Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35320 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Intan Nurma Yulita
"ABSTRAK
Kurangnya melatonin pada anak-anak dengan Autisme menyebabkan mereka sulit tidur dibandingkan dengan anak-anak lain. Akibatnya, masalah gangguan tidur ini meningkatkan perilaku menyimpang anak-anak dengan autisme. Polisomnografi menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis gangguan tidur mereka. Untuk mengatasi masalah ini, kami mengembangkan sistem yang dapat secara otomatis mengklasifikasikan tahap tidur. Penelitian ini juga mengusulkan metode baru untuk klasifikasi tahap tidur, yang disebut metode FastConvolutional. Metode yang diusulkan dievaluasi terhadapdataset yang dikumpulkan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran, Indonesia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, FastConvolutional memiliki kinerja terbaik dibandingkan dengan semua classifier untuk dataset Autisme. F-measure -nya adalah 51,33 . Metode FastConvolutional bekerja dengan baik pada dataset yang diuji. Metode ini mencapai hasil dengan F-measure yang tinggi dan running time yang efisien. Dengan demikian, metode ini dapat menjadi classifier yang menjanjikan untuk klasifikasi tahap tidur.

ABSTRACT
A lack of the melatonin in children with Autism causes them difficult to sleep compared with other children. As a result, the sleep disorder increases the deviant behavior of children with Autism. Polysomnography becomes one of the alternatives that can be done to diagnose their sleep disorders. To overcome this problem, we developed a system that can automatically classify sleep stages. This study also proposes a new method for sleep stage classification, called the FastConvolutional method. The proposed method was evaluated against a sleep datasets that were collected in Mitra Keluarga Kemayoran. Based on research that has been done, the FastConvolutional had the best performance compared to all the classifier for Autism dataset. Its F-measure was 51.33 . The FastConvolutional method worked well on the tested datasets. It achieved a high F-measure result and an efficient running time. Thus, it can be considered a promising tool for sleep stage classification. "
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2018
D2489
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anas
"Populasi penyandang autis di berbagai belahan dunia dalam beberapa dekade ini menunjukkan peningkatan yang sangat tajam, tak luput di Indonesia juga mengalami peningkatan yang sama. Dampak dari kehadiran penyandang autis ini dirasakan oleh keluarga, di satu sisi keluarga harus menghadapi tantangan global yang semakin menekannya di sisi lain keluarga yang memiliki anak autis harus mempersiapkan anak tersebut agar dapat mandiri pada jamannya kelak. Oleh karena itu mau tidak mau keluarga harus membekali mereka dengan pendidikan yang cukup sejak dini.
Dengan semakin meningkatnya jumlah penyandang autis pada masa mendatang mau tidak mau lembaga pendidikan akan terkena dampaknya. Namun tidak semua lembaga pendidikan mau menerima penyandang autis untuk dapat mengenyam pendidikan di lembaganya, menerima penyandang autis berarti menanggung suatu resiko. Dengan kondisi demikian inilah dilakukan penelitian dengan mempertanyakan bagaimana adaptasi penyandang autis di lingkungan sekolah.
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Permata Harapan Jakarta Timur dan Sekolah Dasar Negeri Tebet Timur 11 Pagi Jakarta Selatan. Penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran mengenai pola adaptasi penyandang yang dilihat pada kemampuan interaksi, kemampuan bahasa, perilaku khas dan kemampuan akademik serta peran guru maupun orang tua
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang menfokuskan pada 3 penyandang autis yang memiliki gangguan penyerta yang berbeda. Sedangkan jenis penelitian yang dipakai adalah explorasi, pengumpulan data
dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 11 orang, yang terdiri dari 3 ibu dari penyandang autis dan 8 orang guru. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive (non probability), yakni atas dasar penilaian bahwa informan tersebut mengetahui dan terkait dengan permasalahan yang sedang dikaji.
Untuk menganalisa pola adaptasi penyandang autis di sekolah pada penelitian ini menggunakan teori Merton yaitu pola-pola adaptasi individu dalam situasi tertentu.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan terdapat dua pola adaptasi, yang pertama berbentuk conformity pada kedua kasus dan yang kedua berbentuk retreatisme pada satu kasus. Pala adaptasi conformity pada kedua kasus tidaklah terlepas dari perhatian dan bimbingan guru maupun orang tua sejak dini dan terus menerus. Sedangkan pola adaptasi retreatisme pada satu kasus tidaklah terlepas dari menurunnya perhatian orang tua dan pendekatan guru yang kurang tepat.
Dari hasil penelitian telah muncul beberapa saran baik kepada guru maupun orang tua. Guru perlu mengupayakan sarana belajar yang efektif sesuai dengan karakteristik penyandang autis, guru perlu mencatat kebutuhan khusus penyandang autis, guru perlu merubah pendekatan yang selama ini belum tepat atau mengikuti pelatihan tentang penanganan anak autis. Sedangkan saran kepada orang tua perlu bekerjasama dengan guru untuk memantau perkembangan penyandang autis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Septiono
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26620
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hardiono D. Pusponegoro
Jakarta: UI-Press, 2016
PGB 0249
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menguraikan tentang pola koping yang digunakan orang tua dengan anak autisme.
Metodologi penelitian menggunakan desain deskriptif eksploratif dengan total responden 30 orang tua anak autisme yang selalu menemani anak menjalani terapi atau kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner demografi orang tua, kuesioner pola koping yang digunakan orang yang mengacu pada “ Family Copcs “. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah secara purposif yaitu orang tua yang mempunyai anak autisme yang telah diberi penjelasan terlebih dahulu (informed consent ). Setelah data dikumpulkan dan diolah didapatkan hasil penelirian bahwa pola koping yang digunakan oleh orang tua adalah mencari dukungan spiritual dengan skor 5,73 ; menggunakan dukungan sosial dengan skor 4,66 ;
mencari hikmah, kemungkinan kemampuan sendiri dan pengangalihan perhatian dengan skor 4,36 ; mencari bantuan dengan skor 4,13 ; dan menerima keadaan dengan pasif dengan pasrah skor 3,26. - _
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sebagian besar orang tua menggunakan koping yang positif dan menghasilkan respon koping yang adaptif."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5260
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Nuraini Zulfickry
"Kecerdasan emosional merupakan salah satu keterampilan penting yang dimiliki individu karena dapat membantu seseorang berfungsi dengan baik pada lingkup personal, sosial, dan profesional. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan tingkat kecerdasan emosional individu adalah keluarga, yang merupakan tempat pertama individu mempelajari berbagai interaksi sosial. Keberadaan anak dengan spektrum autisme (SA) dalam keluarga dapat memberikan pengaruh pada interaksi antar anggota keluarga yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional individu. Studi ini bertujuan untuk melihat peran keberfungsian keluarga terhadap tingkat kecerdasan emosional saudara kandung dari anak dengan SA. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan strategi noneksperimental yang menggunakan alat ukur Family Assesment Device (FAD) untuk mengukur keberfungsian keluarga dan alat ukur Trait Emotional Intelligence Short-Form (TEIQue-SF) untuk mengukur kecerdasan emosional. Kedua alat ukur disebarkan melalui google form dan menggunakan teknik convenience sampling untuk memperoleh partisipan. Total partisipan penelitian adalah 136 remaja akhir dan dewasa muda yang memiliki rentang umur antara 18 – 35 tahun. Berdasarkan hasil ANOVA, diperoleh hasil bahwa keberfungsian keluarga secara signifikan dapat memprediksi tingkat kecerdasan emosional saudara kandung dari anak dengan SA (R 2=0,372, p<0,05). Namun demikian, berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi linear berganda, ditemukan bahwa hanya ada satu dari keenam dimensi keberfungsian keluarga yang secara signifikan dapat memprediksi tingkat kecerdasan emosional saudara kandung dari anak dengan SA. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kondisi intrapersonal saudara kandung, keluarga dapat menerapkan strategi komunikasi terbuka dan efektif untuk dapat meningkatkan tingkat kecerdasan emosional saudara kandung dari anak dengan SA.

Emotional intelligence is one of the most important components that one should have as it can affect many areas of someone’s personal, social, and professional life. Family situations and climate, acting as the first environment for the children to learn social situations, have a significant role of the development of one’s emotional and social intelligence. The existence of a child with autism spectrum disorder (ASD) can have many effects on the family interaction and communication, and later on affecting one’s level of emotional intelligence. Due to that, this quantitative study explored the role of family functioning in predicting emotional intelligence in 136 siblings of children with ASD between the age of 18 – 35 years from Indonesia. The questionnaires used on assessing family functioning is Family Functioning Device (FAD) and Trait Emotional Intelligence Questionnaire-Short Form to measure emotional intelligence, which were distributed via google form and used the technique of convenience sampling to gain the participants. Multiple linear regression analysis revealed a significant relationship between family functioning and emotional intelligence (R2= 0,372, p<0,05) where only one of the family functioning dimensions, which is communication, significantly predicts the level of emotional intelligence in siblings of children with ASD. The higher the family functioning, the higher the emotional intelligence among siblings of children with ASD. The findings disclose deeper understanding of family functioning and the sibling’s intrapersonal condition, which is emotional intelligence, and have implications for parents to administer open and strategic communication within the family to furtherly heightened the sibling’s emotional intelligence level."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelina Syarif
"Autisma adalah salah satu gangguan yang dialami dalam masa perkembangan anak. Islilah ‘autisme’, baru dikenal di Indonesia secara luas semenjak tahun 1995-an, dan beberapa tahun terakhir merupakan suatu istilah atau fenomena yang cukup membuat khawatir kebanyakan orang tua. Belakangan ini jumlah anak yang dicliagnosa menyandang autisma semakin bertambah banyak seiring dengan meningkatnya faktor pemicu munculnya gangguan ini seperti faktor lingkungan (termasuk polusi udara) dan pola hidup. Menurut catatan pakar autis, di Amerika Serikat jumlah penyandang autis meningkat tajam dari tahun ke tahun bila dibandingkan dengan kelahiran normal. Pada tahun 1987 dikatakan I diantara 5000 anak menunjukkan gejala autisme maka I0 tahun kemudian tercatat l diantara 500 kelahiran. Bahkan pada 3 tahun terakhir meningkat menjadi l dari |50 kelahiran dan pada tahun 2001 jumlah ini meningkat menjadi 1 dalam 100 kelahiran. Jumlah penyandang autis di Indonesia kurang diketahui secara pasti tetapi di iperkirakan tidakjauh Dari perbandingan di Amerika tersebut. Banyak masyarakat yang belum memahanli istilah autis ini secara luas dan seringkali terjadi salah pengertian terhadap istilah ini. Perasaan bersalah, stres dan menghukum diri sendiri sering terjadi pada orang ma yang anaknya didiagnosa sebagai penyandang autisme ini karena belum memahami benar apa sebenamya autisma ini. Sebagai suatu gangguan perkembangan yang baru dikenal luas masyarakat, pemahaman terhadap istilah autisma sering kurang tepat. Bahkan para p rofcsional yang menangani anak yang mengalami gangguan perkembangan pun kadang masih mengalami kesulitan dalam rnendiagnosa seorang anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme, sehingga orangtua harus mendatangi beberapa orang ahli sampai mendapatkan kesimpulan bahwa anaknya ternyata menyandang gangguan autisme. Terkadang suatu gejala sudah dianggap menunjukkan kelainan tenentu dan penangananya hanya untuk mengatasi keterlambatan yang ada tanpa melihat faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya. Seorang anak yang menunjulckan gejala yang hampir sama dapat menghasilkan diagnosa yang berbeda. Seorang anak yang menyandang autisma ini akan mengalami masalah, terutarna saat memasuki usia sekolah. Mereka sulit mengikuti kegiatan di sekolah umum biasa karena liclak clapat mengikuti instruksi yang diberikan oleh guru, berperilaku seenaknya dan dianggap mengganggu tata trtib sekolah. Gejala autisma sudah bisa terlihat dalam 30 bulan pertama kehidupan seorang anak. Jadi sebelum mereka berusia 3 tahun, gangguan autisma ini sudah bisa dideteksi bahkan sebagian dari mereka sudah menunjukkan gejala semenjak lahir, namun seringkali luput dari perhatian orangluanya (Sutadi, 1997). Beberapa ahli masih memperdebatkan pengklasifnkasian autisme ini, namun mereka sepakat dengan istilah Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau ganggguan dengan spektrum autistik. Gejala autistik muncul dalam berbagai tingkatan dari yang ringan sampai yang berat dan tampak Iebih sebagai spektrum karena ternyata ditemukan anak yang tidak hanya menampakkan gejala autis melainkan juga anak dengan gangguan mmbuh kembang. Seperti anak yang rnengalami gangguan dalam perkembangan bahasa tetapi memiliki keterampilan motorik yang relatif baik sehingga istilah autis yang dikenal luas di masyarakat tidak hanya ditujukan pada anak yang menyandang autis murni. Gangguan autisme ini diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan dari yang ringan hingga gangguan yang berat. Pengklasifikasian ini dapat dilakukan dengan menggunakan ‘alat’ antara lain dengan CARS ( Childhood Autism Rating Scale- bisa dipergunakan unluk mendiagnosa anak yang berusia 3 tahun keatas) dan GARS (Gilliam Autism Rating Scale- dapat dipakai untuk mendiagnosa penyandang autis berusia 3-22 tahun). Aspek-aspek yang diungkap dalam CARS dan GARS secara garis besar adalah sama. Perbedaannya keduanya adalah CARS masih menggunakan pengertian dari DSM-III dan cenderung mendiagnosa autis seorang anak yang memiliki keterampilan verbal yang minim, begitu juga terhadap anak yang memiliki keterbelakangan mental. Sedangkan GARS dibuat berdasarkan DSM-IV yang memuat kriteria diagnosa autis yang lebih rinci. Dalam studi ini peneliti mencoba untuk menyempurnakan instrumen berupa cheklist sebagai pedoman anamnesa dan observasi yang dapat sekaligus memberikan gambaran kemajuan seorang anak penyandang autis sejak awal diagnosa sampai saat/setelah ia menjalani terapi. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan cheklist GARS, dengan menambahkan sejumlah aspek-aspek pertanyaan dalam anamnesa dan observasi yang belum terdapat dalam GARS sebagai pelengkap. Cheklist yang baru ini diberi nama GARS Plus. Cheklist ini diharapkan dapat memudahkan pembuatan diagnosis dalam waktu yang relatif singkat dan terutama ditujukan untuk panyandang autis yang berusia dibawah 5 tahun. Pemakaian terutama untuk usia balita, agar anak dapat didiagnosa secara tepat semenjak dini karena pada usia balita terjadi perkembangan otak yang pesat. Anak dapat diberi stimulasi untuk meningkatkan kemampuannya dan mengurangi dampak dari gangguan ini. Sampel penelitian pada penelitian ini adalah para orangtua dari 5 orang anak penyandang autis yang sedang menjalani terapi di sebuah klinik. Sampel ini dipilih dengan menggunakan teknik incidental sampling, artinya hanya terbatas pada orang tua yang bersedia ikut sebagai sampel. Hasil diagnosis anak (penyandang) autis yang sudah ada akan di cross-check dengan instrumen GARS plus, untuk melihat apakah hasil yang didapat tetap konsisten."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belonia Prihandini Utami
"Hidup membuat anak penyandang autis kebingungan ketika tidak ada pola yang bisa dijadikan acuan. Lingkungan terprediksi perlu dihadirkan dalam rangka memberi pola acuan yang bisa dibaca dengan mudah oleh mereka. Rumah sebagai sebuah setting dimana derajat terprediksi ditemukan, dari segi ruang, waktu dan keberadaan keluarga menjadi penting untuk diungkap. Lingkungan terprediksi ternyata dicapai melalui penyediaan sebuah pola yang konsisten dan stabil lewat spatial sequencing of functions dan visual attributes. Kebutuhan khusus ruang ini mendukung tercapainya kebutuhan akan stimulasi, keamanan, dan identitas yang bersama koreografi spasial keluarga mengoptimalkan dan membantu anak penyandang autis mandiri dalam kesehariannya di rumah.

Life is bewildered when autistic child found no set pattern. The need for a predictable environment is a concern on autistic child life?s to provide them the set pattern, easy to read. Home as a setting where the predictability degree exists, on its space, time and family presence become important to be revealed. Predictable environment is achieved by providing a consistency and stability through spatial sequencing of functions and visual attributes. These special needs of space support the needs for spatial stimulation, security, and identity, moreover collaborate with family?s spatial choreography to optimize and support autistic child?s independence on their daily life at home."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42664
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fika Rahmayati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengukur ada atau tidak adanya hubungan antara penerimaan teman sebaya peer acceptance dan frekuensi bullying yang dilakukan oleh siswa normal terhadap siswa penyandang Autism Spectrum Disorder ASD dalam tatanan sekolah inklusi di Jakarta. Tingkat peer acceptance diukur dengan menggunakan Peer Acceptance Scale PAS sementara frekuensi bullying diukur melalui Bullying Questionnaire BQ Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara skor PAS dan skor BQ. Korelasi antara kedua skor tersebut ialah negatif yang artinya semakin tinggi tingkat peer acceptance maka semakin rendah frekuensi bullying yang dilakukan siswa normal terhadap siswa ASD.Sebaliknya semakin rendah tingkat peer acceptance maka semakin tinggi frekuensi bullying yang dilakukan siswa normal terhadap siswa ASD.

The aim of this study is to measure the correlation between peer acceptance and frequency of bullying among typical students toward ASD students in the inclusion school in Jakarta.The degree of peer acceptance is measured by Peer Acceptance Scale PAS while the frequency of bullying is measured by Bullying Questionnaire BQ The result shows a negative correlation between score of PAS and score of BQ. This means that higher score on BQ are associated with lower score on PAS and lower scores on BQ are associated with higher scores on PAS."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S44847
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Ilsanti Sjarif
"Menjadi orangtua bagi anak merupakan tantangan yang sangat besar, yang menciptakan respon emosional dan butuh penyesuaian. Menjadi orangtua dari anak ASD membutuhkan perhatian lebih terhadap sikap sendiri, harapan, rasa takut dan harapan. Ketika orangtua merasa yakin atau percaya diri pada kemampuan mereka menjadi orangtua, mereka cenderung akan mempraktekkan pengasuhan yang lebih efektif, yang akan membantu perkembangan positif bagi anaknya. Metode penelitian merupakan deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tiga orang ibu yang memiliki anak ASD usia sekolah menjadi partisipan. Kepada mereka diberikan intervensi dengan pendekatan solution-focused secara perorangan, sebanyak 4 sesi dalam kurun waktu 3 minggu. Setiap sesi dilakukan selama kurang lebih 1 hingga 2 jam. Kuesioner Parental Scale of Confidence digunakan sebagai alat pre-test dan post-test. Berdasarkan penilaian dan pengukuran sebelum dan sesudah intervensi, partisipan menunjukkan keberhasilan mendapatkan solusi dari permasalahan, yang mengakibatkan mengurangnya emosi negatif dan meningkatnya kepercayaan diri dalam mengasuh anak ASD. Penelitian ini membuktikan bahwa intervensi dengan pendekatan solution-focused dapat secara efektif membantu orangtua dalam mengatasi permasalahan yang terkait dengan pengasuhan anak ASD serta memberikan dampak positif pada diri orangtua.

Being a parent for a child has an enormous challenge, which could intrigue emotional response and thus needs an adjustment for the parent. Being the parent of an ASD child needs extra attention to owns's attitude, hope and fear. Once the parent has the confidence regarding his/her capabilities as parent, he/she tends to do a more effective parenting, which could give positive impact for the child's development. This research is a descriptive research which uses qualitative approach. Intervention with solution-focused approach is given individually to three mothers of ASD shool-age child, consist of 4 session with 1 to 2 hours each, within 3 weeks. Parental Scale of Confidence is used as pre-test and post-test. According to the evaluation and the assesment before and after the intervention, the participants successfully find the solution of their problem, which affect in lowering their negative emotion and increasing parents self-confeidence in parenting ASD child. This research has shown that the intervention with solution-focused approach could effectively help parent to overcome the problem regarding parenting issue, and also has positive effect for parent."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30609
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>