Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diza Faraskhansa
Abstrak :
Skripsi ini membahas pembatalan perkawinan poligami yang dilakukan karena ketiadaan izin istri pertama yang dilakukan saat suami yang bersangkutan telah meninggal dunia. Perkawinan poligami boleh dilakukan apabila memenuhi persyaratan yang berlaku sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 58 KHI. Penelitian ini merupakan penilitian dengan metode yuridis normatif dan tipologi yang bersifat deskriptif analitis. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan hukum poligami dengan memalsukan identitas istri, bagaimana pengaturan pembatalan perkawinan yang telah putus karena kematian dan bagaimana pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan pada putusan Pengadilan Agama Pandeglang Nomor 241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah perkawinan poligami yang dilakukan dengan memalsukan identitas istri adalah bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan dan KHI sehingga dapat dilakukan pembatalan terhadapnya. Pembatalan perkawinan yang dilakukan setelah suami meninggal dunia ialah sama saja dengan yang masih hidup namun dalam praktiknya harus menyertakan beberapa syarat tertentu dan pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Agama Pandeglang Nomor 241/Pdt.G/ 2012/PA.Pdlg sudah tepat. ......The focus of this study is to examine the annulment of marriage caused by the absence of permission from the first and legal wife to do a polygamous marriage which the annulment itself happened by the time the husband already passed away. Polygamy in Indonesia is legal to be done if the marriage fulfills the requirements which are stated in Article 5 of Marriage Law and Article 58 Compilation of Islamic Law. In conducting this research, the writer uses juridicial-normative library research methods with analytical descriptive typology. The problems in this thesis are how is the legal status of a polygamous marriage which done by falsifying the legal wife's identity, the regulation of polygamous marriage annulment done by the time the husband has passed away and whether the judge's sentence of Religious Court of Pandeglang No.241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. is already correct and appropriate. The conclusion of the problems are polygamous marriage which done by falsifying the legal wife's identity is prohibited and againsts Marriage Law and Compilation of Islamic Law, so that polygamous marriage can be annulled. The annulment of marriage which done after the husband has passed away is basically the same as the same as the normal one, but there are some requirements to be fulfilled and the judge?s sentence of Religious Court of Pandeglang No.241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. is already correct and appropriate.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62768
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friscarina
Abstrak :
Dalam hal seseorang ingin melakukan poligami haruslah memenuhi syarat-syarat yang diatur oleh Undang-undang Perkawinan dan juga hukum agama pihak yang ingin melaksanakan poligami tersebut. Salah satu syarat untuk melakukan perkawinan poligami adalah adanya izin dari isteri pertama. Dari uraian tersebut maka timbul permasalahan diantaranya bagaimana akibat hukum dari perkawinan poligami yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi persyaratan dan bagaimanakah keabsahan perkawinan poligami yang dilaksanakan tanpa memenuhi syarat. Untuk dapat mencari jawaban dari permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data kepustakaan. Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 1551/Pdt.G/2012/PA.Sby, permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh isteri pertama terhadap perkawinan yang kedua oleh suaminya yang dilakukan tanpa izin, telah ditolak seluruhnya oleh Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut, oleh karena permohonan pembatalan perkawinan tersebut diajukan tepat 1 (satu) tahun setelah kematian suaminya. Dalam hal ini sebaiknya pegawai Kantor Catatan Sipil / Kantor Urusan Agama sebagai pihak yang berwenang dalam pencatatan perkawinan lebih teliti dalam pemeriksaan berkas-berkas yang diperlukan sebagai persyaratan perkawinan untuk mencegah adanya praktek poligami tanpa izin. ......In terms of commiting polygamy a person must fulfill the requirements set forth by the Marriage Law and The Religious Law based on their own faith. One of the requirements to work polygamous marriage is the consent of the first wife. Based upon that argument, it raised the question of how the legal effect of conducted polygamous marriage that doesn?t meet the requirements and its validity factor. To be able to find answers to these problems, the writer used juridical normative research using secondary data which obtained from the literature data. In Judgment of the Court of Religion No. 1551 / Pdt.G / 2012 / PA.Sby, marriage annulment pleadings filed by the first wife against her husband's second marriage conducted without her consent rejected entirely by the judges who decide the case since the pleadings was filed proper marriage annulment 1 (one) year after the death of her husband. In this case staff of the Registry / Office of Religious Affairs as the authority for registration of marriage should more conscientious in the examination of the files required as a condition of marriage to prevent the practice of unauthorized polygamous marriages.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46470
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Rahayu
Abstrak :
Perkawinan poligami di Indonesia belakangan terlihat di permukaan dan menjadi wacana dalam pergaulan hidup masyarakat dengan diberikan penganugerahan poligami award kepada pelaku poligami yang dipandang sukses dalam rumah tangga dan pekerjaan, yang tentu saja menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Terlepas dari pro dan kontra dengan pemberian award tersebut, hal ini telah membuktikan bahwa sesungguhnya perkawinan poligami ini telah lama terkurung dalam wilayah perdebatan yang tidak ada habishabisnya. Undang-undang telah mengatur syarat-syarat yang telah ditentukan bagi suami yang hendak menikah lagi dengan mempertimbangkan kepentingan isteri. Syarat yang diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Perkawinan tidak dijalankan sebagaimana mestinya tetapi prakteknya di masyarakat Poligami dapat dilaksanakan. Tidak ada sanksi tegas untuk pelaku poligami yang tetap melaksanakan poligami tanpa izin dari isteri pertama dan tanpa proses Pengadilan Agama yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah Bagaimana keabsahan status perkawinan poligami yang dilakukan dengan pemalsuan dokumen atau keterangan palsu menurut UU.NO.1 Tahun 19974 dan bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan tersebut. Penelitian tesis ini adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16399
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naqiya Nazzaha
Abstrak :
Perkawinan yang dikehendaki oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang menuju pembentukan keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dalam bahasa umum lazim dinamakan membentuk keluarga yang sakina, mawaddah dan warahmah, penuh dengan kedamaian dan limpahan kasih sayang. Sejalan dengan Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam pada asasnya menganut asas monogami. Namun Agama Islam tidak melarang poligami dengan persyaratan khusus serta adanya pembatasan jumlah istri. Dalam praktek ternyata masih terdapat pelanggaran atas pelaksanaan poligami. Dalam penulisan ini, kasus yang akan dibahas adalah adanya gugatan pembatalan perkawinan dari seorang istri pertama atas perkawinan kedua suaminya, namun gugatan baru diajukan ketika suami telah meninggal dunia. Dalam penulisan ini permasalahan yang akan dibahas apakah pertimbangan hakim telah tepat dalam memutuskan gugatan pembatalan perkawinan tersebut serta akibat hukum dari putusan tersebut. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dengan data utama yang digunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil dari analisi adalah bahwa Majelis Hakim dalam memutuskan kasus kurang tepat dan cermat karena hanya melihat dari segi formil saja dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain terutama aspek materiil dari perkawinan itu sendiri. Akibat hukum dari putusan tersebut adalah terhadap anak, harta benda selama perkawinan dan pihak ketiga. Saran dalam penulisan ini adalah bahwa dalam memutuskan perkara Majelis Hakim hendaknya mencari dan menemukan hukum yang sensitif terhadap kebutuhan perlindungan hukum bagi perempuan dan anakanak, khususnya dalam kaitannya dengan poligami yang dilakukan oleh suami.
Marriage referred to the Law No. 1 of 1974 regarding Marriage Law is a marriage that led to the formation of a family or household that is happy and eternal based on God that is in common language commonly called a family who sakinah, mawaddah and warahmah, full of peace and abundance of affection. In line with the Marriage Law, Islamic Law in principle follows the principle of monogamy. But Islam does not prohibit polygamy with special requirements as well as the restrictions on the number of wives. In practice it turns out there is still a violation of the implementation of polygamy. In this study, a case that will be discussed is the marriage of a lawsuit over the first wife of her husband's second marriage, but a new lawsuit filed when the husband had died. In this paper the issues to be discussed whether the judge has the right considerations in deciding the lawsuit marriage and the legal consequences of the decision. The method used is a method of research literature normative juridical, with the main data used secondary data obtained from the literature materials in the form of primary legal materials, secondary and tertiary. The results of the analysis is that the judges in deciding cases less precise and careful because just look at the formal terms only and does not take into consideration other aspects, especially the material aspects of the marriage itself. The legal consequences of the verdict are against the child, property during the marriage and the third party. The suggestions in this paper is that the judge the judges should look for and find the law that is sensitive to the needs of legal protection for women and children, particularly in relation to marriage by the husband.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Anindya Putri
Abstrak :
Perkawinan yang dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menuju pembentukan keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan Undang-undang Perkawinan yang menganut asas monogami. Asas monogami ini sendiri tidak mutlak melainkan memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang hendak memiliki istri lebih dari seorang. Dengan adanya syarat-syarat yang cukup sulit untuk dipenuhi oleh seorang suami, maka banyak sekali kasus pernikahan poligami yang tidak dijalankan berdasarkan syarat-syarat sebagaimana yang diatur pada Undang-undang Perkawinan. Kasus pembatalan perkawinan yang diajukan oleh istri pertama terhadap perkawinan kedua suaminya yang sebagaimana ada dalam Putusan Nomor 4302/Pdt.G/2021/PA.JS. Penelitian yang akan dibahas yaitu mengenai mekanisme pencabutan buku nikah yang perkawinannya telah dibatalkan serta akibat hukum dari putusan tersebut serta kedudukan status anak yang telah dilahirkan pada pernikahan yang telah dibatalkan oleh pengadilan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, dengan data utama yang digunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Saran dalam penulisan ini adalah Kantor Urusan Agama diharapkan untuk membenahi sistem saat melakukan pemeriksaan dokumen persyaratan perkawinan dan setiap anak yang telah dilahirkan dari pernikahan yang batal dapat memnbuat akta otentik mengenai harta warisan dari kedua orangtuanya sehingga jelas bagian-bagian yang di dapatkan oleh setiap ahli waris. ......Marriage is desired by Law Number 1 of 1974 concerning Marriage which leads to the formation of a happy and eternal family or household based on Belief in One Almighty God. In line with the Marriage Law which adheres to the principle of monogamy. The principle of monogamy itself is not absolute but has conditions that must be met by a husband who wants to have more than one wife. With conditions that are quite difficult for a husband to fulfill, there are many cases of polygamous marriages that are not carried out based on the conditions stipulated in the Marriage Law. The case of annulment of marriage filed by the first wife against her husband's second marriage as contained in Decision Number 4302/Pdt.G/2021/PA.JS. The research that will be discussed is regarding the mechanism for revoking the marriage book whose marriage has been annulled and the legal consequences of the decision and the status of the child who has been born in a marriage that has been annulled by the court. The method used is the normative legal research method, with the main data used secondary data obtained from library materials in the form of primary, secondary and tertiary legal materials. The suggestion in this writing is that the Office of Religious Affairs is expected to fix the system when examining documents for marriage requirements and every child who has been born from an annulled marriage can make an authentic deed regarding the inheritance from both parents so that the parts that each heir gets are clear.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi Hasan Ishaq
Abstrak :
Perbuatan hukum seperti perjanjian jual beli atas harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan pertama dalam pelaksanaannya harus mendapat persetujuan dari istri pertamanya sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUP jo Pasal 92 KHI. Namun dalam kasus yang penulis bahas suami menikah dengan istri kedua tanpa sepengetahuan dan izin dari istri pertama serta mengalihkan harta bersama dari perkawinan pertama dengan tandatangan istri kedua tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari istri pertamanya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah status hukum perkawinan kedua yang dilakukan oleh suami tanpa persetujuan istri pertama dan terhadap harta bersama dari perkawinan pertama dan akibat hukum harta bersama dalam perkawinan pertama yang dialihkan berdasarkan perjanjian jual beli tanpa persetujuan istri pertama yang dilakukan oleh suami dengan istri dalam perkawinan kedua. Penelitian ini menggunakan bentuk doktrinal dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Dari hasil analisis menunjukkan perkawinan kedua Alm.MS dengan FZ dilakukan tanpa meminta izin dari JR sebagai istri pertamanya maupun izin ke Pengadilan Agama untuk melakukan perkawinan poligami berdasarkan fakta dalam Kartu Keluarga yang tertulis kawin belum tercatat, maka status hukum perkawinan Alm.MS dengan FZ hanya dianggap sah secara agama, namun tidak mempunyai kekuatan hukum menurut Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya akibat hukum harta bersama dalam perkawinan pertama yang dialihkan berdasarkan Perjanjian Jual Beli tanpa persetujuan istri pertama adalah Akta Perjanjian Jual Beli Nomor 21 tersebut batal demi hukum, karena melanggar syarat subjektif yaitu unsur kesepakatan dan syarat objektif yaitu unsur suatu sebab yang halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Karena Alm.MS dan FZ sebagai istri keduanya tidak berwenang untuk mengalihkan objek tersebut tanpa persetujuan dari JR sebagai istri pertamanya karena objek tersebut merupakan harta bersama antara Alm.MS dan JR. Selain itu Perjanjian Jual Beli tersebut dibuat dengan dasar utang piutang. ......Legal actions such as a sale and purchase agreement on joint property obtained in the first marriage in its implementation must have the consent of the first wife as stipulated in Article 36 paragraph (1) UUP jo Article 92 KHI. However, in the case that the author discusses, the husband married a second wife without the knowledge and permission of the first wife and transferred joint property from the first marriage with the signature of the second wife without the knowledge and consent of his first wife. The problems raised in this study are the legal status of the second marriage performed by the husband without the consent of the first wife and against the joint property of the first marriage and the legal consequences of the joint property in the first marriage transferred based on the sale and purchase agreement without the consent of the first wife performed by the husband with the wife in the second marriage. This research uses a doctrinal form by using data collection tools in the form of literature study. The results of the analysis show that the second marriage of Alm.MS with FZ was carried out without asking permission from JR as his first wife or permission from the Religious Court to conduct a polygamous marriage based on the fact that the Family Card is written that the marriage has not been recorded, so the legal status of Alm.MS marriage with FZ is only considered religiously valid, but has no legal force according to Positive Law in force in Indonesia. Furthermore, the legal consequences of joint property in the first marriage transferred based on the Sale and Purchase Agreement without the consent of the first wife is that the Deed of Sale and Purchase Agreement Number 21 is null and void, because it violates the subjective requirement, namely the element of agreement and the objective requirement, namely the element of a lawful cause as stipulated in Article 1320 of the Civil Code. Because Alm.MS and FZ as his second wife are not authorized to transfer the object without the consent of JR as his first wife because the object is joint property between Alm.MS and JR. In addition, the Sale and Purchase Agreement was made on the basis of debt and credit.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahimah Syamsi
Abstrak :
Salah satu permasalahan dalam perkawinan poligami adalah apabila suami yang meninggal pernah melakukan perceraian pada salah satu istrinya, namun harta bersamanya belum dibagi. Hal ini disebabkan, banyak masyarakat belum mengetahui cara pembagian harta warisan terhadap harta bersama pada perkawinan poligami terutama dalam syariat Islam. Dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor 39/Pdt.G/2020/PTA.Mtr, terdapat perbedaan pendapat Majelis Hakim pada tingkat agama dan tingkat banding. Pada putusan pengadilan tingkat agama, Hakim hanya membagi harta bersama sebagai harta warisan tanpa melibatkan istri pertama. Sedangkan, menurut Majelis Hakim tingkat banding pembagian harta tersebut harus melibatkan istri pertama, lalu setelah itu baru dapat dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Jika tidak melibatkan istri pertama, bisa dianggap tidak adil karena hanya mengungkapkan harta bersama dari salah seorang istri saja. Metode penelitian yang digunakan secara yuridis normatif berdasarkan data sekunder. Alat pengumpulan data yang digunakan dengan studi kepustakaan. Hasil penelitiannya adalah untuk pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami harus melibatkan para istri, setelah itu harta warisan baru dapat dibagikan kepada para ahli waris yang berhak. Cara pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dapat merujuk pada Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II dan menurut pendapat Neng Djubaedah yaitu dengan equal method dan ratio method. ......One of the problems in a polygamous marriage is if the deceased husband has divorced one of his wives, but the joint assets have not been divided. This is because many people do not know how to divide inheritance into joint assets in polygamous marriages, especially in Islamic law. In the case of the Decision of the Mataram Religious High Court Number 39/Pdt.G/2020/PTA.Mtr, there was a difference of opinion of the Panel of Judges at the first-level religious court and the second-level religious high court. In the decision of the first-level religious court, the judge only divided the joint assets as inheritance without involving the first wife. Meanwhile, according to the second-level religious high court, the distribution of assets must involve the first wife, and only then can it be distributed to the rightful heirs. If it doesn't involve the first wife, it could be considered unfair because it only discloses the joint assets of one of the wives. The research method used is normative juridical based on secondary data. Data collection tool used with literature study. The results of his research are that the distribution of joint assets in a polygamous marriage must involve the wives, after which the new inheritance can be distributed to the rightful heirs. The method for dividing joint assets in polygamous marriages can refer to the Guidelines for the Implementation of Duties and Administration of the Religious Courts Book II and according to Neng Djubaedah's opinion, namely the equal method and the ratio method.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa
Abstrak :
Dalam pelangsungan perkawinan poligami kerap ditemukan pelanggaran, yaitu dilangsungkan tanpa adanya izin isteri dan izin Pengadilan. Tesis ini membahas mengenai pencabutan gugatan pembatalan perkawinan poligami oleh isteri pertama berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor 365/Pdt.G/2019/PA.JU. Permasalahan yang dibahas yaitu bagaimana akibat hukum pencabutan gugatan pembatalan perkawinan oleh isteri pertama terhadap perkawinan poligami yang dilangsungkan dengan penipuan dan pembagian harta bersama suami dengan isteri-isteri setelah suami meninggal dunia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian preskriptif. Hasil penelitian ini adalah perkawinan poligami yang dilangsungkan sah karena tidak bertentangan dengan rukun dan syarat perkawinan. Terkait pembagian harta bersama dapat diselesaikan secara litigasi maupun nonlitigasi. Penyelesaian secara litigasi dapat dikuatkan dengan akta van dading atau akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya putusan Pengadilan. Terkait penyelesaian nonlitigasi dibuat dengan kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh notaris yang kemudian didaftarkan ke Pengadilan agar kesepakatan perdamaian notariil tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Mengenai besarnya bagian harta bersama suami dan setiap isteri dapat dibagi menggunakan metode bagi rata antara suami dengan isteriisteri dan metode ratio lama perkawinan. ......In the continuation of polygamous marriages are often found violations, which are carried out without the consent of the wife and the permission of the Court. This thesis discusses the revocation of the lawsuit for the annulment of polygamous marriages by the first wife based on the Decision of the Religious Court of North Jakarta Number 365 / Pdt.G / 2019 / PA.JU. The problem discussed is how the law of revocation of the lawsuit of annulment of the annulment of the marriage by the first wife to the marriage of polygamy carried out by fraud and division of property with the husband and wives after the husband dies. This study uses normative juridical research method with prescriptive research type. The results of this study are polygamous marriages that are held legally because they do not conflict with the pillars and conditions of marriage. Regarding the division of common property can be resolved by litigation orlitigation non-. Litigation settlement can be strengthened by a van dading act or a peace act that has binding legal force similar to a Court decision. The non-settlement settlement is made with a peace agreement made by a notary who is then registered with the Court so that the notary peace agreement has permanent legal force and has executive power. Regarding the size of the share of property with the husband and each wife can be divided using the method of equality between husband and wife and the old ratio method of marriage.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidianti Hanifasari
Abstrak :
Undang-Undang Perkawinan telah mengatur mengenai syarat-syarat untuk dilangsungkannya perkawinan. Namun tidak sedikit pasangan yang tidak mengikuti peraturan tersebut, sehingga terhadap perkawinan ini dapat dilakukan pembatalan. Dengan adanya pembatalan perkawinan ini memberikan kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang mendapatkan kerugian dari perkawinan tersebut, terutama anak terlebih lagi apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia dan anak tersebut menjadi ahli warisnya. Dalam skripsi ini, penulis tertarik untuk membahas bagaimana kedudukan pihak yang tidak diatur sebagai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sesuai Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan terhadap perkawinan poligami yang tidak memenuhi persyaratan. Untuk mendalami permasalahan ini, penulis menganalisis Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 05/Pdt/2016/PT.PBR. Penelitian ini menggunakan penilitian dengan metode yuridis normatif dan tipologi yang bersifat deskriptif analitis untuk memecahkan permasalahan. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan oleh ahli waris apabila memiliki kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut. Untuk menghindari adanya pembatalan perkawinan, sebaiknya setiap pihak yang berperan dalam pelangsungan perkawinan harus memiliki koordinasi yang kuat. ......Marriage Law has regulated the conditions in the proceeding of marriage. However, not few of those marriages are held without following such conditions and are listed, hence they became legitimate in the eyes of the law. In such marriages, Marriage Law provides legal protection against the injured party through cancellation of marriage. The Marriage Law provides limited rules regarding those who are able to cancel a marriage proceedings. In this thesis, writer is interested in discussing how the position of unregulated parties, in this case the heirs, as the party who are able to propose cancellation of marriage in accordance with Article 23 of the Marriage Law for polygamous marriages that do not meet the requirements. To explore this issue, writer analyzes the Decision of the Pekanbaru High Court Number 05/Pdt.G/2016/PT.PBR. This study uses normative judicial methods and descriptive analytical typologies to solve the problem of this study. From this study, it can be concluded that the cancellation of marriage can be carried out by the heirs, if they acquire a direct legal interest in the marriage. To avoid the occurrence of marital cancellations, it is recommended that every party who plays a role in the proceedings of marriage must have strong coordination of both parties.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina
Abstrak :
Lahirnya seorang anak dari perkawinan poligami yang tidak tercatat secara resmi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan fenomena yuridis yang tidak dapat dipungkiri. Peristiwa seperti ini dapat membawa konsekuensi hukum lebih lanjut terhadap anak luar kawin yang bersangkutan, dimana di dalam hukum kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lahir dari perkawinan yang resmi. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, hukum memberikan solusi bagi anak luar kawin agar dapat memiliki kedudukan hukum yang sama sebagaimana anak sah, yaitu melalui pengesahan anak. Permasalahannya adalah bagaimana pengaturan perkawinan poligami menurut hukum positif di Indonesia, bagaimana prosedur pengesahan anak luar kawin yang lahir dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan menurut hukum negara, dan bagaimana Pertimbangan Hakim pada Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 36/Pdt.P/2020/PN.Jkt.Pst. dikaitkan dengan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada penelitian ini, penulis akan menjawab permasalahan tersebut dengan pendekatan yuridis-normatif dengan menggunakan data-data yang diperoleh hasil dari studi kepustakaan dan menelaah peraturan perundang-undangan terkait perkawinan poligami dan pengesahan anak. Hasil analisis menunjukkan bahwa Hakim dalam memeriksa suatu perkara seharusnya memahami latar belakang beserta fakta-fakta dari suatu perkara dan memberikan pertimbangan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ......The birth of a child from an unregistered polygamous marriage according to the prevailing laws is a juridical phenomenon that cannot be denied. As the part of legal events, unregistered polygamous marriages can bring further legal consequences to children born out of wedlock, which in law children born out of wedlock have a lower position than children born from legal marriages. Because of these differences, the law provides a solution for children born out of wedlock to have the same legal status as children born from legal marriages, namely through child legalization. This research will be continued by focusing on how polygamous marriage are regulated according to positive law in Indonesia, how is the procedures of legalizing out of wedlock children born in unregistered polygamous marriages, and how is the suitability of the Judge's decision with the prevailing legislation on Verdict Number: 36/Pdt.P/2020/PN.Jkt.Pst. The author will answer these problems with the juridical-normative method using data collected from literature studies and legislation related to polygamous marriages and child legalization. The results of the study will show that a Judge in examining a case should understand the background and facts of a case and provide legal considerations in accordance with the prevailing laws and regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>