Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairunnisa Dhiavella Asyari
"Salah satu alasan mengapa mengembalikan dana hasil dan instrumen tindak pidana masih sulit adalah karena para pelaku berasal dari kalangan terhormat, seperti politisi, pejabat, dan pebisnis terkenal. Pelaku tidak hanya dapat menghindari peradilan, tetapi mereka juga dapat dengan mudah menyembunyikan harta haram mereka di negara "tax heaven", yang membuat penegak hukum sulit menemukan dan merampas harta tersebut. Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC dan memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik, upaya tersebut masih belum berhasil mengembalikan secara keseluruhan kerugian negara tersebut. Sedangkan disamping itu aparat penegak hukum lebih senang menggunakan kerjasama informal yang prosesnya prosesnya lebih cepat dan efektif dalam mendapatkan informasi terkait aset. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya peran MLA dalam asset recovery. Metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal yang bertujuan untuk menemukan kekurangan dan analisis dari perangkat hukum yang ada serta memastikan bahwa undang-undang perampasan aset dan peraturan MLA yang dirancang di Indonesia dapat memfasilitasi pemulihan aset yang optimal.

One of the reasons why recovering the proceeds and instruments of crime remains difficult is because the perpetrators come from respectable circles, such as politicians, officials and well-known business people. Not only can perpetrators evade justice, but they can also easily hide their illicit assets in “tax heaven” countries, which makes it difficult for law enforcement to find and seize the assets. Although Indonesia has ratified UNCAC and has Law No. 1/2006 on Mutual Assistance, these efforts have still not succeeded in recovering the full amount of state losses. Meanwhile, law enforcement officials prefer to use informal cooperation which is a faster and more effective process in obtaining information related to assets. So that it raises the question of how exactly the role of MLA in asset recovery. The research method used is doctrinal which aims to find the shortcomings and analysis of the existing legal instruments and ensure that asset forfeiture laws and MLA regulations designed in Indonesia can facilitate optimal asset recovery."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taringan, Muhammad Riansyah Aksar
"Penulisan ini menganalisis bagaimana tipologi tindak pidana Doxing, dan menganalisis bagaimana regulasi Doxing di Indonesia, khususnya terkait status Penyebaran data Pribadi di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Doxing, merupakan kegiatan penyebaran data pribadi di mana pendoxing akan melakukan pengumpulan data secara legal ataupun ilegal, menyebarkan data tersebut dengan maksud ingin menjatuhkan harkat martabat sang korban, atau menimbulkan kerugian terhadap korban. Dalam sejarahnya, penyebaran data pribadi dimulai sebab kemajuan teknologi dalam berkomunikasi terus berkembang pesat, kmunikasi yang awalnya digunakan manusia untuk saling berinteraksi, kemudian digunakan sebagai metode untuk menyebarkan informasi kepada publik pada era jurnalistik modern. Saat ini, komunikasi sudah bisa dilakukan antar negara melalui sosial media, penggunaan sosial media yang salah bisa menyebabkan hal negatif dan dapat merugikan orang lain. Doxing adalah salah satu hasil dari perkembangan teknologi umat manusia, jika tidak diatur dengan baik, penyebaran data pribadi bisa menjadi salah satu penyebab negatif dalam penggunaan media sosial Pada dasarnya kegiatan doxing menggunakan sarana internet dan komputerisasi, sehingga tindak pidananya dikategorikan sebagai cybercrime. Doxing di Indonesia dilarang oleh UU ITE dan UU PDP, karena penyebaran data pribadi tanpa persetujuan sang pemilik data, diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undnag Pelindungan Data Pribadi Nomor 27 tahun 2022. Undang-undang ini dibuat untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan, inilah tujuan dari diberlakukannya undang-undang Informasi dan Transaksi elektronik, dan doxing dalam fokus terhadap penulisan tesis ini. Selain Indonesia beberapa negara seperti Amerika dan beberapa negara bagiannya, Nevada, Colombia, New York, juga melarang penyebaran data pribadi yang bisa merugikan orang tertentu yang telah diatur dalam suatu peraturan. Regulasi terkait doxing sangat penting karena larangan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap, dapat memperjelas status doxing, terpenuhinya unsur keadilan dalam penegakan hukumnya. Akan tetapi di Indonesia sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur larangan doxing secara eksplisit, sehingga perlu adanya kebijakan hukum pidana terkait larangan kegiatan doxing di Indonesia.

This paper analyzes how the typology of Doxing criminal acts, and analyzes how the regulation of Doxing in Indonesia, especially related to the status of Personal data Dissemination in Indonesia. This paper is prepared by using doctrinal research method. Doxing is an activity of spreading personal data where the doxer will collect data legally or illegally, spreading the data with the intention of bringing down the dignity of the victim, or causing harm to the victim. Historically, the dissemination of personal data began because technological advances in communication continued to grow rapidly. Communication, which was originally used by humans to interact with each other, was then used as a method to disseminate information to the public in the modern journalistic era. Nowadays, communication can be done between countries through social media, the wrong use of social media can cause negative things and can harm others. Doxing is one of the results of the technological development of mankind, if not properly regulated, the dissemination of personal data can be one of the negative causes in the use of social media Basically, doxing activities use internet and computerized means, so that the criminal act is categorized as cybercrime. Doxing in Indonesia is prohibited by the ITE Law and the PDP Law, because the dissemination of personal data without the consent of the data owner is regulated in Article 27 of Law Number 1 of 2024 concerning the second amendment to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, and the Personal Data Protection Law Number 27 of 2022. This law was made to keep Indonesia's digital space clean, healthy, ethical, productive, and equitable, this is the purpose of the enactment of the Electronic Information and Transaction law, and doxing in the focus of this thesis writing. In addition to Indonesia, some countries such as America and some of its states, Nevada, Colombia, New York, also prohibit the dissemination of personal data that can harm certain people who have been regulated in a regulation. Regulations related to doxing are very important because the prohibition has permanent legal force, can clarify the status of doxing, fulfill the element of justice in law enforcement. However, in Indonesia until now there has been no regulation that explicitly regulates the prohibition of doxing, so it is necessary to have a criminal law policy related to the prohibition of doxing activities in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofia Averilliana
"ABSTRAK
Tulisan ini membahas tiga permasalahan. Pertama mengenai pengaturan
penyelenggaraan penyiaran televisi yang berkaitan dengan siaran yang bermuatan
unsur cabul. Kedua mengenai kondisi penyelenggaraan penyiaran yang ditinjau
dari perspektif perlindungan anak. Ketiga mengenai kendala-kendala dalam upaya
perlindungan anak terhadap adanya siaran yang bermuatan unsur cabul.
Penggunaan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan penelitian
lapangan ditujukan untuk memberikan paparan mengenai hukum yang berlaku
dan penerapannya di bidang penyiaran televisi dalam rangka perlindungan anak.
Hukum yang berlaku terdiri atas berbagai peraturan yang memberikan larangan
terhadap adanya siaran yang bermuatan unsur cabul yang dibuat oleh Pemerintah
dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selain itu juga disertakan analisis
terhadap peraturan yang dibuat oleh internal lembaga penyiaran dan juga
peraturan negara lain sebagai pembanding. Selanjutnya peraturan-peraturan
tersebut dianalisis berdasarkan prinsip perlindungan anak. Sedangkan penerapan
hukum yang dimaksud ditinjau dari data KPI yang menggambarkan kepatuhan
lembaga penyiaran terhadap hukum yang berlaku. Dari paparan tersebut kemudian
dapat ditemukan hambatan-hambatan dalam upaya perlindungan anak beserta
solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut.

ABSTRACT
This writing mainly discusses about three problems. The first is a matter regarding
to regulation towards television programs containing obscene materials. Secondly,
implementation of television broadcasting considered from child protection?s
perspective. The third is obstacles to protect children from television programs
containing obscene materials. By using literature research method combined with
field research method, this writing aims to explain applied law and its
implementation toward television broadcasting sector in the child protection
perspective. The applied law includes regulations that provide prohibition to any
obscene materials in television broadcasting and made by government and
Indonesian Broadcasting Committee (KPI). Moreover, related internal rules of
television station and regulations from other countries are provided as an
assessment. Then, the regulations are analyzed by the principles of child
protection. On the other hand, the implementation is by KPI?s data showing has
the television station complied with the regulations or not. Then, from the
explanation, the obstacles to protect children from television program containing
obscene materials and its solution can be found."
2016
S63976
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Nugroho
"Noodtoestand atau keadaan darurat adalah keadaan di mana suatu kepentingan/kewajiban hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataannya melanggar kepentingan/kewajiban hukum yang lain. Alasan penghapus pidana ini diatur pada Pasal 48 KUHP Lama dan Pasal 42 KUHP Baru, dengan penjelasan-penjelasan lain yang termuat pada doktrin. Konsep ini dapat dihubungkan dengan penggunan ganja sebagai pengobatan (medical cannabis) pada penyakit kronis, karena dari satu sisi penggunaan Ganja dalam bentuk apapun berlawanan dengan kewajiban hukum mematuhi UU 35  tahun 2009 tentang Narkotika. Namun pada sisi lain, ada penyakit kronis yang dapat mengancam nyawa dan tidak dapat diobati dengan obat-obatan konvensional, seperti epilepsi dan penyakit pada sistem saraf pusat lainnya. Penggunaan ganja dalam kondisi darurat harus memenuhi prinsip proporsionalitas, subsidiaritas,culpa in causa, dan garantenstellung yaitu prinsip dalam keberlakuan daya paksa dan keadaan darurat. Konsep alasan penghapus pidan ini akan diteliti melalui membandingkan dengan Inggris karena kemiripan alasan penghapus di kedua negara, kasus-kasus yang serupa, dan perkembangan pengaturan ganja di Inggris yang mirip dengan Indonesia. Penelitian akan ditutup dengan analisis terhadap tiga putusan pengadilan di Indonesia mengenai penggunaan ganja untuk pengobatan, yaitu Kasus Liston Sembiring, Fidelis Arie Sudewarto, dan Dimas Muhammad Akmal.

Noodtoestand, or state of emergency, is a situation in which a legal interest or legal obligation is threatened by danger, and to avoid the threat of danger, a deed is committed which in fact violates another legal interest or obligation. This reason for criminal extinction is regulated in Article 48 of the Old Indonesia Criminal Code and Article 42 of the New Indonesia Criminal Code, with other explanations contained in the doctrine. This concept is closely related to the context of the use of marijuana as a treatment (medical cannabis) for chronic diseases because on the one hand, the use of Marijuana in any form is contrary to the legal obligation to comply with Law No. 35 of 2009 on Narcotics. However, on the other hand, there are chronic diseases that can be life-threatening and cannot be treated with conventional drugs, such as epilepsy and diseases of the central nervous system. The use of marijuana in an emergency must meet the principles of proportionality, subsidiarity, and culpa in causa, which are the principles of the validity of a state of emergency. The concept of this reason for criminal extinction will be examined by comparing it with England because of the similarity of the reasons for extinction in both countries, similar cases, and the development of marijuana regulations in England that are similar to Indonesia. The research will be concluded with an analysis of three court decisions in Indonesia regarding the use of marijuana for treatment, namely the Liston Sembiring Case, the Fidelis Arie Case, and the Dimas Muhammad Case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farras Zidane Diego Ali Farhan
"Kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang semakin marak ditemukan terjadi dalam tatanan masyarakat Indonesia. Perkembangan pidana dan pemidanaan terhadap terdakwa dan terpidana tindak pidana kekerasan seksual merupakan respons terhadap peristiwa kejahatan tersebut. Pemberatan sanksi pidana serta penetapan sanksi tindakan dalam bentuk kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi merupakan langkah yang dinilai pemerintah Indonesia sebagai solusi untuk mengatasi fenomena tindak pidana kekerasan seksual. Makna keadilan bagi korban yang seringkali diartikan pembalasan semata sedangkan sistem pemidanaan Indonesia berorientasi pada rehabilitasi dan reintegrasi menimbulkan dilema dalam penentuan sanksi bagi terdakwa tindak pidana kekerasan seksual. Penelitian ini akan mengkaji perkembangan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, sanksi pidana dan tindakan, serta penerapan sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dalam tindak pidana kekerasan seksual pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode penelitian doktrinal merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan data sekunder dari berbagai bahan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, buku, jurnal dan sumber lainnya. Data sekunder dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa sistem hukum Indonesia telah menganut double track system dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Sanksi pidana dan tindakan ditempatkan pada kedudukan yang setara dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan bagi para pelaku kekerasan seksual. Namun, berdasarkan studi pada empat putusan pengadilan tindak pidana kekerasan seksual yang dianalisis dalam skripsi ini menunjukan bahwa double track system belum diterapkan secara optimal oleh sistem peradilan pidana Indonesia. Pengaturan yang terbatas, miskonsepsi hakim, dan kepasifan aparat penegak hukum merupakan hambatan terhadap penerapan sistem pemidanaan dua jalur dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.

Sexual violence is a criminal act that is increasingly common found in Indonesian society. The development of crime and punishment of defendants and convicts of sexual violence crime is a response to this crime event. Aggravating criminal sanctions and treatment sanctions establishment in the form of chemical castration, installing electronic detection devices, and rehabilitation are steps that the Indonesian government considers to be a solution to overcome the phenomenon of sexual violence crime. The meaning of justice for victims, which is often interpreted as mere retribution, whereas the Indonesian criminal system is oriented towards rehabilitation and reintegration, creates a dilemma in determining sanctions for defendants of sexual violence crime. This research will examine the development of types of sexual violence crime, criminal sanctions and treatments, as well as the implementation of double track system in sexual violence crime in Indonesian laws. The doctrinal research method is the method used in this research using secondary data from various legal materials including statutory regulations, court decisions, books, journals and other sources. The secondary data in this research was analyzed qualitatively. The results of this research found that the Indonesian legal system has adopted a double track system in cases of sexual violence crime. Criminal sanctions and treatments are placed on an equal position in order to achieve the goal of punishing perpetrators of sexual violence. However, based on a study of four sexual violence crime court decisions analyzed in this thesis, it shows that the double track system has not been implemented optimally by the Indonesian criminal justice system. Limited regulations, judges' misconceptions, and the passivity of law enforcement are obstacles to the implementation of double track system in cases of sexual violence crime in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Adya Astari
"Kekerasan psikis adalah jenis kekerasan dalam rumah tangga yang memiliki presentase jumlah paling tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. Namun demikian, penanganan kasus KDRT psikis masih terhambat berbagai permasalahan. Skripsi ini membahas mengenai penerapan pasal kekerasan psikis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Metode peneitian yang digunakan adalah dengan penelitian hukum normatif. Penulis mengangkat permasalahan-permasalahan yang menjadi pemicu terhambatnya penerapan pasal kekerasan psikis tersebut dari 3 (tiga) segi, yaitu dari segi substansial, segi prosedural, dan segi sikap para aparat penegak hukum. Selain undang-undang yang mengatur, aparat penegak hokum juga merupakan aspek utama keberhasilan pelaksanaan penerapan pasal kekerasan psikis. Sebagai jawaban dari permasalahan-permasalahan tersebut, penulis menyertakan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki pelaksanaan penerapan pasal kekerasan psikis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Abstract
Psychological violence has the highest amount of percentage of being committed compared other type of violence. However, treatment for cases involving psychological domestic violence remains impeded by various problems. This study discusses the implementation of regulation pertaining to psychological violence as governed in Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence. Writer uncovers the issues which are deemed to have impeded the enforcement of regulation on psychological violence from 3 (three) aspects, from substantive point of view, procedural point of view, and the behavior of law enforcement officer. Apart from being regulated through enactment of law, law enforcement officer also accounts for a major determinant in the successful implementation of regulation pertaining to psychological violence. As a respond toward these issues, Writer puts forward several recommendations to rectify the mistakes in implementing the regulation pertaining to psychological violence as governed under Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S239
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Faza Luna Lestari
"Pada 16 Januari 2014 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membacakan putusan uji materiil yang pada pokoknya menyatakan unsur "sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" dalam Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP bertentangan dengan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga saat ini unsur tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Unsur "sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" sering disalah gunakan oleh penegak hukum karena unsur itu sendiri tidak memiliki batasan pengertian yang jelas. Di sisi lain, Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP mengenai tindak pidana paksaan sering disalah artikan oleh penegak hukum dengan pemberian kualifikasi berupa "pasal perbuatan tidak menyenangkan", padahal unsur yang sifatnya alternatif tersebut hanya merupakan salah satu cara untuk mencapai perbuatan "memaksa" tadi. Kesalahan dalam memberikan kualifikasi tertentu pada Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tersebut memicu kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menerapkannya. Setelah adanya uji materiil, perumusan unsur yang ada pada pasal tersebut menjadikan sangat terbatasnya perbuatan yang dapat dipidana dengan Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP.

On january 16, 2014 the Constitutional Court of the Republic of Indonesia announced the judicial decision which essentially states that the elements "by any other actions or by an unpleasant treatment" in Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code contrary to the rule of law as provided in Article 28D, Paragraph 1 of Contitution of 1945, so this time the elements no longer have the force of law. The elements "by any other actions or by an unpleasant treatment" often misused by the law enforcer because the elements itself doesn't have clear definitions. On the other hand, Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code about the crime of coerce is often misunderstood by the law enforcer to be qualified as "the crime of unpleasant treatment", whereas the elements that are alternative is only one way actions to achieve "coerce" itself. Error in giving certain qualifications to Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code lead to arbitrariness in applying the law enforcement. After judicial review, the formulation of the elements that exist in the article make very limited actions that can be punished by Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57098
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Justitia Avila Veda
"[ABSTRAK
Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam pasal 134, 136bis, dan pasal 137 KUHP. Pasal ini muncul sebagai adopsi dari pasal penghinaan terhadap Raja dan Ratu Belanda yang turut diberlakukan di Indonesia pada era sebelum kemerdekaan berdasarkan asas konkordansi. Setelah kemerdekaan, ketentuan tersebut dipertahankan namun dengan penyesuaian berupa perubahan pada frasa "Raja" dan "Ratu" menjadi "Presiden" dan "Wakil Presiden". Sejak periode rezim pemerintahan Soeharto, ketentuan tersebut, khususnya pasal 134 KUHP banyak digunakan untuk mengkriminalisasi ungkapan, tulisan, atau perbuatan yang dinilai mencemarkan nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiadaan parameter untuk mengidentifikasi rasa keterhinaan menyebabkan unsur menghina dimaknai secara kabur oleh para hakim yang mengacu pada politik hukum pidana masing-masing rezim tanpa mempertimbangkan situasi kebatinan yang ada. Adanya potensi kelenturan pemaknaan pasal yang bisa melanggar kebebasan berekspresi mendorong adanya pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Skripsi ini berusaha membuktikan kecenderungan pemaknaan pasal 134 KUHP secara luas melalui analisis terhadap putusan pengadilan, ditunjang dengan dokumen-dokumen sejarah yang ada, di samping membandingkan keberadaan ketentuan tersebut dengan ketentuan serupa di beberapa negara lain.

ABSTRACT
;Defamation towards President and Vice President of Republic of
Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal
Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation
towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in
pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those
articles were maintained after getting through a conformation?replacement of
?King? and ?Queen? phrases with ?President? and ?Vice President?. Since the
Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to
criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were
valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The
absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure
interpretation of the ?defaming? aspect in article 134. The judges gave the
interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime,
neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law
widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it,
Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on
defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to
prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions
supported with studies on historical documents regarding defamation towards the
head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially
defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries., Defamation towards President and Vice President of Republic of
Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal
Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation
towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in
pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those
articles were maintained after getting through a conformation?replacement of
?King? and ?Queen? phrases with ?President? and ?Vice President?. Since the
Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to
criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were
valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The
absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure
interpretation of the ?defaming? aspect in article 134. The judges gave the
interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime,
neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law
widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it,
Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on
defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to
prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions
supported with studies on historical documents regarding defamation towards the
head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially
defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries.]
"
2015
S60722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Narvitasari
"This thesis focuses on Indonesian Criminal Law in facing maritime terrorism cases that may happen in the future. The aims of this thesis are to get to know about the differences between piracy and maritime terrorism, Indonesian Regulation in maritime terrorism, and legal problems in maritime terrorism regulation in Indonesia. Indonesia has national and international law instrument as basic regulations for terrorism offences, but it has not covered the provisions of maritime terrorism offences. Although there has never been any case of maritime terrorism in Indonesia, yet Indonesia has great potential in being the target of this offence.

Skripsi ini membahas mengenai ketentuan pidana Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus terorisme maritim yang mungkin terjadi di masa depan. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui tentang perbedaan antara tindak pidana pembajakan di laut dan tindak pidana terorisme maritim, pengaturan tindak pidana terorisme maritim di Indonesia, dan permasalahan hukum dalam pengaturan mengenai tindak pidana terorisme maritim. Indonesia memiliki instrumen hukum nasional dan internasional yang menjadi ketentuan umum mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia. Hanya saja di dalamnya belum diatur secara khusus mengenai tindak pidana terorisme maritim. Walaupun dalam kenyataannya beum pernah terjadi terorisme maritim di Indonesia, namun Indonesia berpotensi besar menjadi target tindak pidana ini."
Universitas Indonesia, 2015
S60288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bestha Inatsan Ashila
"[Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemidanaan dan pertimbangkan hakim terhadap perkara anak yang menjadi kurir narkoba, beserta proses pembimbingan dan pembinaan anak yang menyertainya di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Pusat dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Salemba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang menjadi kurir narkoba dapat dijerat dengan Pasal 114 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sedangkan untuk pemidanaannya harus mengacu kepada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam memutus perkara anak yang menjadi kurir narkoba, hakim mempertimbangkan pertimbangkan yuridis maupun non-yuridis, yaitu laporan Litmas, tuntutan Jaksa Penuntut Umum, kondisi diri terdakwa baik yang ditemukan didalam Litmas maupun dalam fakta persidangan, kedudukan terdakwa sebagai kurir, aspek pemidanaan, serta perundang-undangan. Peran Bapas Pusat dalam menangani perkara anak yang menjadi kurir narkoba dimulai sejak tahap pra-adjudikasi, tahap adjudikasi dan tahap post adjudikasi. Sementara pembinaan di Lapas Salemba tidak ada pengkhususan bagi anak yang menjadi kurir narkoba. Proses pembinaan terhadap anak kurir narkoba dilaksanakan sama seperti dalam perkara lain., The aims of this study is to find out the criminal prosecution and judges’ consideration on the case of children who become drug couriers, along with the following mentoring and development processes at the Central Penitentiary (Bapas) and Salemba Prison (Lapas). The results show that children who become drug couriers can be charged under Article 114 Law No. 35 of 2009 on Narcotics. Meanwhile, the criminal prosecution must refer to Law No. 11 of 2012 on Children Criminal Justice System. In deciding the case of children who become drug couriers, the judges make both judicial and non-judicial considerations; Litmas (Penitentiary Study) report, Public Prosecutors’ claims, defendants’ conditions both in Litmas and in trial facts, defendants’ positions as couriers, the criminal prosecution aspects, as well as the legislations. The Central Penitentiary (Bapas) roles in handling the case of children who become drug couriers start since the pre-adjudication stage, adjudication stage, and post-adjudication stage. On the other hand, for the development process at Salemba Prison (Lapas), there is no specialization for children who become drug couriers. The development process for children who become drug couriers is implemented in the same way as other cases.]"
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S59963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>