Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jacinta Fransisca Rini
Abstrak :
Pola asuh orang tua memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian seorang anak. Bagaimana orang tua mengasuh anak banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadi di masa Ialu yang membentuk karakter dan kepribadiannya.
Para orang tua berinteraksi dengan anak dan kedekatan yang terjalin antara mereka amat mempengaruhi persepsi anak terhadap dirinya. Orang tua yang menunjukkan sikap dan tindakan abusive, otoriter, menanamkan rasa malu dan bersalah pada anak sejak dini, merupakan umpan balik yang negatif dan dipersepsi sebagai penolakan yang disebabkan kekurangan dan kelemahan dirinya.
Orang tua yang abusive, dikatakan menerapkan aturan secara kaku disertai hukuman yang menyiksa. Siksaan yang dialami oleh seorang anak, tidak hanya menimbulkan trauma secara fisik (mengalami hambatan perkembangan Fisik dan intelectual), tapi juga secara psikis karena ia akan hidup dalam ketakutan, kemarahan, kebencian, kesedihan, kecemasan, keputusasaan dan ketidakberdayaan atas perlakuan orang tua yang tidak adil. Semua pengalaman emosional yang traumatis dalam kehidupan bersamanya dengan orang tua dapat mendorong berkembangnya gangguan kepribadian paranoid di masa selanjutnya.
Pada umumnya, penderita gangguan kepribadian paranoid dikatakan oleh para ahli, memiliki orang tua yang abusive. Menurut DSM IV, gangguan kepribadian paranoid bam menampakkan manifestasinya di awal masa dewasa.
Masalahnya, manifestasi gangguan kepribadian paranoid di masa dewasa mempengaruhi seluruh aspek kehidupan individu tersebut, termasuk kehidupan berkeluarga. Sikap dan perilaku individu paranoid akan mempengaruhi pola asuh dan interaksinya baik dengan anak-anak maupun pasangan. Penelitian ini menemukan, bahwa pola asuh yang negatif di masa Ialu tidak hanya mempengaruhi pembentukan karakter individu, namun mempengaruhi cara individu tersebut mendidik dan mengasuh anaknya sendiri di masa selanjutnya.
Penelitian ini menemukan adanya pola-pola yang sama seperti yang terdapat pada generasi sebelumnya, seperti dalam pemilihan pasangan, cara berinteraksi dengan pasangan, cara interaksi dan pengasuhan terhadap anak. Terlihat dalam penelitian ini bagaimana gangguan kepribadian paranoid yang dialami subyek utama penelitian, menyebabkan distimgsi pada keluarga, seperti yang dialami pula dalam keluarga asalnya dahulu. Hal yang membedakan adalah adanya intervensi penanganan terhadap gangguan kepribadian paranoid serta sikap positif yang ditunjukkan pihak keluarganya sendiri (bukan keluarga asal) terhadap subyek utama penelitian ini yang membawa pengamh terhadap pengembalian fungsi keluarga ke arah yang lebih baik.
Penelitian yang bersifat generasional ini pada dasarnya menarik untuk dipelajari dan dilakukan penggalian secara lebih dalam terhadap seluruh anggota keluarga agar dapat menemukan mata rantai yang jelas antara karakter, sikap dan perilaku orang tua terhadap persoalan kejiwaan dan kepribadian yang dialami anggota keluarga yang Iain. Saran yang dapat diberikan bagi peneliti selanjutnya, agar penelitian selanjutnya benar-benar bisa mencari dan menemukan informasi dari anggota keluarga Iain, baik dad satu generasi maupun antar generasi agar lebih bisa mengenali pola-pola yang nampak, yang dapat memberikan pengaruh baik positif maupun negatif pada pembentukan kepribadian seseorang.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jane Simon
Abstrak :
Anak penderita asma memiliki risiko mengalami masalah penyesuaian diri. Pada usia sekolah dan remaja, dimana anak sedang mengalami perkembangan fisik, kognitif£ dan psikososial, mereka juga harus menyesuaikan diri terhadap penyakit kronis yang menghambat fungsi pernafasan yang sulit diduga kapan terjadinya serangan asma tersebut. Keberhasilan seorang penderita asma melakukan penyesuaian diri dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah faktor usia, jenis kelamin, berat ringannya penyakit, relasi keluarga., sikap ibu terhadap anaknya yang sakit, serta sikap anak terhadap penyakitnya.
Penelitian ini bertujuan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri anak penderita asma usia sekolah dan remaja. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif Untuk mengungkapkan hal ini digunakan teknik analisis multiple regression terhadap subyek (N) = 76, yang terdiri alas 37 orang anak usia sekolah dan 39 orang anak usia remaja. Alat ukur yang dipakai adalah tiga buah kuesioner yang disusun berdasarkan teori pendukung serta The Child Attitude Towards Illness Scale (CATIS) dari Austin & Huberty (1993) yang diadaptasi terlebih dahulu.
Hasilnya ditemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri penderita asma usia sekolah adalah faktor sikap anak terhadap penyakitnya, dan pada penderita asma usia remaja adalah faktor sikap anak terhadap penyakitnya, jenis kelamin, dan sikap ibu terhadap anaknya yang sakit. Pada penelitian ini juga diperoleh hasil tambahan yaitu tidak ditemukan perbedaan penyesuaian diri yang signifikan pada usia anak sekolah dan usia remaja, serta tidak ditemukan pula perbedaan penyesuaian diri yang signifikan pada penderita asma kategori ringan, sedang, dan berat. Namun ditemukan adanya perbedaan penyesuaian diri yang signifikan antara remaja Iaki-Iaki dan remaja perempuan, dimana penyesuaian diremaja perempuan lebih baik dibandingkan remaja laki-laki; sementara pada anak usia sekolah tidak ditemukan perbedaan penyesuaian diri yang sigfinikan antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Christina Ruth Elisabeth; Junita Elvira Pandji Surya
Abstrak :
Ilustrasi Gambar Cerita (IGC) sebagai salah satu media pengajaran untuk anak prasekolah turut menentukan keberhasilan proses belajar mengajar anak. Penggunaan IGC pada cerita atau saat cerita disampaikan pada anak prasekolah dimaksudkan untuk membantu anak memahami isi cerita. Hal ini disebabkan karena saat anak mendengar cerita, beberapa kata atau kalimat tidak mereka pahami karena bersifat abstrak atau belum pernah mereka alami.
Pada pendidikan prasekolah sendiri terdapat penekanan untuk menstimulasi kemampuan mengingat anak sebagai salah satu aspek pengembangan kemampuan dasar daya pikir anak (Depdiknas, 2001). Sejalan dengan hal itu pemakaian IGC ditekankan saat mengajar anak dengan bercerita. Dari berbagai penelitian mengenai IGC di luar negeri, didapat pandangan yang berbeda (pro dan kontra) mengenai pengaruh IGC terhadap belajar anak Pada beberapa penelitian tersebut, diketahui pula bahwa pemaknaan unsur warna dalam IGC membuat IGC lebih berpengaruh secara efektif dalam memahami dan mengingat isi tulisan yang ilustrasikan (Spaulding dalam Anglin, Towers &. Levie, 1996).
Penelitian-penelitian yang disebutkan diatas sebagian besar belum melihat apakah pengaruh IGC menetap dalam waktu yang lama/durable over time (Anglin, Towers & Levie, 1996). Di Indonesia sendiri masih jarang dilakukan penelitian mengenai pengaruh IGC terhadap belajar anal; khususnya kemampuan mengingat anak. Oleh karena itulah penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh IGC terhadap kemampuan mengingat isi cerita jangka pendek dan jangka panjang pada anak prasekolah usia 5-6 tahun. Mengingat warna membuat anak lebih mudah menyimpan informasi dalam memori, maka penelitian ini juga akan meneliti perbedaan pengaruh dari IGC berwarna dan IGC Tidak berwarna terhadap kemampuan mengingat anak.
Pada awalnya direncanakan penelitian ini bersifat eksperimental, tapi pada pelaksanaannya tidak dapat dilakukan random assignment schinggts penelitian ini lebih bersifat quasi-experimental. Penelitian ini dilakukan terhadap anak-anak TK B Sekolah Tina Marla-Yayasan BPK Penabur, Pondok Indah_ Sampel penelitian berjumlah 36 anak yang diperoleh dengan teknik accidental sampling. Dan hasil penelitian diperoleh bahwa secara umum tingkat kemampuan mengingat isi cerita pada anak prasekolah usia 5-6 tahun, paling rendah jika tidak menggunakan IGC saat cerita disampaikan. Pada kemampuan mengingat jangka pendek, IGC tidak berwarna berpengaruh secara signifikan positifi Pada kemampuan mengingat jangka panjang, baik IGC tidak berwarna maupun IGC berwarna berpengaruh secara signifikan positif hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara IGC berwarna dan IGC tidak berwarna.
Pada penelitian lebih lanjut disarankan untuk melakukan random assigment saat pembagian kelompok penelitian dan juga melakukan pengontrolan terhadap kecenderungan gaya belajar anak (visual dan verbal). Jumlah sampel penelitian juga perlu diperbanyak, misalnya dengan melibatkan beberapa sekolah agar hasil penelitian bisa digeneralisir secara lebih luas. Untuk menghindari berpengaruhnya variabel sekunder pencerita, cerita bisa disampaikan pada anak dengan cara mendengarkan cerita yang direkam dalam kaset.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan mengingat anak berada pada tingkat paling rendah jika tidak menggunakan IGC dan IGC tidak berwarna memberikan pengaruh yang signifikan positif terhadap kemampuan mengingat isi cerita pada anak prasekolah usia 5-6 tahun. Oleh karena itu disarankan pada pendidik anak prasekolah dan orang tua untuk memakai IGC saat bercerita pada anak, karena informasi yang diberikan akan lebih banyak dipahami dan diingat anak.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lyly Puspa Palupi Sutaryo
Abstrak :
Persahabatan merupakan salah satu bentuk hubungan yang dikembangkan oleh individu pada masa dewasa muda. Dalam hubungan persahabatan ini individu dapat mengembangkan keintiman dan ikatan yang kuat. Hal ini berkaitan erat dengan salah satu tugas perkembangan yang penting bagi individu dewasa muda yakni menjalin hubungan intim. Tugas perkembangan ini berkaitan dengan krisis intimacy versus isolation dalam pandangan teori perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson. Persahabatan dapat terjadi antara individu yang berjenis kelamin sama (same-sex friendship) dan berjenis kelamin berbeda (cross-sex fiendshzp). Persahabatan lawan jenis merupakan hubungan murni yang tidak berorientasi seksual, romantis, atau cinta. Saat ini ternyata pada umumnya orang masih meragukan apakah pria dan wanita dapat menjadi sahabat. Karakteristik utama dari hubungan persahabatan adalah keintiman Keintiman adalah pengalaman yang ditandai oleh adanya kedekatan, kehangatan dan komunikasi Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran keintiman persahabatan lawan jenis pada dewasa muda yang belum menikah, serta bagaimana gambaran masalah yang dihadapi individu dalam persahabatan tersebut. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif Metode pengambilan data adalah wawancara. Subyek yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 4 orang terdiri dari 2 orang wanita dan 2 orang pria. Usia subyek berada pada rentang 24 - 25 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi keintiman pada persahabatan lawan jenis yang belum menikah diwujudkan dalam bentuk keterbukaan diri, kepercayaan, kebebasan pengekspresian emosi, dukungan di saat suka dan duka, dan melakukan kegiatan bersama. Sedangkan masalah yang dihadapi antara lain adalah memberi batasan tentang persahabatan, mengatasi ketertarikan pada sahabat, dan menghadapi pandangan orang lain yang meragukan hubungan persahabatan lawan jenis.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mestika Dewi
Abstrak :
Kehidupan pernikahan tidak selalu berjalan dengan mulus dan dapat berakhir dengan perceraian. Perceraian orang tua merupakan sumber masalah, sumber stres yang signifikan dan sumber stres psikososial terbesar bagi anak anak dan memberikan dampak yang negatif pada banyak anak (Journal of Marriage and Family edisi Agustus tahun 2001, dalam Kompas, hal. 28, 26 September 2004). Perceraian ini dimaknai anak-anak terutama remaja sebagai kejadian yang tidak menyenangkan dan menyakitkan mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah melalui memaafkan, yaitu“pintu” untuk menyembuhkan luka~luka batin (Desmond Tutu, Kompas, hal. 13, I9 Desember 2004). Peneliti menggunakan beberapa tahapan proses memaaikan berdasarkan rangkuman dari berbagai sumber, yaitu Wallerstein, 1983 (dalam Bigner, 1994); Malcolm dan Greenberg (dalam Cullough, Pargament dan Thoresen, 2000); Worthjngthon (dalam Sumampouw, 2004); Enright dan Coyle (dalam Sumampouw, 2004); dan Gordon dan Baucom, I999 (dalam Yunita, 2004) yang juga berkaitan dengan tugas psikologis remaja yang orang tuanya bercerai, yaitu menjadi menerima dan mengalami akibat perceraian, mencari makna dan implikasi terhadap pemahaman baru dan menjalankan kehidupan berdasarkan keyakinan baru. Masing-masing tahapan terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu terhadap ayah, terhadap ibu dan terhadap orang tua berkaitan dengan pengalaman yang menyakitkan dalam peristiwa/kejadian perceraian tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif sebagai tipe penelitian, menggunakan metode wawancara dan observasi sebagai metode pengambilan datanya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua subyek dalam usaha memaafkan terutama terhadap orang tua berkaitan dengan pengalaman yang menyakitkan dalam peristiwa/kejadian perceraian tersebut; sedangkan secara khusus tedradap ayah dan ibu, setiap subyek berbeda-beda dalam menghayatinya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miniwaty Halim
Abstrak :
Kematian merupakan hal yang pasti akan terjadi pada semua manusia Walaupun demikian, kematian tetap tinggal sebagai suatu misteri karena manusia tidak pernah tahu kapan, dimana, bagaimana kematiannya akan terjadi serta apa yang akan terjadi setelah kematiannya. Sifat kematian sebagai misteri yang tak terelakkan ini menimbulkan perasaan ketakutan atau kecemasan pada diri manusia. Konstruk inilah yang dikenal dengan death anxiety atau fear of death, dimana penggunaan istilah ketakutan maupun kecemasan dapat saling menggantikan dalam topik tentang kematian (Rahim dkk, 2003). Peneiitian mengenai death anxiety umumnya diarahkan untuk menghasilkan alat ukur, misalnya Tempier's Death Anxiety Scale, Threat Index dan Bugen's Death. Shale (Mooney dalam Rahim dkk 2003). Di Indonesia sendiri alat ukur death unxiety dikembangkan oleh Sihombing dengan dasar teori dari Florian & Kravetz (Sihombing, 2002), yaitu Skala Ketakutan Akan Kematian. Alat yang kedua dikembangkan oleh Rahim dkk (2003) dengan dasar teori Florian & Kraveiz (Sihombing, 2002) serta Kastenbaum & Aisenberg (1976), yaitu Skala Ketakutan Terhadap Kematian Diri Sendiri. Skala ini terdiri dari empat dimensi death anxiety, yaitu Dying (ketakutan akan proses menghadapi kematian), Ajterlife (ketakutan akan apa yang terjadi setelah kemntian), Extinction (ketakutan akan kehilangan eksistensi diri, materi dan identitas sosial akibat kematian) serta Interpersonal Consequnces (ketakutan akan konsekuensi kematian diri sendiri terhadap orang-orang dekat). Skala ini menggunakan bentuk skala sikap 2 poin, yaitu setuju/tidak setuju. Pada pengujian reliabilitas dan validitas skala ini, didapat hasil yang cukup baik Reliabilitas total alat ini adalah 0,87- Sedangkan reliabilitas masing-masing dimensi berkisar antara 0,61 sampai 0,83. Sampel yang digunakan berjumlah 38 orang, terdiri dari orang dewasa berusia 40-65 tahun yang beragama Islam, Katolik dan Kristen. A Namun alat ukur ini masih memiliki beberapa kekurangan. Bentuk item setuju/tidak setuju kurang mampu mendiskriminasi derajat ketakutan subyek, bahasa dalam kalimat pernyataan beberapa item cenderung ambigu, serta indikator perilaku dalam dimensi Alterlfe dan Extinction yang masih tumpang tindih. Kekurangan-kekurangan ini mengakibatkan sebanyak I2 item dalam skala ini harus direvisi karena tidak valid. Penelitian ini bertujuan untuk merevisi Skala Ketakutan terhadap Kemaiian Diri Sendiri dari Rahim dkk (2003), Revisi ini terdiri dari revisi indikator perilaku dari dimensi Afterlife dan Extinction, revisi bentuk item menjadi skala Likert 6 poin, revisi atas kalimat pemyataan item termasuk menambah jumlah item negatif serta revisi alas sampel penelitian ini. Sampei penelitian ini menjadi 80 orang. Dari kelompok usia dewasa awal yang berkisar 20 sampai 40 tahun sebanyak 40 orang. Dari kelompok dewasa madya yang berkisar 40-65 tahun juga sebesar 40 orang. Sampel penelitian berasal dari agama Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha Dari hasil analisis data ternyata diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara derajat ketakutan pada kelompok usiadewasa awal dan dewasa madya. Hasil ini tidak mendukung teori yang menyatakan bahwa kelompok usia dewasa madya merupakan kelompok dengan derajat ketakutan terhadap kematian yang paling tinggi (Papalia dkk, 1998). Implikasi dan hasil analisis data ini adalah bahwa kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya dapat diperlakukan sebagai kelompok norma yang sama. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan metode koefisien alpha menghasilkan koeflsien sebesar 0,92- Koeflsien reliabilitas sebesar ini menunjukkan bahwa skala revisi memiliki konsistensi yang baik (Anastasi & Urbina, 1997). Sedangkan korelasi antara item dengan dimensi mendapatkan adanya 2 item yang tidak: valid, yaitu item 4 dan item 17. Hal ini tampaknya disebabkan bahasa kalimat pernyataan yang susah dipahami. Item 4 menggunakan kalimat negasi ganda sedangkan item 17 mengandung kata kata yang ambigu Korelasi dimetsi dengan skor total juga menunjukkan hasil yang baik dimana semua dimensi berkordinasi secara signifikan pada level 0,01 dengan skor total. Hal ini berarti semua dimensi valid untuk memprediksi skor total subyek. Penghitungan norma dengan standard score menghasilkan tabel norma yang mencakup kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya. Yang perlu dicermati dalam penelitian ini adalah bahwa subyek penelitian cenderung menghasilkan skor yang rendah pada dimensi Extinction. Sedangkan dimensi Afterlife memiliki standar deviasi yang paling besar. Tampaknya pada kelompok usia dewasa awal dan dewasa madya di Indonesia, ketakutan akan hilangnya eksistensi diri akibat kematian tidak terlalu berpengaruh. Sedangkan ketakutan akan apa yang terjiadi setelah kematian (kehidupan setelah mati) tampaknya dipengaruhi pandangan religiusitas subyek, dimana ada subyek yang sangat takut dan ada subyek yang tidak takut. Dari penclitian ini juga muncul indikator perilaku khas budaya yang tampaknya belum tercakup dalam teori Kastenbaum & Aisenberg (1976) serta Florian & Kravetz (Sihombing, 2002). lndikator perilaku ini adalah ketakutan akan sendirian dalam menghadapl proses kematian (loneliness). Indikator ini dapat menjadi sumbangan pada dlmensi Dying pada pengembanan lebih lanjut dari Skala Ketakutan terhadap Kematian Diri Sendiri.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Sahrani
Abstrak :
Terdapat pandangan negatif dan juga positif mengenai orang lanjut usia (lansia). Sejalan dengan hal itu jumlah lansia di dunia, terutama di Indonesia, semakin meningkat sehingga patut kiranya dipertanyakan mengenai kualitas para lansia itu sendiri. Apalagi di era globalisasi dan komputerisasi seperti saat ini yang membuat perubahan semakin cepat namun juga. tidak pasti. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri agar dapat memecahkan masalah secara bijak, terutama pada para lansia yang diharapkan bisa memberikan nasehat dan panutan bagi generasi muda. Agar dapat memahami, menilai suatu masalah, dan kemudian mengambil suatu keputusan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain, dibutuhkan pengetahuan yang memadai. Pengetahuan ini disebut sebagai ‘pengetahuan yang berhubungan dengan kebijaksanaan’ (wisdom-related knowledge). Wisdom-related knowledge adalah pengetahuan yang meliputi lima kriteria wisdom, yaitu mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai masalah-masalah kehidupan (factual knowledge of life); punya strategi dalam pengambilan keputusan dan mengetahui untung-ruginya dari setiap strategi tersebut (procedural knowledge of life); mempertimbangkan konteks kehidupan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang (life span contextualism); mempertimbangkan keanekaragaman nilai dan prioritas dalam kehidupan (value relativism); dan juga mempertimbangkan adanya ketidakpastian dalam kehidupan (recognition and management of uncertainty). Orang yang memiliki pengetahuan yang relatif baik pada dua kriteria pertama dapat dikatakan mempunyai tingkat pemerolehan dasar (basic level) wisdom, sedangkan orang yang mempunyai pengetahuan yang melampaui dua hal pertama (kriteria tiga, empat, dan lima) dapat dikatakan sudah mencapai meta level pemerolehan wisdom. Ada dua pandangan yang berbeda mengenai siapa orang yang bisa dikatakan bijaksana (wise). Pandangan lama mengatakan bahwa wisdom adalah area lansia karena lansia sudah lebih banyak pengalaman sehingga bisa memberikan nasehat yang berguna Namun pandangan terbaru menyatakan bahwa wisdom tersebut bisa diperoleh siapa saja, bahkan remaja, karena wisdom adalah suatu kemampuan yang dapat dipelajari dan merupakan gabungan dari aspek intelegensi, sosial, emosi, dan motivasi. Adanya hasil-hasil penelitian tersebut dan juga keadaan nyata di lapangan membuat penulis ingin mengetahui wisdom-related knowledge pada lansia, dengan memperhatikan perkembangan wisdom-related knowledge mulai dari masa dewasa muda, dewasa madya, dan lansia secara cross sectional. Sehingga dengan demikian permasalahan yang ingin diteliti adalah apakah ada perbedaan pemerolehan wisdom-related knowledge pada tiga tahap perkembangan, yaitu pada orang dewasa muda (usia 22-45 tahun); dewasa madya (usia 45-65 tahun); dan lansia (usia 65 tahun keatas). Responden penelitian ini berjumlah 197 orang yang terdiri dan ketiga tahapan perkembangan dan berjenis kelamin laki-laki serta perempuan. Alat yang dipergunakan adalah alat wisdom-related knowledge, yang dibuat oleh Baltes dan para peneliti dari Max Planck Institute Jarman. Penulis dalam hal ini memakai empat soal wisdom-related knowledge yang terdiri dari persoalan life planning normative, life planning non normative, life management, dan life review. Keempat soal ini diberikan kepada responden dalam bentuk tertulis dan kemudian jawaban-jawaban tersebut dinilai oleh tiga orang rater. Penelitian ini bersifat kuantitatif dan memakai metode statistik anova untuk melihat perbedaan yang ada. Hasil utama yang didapat dari penelitian ini adalah ada perbedaan pemerolehan wisdom-related knowledge pada tiga tahap perkembangan, yaitu antara orang dewasa muda, orang dewasa madya, dan orang lanjut usia. Kemudian, orang dewasa muda memperoleh nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan orang dewasa madya dan orang lanjut usia. Di sisi lain, orang lanjut usia mendapatkan nilai yang paling rendah dibandingkan kedua tahapan usia sebelumnya. Orang dewasa muda perempuan mendapatkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan responden lainnya. Para responden secara keseluruhan mendapatkan nilai yang paling tinggi bila mengerjakan persoalan life planning daripada life management dan life review, sedangkan persoalan life review merupakan persoalan yang paling sulit dikerjakan. Pada orang lanjut usia didapatkan bahwa mereka mendapatkan nilai yang lebih tinggi dalam mengerjakan persoalan life planning non normative daripada persoalan life planning normative. Pendidikan dan pekerjaan (profesi) antara lain juga memfasilitasi perolehan wisdom-related knowledge. Saran yang dapat dikemukakan antara lain adalah bagi yang berminat untuk meneliti lebih lanjut sebaiknya dilengkapi dengan metode observasi dan wawancara, melakukan tes kecerdasan sebelumnya (guna mengetahui fluid intelligence), dan mengontrol faktor kesehatan responden.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Rosiana
Abstrak :
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menyusun suatu panduan wawancara yang dapat digunakan pada tahap asesmen dalam terapi perkawinan. Hal ini dilakukan atas dasar pentingnya informasi yang diperoleh pada tahap tersebut. Informasi tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi oleh klien, mengidentifikasi aspek-aspek yang menyebabkan timbulnya masalah dan menentukan intervensi interaksi yang sesuai. Perkawinan adalah interaksi individu yang paling kompleks dan melibatkan banyak pihak, oleh karena itu jika seorang terapis melakukan analisis masalah perkawinan yang dihadapi oleh kliennya, maka ia harus melihat semua aspek dalam kehidupan perkawinan klien tersebut. Panduan wawancara yang dihasilkan dalam penelitian ini bertujuan untuk membantu terapis dalam memahami kehidupan perkawinan klien secara menyeluruh karena disusun berdasarkan vulnerability-stress-adaptation model of marriage yang dikemukakan memahami kehidupan perkawinan klien secara menyeluruh karena disusun berdasarkan vulnerabilify-sfress-adapralion model of marriage yang dikemukakan oleh Bradbury (1995). Model teoritis tersebut diyakini Bradbury telah mencakup semua domain yang penting di dalam perkawinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif pada awalnya dibuat suatu panduan wawancara yang kemudian diujicobakan terhadap tiga orang subyek. Berdasarkan hasil uji coba tersebut, dilakukan revisi terhadap panduan wawancara awal. Saran-saran yang diajukan antara lain : hendaknya panduan wawancara ini digunakan secara fleksibel disesuaikan dengan kondisi klien. Jika dilakukan penelitian lebih lanjut disarankan agar melakukan Studi literatur yang lebih luas mengenai setiap domain yang dikemukakan oleh Bradbury sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai hal tersebut, dan disarankan juga supaya menggunakan subjek yang memiliki latar belakang yang lebih bervariasi agar diperoleh masukan yang lebih banyak lagi untuk semakin memperbaiki panduan wawancara ini.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosana Dewi Yunita
Abstrak :
Masa kanak-kanak awal merupakan periode kritis untuk pembentukan sikap dan perilaku sosial. Pada saat inilah muncul tugas perkembangan sosial yang meliputi keterampilan sosial, emosional, kognitif serta keterampilan berperilaku, belajar bekerjasama dan mengembangkan hubungan persahabatan. Kontak sosial yang terjadi pada saat ini akan mendorong berkembangnya kompetensi sosial pada anak, yang membantunya beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak yang kurang mempunyai kompetensi sosial, kemungkinan besar akan menjadi orang dewasa yang mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan perilaku dan kurang memiliki motivasi berprestasi. Untuk mengembangkan kompetensi sosial pada anak, lingkungan sekolah merupakan lingkungan belajar yang efektif untuk mengembangkan keterampilan akademik maupun sosial. Keberhasilan guru dalam membantu anak mengembangkan kompetensi sosial tergantung kepada kemampuan guru dalam memberikan program yang spesifik yang dapat membantu pengembangan keterampilan tersebut. Dengan demikian untuk membantu guru, maka disusunlah suatu program yang aplikasi disesuaikan dengan perkembangan anak. Program ini diharapkan mampu mencapai tujuan secara sistematis dalam mengembangkan kompetensi sosial anak. Program ini juga dapat menjadi panduan bagi orangtua di rumah. Namun demikian, masih ada kekurangan dalam program ini, antara lain analisa kebutuhan awal tidak dilakukan di berbagai tempat/daerah, selain itu program ini juga belum diujicobakan. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlulah bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan analisa kebutuhan di beberapa tempat yang dapat mewakili karakteristik anak di berbagai tempat yang bersangkutan sehingga dapat diperoleh data yang lebih komprehensif. Selain itu, apabila akan menggunakan program ini, sebaiknya melakukan uji coba lebih dahulu untuk penyempurnaannya. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti selanjutnya adalah membuat format evaluasi yang lebih detail yang dapat memberi data tentang perkembangan anak setelah mendapatkan program, dapat juga mencoba mengidentifikasi aspek kompetensi sosial pada kegiatan-kegiatan lain yang diajarkan dan memberikan panduan guru memantau perkembangan kompetensi sosial pada anak didiknya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saurma Imelda Christina
Abstrak :
Penelitian yang dilakukan beranjak dari pengamatan dan kajian literatur yang dilakukan oleh peneliti terhadap kelompok gay di Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan lingkungan (orang tua, rekan kerja, dan lingkungan sosial secara umum) dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay. Seperti diketahui, lingkungan sosial pada umumnya masih bersikap negatif dan menolak keberadaan kelompok homoseksual, khususnya kelompok gay. Kelompok ini dikatakan sebagai kelompok minoritas yang sering mendapatkan sikap dan perlakuan negatif dari masyarakat di sekitarnya. Pada umumnya, setiap manusia mendambakan hidup bahagia. Bahkan menurut Aristoteles, pada dasarnya ‘kebahagiaan’ merupakan tujuan hidup dari setiap manusia (Aristoteles, dalam Waterman, 1993). Lebih jauh Diener dkk (Pavot & Diener, 1993; Diener, Suh, Oishi, 1997; Diener & Diener, 2000) mengatakan bahwa konsep kesejahteraan subjektif merupakan konsep yang paling tepat untuk mengukur ‘kebahagiaan` seseorang. Kesejahteraan subjektif itu sendiri terdiri dari aspek kepuasan hidup, afek positif afek negatif dan penerimaan diri. Berkaitan dengan kondisi kesejahteraan subjektif pada kelompok gay, Rotblum(1994) serta Gasiorek & Weinrich (1991) berpendapat bahwa kelompok tersebut tampaknya kurang bahagia dan sering merasa tertekan dalam hidupnya. Lebih jauh beberapa peneliti mengatakan perlunya penelitian tentang kesejahteraan subjektif pada kelompok. Topik penelitian tentang kesejahteraan subjektif itu sendiri merupakan topik yang masih jarang diteliti pada kelompok gay (Dew) Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini dilakukan untuk melihat kaitan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua, rekan kerja, dan lingkungan sosial secara umum, dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay. Masalah dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua., rekan kerja, dan lingkungan sosial secara umum, dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay. Secara khusus, penelitian ini hendak melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua, rekan kerja, dan lingkungan sosial secara umum, dengan aspek-aspek dalam kesejahteraan subjektif yaitu: kepuasan hidup,afek positif afek negatif dan penerimaan diri. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif-kuantitatif dan merupakan penelitian yang bersifat non-eksperimental dengan tingkat kepercayaan 95%. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang, yaitu kaum gay yang berusia 20-40 tahun, berpendidikan minimal tamat SMP dan telah bekerja. Alat ukur yang digunakan adalah: Satisfaction with The Life Scale yang disusun oleh Diener dkk (dalam Pavot & Diener, 1993), Positive Affect and Negative Affect Scale yang disusun oleh Diener, Smith & Fujita (1995), serta Self-Acceptance Scale yang disusun oleh Ryff dkk (Ryff 1989; Ryff & Keyes, 1995)- Sedangkan analisis statistik yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian adalah uji korelasi antara variabel-variabel bebas dan variabel-variabel terikat dalam penelitian. Hasil uji korelasi menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay. Namun, hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan rekan kerja dan lingkungan sosial secara umum, dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay tersebut. Peneliti berasumsi bahwa hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap penerimaan lingkungan dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay, hanya akan terjadi pada lingkungan yang memiliki interaksi secara langsung dengan kelompok gay (dalam hal ini adalah rekan kerja dan lingkungan sosial secara umum). Persepsi terhadap penerimaan orang tua tidak berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan subjektif pada kelompok gay, sebab (berdasarkan data penelitian) pada umumnya para responden tidak lagi tinggal bersama dengan orang tua mereka. Berdasarkan asumsi ini, peneliti berpendapat bahwa persepsi terhadap penerimaan kelompok (yaitu kelompok gay) tentunya juga akan berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan subjektif kelompok gay tersebut. Penelitian ini hanya membatasi pengukuran pada persepsi kaum gay terhadap penerimaan lingkungan. Menurut peneliti, akan lebih baik jika juga dilakukan pengukuran penerimaan dari lingkungan secara obyektif (orang tua, rekan kerja,dan lingkungan sosial secara umum) terhadap kelompok gay tersebut. Dari hal ini diharapkan akan diperoleh data penelitian mengenai persepsi lingkungan terhadap kaum gay serta persepsi kaum gay terhadap lingkungan tersebut, dan dengan demikian diperoleh deskripsi yang lebih akurat mengenai sikap lingkungan terhadap kelompok gay serta sikap kelompok gay terhadap lingkungan, khususnya kelompok gay di Jakarta. Akan lebih baik jika juga dilakukan penelitian yang mengukur kondisi kesejahteraan subjektif pada kelompok gay yang telah coming out dan kelompok gay yang masih tertutup. Kendala dalam penelitian ini adalah minimnya data penelitian mengenai sikap lingkungan terhadap kelompok gay, Serta gambaran kondisi kesejahteraan subjektif pada kelompok gay di Jakarta. Menurut peneliti, akan lebih baik jika dilakukan penelitian-penelitian yang bersifat kualitatif tentang hal tersebut, agar diperoleh gambaran yang lebih mendalam mengenai sikap lingkungan dan kondisi kesejahteraan subjektif pada kelompok gay di Jakarta.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>