Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iva Shofiya
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kompetensi pemeriksa merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan hubungannya terhadap kinerja. Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kompetensi dengan kinerja. Ditemukan adanya kesenjangan kompetensi pada karakteristik keterampilan dibandingkan karakteristik pengetahuan dan sikap. Pada kinerja, kesenjangan ditemukan antara kualitas dengan kuantitas. Karena adanya hubungan tersebut maka peran kompetensi terhadap kinerja amat penting sebagai salah satu pembentuknya. Kompetensi adalah “enable" dalam arti memungkinkan, karena kompetensi dapat diukur. Untuk mengatasi masalah kesenjangan dalam kompetensi dilakukan dengan cara mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Pengetahuan dan keterampilan dapat dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Sedangkan sikap pengembangannya dapat melalui pemberian arahan-arahan seperti pelatihan-pelatihan di bidang motivasi dan sebagainya. Diperlukan umpan balik positif seperti pemberian “rewara" dan umpan balik negatif berupa "punishment" guna peningkatan dan pembenahan kompetensi pemeriksa merek, sehingga diharapkan nantinya kinerja yang dihasilkannya pun dapat lebih optimal sesuai harapan para stake holder.

ABSTRACT
This thesis describes the Trademark examiners competency in Directorate General of Intellectual Property and its relation with their performance. This research use quantitative approach combined with descriptive design. The result showed a relation between competencies and performance. There 's a competency gap on characterictic of skills rather than characteristic of knowledge and attitudes. In performance, a gap is found between quality and quantity. Knowledge and skills can be developed through education and training. IVhile attitudes can be given through the provision of development direcfions suchas training in field of motivation and so on. Positive feedback is required such as giving "rewards " and negative feedback in the form of “punishment" in order t o improve and reform the trademark examiner's competencies, which is expected later on the resulting performance can be optimized according to the expectations of stakeholders."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26908
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Abdi Saputra
"Penelitian ini berfokus pada kompetensi Pemeriksa Paten dan Pemeriksa Merek. Pengidentifikasian kompetensi dilakukan dengan menilai kesenjangan antara kemampuan aktual dan ideal pemeriksa. Dari hasil penilaian tersebut dibuat peta kompetensi. Analisa pemetaan kompetensi dilakukan dengan pengelompokan kompetensi dengan mengacu pada management competencies clock yang dikemukakan oleh Kolb. Tingkat penguasaan kompetensi digolongkan menjadi kategori Introductory, Exploratory, Comfort dan Mastery. Penilaian kebutuhan pelatihan dilakukan menurut Mc Cann berdasarkan kompetensi aktual dan kompetensi ideal.
Kajian kompetensi dilakukan pada Pemeriksa Paten dan Pemeriksa Merck berpangkat Madya, Muda dan Pratama dengan penelitian sensus_ Sifat instrumen yang digunakan adalah self appraisal yang berarti responden diminta untuk menilai sendiri derajat profisiensi atau kemampuan {kompetensi} dalam melakukan sesuatu pekerjaan seperti dinyatakan dalam item pernyataan pada kuesioner yaitu tingkat penting, kemampuan aktual dan kemampuan idealnya. Bentuk pemyataan yang dimintakan penilaiannnya kepada responden berupa pemyataan verbal dan nilai yang disediakan berupa skala menggunakan skala interval (Skala Likert). Penelitian lapangan untuk menganalisa data sumber daya manusia menggunakan teknik kuantitatif berupa distribusi frekuensi dan untuk memetakan kompetensi digunakan teknik kuantitatif berupa uji beda berpasangan.
Hasil penelitian menunjukkan kompetensi aktual Pemeriksa Paten Madya dan Muda masuk pada kategori comport akan tetapi ada 1 (satu) item kompetensi yang masuk pada kategori exploratory, sedangkan untuk Pemeriksa Paten Pratama ada 2 (dua) item kompetensi yang masuk pada kategori exploratory. Untuk kompetensi aktual Pemeriksa Merek pada umumnya juga masuk pada kategori comport akan tetapi ada 2 (dim) item kompetensi yang masuk pada kategori exploratory yaitu pada Pemeriksa Paten Madya ada 2 (dua) item kompetensi yang masuk pada kategori exploratory.
Pemeriksa Paten dan Pemeriksa Merek berpangkat Madya, Muda dan Pratama secara umum masuk kategori membutuhkan pelatihan tetapi tidak mendesak dan kategori cukup pelatihan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa diperlukan perencanaan pelatihan sebagai kebutuhan dalam jangka menengah sampai jangka panjang untuk kompetensi secara umum kecuali untuk kompetensi yang nilainya di bawah 5 sebaiknya segera mengadakan pelatihan.

This study is focus on The Patent Examiners' and Trade Mark Examiners' competencies in The Directorate General Intellectual Property Rights Department of Law And Human Rights of Republic of Indonesia.
Identification of the competence is conducted by assessing the gap between the Examiners' actual and ideal abilities. From such an assessment, competence map is made_ analyzing the competence mapping is conducted by classifying various competences by referring to management competence clock expressed by Kolb. The level of competence is classified into Introductory, Exploratory, Comfort and Mastery categories. Training needs assessment is also conducted according to Mc Cann base on actual competence and ideal competence.
The competence study was conducted on patent Examiners' and Trade Mark Examiners' having Madya, Muda dan Pratama degree by census research method. Charateristic of instrument used is the competence in implementing a work as well as stated in statement item on questionnaire that is important level, actual and ideal ability. Statement form which asked to the respondent in the form of verbal statement and the answer provided is the answer scale using interval scale (Likert Scale). Field research of analyzing data of human resources using quantitative technique is in the form of two tailed test .
The result shows that actual competence of Muda and Pratama Patent examiners' generally included in comfort category, however, there is I (one) item of competence included in exploratory category. For the Trade Mark Examiners' actual competence included in exploratory category. In Muda Patent examiners', there are 2 (two) competencies items include in exploratory.
For the needs of Patent Examiners' and Trade Mark Examiners? of Madya, Muda and Pratama level generally included in category need training but not urgent and included in training-complete category.
The results also show that training planning is needed as medium term to long term needs for general competence, but for competence which grade is below 5, immediately implement training."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhiem Widigdo
"Skripsi ini membahas mengenai kedudukan ahli yang termasuk salah satu alat bukti yang diakui dalam KUHAP belum sepenuhnya diatur mengenai ahli dari pihak non aparat penegak hukum. Hal tersebut tentunya kontradiksi dengan tujuan mencapai kebenaran materiil dalam hukum acara pidana itu sendiri, meskipun secara tidak spesifik KUHAP mengakui eksistensi ahli tersebut dalam Pasal 65. Skripsi ini mencoba menganalisa kedudukan ahli non aparat penegak hukum di dalam hukum acara pidana Indonesia berdasarkan KUHAP dan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Sorong Nomor 63/Pid.B/2011/PN.SRG. Bentuk dari penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Tipe dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan melakukan studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber.

This thesis discusses the status of expert evidence, including one that has not been fully recognized in the Criminal Procedure Code is set on a non-party experts from law enforcement officials. It certainly contradicts the goal of achieving accuracy of the criminal law itself, although the Criminal Procedure Code does not specifically recognize the existence of such an expert in Article 65. This thesis tries to analyze the position of non-law enforcement experts in the law of Indonesia under the Criminal Procedure Code of criminal procedure and case studies of State Court Decision No. 63/Pid.B/2011/PN.SRG Sorong. Form of the research is normative juridical. Normative legal research is essentially an activity to make systematization of materials written law. Type of research is descriptive research by conducting literature study and interviews with informants."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43442
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffry Ricardo
"Banyak sekali tindak kejahatan yang sulit untuk diungkap oleh aparat penegak hukum karena sulit menemukan bukti-bukti serta informasi yang minim di lapangan karena pelaku tindak kejahatan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk tidak meninggalkan jejak agar kasusnya tidak dapat terungkap sehingga penyidik membutuhkan instrumentasi untuk mendukung mengungkap tindak kejahatan. Instrumentasi tersebut salah satunya adalah dengan menggunakan alat Lie Detector. Alat lie detector didesain untuk melihat perilaku tubuh manusia saat dalam kondisi tertekan. Alat ini tidak dapat secara spesifik mendeteksi apakah seseorang berbohong atau tidak. Lie detector hanya mengukur reaksi psikologis manusia sebagai indikasi seseorang berbohong atau tidak. Seorang pembohong ?kelas kakap? mungkin biasa bersikap sangat tenang sehingga reaksi psikologisnya tak terdeteksi. Dalam hal ini operator lie detector mesti benar-benar berpengalaman. Di negara maju, khususnya Eropa dan Amerika Serikat, lie detector sudah sering digunakan dan menjadi prosedur standart dalam memeriksa penjahat dan dalam mengungkapkan kasus kriminal. dengan kata lain, penjahat bila ingin perkaranya sampai di pengadilan, dia harus melalui test dengan alat ini dahulu. Pelaksanaannya dilakukan pihak independen (independent examiner), biasanya seorang psikolog, dan hasil akhir untuk menilai tingkat kebohongan itu juga di tangan psikolog. Polisi yang menangani kasus akan menerima hasil yang sudah matang dari psikolog tersebut. Ahli hukum di sana berpendapat, psikolog tentunya akan lebih memahami masalah kejiwaan, sehingga apabila pemeriksaan lie detector dilakukan oleh psikolog, maka hasilnya akan lebih akurat dan obyektif. Alat ini dikenal dengan nama Polygraph Test.

There are so many crime that are difficult to be revealed by law enforcement officials it because less of information and evidence that made by the criminals. Criminals always try not to make any trace of evidence so that the case can not be revealed, the investigator need an instrumentation to support revealing the crimes. One of the instrument is using the lie detector. Lie detector was designed to view the conduct of human body in the pressured condition. Lie detector can not specifically detect whether a person is lying or not. Lie detector only measuring a human reaction as an indication of a person's psychological. An expert liar usually can act very quiet so that the phsycological reaction is hard to be detected. In this case the examiner of lie detector must have an experienced. In the advance country, especially in Europe and USA, lie detector is often to used and already become standart procedure to examining the criminals and to revealing the criminal cases. The implementation do by the independent examiner, usually a psychologist and the assessment result also in the hands of psychologists. The police who handled the case will receive the results from the psychologist. The legal experts in there argued that the psychologists would be more understand of the psychological problems. so that if the lie detector examination do by a psychologist, then the result would be more accurate and objective. The lie detector examination is known as the Polygraph Test.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuana Wiryawan
"Program Pembangunan Kesehatan bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta kualitas kehidupan yang dilakukan sejak dini. Kesehatan ibu hamil dan kondisi saat melahirkan sangat berperan dalam menentukan kesehatan hasil kehamilan tersebut. Salah satu indikator untuk mengetahui derajat kesehatan suatu negara adalah angka kematian bayi dan angka kematian ibu. Sampai saat ini angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) I995 AKI di Indonesia adalah 373 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu dapat dicegah bila komplikasi kehamilan dan persalinan dapat diketahui secara dini. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan kehamilan, dan memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Keadaan yang ada sekarang ini meskipun cakupan pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan sudah cukup tinggi, namun pada akhirnya ibu-ibu kembali memilih non tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam pemilihan penolong persalinan adalah umur ibu, pendidikan ibu, adanya gangguan saat hamil, paritas, sosial ekonomi, tempat tinggal dan pekerjaan. Penelitian ini menggunakan data Studi Tindak Lanjut Ibu Hamil SKRT 2001. SKRT 2001 dilakukan serentak di seluruh wilayah Indonesia kecuali Maluku, Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Unit analisis adalah ibu hamil yang dijumpai pada saat penelitian dan dilakukan wawancara dengan ketentuan sejak tahun 1998 sampai dengan 2001 pernah hamil dan melahirkan baik lahir mati maupun lahir hidup. Dengan ketentuan tersebut, ibu yang berhasil ditemui sebanyak 738 orang, setelah dilakukan penggabungan dengan data Susenas 2001 Modul dan dengan kriteria ibu pernah hamil dan melahirkan pada periode 1998-2001 diperoleh sampel sebanyak 191.
Hasil analisis menunjukkan bahwa 76% ibu telah memeriksakan kehamilannya pada tenaga kesehatan. Masih cukup banyak (44%) ibu-ibu yang memilih non tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Faktor umur ibu dan ada atau tidaknya gangguan saat hamil tidak mempengaruhi pemilihan penolong persalinan. Pemeriksa kehamilan berhubungan bermakna secara statistik dengan pemilihan penolong persalinan (p=0.001), demikian juga dengan faktor pendidikan dan daerah tempat tinggal. Ibu-ibu yang berpendidikan rendah, golongan tidak mampu dan tinggal di daerah perdesaan cenderung memilih non tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Ibu-ibu yang tinggal di daerah perdesaan mempunyai kemungkinan 1.19 kali untuk memilih non tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang tinggal di perkotaan. Faktor daerah tempat tinggal merupakan faktor yang paling dominan menentukan pemilihan penolong persalinan.
Berdasarkan hasil diatas maka faktor yang dapat di intervensi adalah faktor penolong persalinan dengan meningkatkan kerjasama antara tenaga kesehatan dengan non tenaga kesehatan, dan menyediakan tempat persalinan sampai ke daerah perdesaan sehingga mudah di jangkau oleh masyarakat.

Relationship between Pregnancy Examiner and Social Demographic Factors Pregnant Woman with Delivery Assistant in IndonesiaHealth Development Program has targeted to increase quality of human resources and quality of life at early. Health of pregnant women and her condition when delivering have important role to health condition of her pregnancy. One of the health level indicators of a country is infant mortality rate and maternal mortality rate. In Indonesia, maternal mortality rate (AKI) still high, as the result of Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, AKI in Indonesia is 373 per 100.000 live births. Maternal mortality could be prevented if complication on pregnancy and delivery can be detected in early. This can be done by conducting pregnancy examination and choose health provider as delivery assistant. Although pregnancy: examination that has been covered by health provider is high, but when they delivery more of them to chose traditional birth attendant to assist their delivery.
Some of the studies reported that factors that have role in choosing the delivery assistant are age, education, pregnancy disorder, parity, social economic, living place, and occupation. In the data of SKRT 2001 that factors have not been studied. SKRT 2001 conducted in all Indonesian regions, except Maluku, Papua, and Nanggroe Aceh Darrusalam.
Analysis unit is mother that found when this study in conducted and carried out interview with pre requirement from 1998 to 2001 ever pregnant and delivered alive or death. By this pre requirement, number of mother that can be found is 738 mothers, after combine with Susenas Modul 2001 data and based on the criteria; it was got samples 191 mothers.
Results of the analysis showed that 76% mothers have checked their pregnancy to health provider. Much of mothers (44%) choose traditional births attendants as delivery assistant. Age and pregnancy disorder are factors that did not influence on choosing delivery assistant. Pregnancy examiner has significant statistical relationship with delivery assistant (p=0,001), also education and living stay factor. Mother who has low education, poor and living in village tends to choose traditional birth attendants as delivery assistant. Mother who lives in villages has probability 1.19 times to choose traditional births attendants as delivery assistant compared to mother which living in urban area. Living stay factor is the most dominant factor in choosing delivery assistant.
Based on the result, this study recommends the factor that can be an intervention is delivery assistant, especially to increase coordination between health provider with traditional birth attendants and preparing place of delivery in the villages.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuhadi Alamsyah
"Tujuan : Menilai variabilitas pengukuran volume total dan zona transisional prostat dengan ultrasonografi transrektal oleh pemeriksa yang sama dan antar pemeriksa yang berbeda.
Metoda : Dilakukan dua kali pengukuran volume total dan zona transisional prostat oleh satu pemeriksa yang sama dan oleh dua pemeriksa yang berbeda pada 30 pasien yang berkunjung ke klinik Urologi RS Hasan Sadikin, Bandung
Hasil : Rerata pengukuran volume total dan zona transisional prostat pada satu pemeriksa adalah 45,7 ± 19,2 ml dengan kisaran antara 18,1 hingga 89,7 ml (median 44,1) dan 16,9 ± 10,3 ml dengan kisaran antara 3,1 hingga 34,6 ml (median 14,3), sedangkan pada dua pemeriksa adalah 45,9 ± 19,3 ml dengan kisaran antara 18,3 hingga 89,8 ml (median 44,1) dan 16,9 ± 10,2m1 dengan kisaran antara 3,1 hingga 34,6 ml(median 14,5). Beda rerata plus/minus simpang baku pengukuran volume total dan zone transisional prostat pada pemeriksa yang sama adalah -0,2 ± 1,0 dan -0,1 ± 0,1, sedangkan pada pemeriksa yang berbeda adalah -0,6 ± 2,2 dan 0,1 ± 1,7. Interval Kepercayaan (IK) 95% pengukuran volume total dan zone transisional prostat pada pemeriksa yang sama antara -0,52 hingga 0,14 dan antara -0,53 hingga 0,65 sedangkan pada pemeriksa yang berbeda antara -1,35 hingga 0,21 dan antara -0,53 hingga 0,65.
Kesimpulan : Didapatkan variasi yang cukup lebar dalam pengukuran volume total dan zona transisional prostat terutama antar pemeriksa yang berbeda dibandingkan dengan pemeriksa yang sama, walaupun demikian pengukuran dengan ultrasonografi transrektal cukup diandalkan dalam menilai volume prostate.

Objective : To assess the intra-examiner and inter-examiner factor in the measurement of prostate volume using transrectal ultrasound.
Method : Total prostate volume and transition zone volume were measured by the first examiner (measurement I), followed by the second examiner (measurement II). Afterward the same measurements were conducted again by the first examiner (measurement III). The whole procedure were done on 30 patients in the TRUS Unit of The Department of Urology, Hasan Sadikin Hospital, Bandung.
Result : The mean total prostate volume and transition zone volume measured by the same examiner (Measurement I and Measurement III) were 45.67(±19.2) ml, ranged from 18.05 to 89.68 with a median of 44.18 ml and 16.92(±10.3) ml, ranged from 3.13 to 34.64 with a median of 14.30 ml. The mean total prostate volume and transitional zone volume measured by different examiners (Measurement I and Measurement II) were 45.86(±19.3) ml, ranged from 18.30 to 89.77 with a median of 44.18 ml and 16.8(±10.3) ml, ranged from 3.18 to 34.55 with a median of 14.51 ml. The mean difference between Measurement 1 and Measurement III using a Confidence Interval (CI) of 95 % were -0,20(±0,1),(-0.52-0.14) ml for total prostate volume and -0.07(±0.7) ml), (-0.38-0.16) ml for transitional zone volume. The mean difference between Measurement I and Measurement II using a Confidence Interval (CI) of 95 % were -0.57(±2.2) ml, (-1.35-0.21) ml for total prostate volume and -0.07(±1.7) ml, (-4.01-3.55) ml, for transition volume.
Conclusion : A considerable difference between the measurement by total and transitional zone volume of the prostate were shown if performed repeatedly by the same examiner as well as by different examiner. The variation is greater in measurement conducted by different examiner compared to the one conduct by the same examiner.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gigih Anangda Perwira
"Notaris selaku pejabat umum memiliki kewenangan yang sangat besar dan luas, terlebih melihat pada produk yang dibuatnya yaitu akta yang merupakan dokumen negara yang memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti otentik. Atas dasar besarnya kewenangan tersebut, kemudian Notaris haruslah diawasi agar tidak terjadi penyelewengan atau penyalah gunaan kekuasaan atau jabatan yang dimiliki seorang Notaris selaku Pejabat Negara. Majelis Pengawas merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh Undang-Undang guna mengawasi dan memeriksa pelaksaan jabatan Notaris dimana kemudian pada saat melakukan pemeriksaan terhadap Notaris dibentuklah Majelis Pemeriksa Notaris. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah penelitian ini dengan menganalisa putusan dari Majelis Pengawas Pusat Notaris disertai dengan peranturan perundang-undangan yang terkait.

Notary as public officials have very large and wide authority , moreover at the products that the Notary made that is a deed which is a states document that have the strength of evidence as authentic evidence. On the basis of the size of such authority, then Notary must be monitored to prevent misuse or abuse of power or position a Notary held as State Officials. Supervisory Council is an institution established by the Act to supervise and inspect the implementation for Notary where then at the time of examination it formed the Notary examiner council. Based on that fact, I conduct this research with analyzing a verdict from Central Supervisory Council of Notary with the related regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Agung Wilis
"Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab Keuangan Negara menyebutkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat melakukan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap adanya tindakan yang menimbulkan kerugian negara/daerah dan/atau mengandung unsur pelanggaran hukum pidana. Pemeriksa investigasi dengan penguasaan dalam bidang akuntansi dan audit investigasi/audit kecurangan akan berperan dalam mengungkapkan penyimpangan keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi, baik dari segi kualitas maupun dapat memperpendek waktu pengungkapannya. Dengan kemampuan investigatif dari pemeriksa, akan memperkuat bukti akuntansi menjadi bukti yang dapat digunakan di pengadilan atau yang dikenal dengan istilah alat bukti. Pada Tahun 2015 BPK menerbitkan Keputusan BPK Nomor 9 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif dan Penghitungan Kerugian Negara. Pedoman tersebut diterbitkan untuk memastikan pengelolaan pemeriksaan investigatif dirancang, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara efektif pada setiap tahapan, sehingga menghasilkan kualitas hasil pemeriksaan investigatif yang sesuai dengan standar. Pedoman tersebut diharapkan mampu memberikan pemahaman yang sama kepada para pemeriksa atas pelaksanaan pemeriksaan investigatif dari awal hingga akhir pemeriksaan sehingga hasilnya dapat memberikan pemahaman yang seragam bagi para pengguna informasi, terutama para penegak hukum yang akan menindaklanjuti hasil pemeriksaan investigatif dan menggunakannya dalam proses peradilan tindak pidana korupsi. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran petunjuk pelaksanaan pemeriksaan investigatif yang ditetapkan oleh BPK apakah telah memenuhi kebutuhan penyusunannya sebagai pedoman pemeriksaan yang memadai untuk menunjang tugas BPK sebagai pemeriksa keuangan negara dan pendukung pembangunan negara yang bersih dari korupsi dengan mengungkapkan adanya indikasi kerugian negara/daerah atau adanya pelanggaran terhadap hukum pidana. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian deskriptif evaluatif. Peneliti menguraikan dengan detail landasan teori mengenai pemeriksaan investigatif. Penulis menggambarkan dengan lengkap petunjuk pelaksanaan pemeriksaan investigatif pada Badan Pemeriksa Keuangan serta Fraud Examiners Manual (FEM) milik Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). Setelah pemaparan landasan teori, petunjuk pelaksanaan pemeriksaan investigatif BPK dan Fraud Examiners Manual, penulis melakukan analisis atas petunjuk pelaksanaan pemeriksaan investigatif yang dimiliki Badan Pemeriksa Keuangan dengan menggunakan Fraud Examiners Manual milik ACFE sebagai praktik pembanding serta guideline international lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara yang cukup signifikan antara petunjuk pelaksanaan pemeriksaan investigatif pada Badan Pemeriksa Keuangan dan FEM ACFE. Perbedaan tersebut terdapat pada ruang lingkup, tujuan, struktur penulisan, metodologi, rencana respon, sumber informasi awal, pengujian hipotesis, kemungkinan kebutuhan penegak hukum, dan pedoman teknis secara rinci. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memutakhirkan dan menyempurnakan PPPIB; antara lain menambah kualitas pemeriksaan investigatif terutama dalam hal pemilihan objek pemeriksaan, menetapkan kualifikasi minimal untuk dapat menjadi pemeriksa dalam sebuah tim pemeriksaan investigatif, mengakomodir perubahan dan penyempurnaan hipotesis apabila terdapat informasi baru yang diperoleh, memberikan panduan mengenai penetapan ruang lingkup dan rentang waktu investigasi pada bagian petunjuk pemeriksaan dan menguraikan metode, prosedur, dan/atau teknis pemeriksaan investigatif secara rinci.

Article 13 of Law Number 15 Year 2004 concerning the Audit of Management and Responsibility of State Finances states that Audit Board of Indonesia (Badan Pemeriksa Keuangan/BPK) can perform an investigative audit to reveal actions that cause state/regional losses and/or contain elements of criminal law violations. Investigative auditors with mastery in the field of accounting and investigations/fraud audits will play an important role in revealing state financial irregularities that indicate corruption, both in terms of quality and shorten the time of disclosure. Investigative ability of the auditor, will strengthen the accounting paperwork into evidence that can be used in court or known as evidence. In 2015 BPK issued BPK Decree No. 9 of 2015 concerning Guidelines for Conducting Investigative Audit and Calculation of State Losses. The guideline was issued to ensure that the management of investigative audits was designed, organized, carried out and controlled effectively at each stage, so that the quality of investigative audit results was in accordance with the standards. The guideline is expected to be able to provide auditors with the same understanding of implementing investigative audits from the beginning to the end, so that the results can provide a uniformed understanding for users of information, especially law enforcers who will follow up on the results of investigative audits and use them in the litigation process. This study conducted to provide an overview of the instructions for carrying out investigative audit determined by the BPK, whether it has met the needs of an adequate audit guideline to support the BPK's task as a state financial auditor and supporter of state development that clean from corruption by revealing indications of state/regional losses or existence of criminal law violation. This research was conducted using evaluative descriptive research methods. Researchers describe in detail the theoretical basis for investigative audit. The author describes in full the instructions for carrying out investigative audit on the Supreme Audit Board and the Fraud Examiners Manual (FEM) belong to the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). After explaining the theoretical basis, instructions for carrying out investigative audits of the BPK and the FEM, the authors conducted an analysis of the instructions for carrying out an investigative audit held by the Supreme Audit Board using ACFE's Fraud Examiners Manual as a comparison practice and other international guidelines. The results showed that there was a significant difference between the instructions for carrying out investigative audit at the Supreme Audit Board and FEM ACFE. The differences are in the scope, objectives, writing structure, methodology, response plan, initial source of information, hypothesis testing, possible law enforcement needs, and detailed technical guidelines. There are a number of things that can be done to update and improve PPPIB; including increasing the quality of investigative audits, especially in terms of the selection of audit objects, establishing minimum qualifications to be an auditor in an investigative audit team, accommodating changes and refining hypotheses when new information is obtained, providing guidance on determining the scope and timeframe of investigations in the section audit instructions and outlining the methods, procedures, and / or technical audit of the investigation in detail."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pekerjaan kreativitas dengan kinerja aparatur fungsional pemeriksa pajak pada Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) Jakarta Tiga. Karakteristik pekerjaan merupakan dimensi inti pekerjaan yang berisi sifat-sifat tugas yang bersifat khusus yang ada di dalam pekerjaan dan dirasakan oleh pekerja serta dianggap dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pekerja terhadap pekerjaan, yang meliputi aspek: variasi keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, dan umpan balik.
Kreativitas adalah kemampuan seseorang dalam melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan sebelumnya dan memungkinkan munculnya penemuan-penemuan baru melalui aspek kelancaran, keluwesan, orisinalitas, elaborasi, dan redifinisi. Sementara Kinerja adalah penilaian diri terhadap prestasi kerja yang diperlihatkan oleh seseorang dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan organisasi, ditinjau dari aspek-aspek: kecepatan, kualitas, layanan, nilai, keterampilan interpersonal, mental untuk sukses, terbuka untuk berubah, kreativitas, keterampilan berkomunikasi, inisiatif, perencanaan dan organisasi.
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan tergolong dalam jenis penelitian survei dengan melibatkan 50 sampel yang diambil dengan teknik sensus. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner yang sebelumnya telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas menggunakan rumus korelasi Spearman Rank dan uji reliabilitas menggunakan Spearman Brown. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan formula statistika, yakni korelasi Spearman Rank dan t-test yang pengolahannya dilakukan dengan program SPSS versi 13.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan memiliki hubungan positif dan signifikan dengan kinerja pejabat fungsional pemeriksa pajak. Hasil ini memberikan makna bahwa semakin sesuai karakteristik pekerjaan pejabat fungsional pajak, maka semakin baik kinerjanya; sebaliknya semakin tidak sesuai karakteristik pekerjaan pejabat fungsional pemeriksa maka semakin buruk kinerjanya. Dengan demikian, kinerja pejabat fungsional dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki atau menyesuaikan karakteristik pekerjaannya. Kreativitas juga memiliki hubungan positif dan signifikan dengan kinerja pejabat fungsional pemeriksa pajak. Hal itu berarti bahwa semakin kreatif pejabat fungsional, semakin baik kinerja; sebaliknya semakin tidak keratif pejabat fungsional pajak, semakin buruk kinerjanya. Dengan demikian, kinerja pejabat fungsional pajak dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki kreativitas.
Berdasarkan temuan tersebut, maka karakteristik pekerjaan perlu ditingkatkan melalui penyempurnaan atas pelaksanaan karakteristik pekerjaan secara terus menerus dengan mempertimbangkan kondisi dan aspirasi aparatur. Kreativitas pejabat juga perlu dikembangkan dengan cara memberikan keleluasaan untuk mengemukakan pendapat dalam berbagai forum dan dalam pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan pekerjaan. Pegawai juga perlu diberikan otonomi dan tanggung jawab penuh atas pekerjaan dan memberikan penghargaan atas ide atau masukan pegawai serta diberikan kesempatan untuk melakukan uji coba dalam pemecahan masalah.

The research was aimed to examine the relationship between job characteristic and creativity with performance of examiner functional employee at Tax Inspection and Investigation Office (KARIPKA) Jakarta Three. Job characteristicsis is core dimension that contains specific task attribut and feel by employee and assumed influencing employee attitude and behavior that covered skill variety, task identity, task significance, autonomy and feeback.
Creativity is ability of people in bearing new things both in idea or real work that relatively differend with before and posibility new appereance finding through fluency, flexibilitity, originality), elaboration), and edefinition. Whereas performance is self assessment to the labour capacity showed by someone in executing the duty to reach the organization purpose, evaluated from aspects: speed, quality of, service, value, interpersonal skill, successful mental, open to change, creativity, communication skill, initiative, organization and planning.
The research used quantitative approach and pertained in the type of survey researh with involving 50 samples being taken with census method. Data collection was being done with questionnaires that its validity and reliability have been tested before. Validity test used Spearman Rank and reliability test used Spearman Brown formula. Data then were analyzed with Spearman Rank and t-test assisted with SPSS Version 13.
The research result indicate that the job characteristic have positive relationship and significant with performance of examiner functional employee. Its mean that progressively according to job characteristic of examiner functional employee, hence progressively his performance; on the contrary, inappropriate progressively job characteristic of examiner functional employee hence worse progressively his performance. Thereby, examiner functional employee can be improved by improving or accomodate his job characteristic. Creativity is also have the positive relationship and significant with examiner functional employee. Its mean that more creative examiner functional employee, the better performance of examiner functional employee; on the contrary progressively less creative examiner functional employee, worse progressively his performance. Thereby, examiner functional employee can be improved by improve creativity.
Based on the finding, job characteristic needed to improve through the completion of execution job characteristic continually by considering the individual aspiration and condition. Examiner creativity is also needed to develop by giving autonomy to giving opinion in the forum and in resolving various problems that related to work. Employee is also needed to give the full responsibility and autonomy on the job and giving the reward of idea or input and given opportunity to trial and error in the problem solving."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19459
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Aji Saputra
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai peran Badan POM terhadap upaya perlindungan
konsumen produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya. Produk kosmetik
yang aman harus memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
terkait. Bahan yang digunakan untuk kosmetik haruslah bahan yang memenuhi
ketentuan mutu dan keamanan sehingga tidak membahayakan konsumen, sesuai
dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Badan POM sebagai badan
yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan. Penelitian ini
menggunakan metode yuridis normatif atau dikenal pula dengan penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian ini juga disebut sebagai penelitian yang bersifat deskriptif
karena bertujuan untuk mendeskripsikan aspek hukum dalam perlindungan
konsumen produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya. Hasil dari
penelitian ini menyarankan adanya koordinasi Badan POM dan pemerintah,
khususnya dengan instansi Direktorat Bea dan Cukai, Polisi dan Pengadilan,
dengan menerapkan prinsip-prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam
upaya perlindungan hukum konsumen terhadap produk kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya. Selain itu, harus lebih konsisten dan tegas dalam
menerapkan ketentuan hukum yang berlaku agar penerapan sanksi dapat
memberikan efek jera kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.

ABSTRACT
This thesis discusses the role of drugs and food examiner department to safeguard
consumer cosmetic products containing hazardous materials. Safe cosmetic
products must meet the provisions of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection
and Law No. 36 of 2009 on Health, as well as other legislation related. The
materials used for cosmetic ingredients must comply with quality and safety that
does not harm the consumer, in accordance with regulations issued by drugs and
food examiner department as a body tasked to oversee food and drug trafficking.
This study uses a normative or also known as legal research literature. This study
is also referred to as fieldwork descriptive as it aims to describe aspects of
consumer protection laws in cosmetic products that contain hazardous materials.
The results of this study suggest the existence of coordination drugs and food
examiner department and the government, particularly the office of the
Directorate of Customs and Excise, the Police and the Courts, by applying the
principles of coordination, integration, and synchronization in the consumer legal
safeguards against cosmetic products that contain hazardous materials.
Furthermore, it should be consistently and decisively in implementing the
provisions of applicable law that sanctions can provide a deterrent effect to
businesses that commit violations."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library