Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zahra Diyartmutia
Abstrak :
Siswa SMA sudah perlu menentukan berbagai keputusan dalam hidupnya, salah satunya adalah terkait karier di masa depan. Penentuan rencana karier masa depan pada siswa SMA dimulai memilih jurusan perkuliahan yang diminati. Namun, masih banyak siswa SMA yang mengalami kesulitan dalam melakukannya atau yang bisa disebut mengalami career decision-making difficulties. Berbagai penelitian terdahulu telah menemukan berbagai faktor yang memengaruhi career decision-making difficulties, salah satunya adalah perceived parental expectation. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perceived parental expectation dan career decision-making difficulties pada siswa SMA Negeri di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Instrumen pengukuran yang digunakan adalah Career Decision-making Difficulties Questionnaire (CDDQ) dan Perception of Parental Expectation (PPE). Partisipan penelitian ini adalah 193 siswa SMA kelas 1, 2, dan 3 yang bersekolah di wilayah Jabodetabek (Perempuan = 72.5%, Laki-laki = 25.4%, Mean usia = 17.03). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceived parental expectation dan career decision-making difficulties memiliki korelasi yang positif dan signifikan. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berhubungan dengan siswa SMA terkait pemilihan jurusan kuliah, seperti pihak sekolah dan juga orang tua, dengan memberikan gambaran terkait hubungan antara perceived parental expectation dan career decision-making difficulties pada siswa SMA. ......High school students need to make various decisions in their lives, especially related to their future careers. Determining future career plans for high school students begins with choosing the college major they want to pursue. However, there are still many high school students who have difficulties in choosing their college major, which can be called experiencing career decision-making difficulties. Previous studies have found various factors that influence career decision-making difficulties, including perceived parental expectation. Therefore, this study examines the relationship between perceived parental expectation and career decision-making difficulties in public high school students in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek). The measuring instruments used are Career Decision-making Difficulties Questionnaire (CDDQ) and Perception of Parental Expectation (PPE). The participants in this study were 193 high school students in grades 1, 2, and 3 who attended public schools in Jabodetabek area (Female = 72.5%, Male = 25.4%, Mean age = 17.03).Results show that there is a significant positive correlation between perceived parental expectation and career decision-making difficulties among high school students in Jabodetabek. The results of the study are expected to be useful for various parties related to high school students' selection of college majors, such as the school and also parents, by providing an overview of the relationship between perceived parental expectation and career decision-making difficulties among high school students.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathan Akbar
Abstrak :
Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang kaya akan keragaman suku, agama, ras, dan budaya. Keragaman demikian salah satunya mendorong penerapan budaya kolektivisme di mana tercermin melalui semangat gotong royong. Selain itu, Indonesia turut dipandang sebagai negara beragama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan kolektivisme pada emerging adulthood. Studi kuantitatif korelasional dilaksanakan terhadap sebanyak 241 partisipan yang merupakan Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, berusia 18-25 tahun, minimal telah menempuh pendidikan SMA/SMK sederajat, serta penganut salah satu dari enam agama yang sah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas dan kolektivisme memiliki hubungan positif yang signifikan pada emerging adulthood. Individu dapat membangun religiusitas sebagai sarana memupuk budaya gotong royong dan mengeksplorasi identitas melalui penerapan budaya kolektivisme. ......Indonesia is a counry rich in ethnic, religious, racial and cultural diversity. Such diveristy encourages the application of a culture of collectivism, which is reflected through the spirit of gotong royong. In addition, Indonesia is also seen as a religios country. This study aims to examine the relationship between religiosity and collectivism in emerging adulthood. A quantitative correlation study was conducted on 241 participants who were citizens of the Republic of Indonesia, aged 18 – 25 years, had at least a high school education, and adhered to one of the six legal religions in Indonesia. The results showed that religiosity and collectivism have a significant positive relationship in emerging adulthood. Individuals can build religiosity as a means of fostering a culture of gotong royong and exploring identity through the application of a culture of collectivism.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nahda Hanura
Abstrak :
Memiliki ide bunuh diri dapat mengakibatkan seseorang untuk merencanakan hingga melakukan upaya bunuh diri. Kelompok mahasiswa yang berusia 18-25 tahun, atau tahap usia emerging adulthood, merupakan kelompok yang rentan untuk memiliki ide bunuh diri karena mahasiswa berada di tahap usia untuk melakukan eksplorasi diri, namun terdapat tuntutan akademik, tanggung jawab, dan tututan untuk bersikap mandiri di perguruan tinggi yang berbeda dengan tingkat pendidikan pada tahap usia perkembangan sebelumnya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ide bunuh diri adalah resiliensi yang berperan sebagai faktor protektif dalam membantu individu untuk bangkit kembali dan menghadapi kesulitan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resiliensi dalam mempengaruhi ide bunuh pada mahasiswa. Partisipan penelitian ini berjumlah 649 orang yang merupakan mahasiswa yang berusia 18-25 tahun di Indonesia. Alat ukur Depressive Symptom Index-Suicidal Subscale digunakan untuk mengukur ide bunuh diri dan Connor-Davidson Resilience Scale-10 digunakan untuk mengukur tingkat resiliensi. Berdasarkan hasil analisis simple regression, diperoleh bahwa resiliensi dapat memprediksi ide bunuh diri secara signifikan pada mahasiswa dengan koefisien korelasi yang negatif, Hal tersebut menunjukkan semakin tinggi resiliensi pada mahasiswa, maka ide bunuh diri yang dimiliki akan cenderung semakin rendah. ......Having suicidal ideation may lead a person to plan suicide which also may result in a suicide attempt leading to death. College students at the age of 18-25, known as the emerging adulthood stage, are at increased risk of suicidal ideation because it is the age where they explore themselves, yet as a student, they have academic demands, growing responsibilities, and autonomy in college, contrast to their previous educational level and developmental stage. Amongst the factors that can influence suicidal ideation is resilience which acts as a protective factor in helping individuals to  be able to bounce back and face difficulties. The aim of this research was to examine the role of resilience as a predictor of suicidal ideation in college students. The participants of this research were 649 college students ranging 18-25 years old in Indonesia. The Depressive Symptom Index – Suicidal Subscale was used to measure suicidal ideation and the Connor-Davidson Resilience Scale-10 was used to measure the level of resilience. According to the simple regression analysis used, the result indicates that resilience significantly predicts suicidal ideation in college students with a negative correlation coefficient. Therefore, the higher resilience in college students, the lower possibility they have of having suicidal ideation.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Zulfa
Abstrak :
Keberhasilan pendidikan inklusif ditentukan oleh sikap positif yang ditampilkan mahasiswa non disabilitas. Faktanya mahasiswa penyandang disabilitas masih menerima sikap negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jenis kontak dengan sikap terhadap mahasiswa penyandang disabilitas di Universitas Indonesia. Partisipan dari penelitian ini adalah mahasiswa sarjana Universitas Indonesia (n = 193). Variabel kontak yang terdiri dari kuantitas dan kualitas diukur menggunakan dua alat ukur yaitu, Contact with Disabled Persons (Barr & Bracchitta, 2012) dan Quality Contact (Islam & Hewstone, 1993), sedangkan variabel sikap diukur menggunakan Multidimensional Attitudes Scale Toward Persons with Disabilities (Findler, Vilchinsky & Werner, 2007) diadaptasi oleh Levyadi dan Kurniawati (2022). Hasil penelitian menggunakan spearman correlation menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kontak dengan sikap terhadap mahasiswa penyandang disabilitas (p > 0,05). Lebih lanjut, ditemukan hubungan yang signifikan antara kuantitas kontak dengan komponen sikap kognitif (p < 0,05) serta terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kontak dengan komponen kognitif (p < 0,05), afektif (p < 0,05), dan tindakan (p < 0,05). Hasil penelitian menunjukkan pentingnya mendorong interaksi di antara mahasiswa demi meningkatkan implementasi pendidikan inklusif di Universitas Indonesia. ......The success of inclusive education is determined by the positive attitude displayed by non-disabled students. The fact is that students with disabilities still receive a negative attitude. This study aims to determine the relationship between the type of contact and attitudes towards students with disabilities at the University Indonesia. The participants of this study were undergraduate students at the University Indonesia (n = 193). Contact variables consisting of quantity and quality are measured using two measurement tools, namely, Contact with Disabled Persons (Barr & Bracchitta, 2012) and Quality Contact (Islam & Hewstone, 1993), while the attitude variable is measured using the Multidimensional Attitudes Scale Toward Persons with Disabilities (Findler, Vilchinsky & Werner, 2007) adapted by Levyadi and Kurniawati (2022). The results of the study using the Spearman correlation showed that there was no significant relationship between contact and attitudes toward students with disabilities (p > 0.05). Furthermore, a significant relationship was found between the quantity of contact and the cognitive attitude component (p < 0.05) and there was a significant relationship between the quality of contact and the cognitive (p < 0.05), affective (p < 0.05) and action (p < 0.05). The results of the research show the importance of encouraging interaction among students in order to improve the implementation of inclusive education at the University Indonesia.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilia Rahadyani
Abstrak :
Siswa yang berada di tingkat akhir sebuah jenjang, seperti siswa kelas 12 SMA, memiliki kecenderungan stres akademik yang tinggi. Hal ini disebabkan karena siswa di tingkat akhir menerima frekuensi ujian lebih tinggi dan mencemaskan masa depan yang jauh lebih dekat, sehingga permasalahan stres akademik menjadi permasalahan penelitian. Di samping permasalahan tersebut, peneliti menemukan manfaat mindfulness untuk para siswa, seperti membantu meningkatkan resiliensi dan membantu regulasi emosi, sehingga peneliti juga ingin mencari tahu cara untuk membantu para siswa memiliki kondisi mindfulness. Expressive writing adalah cara untuk menurunkan stres akademik dan berpeluang menciptakan kondisi mindfulness. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh expressive writing terhadap stres akademik dan mindfulness pada siswa kelas 12 SMA. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan tipe pre-experimental design berjenis one-group pre-test post-test design serta dilaksanakan secara luring. Pengambilan data penelitian menggunakan kuesioner dari alat ukur Educational Stress Scale for Adolescents (ESSA) dan Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ). Total partisipan adalah 27 siswa kelas 12 SMA yang berumur 17 dan 18 tahun (M = 17.22). Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh expressive writing terhadap penurunan stres akademik (t(26) = 7.26, p < 0.05) dan tidak berpengaruh pada kenaikan mindfulness. ......Students who are in the final year of a level, such as 12th grade high school students, have a tendency to be high academic stress. This is because students in their final year receive higher frequency of exams and worried about a much closer future, so the academic stress is the research problem. In addition to these research problem, researcher found the benefit mindfulness for tudents, such as helping increase resilience, helping emotion regulation, so researcher want to looking for the way for helping student have a state of mindfulness. Expressive writing is a way to reduce academic stress and have the opportunity to create a state of mindfulness. This study aimed to look at the effect of expressive writing on academic stress and mindfulness in grade 12th high school students. This research is a quantitative research with a type of pre-experimental design type one-group pre-test post-test design and carried out offline. Research data collection using questionnaires from Educational Stress Scale for Adolescents (ESSA) and Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) measuring instruments. The total participants were 27 grade 12th high school students aged 17 and 18 years (M = 17.22). The results showed that there was an effect of expressive writing on reducing academic stress (t (26) = 7.26, p < 0.05) and no effect on increasing mindfulness.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Willbie Hendrason
Abstrak :
Periode dewasa muda identik dengan early adult transition, sehingga rentan menghadapi quarter life crisis. Dalam menghadapi dampak negatif dari krisis tersebut, individu seringkali menggunakan gim daring (video games) sebagai media untuk coping. Penelitian-penelitian terbaru mulai menemukan adanya potensi penggunaan gim daring dalam meningkatkan resiliensi. Namun, penelitian-penelitian masih terbatas pada penelitian gim daring secara umum. Oleh karena itu. penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat resiliensi antara pemain dua genre yang sering ditemui, yaitu aksi dan role-play game (RPG). Perbedaan kedua genre tersebut didasarkan pada perbedaan aspek kompetitif dan kooperatif dalam hubungannya dengan resiliensi. Penelitian ini membandingkan tingkat resiliensi yang diukur menggunakan 10-item Connor Davidson Resilience Scale dan juga pertanyaan persepsi aspek kompetitif dan kooperatif yang dirasakan dalam gim daring. Gim daring genre aksi yang digunakan adalah “Playerunknown's Battleground (PUBG)” dan gim daring RPG yang digunakan adalah “Genshin Impact” Hasil analisis komparasi independent sample t-test mendapatkan perbedaan tingkat resiliensi antara pemain gim daring genre aksi dan genre RPG [t(104) = 12.467, p = 0.01], dengan skor resiliensi yang lebih tinggi pada pemain gim daring genre aksi. Hasil ini memperlihatkan tingkat resiliensi berbeda pada genre gim daring yang berbeda. ......The young adulthood period is often vulnerable to experiencing quarter-life crisis. In facing this crisis, individuals often turn to online games as a means of coping. Recent studies have started to discover the potential use of online games in enhancing resilience. However, research in this area is still limited to general studies on online gaming. Therefore, this study aims to examine the differences in resilience levels between players of two commonly encountered genres, namely action and role-playing games (RPGs). The differences between these two genres are based on the distinct aspects of competitiveness and cooperativeness and their relation to resilience. This study compares resilience levels measured using the 10-item Connor Davidson Resilience Scale, as well as questions regarding the perceived competitive and cooperative aspects experienced in online gaming. The action genre game used is "Playerunknown's Battleground (PUBG)," while the RPG game used is "Genshin Impact". The results of the independent sample t-test comparison analysis indicate a difference in resilience levels between players of action and RPG online games [t(104) = 12.467, p = 0.01], with higher resilience scores observed among players of action genre games. These findings demonstrate varying levels of resilience across different genres of online games.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diany Syahranti
Abstrak :
Pentingnya peran kreativitas sebagai bekal individu untuk menghadapi tantangan di era digital sayangnya belum sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki posisi rendah dalam indikator kreativitas dibandingkan dengan negara lain. Untuk mengatasinya, kreativitas perlu dipupuk sejak usia sekolah dan membutuhkan peranan besar dari guru. Namun, guru membutuhkan dukungan dalam mengembangkan kreativitas siswa, baik siswa reguler maupun berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara perceived social support dengan Creativity Fostering Teacher Behavior (CFTB). Penelitian dilakukan kepada 143 guru di sekolah dasar inklusif. Perceived social support diukur dengan menggunakan adaptasi alat ukur R-MSPSS yang terdiri atas komponen kepala sekolah, guru, keluarga, dan teman (non-kolega). CFTB diukur dengan menggunakan alat ukur CFTIndex yang mencakup dimensi independence, integration, motivation, judgment, flexibility, evaluation, question, opportunities, dan frustration. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perceived social support dengan CFTB (rs=0.291, p<.001, two-tailed). Hal ini menunjukkan bahwa untuk dapat menerapkan CFTB, guru sekolah dasar inklusif membutuhkan dukungan dari teman (non-kolega), kepala sekolah, guru, dan keluarga. Implikasi dari penelitian ini memberikan penekanan bahwa kolaborasi antar seluruh sumber dukungan sosial yang ada di sekitar guru sangat penting untuk dapat mengembangkan potensi kreativitas yang dimiliki siswa. ......The importance of creativity as an individual's provision to face challenges in the digital era is unfortunately not in line with the fact that Indonesia has a low position on creativity indicators compared to other countries. The teacher has a significant role in nurturing creativity starting from school. Teachers need support in developing students' creativity for regular students and students with special needs. Therefore, this research aims to see the relationship between perceived social support and Creativity Fostering Teacher Behavior (CFTB). The research was conducted on 143 teachers in inclusive primary schools. Perceived social support is measured using the adaptation of the R-MSPSS measurement, which consists of the principal, teacher, family, and friends components. CFTB is measured using the CFTIndex measurement, which includes the dimensions of independence, integration, motivation, judgment, flexibility, evaluation, question, opportunities, and frustration. The correlation test results showed a significant relationship between perceived social support and CFTB (rs=0.291, p<.001, two-tailed). The results show that to implement CFTB, inclusive primary school teachers need support from the principal, teachers, family, and friends. The implications of this study emphasize that collaboration between all sources of social support around teachers is essential to develop students' best potential.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiya Zhafirah Wahyuningtyas
Abstrak :
Perilaku prokrastinasi akademik umum terjadi pada mahasiswa, diperkirakan sebanyak 70% mahasiswa melakukan prokrastinasi akademik. Maka dari itu, penting untuk diteliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berkaitan agar dapat menambah pengetahuan dalam rangka menangani prokrastinasi akademik. Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengonfirmasi kemungkinan peran coping adaptif sebagai mediator dalam hubungan antara conscientiousness dan prokrastinasi akademik, yang hingga saat ini belum diteliti pada mahasiswa Indonesia. Penelitian korelasional ini dilakukan dengan pengumpulan data yang menggunakan kuesioner daring. Semua alat ukur yang digunakan telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu Academic Procrastination Scale (Dzakiah & Widyasari, 2021) untuk mengukur prokrastinasi akademik, IPIP-BFM 50 (Akhtar & Azwar, 2019) untuk mengukur conscientiousness, dan COPE (Widiastari & Suwartono, 2021) untuk mengukur coping adaptif. Sebanyak 238 mahasiswa S1 usia 18-25 dari berbagai daerah berpartisipasi dalam mengisi kuesioner. Berdasarkan analisis regresi berganda ditemukan bahwa semakin tinggi conscientiousness dan coping adaptif maka semakin rendah tingkat prokrastinasi akademik individu. Akan tetapi, coping adaptif tidak memediasi hubungan conscientiousness dalam memprediksi prokrastinasi akademik. Conscientiousness merupakan faktor yang kuat dalam memprediksi prokrastinasi akademik. ......Academic procrastination behavior is common among students, it is estimated that as many as 70% of students do academic procrastination. Therefore, it is important to investigate further about the related factors in order to increase knowledge in dealing with academic procrastination. This correlational study aims to confirm the possible role of adaptive coping as a mediator in the relationship between conscientiousness and academic procrastination, which has not been studied in Indonesian students until now. Data was collected using an online questionnaire. All instruments already adapted to Bahasa Indonesia, namely the Academic Procrastination Scale (Dzakiah & Widyasari, 2021) to measure academic procrastination, IPIP-BFM 50 (Akhtar & Azwar, 2019) to measure conscientiousness, and COPE (Widiastari & Suwartono, 2021) to measure adaptive coping. A total of 238 respondents which are undergraduate students aged 18 - 25 participated in completing the online questionnaire. Based on multiple regression analysis, it was found that the higher the conscientiousness and adaptive coping in someone, the lower the level of academic procrastination they have. However, adaptive coping does not mediate the relationship of conscientiousness in predicting academic procrastination. Conscientiousness is a strong factor in predicting academic procrastination.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Ramadhan Fitriani
Abstrak :
Abstrak Berbahasa Indonesia/Berbahasa Lain (Selain Bahasa Inggris): Kegagalan kognitif merupakan suatu fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada manusia. Kegagalan kognitif merupakan istilah yang mengacu pada segala jenis lapse secara kognitif. Pada mahasiswa, contoh dari fenomena ini adalah salah melihat jadwal kelas, lupa mengumpulkan tugas, dan salah memasuki ruang kelas. Kegagalan kognitif dapat menyebabkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan, seperti nilai dan performa akademik yang menurun. Pada mahasiswa, kegagalan kognitif seringkali terjadi karena individu kerap kali terpapar pada situasi yang stressful karena beban akademik dan tahap perkembangan yang dilalui. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran conscientiousness dan kemampuan metakognisi dalam memprediksi kegagalan kognitif pada mahasiswa program sarjana. Partisipan penelitian ini adalah 249 mahasiswa program sarjana berusia 18-25 tahun yang berkuliah di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa conscientiousness dan kemampuan metakognisi secara simultan memiliki kontribusi terhadap kegagalan kognitif sebesar 9,8% (F(2, 246) = 13,399, p < .001, R2 = .098). Ditemukan pula bahwa kemampuan metakognisi memiliki kontribusi yang negatif dan signifikan terhadap kegagalan kognitif (B = -.313, SE = .086, p < .001) dan conscientiousness tidak memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kegagalan kognitif. Temuan ini dapat bermanfaat untuk memperkaya literatur terkait kegagalan kognitif, conscientiousness, dan kemampuan metakognisi. Melalui penelitian ini, diharapkan individu dapat meningkat awareness terkait kegagalan kognitif beserta penyebab dan hal yang dapat mengurangi, seperti kemampuan metakognisi, agar dampak buruk dari kegagalan kognitif dapat diminimalisir. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membuat temuan penelitian yang lebih representatif. ......Cognitive failure is a phenomenon that occurs in everyday life in humans. Cognitive failure is a term that related to all type of cognitive lapses. For students, examples of this phenomenon are looking at the class schedule incorrectly, forgetting to submit assignments, and entering the wrong classroom. Cognitive failure can cause various negative impacts in life, such as decline in academic grades and academic performance. In college students, cognitive failure often occurs because individuals are often exposed to stressful situations due to the academic load and developmental stages they go through. This study aims to look at the role of conscientiousness and metacognition ability in predicting cognitive failure in undergraduate students. The participants in this study were 249 undergraduate students aged 18-25 years studying in Indonesia. The results of this study indicate that conscientiousness and metacognition simultaneously have a significant contribution on cognitive failure by 9.8% (F(2, 246) = 13.399, p <.001, R2 = .098). It was also found that metacognitive ability had a negative and significant contribution on cognitive failure (B = -.313, SE = .086, p < .001) and conscientiousness did not have a significant contribution on cognitive failure. These findings can be useful to enrich the literature related to cognitive failure, conscientiousness, and metacognitive abilities. Through this research, it is hoped that individuals can increase awareness regarding cognitive failure and its causes and things that can reduce it, such as metacognition abilities, so that the negative effects of cognitive failure can be minimized. More research is needed to make the research findings more representative.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shara Sani Susanti
Abstrak :
Di Indonesia kesepian merupakan fenomena yang sering dijumpai, terutama di usia dewasa muda. Bahkan, pada penelitian yang dilakukan oleh Into the Light yang dilakukan di bulan Mei – Juni 2021 dengan 5.211 partisipan menunjukkan bahwa 2 dari 5 partisipan lebih memilih mati daripada harus merasakan kesepian. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kesepian merupakan masalah yang serius. Penelitian- penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kelekatan dengan hewan bisa mengurangi tingkat kesepian, namun ada juga penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara keduanya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami hubungan antara tingkat kesepian pada dewasa muda yang tidak memiliki pasangan dan kelekatannya dengan hewan peliharaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode korelasional. Partisipan dalam penelitian ini adalah dewasa muda berusia 19-25 tahun yang tidak memiliki pasangan dan memiliki hewan peliharaan anjing dan/atau kucing (N= 103). Untuk memenuhi tujuan, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan 2 alat ukur, yaitu UCLA Loneliness Scale version 3 dan Lexington Attachment to Pet Scale (LAPS). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat kesepian dan kelekatan dengan hewan tidak memiliki korelasi yang signifikan (r(103) = 0,82, p = 0,206). Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesepian individu dewasa muda yang tidak memiliki pasangan tidak berhubungan dengan tingkat kelekatan pada hewan peliharaan......Loneliness is a phenomenon often occurring in Indonesia, especially within your adults. In a research done by Into the Light in May - June 2021 with 5,211 participants, 2 out of 5 participants would rather choose to die than being lonely.Based on that data, we could concur that loneliness is a serious issue. Previous research has shown that attachment to animal could reduce the level of loneliness one might felt, but there are also research which shown that there are no correlation between the two. And for that reason, this research aims to understand the correlation between the loneliness levels in young adults that do not have romantic partners and their attachment with pets. This research was done with correlational method. The participants in this research are young adults age 19 to 25 that do not have romantic partners and taking care of pet(s) in the form of dog(s) and/or cat(s) (N= 103). To satisfy the condition, this research use quantitative method which used 2 measuring tools, which is UCLA Loneliness Scale version 3 and Lexington Attachment to Pet Scale (LAPS). The results shows that loneliness level and pet attachment does not significantly correlate with each other (r(103) = 0.82, p =206). And so this research shown that the loneliness level in young adults that do not have romantic partners does not correlate with the level of attachment to pets
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>