed that five variables affect the amount of tourism demand to the Way Kambas National Park. The variables are the cost of travel, time costs, individual income, education level and leisure time. Distribution of travel costs benefits consist of transportation costs (48.67%), accommodation costs (2.1%), the cost of consumption (27.6%), rentals (7.79%), admission fee (8.04% ) and documentation fee (5.81%). The study recommends that the Way Kambas National Park need to be developed in terms of the management as well as in optimizing its potential.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T31091
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Buchari
Abstrak :
Untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pasca Sarjana FIS1P Universitas Indonesia, penulis melakukan penelitian dengan judul tersebut di atas. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan kendala upaya koperasi dalam memberdayakan masyarakat nelayan di Kelurahan Pasirawa, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian dilaksanakan dengan metoda Analisis Kualitatif, yaitu teknik yang dipergunakan untuk mengolah data yang terkumpul dalam bentuk narasi atau pemyataan-pernyataan tertulis dari berbagai sumber data. Untuk memperoleh data primer penulis mengambil 7 Informan penelitian dari unsur pengurus, unsur anggota koperasi biasa, anggota koperasi luar biasa, dan dari Dinas Koperasi Pidie, serta tokoh masyarakat yang dianggap relevan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data dikumpulkan dari Studi Kepustakaan, Wawancara dan Observasi. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Sejak didirikan pada tahun 1999 hingga memasuki tahun 2000, upaya Koperasi Samudra Pidie dalam memberdayakan masyarakat nelayan di Kelurahan Pasirawa, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat dari adanya perkembangan produksi ikan, kepemilikan perahu, peralatan penangkapan ikan pada tahun 1999, Laporan Neraca Keuangan Koperasi Samudra Pidie Per 31 Desember Tahun 2000, jumlah anggota aktif koperasi sebanyak 49 nelayan dan adanya usaha koperasi untuk mengurangi ketergantungan nelayan terhadap tengkulak melalui pemberian kredit, pemenuhan kebutuhan nelayan sehari-hari melalui unit toko kelontong serta pengelolaan TPI secara benar. Namun keberhasilan ini tidak berkesinambungan, karena pada tahun 2001 Koperasi Samudra Pidie tidak lagi mempunyai kegiatan usaha. 2. Keberhasilan upaya Koperasi Samudra Pidie dalam memberdayakan masyarakat nelayan di Kelurahan Pasirawa yang tidak berkesinambungan merupakan fenomena perkoperasian yang tidak hanya terjadi di Kelurahan Pasirawa, tetapi banyak juga terjadi di hampir seluruh Daerah Indonesia. Fenomena ini terbentuk oleh sebab adanya sejumlah kendala yang menyebabkan lembaga koperasi sulit mendapat kepercayaan masyarakat, sulit mengelola potensi usaha dan mengembangkan kepercayaan mitra kerja serta tidak mampu mengantisipasi persaingan usaha. 3. Kendala upaya lembaga Koperasi Samudra Pidie dalam memberdayakan masyarakat nelayan di Kelurahan Pasirawa adalah sebagai berikut : a. mentalitas para pengurus koperasi yang tidak jujur dan tidak terbuka dalam mengelola hal-hal yang penting untuk diketahui para anggota, terutama dalam hal keuangan. b. adanya dominasi sekelompok orang dalam koperasi yang menyebabkan asset dan manajemen koperasi dikuasai oleh sekelompok pengurus; dan c. komunikasi yang kurang efektif di antara para pengurus dan para anggota koperasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T 952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inayati
Abstrak :
Government's Fixed Assets should be manage prudently. it is because fixed asset plays a very important role in public service. Besides, Government's Fixed Assets have a very material value, so that imprudence in fixed assets management have a very high risk. Fixed Assets management included planning, stocking, repairing, and write off of fixed assets. Fixed assets management also held about fixed assets accounting. The main issues of this thesis is, how is the accountability of fixed assets accounting in Pemerintah Propinsi DKI Jakarta ? Accounting of fixed assets is the part of Government Accounting. Government Accounting as the administration or Public Finance included recording of revenue and public spending. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara and Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara regulated about Government Accounting. There ara two main goals of Government Accounting. Managenal Control and Accountability. Subject of Managerial control is using Government Accounting as the base of decision making process. While Accountability has three domains, Financial Accountability which teamed is Financial Statements, Operational Accountability -with the use of resources as a r, lain focus- and Fiscal Accountability that related to the budget conformity. Accountability not just focused on implementation of the laws or regulation. More than that, it's also about the use of resources effectively and efficiently. There are some problems in the implementation of :;ed assets management in Pemerintah Propinsi IaKI Jakarta. The problems are : (a) there is no regulation about assessment of fixed 4saets need, (b) i 1accurate factors in reporting of fixate assets. This mistakes aiiae from the official's misunderstanding and lack of control in day to day implementation. These problems influence The Financial Reports of Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. This problems also influence accountability of Pemerintah Propinsi DKI Jakarta's fixed assets accounting. It's difficult to reach Fiscal Accountability because inaccurately of fixed asset value in Balance Sheet released by Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. It's also not easy to achieve Operational Accountability criteria because the absence of assessment needs regulations. On the other hand, Fiscal Accountability relatively easy to reach because almost all of the process of fixed assets management formally has done as the regulation want. Generally, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta has a policy to increase the quality of accountability in fixed assets management. We can see this from the regulations that regulate this subjeta. The problems that arise more technically and cause of the lack of operational regulation that can be used as a guidance for the officials. The effort of Pemerintah Propinsi DKI Jakarta to make an Accounting Standard as a guidance in accounting practice, is a very good effort. This is a proactive step because National Standard Accounting for Government is not yet exist until now. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta is suggested to finished the Amounting Standard immediately. Also to make a regulations about assessment need of fixed assets that can be used as a guidance to implementation the regulation or rules. Control of accounting process also has to be a priority to prevent inaccurately of Financial Reporting, included Balance Sheet.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11922
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Kunanto BP
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengapa prevalensi status gizi (KKP) balita di dua propinsi paling timur yaitu propinsi Maluku dan Irian Jaya masih tinggi dan faktor apa yang berpengaruh. Untuk itu dilakukan studi analisis data sekunder Hasil Studi Prevalensi Defisiensi Vitamin A dan zat-zat gizi lainnya di wilayah Indonesia Timur. Secara umum analsis ini bertujuan untuk mendeskripsikan status gizi balita di propinsi Maluku dan Irian Jaya serta faktor-faktor yang berpengaruh (dominan) terhadap status gizi balita. Secara khusus analisis ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang hubungan karakteristik anak dan keluarga terhadap status gizi balita. Dari 3325 sampel yang tersedia dari sumber data, ternyata hanya 501 sampel yang memenuhi syarat untuk analisis. Hasil Analisis prevalensi status gizi didapatkan bahwa 27.9 persen anak balita menderita Gizi kurang dan 8.0 % menderita gizi buruk. Prevalensi gizi kurang terbesar dijumpai pada umur 6-23 bulan, sedangkan prevalensi gizi buruk terbanyak dijumpai pada umur 12-23 bulan.

Berdasarkan nilai rata-rata Z--score BB/U didapatkan suatu pola bahwa status gizi menurun mulai umur 3 bulan dan terhenti pada umur 11-13 bulan. Setelah itu tidak dijumpai adanya peningkatan status gizi. Dengan analisis bivariat "Piecewise Linear Regression" antara Z-score DD/U dan umur balita didapatkan bahwa umur 12 bulan merupakan perkiraan umur yang paling tepat dimana tidak terjadi penurunan status gizi (Z-score BB/U).

Uji-t perbedaan nilai Rata-rata prediktif Z--score dari hasil persamaan regresi "Pieceswise Linear Regression" tidak terbukti signifikan untuk variabel jenis kelamin, status perkiraan, dan pendidikan ayah, tetapi diperoleh perbedaan yang signifikan untuk variabel kondisi rumah pada umur 12-59 bulan, variabel jumlah balita pada umur 24-59 bulan dan variabel jumlah anggota keluarga pada umur 36-59 bulan, serta variabel sanitasi keluarga pada umur 12-59 bulan. Untuk variabel pendidikan ibu dijumpai perbedaan yang signifikan hanya pada umur 36 dan 48 bulan.

Analisis regresi ganda tidak terbukti adanya hubungan variabel independen yang signifikan dengan status gizi kecuali variabel umur. Namun memperhatikan besarnya nilai beta koefisien dari variabel independen diperkirakan variabel kondisi rumah, pendidikan ibu dan ayah, jenis kelamin, jumlah balita dan jumlah anggota keluarga serta sakit diare kemungkinan akan diperoleh hasil yang signifikan bila jumlah sampel diperbesar.

Dari hasil analisis di atas, maka program upaya untuk menurunkan prevalensi gizi kurang dan buruk di kedua propinsi perlu memprioritaskan sasaran program UPGK pada kelompok umur yang lebih dini (3-12 bulan) disertai peningkatan penyuluhan gizi yang lebih intensif dan menggunakan bahasa yang sederhana meliputi pemberian ASI, makanan pendamping ASI yang disesuaikan dengan pola makanan daerah setempat dan jenis serta ketersediaan pangan di daerah setempat, imunisasi serta kebersihan lingkungan (sanitasi). Selain itu program KB perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan. Pembangunan di sektor ekonomi dan pendidikan di kedua propinsi perlu ditingkatkan sebagai upaya penyediaan lapangan kerja yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan penduduk, karena upaya perbaikan gizi tanpa disertai perbaikan ekonomi merupakan upaya yang sia-sia. Penelitian ini menyarankan pula untuk dilakukan analisis yang mencakup seluruh propinsi IBT dan kemungkinan untuk menggunakan indek Antropometri yang lain seperti TB/U atau BB/TB.
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Anwar
Abstrak :
Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis mencoba membahas tentang Seleksi Pengisian Jabatan Kepala Sub Dinas Dinas Sosial Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pengisian jabatan, khususnya bentuk jabatan-jabatan Kepala Sub Dinas merupakan hal yang sangat panting dalam pembinaan dan pengembangan karir di lingkungan Dinas Sosial Propinsi DKI Jakarta. Hal terscbut disebabkan, karena jabatan Kepala Sub Dinas merupakan jabatan kunci (key pm-ififm) yang menjadi terminal penyampaian arus informasi dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Posisi mereka sangat penting, karena mereka harus mampu menjabarakan perintah atasan ke dalaln beberapa macam perintah dan arahan untuk dilaksanakan sccara rinci oleh para pejabat tingkat bawah. Namun dalam prosedur pengisian jabatan begjtu panting ini selama ini hanya mengacu pada Peraturan Pemenrintah RI Nomor 15 Tahun 1994 tanggal 18ApriI 1994 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural dan Keputusan Kepala Badan Administrasi Nomar 05 Tahun 1995 tanggal 15 Februari 1995 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, yang pada akhirnya melahirkan pcjabat yang tidak sesuai dengan tuntutan dan harapan jabatan di Dinas Sosial. Atau dapat dikatakan bahwa prosedur pengisian jabatan yang lama masih kurang mengukur aspek kompetensi dari calon pejabat. Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk mendapalkan cara yang efektif dalam mendapatkan calon pejabat Kepala Sub Dinas di Dinas Susial yang memiliki kemampuan yang memadai untuk mengisi jabaian sesuai dcngan tumutan jabalan dan manfaat yang ingin dicapai adalah adanya bahan pertimbangan untuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (BAPERJAKAT) dalam melaksanakan prosedur pengisian jabatan di lingkungan Dinas Sosial.
2001
T38410
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Manfaluthi
Abstrak :
Hingga aat ini, mayarakat masih memiliki persepi tentang lambatnya pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah. Di lain sisi, Pemerintah menganggap telah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Pada kasus pembuatan akta, yang ecara fisik hanyalah suatu penulisan pada blangko dengan tidak Iebih dari lima puluh kata, penyelesaian dalam waktu tujuh hari kerja akan terasa lambat, namun bagi pihak Kantor Catatan Sipil (KCS) penyelesaian akta dalam waktu tujuh hari kerja merupakan hal yang benar karena dalam penyelesaian akta, KCS telah menggunakan peraturan yang berlaku, yang menyatakan bahwa penyelesaian akta paling lambat tujuh han kerja (Keputusan Gubernur No.3 18 Tahun 1983). Dan kasus tersebut, ke dua pihak berada dalam posisi yang tidak dapat disaiahkan, karena masyarakat akan memandang penyelesaian akta teraebut menggunakan tolok ukur hasil fisik yang diperoleh, sedangkan KCS. melihat dari sisi telah melaksanakan peraturan yang berlaku. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan era perdagangan bebas?, dimana pada masa tersebut tingkat persaingan akan semakin tinggi dan kunci keberhasilan dalam persaingan adalah kecepatan. Padahal pihak Pemenntah juga akan memiliki peran dalam menghadapi persaingan yang ada, apakah Pemerintah tetap akan menggunakan acuan peraturan yang ada? Tidakkah sebaiknya dilakukan suatu kebijakssmaan baru yang dapat memenuhi tuntutan keadaan?. Kantor Catatan Sipil (KCS) sebagai salah satu instansi pemerintah merupakan instansi yang memberi pelayanan kepada masyarakat dalam bidang pencatatan sipil. Pencatatan sipil merupakan suatu catatan tentang keberadaan seseorang secara hukum sejak lahir (akta kelahiran) hingga orang tersebut meninggal (akta kematian). Dimana akta wajib dimiliki oleh penduduk, karena sifatnya yang mendasar itulah maka kajian atas sistem informasi pembuatan akta pada KCS dilakukan. Hingga saat ini, KCS masih menerapkan sistem pembuatan akta manual, karena acuan yang digunakan adalah peraturan yang menyatakan jangka waktu penyelesaìan akta paling lambat tujuh hari kerja, yang menyebabkan KCS menyelesaikan akta dalam waktu tujuh hari kerja Padahal produk yang dihasilkan oleh KCS hanyalah satu halaman kertas berukuran A4, dalam format yang sudah standar, yang berisi tidak lebih dari lima puluh kata masukan. Dan tinjauan tersebut maka diperlukan suatu pengembangan terhadap sistem yang telah ada ke dalam bentuk sistem informasi pembuatan akta yang akan mempercepat proses penyelesaian akta.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>