Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90031 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wulan Pramadhani
"Peningkatan kasus HIV pada remaja berdampak pada peningkatan beban fisik, psikologis dan sosial akibat dari penuruan kualitas hidup yang di tandai dengan kurangnya keinginan membuka status diri akibat stigma kasus HIV. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengekplorasi kualitas hidup remaja dengan HIV. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dengan 8 informan remaja dengan HIV rentang usia 11-20 tahun. Hasil analisa didapatkan beberapa tema utama: (1) Kualitas Hidup Yang Terganggu, (2) Merahasiakan tentang penyakitnya, (3) Konsekuensi yang dialami Dan (4) Kebermaknaan Hidup. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah eksplorasi kualitas hidup remaja dengan HIV menggambarkan adanya penurunan HRQoL. Aplikasi dari teori HRQoL terkait dari hasil penelitian ini bahwa kualitas hidup pada remaja dengan HIV adalah fokus mengatasi berbagai situasi seperti gangguan dalam hubungan afektif dan sosial, pengucilan dan stigma. Peran perawat sebagai edukator dan konselor merupakan salah satu upaya dalam membantu aplikasi dari teori HRQoL pada Remaja dengan HIV.

The increase in HIV cases in adolescents has an impact on increasing physical, psychological and social burdens as a result of a decrease in quality of life which is marked by a lack of desire to open up self-status due to the stigma of HIV cases. The purpose of this study was to explore the quality of life of adolescents with HIV. This study used a phenomenological approach with 8 adolescent informants with HIV aged 11-20 years. The results of the analysis obtained several main themes: (1) Disturbed Quality of Life, (2) Confidentiality about the disease, (3) Consequences experienced and (4) Meaning of Life. The conclusion in this study is the exploration of the quality of life of adolescents with HIV illustrates a decrease in HRQoL. The application of the HRQoL theory related to the results of this study that the quality of life in adolescents with HIV is the focus of overcoming various situations such as disturbances in affective and social relationships, exclusion and stigma. The role of nurses as educators and counselors is one of the efforts in helping the application of HRQoL theory to adolescents with HIV"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherlyana
"Latar Belakang: Dalam kedokteran gigi, kualitas hidup terkait kesehatan rongga mulut (Oral Health Related Quality of life, OHRQoL) diakui sebagai ujung tombak penting dalam tata laksana penyakit kronis seperti HIV/AIDS. Namun di Indonesia, faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan OHRQoL pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih belum diketahui. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan OHRQoL pada ODHA. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan metode potong lintang terhadap ODHA yang datang ke Klinik Lotus, Rumah Sakit Khusus Gigi Mulut FKG UI. Semua responden berusia diatas 18 tahun dan memiliki skor MMSE > 24. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling, didapatkan 105 responden. Kualitas hidup terkait kesehatan rongga mulut diukur menggunakan kuesioner OHIP-14 ID. Semua responden mengisi kuesioner OHIP-14 ID secara lengkap dan menjalani pemeriksaan klinis intraoral. Hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, usia, pendapatan per bulan, status pendidikan, status pekerjaan, status pernikahan, asuransi kesehatan, merokok), riwayat medis terkait HIV (durasi penggunaan ART, durasi infeksi HIV, transmisi HIV, jumlah CD4, jumlah virus HIV, koinfeksi), riwayat dental (kunjungan ke dokter gigi, kebersihan rongga mulut, status dental, gigi tiruan, lesi oral HIV) dengan OHRQol dan dimensinya diukur dengan uji komparatif numerik (Mann-whitney U, Kruskal-wallis, Independent T-test) dan uji korelasi (Pearson Corelation). Hasil analisis dianggap signifikan bila p<0,05. Hasil: Skor rata-rata OHIP-14 ID yaitu 14,76 ± 13,10. Skor tertinggi pada dimensi ketidaknyamanan fisik (2,84 ± 2,20) dan skor terendah pada dimensi keterbatasan fungsional (1,41 ± 1,96). Pada analisis bivariat, OHIP-14 ID berhubungan signifikan dengan kebiasaan merokok (p = 0.00), asuransi kesehatan (p = 0.03), rute transmisi HIV (p = 0,03), dan skor DMFT (p = 0,00). Dimensi keterbatasan fungsional secara signifikan berhubungan dengan pendapatan per bulan, merokok, durasi infeksi HIV, rute transmisi HIV, status dental dan lesi oral HIV. Dimensi ketidaknyamaman fisik secara signifikan berhubungan dengan pernikahan, asuransi kesehatan, merokok, durasi infeksi HIV, rute transmisi HIV, koinfeksi, status dental dan lesi oral HIV. Dimensi ketidaknyamanan psikologis secara signifikan berhubungan dengan jenis kelamin, merokok, durasi infeksi HIV, status dental dan lesi oral HIV. Dimensi ketidakmampuan fisik secara signifikan berhubungan dengan durasi infeksi HIV, status dental, dan lesi oral HIV. Dimensi ketidakmampuan psikologis secara signifikan berhubungan dengan asuransi, status pernikahan, merokok, durasi infeksi HIV, rute transmisi HIV, status dental, dan lesi oral HIV. Dimensi ketidakmampuan sosial secara signifikan berhubungan dengan usia, pendidikan, merokok, durasi ART dan durasi HIV. Dimensi kecacatan secara signifikan berhubungan dengan status dental dan lesi oral HIV. Kesimpulan: Merokok, asuransi kesehatan, rute transmisi HIV, dan DMFT ditemukan sebagai faktor yang memiliki hubungan signifikan yang dapat ditargetkan untuk meningkatkan kualitas hidup pada ODHA. Untuk mencegah penyakit rongga mulut, penting untuk melakukan orientasi kembali layanan kesehatan mulut bagi ODHA. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan pada populasi ODHA.

Background: In dentistry, Oral Health Related Quality of life (OHRQoL) is recognized as an essential end point in the disease management of chronic conditions such as HIV. In Indonesia, however, the OHRQoL associated factors of people living with HIV/AIDS (PLWHA) has not been previously explored. The aim of this study was to identify OHRQoL and its dimensions associated factors among PLWHA. Methods: An analytic descriptive cross-sectional study was conducted to HIV positive patients who invited to Lotus Clinic of Dental Hospital Universitas Indonesia. All respondents were aged ≥ 18 years old and MMSE scored >24. The consecutive sample consisted of 105 respondents. The Oral health-related quality of life was assessed of OHIP-14 ID questionnaire. All of respondents completed OHIP-14 ID questionnaire, sociodemographic form, medical history form and intra oral examination. The correlation of sociodemographic variables (sex, age, monthly income, education level, occupation, marital status, smoking,), HIV related variables (CD4 cell counts, HIV viral load, coinfections, HIV duration, ARV duration, HIV transmission mode), oral health status variables (DMFT index, OHI-S index, denture use, HIV oral lesion, last dental visit) on OHRQol and its dimensions were assessed with Mann-whitney U test, Kruskal-wallis, Independent T-test, and correlation tests (Pearson Correlation) using SPSS. Results: The mean score of the OHIP-14 ID was 14.76 ± 13.10. The highest and lowest scores belonged to the physical pain dimension (2.84 ± 2.20) and functional limitation (1.41 ± 1.96) domain respectively. In the bivariate analysis, the OHIP-14 ID was significantly associated with patients' smoking habit (p = 0.00), health insurance (p = 0.03), HIV transmission mode (p = 0.03), and DMFT index (p = 0.00). Functional limitation dimension was significantly associated with monthly income, smoking, HIV duration, HIV transmission mode, DMFT index, HIV oral lesion. Physical pain dimension was significantly associated with marital status, health insurance, smoking, HIV duration, HIV transmission mode, coinfection, DMFT index, HIV oral lesion. Psychological discomfort dimension was significantly associated with sex, smoking, HIV duration, DMFT index, HIV oral lesion. Physical disability dimension was significantly associated with HIV duration, DMFT index, HIV oral lesion. Psychological disability dimension was significantly associated with health insurance, HIV duration, HIV transmission mode, DMFT index, HIV oral lesion. Social disability dimension was significantly associated with age, education level, smoking, ART duration, HIV duration. Handicap dimension was significantly associated with DMFT index and HIV oral lesion. Conclusions: Smoking, health insurance, HIV transmission mode and DMFT index were identified as significant associated factors which could be targeted to improve quality of PLWHA. In order to prevent oral diseases, it is important to reorient oral health services for the PLWHA. Further studies among HIV/AIDS patient populations are desirable."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maulana Kurniawan Budiutama
"Penelitian ini bertujuan membuktikan korelasi antara mobilitas dan kualitas hidup pada pasien gagal jantung kronik stabil. Penelitian potong lintang ini dilakukan menggunakan instrumen Timed Up and Go Test dan SF 36 pada 50 subyek gagal jantung kronik yang menjalani rawat jalan. Hasil penelitian ini adalah nilai korelasi antara waktu tempuh Timed Up and Go Test dan nilai total SF 36 serta subskalanya. Penelitian ini mendapatkan rerata waktu tempuh Timed Up and Go Test adalah 10,68 detik dan rerata nilai total SF 36 66 (+16,49). Pada masing masing subskala SF 36 didapatkan nilai tengah pada skala fungsi fisik adalah 77,5 (15-100), skala nyeri 67,5 (22-100), skala kesehatan umum 70 (40-90), skala kesehatan jiwa 84 (40-96), skala peranan fisik 0 (0-100), skala peranan emosional 100 (0-100), skala energi 67,5 (20-90), dan skala fungsi sosial 87,5 (37,5-100). Pada skor total terdapat korelasi negatif rendah ( r = -0.280 ) dengan tingkat mobilitas. Pada skala SF 36, mobilitas memiliki korelasi negatif dengan skala fungsi fisik ( r = -0.464 ) dan energi ( r = -339 ). Temuan ini menunjukkan bahwa semakin singkat waktu tempuh TUGT, semakin baik kualitas hidup, terutama fungsi fisik dan energi pada subyek. Pada skala lain, tidak didapatkan korelasi bermakna.

This study aims to prove a correlation between mobility and quality of life in patients with stable chronic heart failure. This cross-sectional study was conducted using the Timed Up and Go Test and SF 36 instruments on 50 subjects with chronic heart failure. The results of this study were correlation values ​​between the travel time of Timed Up and Go Test and the total value of SF 36 and their subscale. This study found that the average travel time of the Timed Up and Go Test was 10.68 seconds and the mean total value of SF 36 is 66 (+16.49). In each SF 36 subscale, the median score on the scale of physical function was 77.5 (15-100), pain scale 67.5 (22-100), general health scale 70 (40-90), mental health scale 84 (40 -96), physical role scale 0 (0-100), emotional role scale 100 (0-100), energy scale 67.5 (20-90), and social function scale 87.5 (37,5-100). In the total score there is a low negative correlation (r = -0.280) with the level of mobility. Mobility has a moderate negative correlation with physical function scale (r = -0.464) and energy (r = -339). This finding shows that the shorter the TUGT travel time, the better the quality of life, especially physical and energy functions in the subject. On other scales, no significant correlation was found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Widyawati
"ABSTRAK
DM tipe 1 merupakan penyakit kronik yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Penatalaksanan yang kurang baik dapat meyebabkan berbagai komplikasi yang akan mempengaruhi kualitas hidup remaja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan skor kualitas hidup remaja dengan DM tipe 1 di tinjau dari laporan remaja dan orang tua. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan jumlah sampel 25 orang remaja dan 25 orang tua. Hasil penelitian menunjukan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara skor kualitas hidup remaja dengan DM tipe 1 ditinjau dari laporan remaja dan orang tua (p=0,521 α=0,05). Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu adanya perhatian khusus pada kekhawatiran remaja sehingga perlu dilakukan pengkajian kualitas hidup secara berkesinambungan untuk memfasilitasi komunikasi dan mencegah depresi.

ABSTRACT
Type 1 Diabetes Mellitus is an incurable chronic disease until today. Poor treatment can cause various complications that will affect the quality of life of adolescents. The purpose of this study is to determine the differences in scores of quality of life in adolescents with type 1 Diabetes Mellitus reviewed from the Adolescents and Parents Report. This study used cross sectional design with a sample of 25 adolescents and 25 parents. The results showed that there were no statistically significant differences in scores of quality of life in adolescents with type 1 Diabetes Mellitus reviewed from the adolescents and parents report (p=0.521 α=0.05). Recommendation from this study is the need of a special attention to adolescent concerns so that it is necessary to make continuous study on the quality of life to facilitate the communication and to prevent depression."
2016
S63497
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anyeliria Sutanto
"Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan salah satu komplikasi neurologis yang banyak ditemui pada pasien HIV. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi HIV tersebut ataupun sebagai akibat efek samping terapi antiretroviral, khususnya stavudin. Manifestasi klinis neuropati sangat beragam, salah satunya ialah adanya keluhan nyeri, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh neuropati perifer terhadap kualitas hidup pasien HIV dalam terapi antiretroviral non-stavudin.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi komparatif potong lintang yang melibatkan pasien HIV di RS Cipto Mangunkusumo pada bulan September 2016 hingga September 2017. Kriteria inklusi subjek ialah pasien HIV dewasa dalam terapi antiretroviral non-stavudin selama minimal 12 bulan yang akan dibagi menjadi dua kelompok, berdasarkan brief peripheral neuropathy screening tool BPNST , yaitu kelompok dengan neuropati perifer dan tanpa neuropati perifer. Penilaian depresi dengan Hamilton depression rating scale HDRS dan evaluasi kualitas hidup dengan short form-36 health survey SF-36 . Kuesioner SF-36 mencakup domain kesehatan fisik dan kesehatan mental dengan rentang skor 0-100. Skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik. Data dianalisis dengan SPSS 20.0.
Hasil: Didapatkan subjek sebanyak 29 orang pada kelompok neuropati perifer dan 58 orang pada kelompok tanpa neuropati perifer. Rentang usia subjek ialah 23-59 tahun dengan median kadar sel limfosit T CD4 yang lebih rendah 406 sel/mm3 vs. 540 sel/mm3 dan persentase riwayat terapi isoniazid yang lebih tinggi 62,1 vs. 37,9 pada kelompok neuropati perifer. Karakteristik demografis usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, status pernikahan dan karakteristik klinis jumlah sel limfosit CD4 terakhir tidak mempengaruhi kualitas hidup pada kedua kelompok, baik dengan maupun tanpa neuropati perifer. Tidak didapatkan perbedaan skor SF-36 yang bermakna pada kedua kelompok. Tampak median skor SF-36 yang lebih rendah pada subjek dengan nyeri neuropatik pada ekstremitas bawah skor kesehatan fisik 77,5 vs. 85,31 dan depresi skor kesehatan fisik 80 vs. 94,37 dan skor kesehatan mental 75 vs 89,68 untuk kelompok neuropati, skor kesehatan fisik 78,75 vs. 90,31 dan skor kesehatan mental 70,72 vs 88,75 untuk kelompok tanpa neuropati . Viral load RNA HIV berkorelasi negatif terhadap skor SF-36 pada kelompok dengan neuropati perifer skor kesehatan fisik, rs = -0,376 dan skor kesehatan mental, rs = -0,308.
Kesimpulan: Neuropati perifer tidak mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV dalam terapi antiretroviral non-stavudin.Kata Kunci: antiretroviral non-stavudin, HIV, kualitas hidup, neuropati perifer.

Background Peripheral neuropathy is one of the most common neurologic complications in patients with HIV, which is caused by the HIV infection itself or as the side effect of antiretroviral therapy ART , particularly the usage of stavudine. Patients with neuropathy might complain various clinical manifestations, including pain, which could significantly affect patients quality of life. Aim of this study was to evaluate the role of peripheral neuropathy to quality of life of patients with HIV receiving non stavudine antiretroviral therapy.
Materials and Method This was a cross sectional internal comparison study which were done to HIV patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during September 2016 to September 2017. Inclusion criteria were HIV adult patients with non stavudine antiretroviral therapy for minimum of 12 months which will be divided into two groups, based on brief peripheral neuropathy screening tool BPNST , as neuropathy group and non neuropathy group. Diagnosis of depression by Hamilton depression rating scale HDRS , and evaluation of quality of life was based on 36 item short form survey SF 36 . The SF 36 assessed physical health PH and mental health MH domain with score ranged from 0 to 100, in which higher score represents better quality of life. Data was analyzed using SPSS 20.0.
Results There were 29 subjects with peripheral neuropathy and 58 subjects without peripheral neuropathy. Age of the subjects was ranging from 23 to 59 years old, with lower median of CD4 lymphocyte count 406 cells mm3 vs. 540 cells mm3 and higher percentages of isoniazid therapy 62.1 vs. 37.9 in neuropathy group. Demographic characteristics age, sex, education level, employment, marital status and clinical characteristic CD4 lymphocyte count was not affecting the quality of life, both in neuropathy group and non neuropathy group. No significant difference was found from SF 36 score in both groups. There were lower SF 36 score median in subjects with neuropathic pain in lower extremities PH score 77.5 vs. 85.31 and depression PH score 80 vs. 94.37 and MH score 75 vs 89.68 in neuropathy group, PH score 78.75 vs. 90.31 and MH score 70.72 vs 88.75 in non neuropathy group. Viral load was negatively correlated with SF 36 score in subjects with peripheral neuropathy PH score, rs 0,376 and MH score, rs 0,308.
Conclusion Peripheral neuropathy did not affect the quality of life of HIV patients receiving non stavudin antiretroviral therapy."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Indriyani Dida
"ABSTRAK
Saat ini proporsi kejadian terinfeksi HIV pada perempuan semakin meningkat. Kualitas hidup pada ibu rumah tangga dengan HIV rendah, hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti HIV disclosure, stigma dan stres. Tujuan : Mengidentifikasi hubungan HIV disclosure, stigma dan stres terhadap kualitas hidup ibu rumah tangga dengan HIV di Kupang, menggunakan desain penelitian cross sectional. Sampel terdiri dari 120 ibu rumah tangga dengan HIV di poli VCT Sobat yang dipilih dengan teknik consecutive sampling. Hasil : Ada hubungan antara stres (p=0,011;α=0,005) dan stigma (p=0,001;α=0,005) dengan kualitas hidup ibu rumah tangga dengan HIV. Faktor paling dominan yang mempengaruhi kualitas hidup ibu rumah tangga dengan HIV adalah tingkat stres sedang (p=0,009;α=0,005; OR=7,667; 95% CI= 1,678-35,032). Kesimpulan : Stres dan stigma berhubungan dengan kualitas hidup ibu rumah tangga denfan HIV di Kupang. Direkomendasikan untuk dilakukan deteksi dini tingkat stres pada ibu rumah tangga dengan HIV agar dapat dilakukan intervensi awal untuk mengurangi stigma dan meningkatkan kualitas hidup.

ABSTRACT
The proportion of HIV-infected women currently increases. Quality of life in housewives with HIV is low, this can be caused by many factors such as HIV disclosure, stigma and stress. Objective: To identify the relationship between HIV disclosure, stigma and stress on the quality of life of housewives with HIV in Kupang, using a cross sectional study design. The sample consisted of 120 housewives with HIV in poly VCT friends who were selected by consecutive sampling technique. Results: There was a relationship between stress (p = 0.011; α = 0.005) and stigma (p = 0.001; α = 0.005) with the quality of life of housewives with HIV. The most dominant factor affecting the quality of life of housewives with HIV is the moderate stress level (p = 0.009; α = 0.005; OR = 7.667; 95% CI = 1.678-35.032). Conclusion: Stress and stigma are associated with quality of life of housewives with HIV in Kupang. Early detection of stress levels in housewives with HIV is recommended so that early intervention can be carried out to reduce stigma and improve quality of life.

 

"
2019
T53071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Ari Wibowo
"Latar belakang Pelayaran singkat, pertukaran proses bersandar dan berlayar yang cepat, serta kepadatan lalu-lintas di jalur pelayaran Bakauheni menjadi tantangan bagi awak kapal feri roro dalam mempertahankan pola kerja dan menyebabkan tekanan psiko-emosional, yang dapat mengganggu kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan pola rotasi kerja terhadap kualitas tidur pada awak kapal feri roro, serta faktor lain yang berhubungan.
Metode Dengan desain potong lintang, awak kapal feri roro di Pelabuhan Bakauheni yang dipilih dilakukan penilaian kualitas tidur dengan menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Karakteristik pekerjaan yang dinilai: jabatan, durasi berlayar, masa kerja, jumlah shift kerja, jam kerja/shift, jam kerja/minggu. Getaran dan kebisingan diukur pada setiap kamar tidur awak kapal yang dipilih.
Hasil Sebanyak 107 responden dari 4 kapal berbeda dilibatkan dalam penelitian ini dengan karakteristik sebagian besar berusia >35 tahun (54,2%), masa kerja >10 tahun (59,8%), bekerja dalam pola shift (81,4%) dengan jam kerja ≤10 jam/shift (82,2%), serta waktu kerja total ≤72 jam/minggu (51,4%). Kualitas tidur buruk didapatkan pada 72,9% responden. Pola kerja 2- shift (OR: 34.67, 95% CI: 3.21–375.07) dan 3-shift (OR: 14.19, 95% CI: 1.26–159.35) merupakan faktor determinan kualitas tidur buruk pada awak kapal feri roro. Faktor lain yang berhubungan adalah jabatan (OR: 8,20, 95% CI: 1,90–35,39) dan getaran (OR: 3,83, 95% CI: 1,09–13,49).
Kesimpulan Dengan prevalensi kualitas tidur buruk yang cukup tinggi, pengawasan dan pengaturan pola rotasi kerja awak kapal feri roro perlu ditingkatkan. Perusahaan pelayaran harus melakukan pemeliharaan, modifikasi, atau pembaharuan akomodasi kapal untuk meningkatkan kualitas tidur awak kapal.

Introduction
Crew members on roll-on roll-off (roro) ferries at the crossing port face many work challenges, including more port calls due to shorter voyages and challenging sailing conditions. These factors can lead to an irregular work schedule and psychological and emotional stress, that can induce sleep disruption. This study aims to analyse the association of work schedule and sleep quality, as well as other related factors.
Method
This cross-sectional study was conducted at Bakauheni port Lampung, Indonesia, which is renowned as one of the busiest ports in Indonesia, The Indonesian version of the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) was used to assess the quality of sleep. An interview was conducted to gather information regarding the job rank, duration on board, seafaring experience, shifts schedule, and working hours. Vibrations and noise levels were measured in the bedrooms of selected crews. The determining factor was analyzed using logistic regression.
Result
We conducted an analysis on a sample of 107 participants from four randomly selected ships that shared comparable characteristics. The majority of participants were over the age of 35 (54,2%), had more than 10 years of sailing experience (59,8%), worked in shifts (81,4%), and had total working hours of 72 hours or less per week (51,4%). Approximately 72.9% of the participants experience poor sleep quality. The 2-shift (OR: 34.67, 95% CI: 3.21–375.07) and 3-shift (OR: 14.19, 95% CI: 1.26–159.35) schedule are determining factors that associated with poor sleep quality. Additionally, job rank (OR: 8.20, 95% CI: 1.90–35.39) and exposure to vibration (OR: 3.83, 95% CI: 1.09–13.49) are other contributing factors.
Conclusion
There is a high of prevalence of poor sleep quality among roro ferry crews in Indonesia. The regulation of the work rotation schedule needs to be improved and supervised. Shipping companies are required to provide appropriate accommodation for the crews.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gladis Charisma Inshani
"ABSTRACT
Pertumbuhan jumlah perusahaan yang bergerak dalam pasar global saat ini cukup pesat, hal tesebut beriringan dengan kebutuhan keahlian karyawan dengan skala internasional yang diperoleh dengan cara penugasan internasional. Penugasan internasional dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan talenta para karyawan. Menurut penelitian sebelumnya permasalahan yang terjadi di perusahaan dalam penugasan internasional adalah terdapat kesenjangan jumlah karyawan laki-laki dan perempuan yang mendapat kesempatan untuk bertugas ke luar negeri, dimana jumlah karyawan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal tesebut terjadi karena beberapa faktor yaitu kurangnya role model, sulit menyesuaikan budaya host country, dual-career issues, dan fokus kepada karir setelah repatriasi. Dengan adanya permasalahan tersebut, penelitian ini lebih mengeksplor mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi karyawan perempuan dalam penugasan internasional terutama bagi karyawan perempuan di Indonesia. Data kualitatif penelitian ini diperoleh dari 8 karyawan perempuan pada perusahaan multinasional dengan melakukan in-depth interview. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada work-life issues tantangan yang dihadapi perempuan adalah ststus pernikahan, anak dan time management; pada cross-cultural adjustment tantangan yang dihadapi berupa stereotyping dan tingkat cultural intelegence karyawan yang mempengaruhi penyesuaian diri mereka di host country; dan pada repatriation karyawan perempuan dihadapkan dengan tantangan reverse culture shock, career expectation, dan tingkat turnover.

ABSTRACT
The growth of the number of companies engaged in the global market is now quite rapid, it is in tandem with the expertise needs of employees on an international scale obtained by international assignments. International assignments are carried out in hopes of increasing the talents of employees. According to previous research the problems that occur in companies in international assignments are that there are gaps in the number of male and female employees who have the opportunity to work abroad, where the number of female employees is lower than that of men. This happens because of several factors, namely the lack of role models, it is difficult to adjust the host countrys culture, dual-career issues, and focus on careers after repatriation. With these problems, this study explores more about the challenges faced by female employees in international assignments, especially for female employees in Indonesia. The qualitative data of this study were obtained from 8 female employees in multinational companies by conducting in-depth interviews. The results of this study indicate that in the work-life issues the challenges faced by women are the status of marriage, children and time management; on cross-cultural adjustment the challenges faced are in the form of stereotyping and the cultural level of employee intelligence that influences their adjustment in the host country; and the repatriation of female employees is faced with the challenge of reverse culture shock, career expectation, and turnover rate."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman
"Pandemi COVID-19 berdampak sangat luas, khususnya pada orang dengan HIV/AIDS sering mengalami stress dan cemas lantaran takut tertular COVID-19, yang dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup mereka. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) selama masa pandemi COVID-19. Metode penelitian ini adalah cross sectional, jumlah sampel sebanyak 133 orang diambil secara convenience sampling. Resiliensi diukur menggunakan kueosiner (CD-RISC-25), dukungan sosial (MSPSS) dan kualitas hidup menggunakan (WHOQoL-HIV-BREF). Dari hasil analisis Chi-Squaire bahwa resiliensi memiliki hubungan signifikan terhadap kualitas hidup dengan (p=0,000 < α=0,05). Demikian juga dukungan sosial memiliki hubungan signifikan terhadap kualitas hidup dengan (p=0,000 < α=0,05). Sedangkan dari hasil analisis regresi logistic berganda menunjukkan bahwa resiliensi menjadi variable dominan yang mempengaruhi kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS dengan nilai OR=59,533. Kesimpulan ada hubungan antara resiliensi dan dukungan sosial dengan kualitas hidup, dan responden yang memiliki resiliensi tinggi memiliki kecenderungan 59,53 kali lebih tinggi memiliki kualitas hidup baik dibandingkan dengan responden yang memiliki resiliensi sedang dan rendah setelah dikontrol oleh status pernikahan, tingkat penghasilan dan lama didiagnosa HIV.

During the COVID-19 pandemic the impact was very broad, including people with HIV/AIDS, eexperienced fear of contracting COVID-19. The aim of this study was to determine the relationship between resilience and social support with the quality of life among people living with HIV/AIDS (PLWH) during pandemic. Methods: This research was a cross sectional study, involved 133 respondents that took part in the survey. The resileience was measured by (CD-RISC-25) questionnaire, and the social support was measured by (MSPSS), while the quality of life was measured by (WHOQoL-HIV-BREF). Results: resilience has a significant relationship with quality of life with (p = 0.000 < = 0.05). Likewise, social support has a significant relationship with quality of life (p = 0.000 < = 0.05). Multiple logistic regression analysis show that resilience is the dominant variable that affected the quality of life in people with HIV/AIDS with OR=59,533. The conclusion : resilience and social support with quality of life, and respondents who have high resilience have a 59.53 times higher tendency to have a good quality of life compared to respondents who have moderate and low resilience after being controlled by marital status, income status and duration of HIV diagnosis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khalid Mohammad Shidiq
"Latar belakang HIV / AIDS adalah penyakit kronis dengan spektrum klinis luas yang membutuhkan perawatan seumur hidup, dan dapat menurunkan kualitas hidup. Belum ada alat sederhana untuk mengevaluasi gejala infeksi HIV dan efek samping pengobatan yang dapat digunakan dalam pengaturan rawat jalan. Pengukuran gejala objektif penting karena berkorelasi dengan kepatuhan pengobatan dan progresifitas penyakit.
Objektif. Untuk menilai keandalan Indeks Gejala HIV versi Indonesia untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS, dan mengetahui profil gejala / pola pasien HIV / AIDS di Indonesia menggunakan Indeks Gejala HIV.
Metode. Ini adalah studi cross sectional pada subyek HIV / AIDS rawat jalan. Subjek direkrut secara acak di klinik HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari September hingga November 2018. Penilaian reliabilitas onaire Questi dilakukan pada 20 subjek, dan evaluasi gejala dilakukan pada 87 subjek. Adaptasi bahasa dari versi bahasa Inggris asli ke bahasa Indonesia dilakukan dengan metode Beaton dan Guillemin. Realibility dari versi Indonesia Indeks Gejala HIV diuji dengan alpha cronbach adalah analisis koefisien, dan validitas internal itu diuji dengan multitrait analisis skala. Indeks Gejala HIV versi Indonesia yang valid dan andal kemudian digunakan untuk membuat profil pola gejala pasien HIV / AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo .
Hasil. Indeks Gejala HIV versi Indonesia dapat diandalkan ( cronbach alpha 0,76) dan valid ( korelasi multitrait > 0,4) untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS. Gejala yang paling umum adalah kelelahan (55,7%), diikuti oleh insomnia (43,3%), pusing dan pusing (42,3%), masalah kulit (42,3%), dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di tangan atau kaki (39,2%). Keluhan paling jarang adalah demam (15,5%), batuk (20,6%), mual atau muntah (20,6%), diare (21,6%), dan kehilangan nafsu makan (23,7%).
Kesimpulan. Indeks gejala HIV versi Indonesia dapat diandalkan dan valid untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS secara objektif. Gejala yang paling sering adalah kelelahan atau kelemahan, pusing atau sakit kepala ringan, susah tidur, masalah kulit, dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di tangan atau kaki.

Backgrounds. HIV/AIDS is a chronic disease with a wide clinical spectrum which needs a long life treatment, and could decrease quality of life. There is yet a simple tool to evaluate symptoms of HIV infection and treatment s side effect that can be used in outpatient setting. Objective symptoms measurement is important because it is correlated to treatment adherence and progressivity of the disease.
Objective. To assess reliability of Indonesian version of HIV Symptom Index for measuring symptoms of HIV/AIDS patients, and knowing the symptom profile/pattern of HIV/AIDS patients in Indonesia using HIV Symptom Index.
Method. It is a cross sectional study in outpatient HIV/AIDS subjects. Subjects are recruited randomly in Cipto Mangunkusumo Hospital s HIV clinic from September until November 2018. Questionaire reliability assessment was done on 20 subjects, and symptom evaluation is done on 87 subjects. Language adaptation from the original english version into Indonesian was done with Beaton and Guillemin method. Realibility of Indonesian version of HIV Symptom Index was tested by alpha cronbach s a coefficient analysis, and the internal validity was tested with multitrait scaling analysis. The Valid and reliable Indonesian version of HIV Symptom Index is then used to profile the symptom pattern of HIV/AIDS patients in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Result. Indonesian version of HIV Symptom Index is reliable (cronbach alpha 0,76) and valid (multitrait correlation >0,4) to measure symptoms of HIV/AIDS patients. The most common symptom is fatigue (55,7%), followed by insomnia (43,3%), dizziness and lightheaded (42.3%), skin problems (42,3%), and pain, numbness, or tingling in the hands or feet (39,2%). The rarest symptoms are fever (15,5%), cough (20,6%), nausea or vomiting (20,6%), diarrhea (21,6%), and lost of appetite (23,7%).
Conclusion. Indonesian version of HIV symptom Index is reliable and valid to measure symptoms of HIV/AIDS patiens objectively. Most frequent symotoms are fatigue or weakness, dizzines or lightheaded, insomnia, skin problems, and pain, numbness, or tingling in the hands or feet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>