Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Efriani Effendi
"Filsafat kontemporer telah meninggalkan permasalahan subyek. Filsafat kontemporer melihat bahwa subyek telah mati karena selalu dipengaruhi oleh kehidupan sosial. Akan tetapi, Slavoj Zizek melihat bahwa subyek seharusnya dihadirkan kembali di kehidupan sosial. Subyek yang dimaksud merupakan subyek kosong yang terlepas dari simbol sosial maupun fantasi subyektif. Subyek kosong merupakan subyek yang terus menegasi kedua simbol tersebut dan menciptakan simbol-simbol baru. Dengan demikian, subyek selalu merefleksi semua tindakannya.

Philosophy of contemporary already left the problem of subject. Philosophy of contemporary sees that the subject is already died because it was influenced by social condition. But Slavoj Zizek thinks that the subject should present in social life. Subject that he means that is the void of subject whom apart of social symbolic and subjectivity fantasy. The void of subject is always refuses the both symbolics and then makes new symbolics. So that, the subject always reflects all the actions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S229
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Winarno
"Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembangunan sosial ekonomi Indonesia berasal dari masalah kependudukan. Masalah tersebut terutama berkaitan dengan besarnya jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi dan persebaran penduduk yang tidak merata.
Propinsi Sumatera Barat mempunyai karakteristik khusus dalam hal budaya merantau juga menghadapi permasalahan kependudukan terutama karena fenomena migrasi tersebut. Perpindahan penduduk itu akan menyebabkan tidak meratanya distribusi persebaran penduduk, dan juga akan mempengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk di suatu daerah serta berpengaruh terhadap pembangunan daerah, karena penduduk hanya akan terkonsentrasi di daerah yang mempunyai daya tarik yang tinggi terutama Kota Padang sebagai ibukota Propinsi. Hai ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antar daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat.
Dengan melakukan analisis interaksi spasial dapat diperkirakan daya tarik suatu lokasi dibandingkan dengan lokasi lain di sekitarnya, sehingga dapat diketahui pola perpindahan penduduk yang cenderung ke daerah yang mempunyai daya tarik yang lebih tinggi.
Hasil penelitian secara empiris dengan menggunakan gravity model menunjukkan bahwa faktor jumlah penduduk di daerah asal dan daerah tujuan serta jarak berpengaruh terhadap migrasi di Propinsi Sumatera Barat, dimana jarak mempunyai pengaruh yang negatif terhadap migrasi, sedangkan jumlah penduduk daerah asal dan daerah tujuan mempunyai pengaruh positif terhadap migrasi. Dan juga diketahui bahwa kesempatan kerja juga berpengaruh terhadap migrasi.
Secara keseluruhan maka daerah yang daya tariknya paling tinggi dengan menggunakan variabel penduduk dan merupakan tujuan utama bagi penduduk Sumatera Barat untuk pindah adalah kota Padang, kabupaten Solok dan kabupaten Padang Pariaman. Sedangkan daerah yang daya tariknya paling rendah adalah kepulauan Mentawai dan kota Sawahlunto.
Dengan menggunakan variabel kesempatan kerja memperlihatkan pola yang sama dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, dimana tujuan utama penduduk utama untuk pindah adalah kota Padang, kabupaten Solok.
Dengan menggunakan model Feeney dapat diketahui bahwa sampai periode tahun 2010 daerah yang paling tinggi pertumbuhan penduduknya adalah kota Padang, kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan kabupaten Agam, sedangkan daerah yang pertumbuhan penduduknya rendah adalah kepulauan Mentawai dan kota Sawahlunto."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Shovie Adi Samabta Bhakti
"Penelitian ini mencoba untuk mencermati gejala terjadinya kesenjangan antardaerah yang dilatarbelakangi oleh isu-isu pembangunan nasional yang selama ini cenderung terpusat di Pulau Jawa. Mekanisme trickle down effect yang diyakini dapat terjadi/menyebar, ternyata dalam penerapannya tidak sedikit mengalami hambatan.
Lebih lanjut, seringkali dalam pembicaraan mengenai kesenjangan antardaerah mengacu pada persoalan dikotomi antara region Jawa dan Luar Jawa. Padahal di Jawa sendiri pun terdapat kemungkinan terjadinya kesenjangan antardaerah (provinsi). Oleh karena itu, pada kesempatan ini dilakukan pengamatan mengenai gejala terjadinya kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa ditinjau dari perspektif sektoral dan regional selama periode 1983-2001 dengan menggunakan data PDRB migas atas dasar harga konstan 1993.
Dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson dan Theil Inequality dapat ditemukan beberapa hal, antara lain: pertama, sejak tahun 1983 hingga tahun observasi tahun 2001, masih terjadi kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa dan mengalami trend kesenjangan antardaerah yang relatif menaik. Kedua, kondisi ini dipicu pula oleh peningkatan besamya kontribusi sektor industri yang mampu mendorong terciptanya 'peran' pada sektor jasa di Pulau Jawa (derived demand). Ketiga, secara empiris terbukti, bahwa di Pulau Jawa telah terjadi transformasi stuktural. Keempat, dengan menggunakan indikator konsumsi perkapita cenderung lebih baik untuk menggambarkan tingkat kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa dibandingkan dengan indikator PDRB perkapita. Kelima, kesenjangan antardaerah pasca pemekaran wilayah di Pulau Jawa yang cenderung menaik. Keenam, perekonomian DKI Jakarta mempunyai peran yang sangat penting dan strategis terhadap perekonomian yang lebih luas atau dengan kata lain telah melampaui batas-batas provinsi, terutama terhadap gejala terjadinya kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa.
Adapun beberapa saran atau pun rekomendasi yang lebih bersifat pertimbangan, antara lain: pertama, pembangunan ekonomi harus dijalankan secara sinergis dengan mempertimbangkan leading sectors tiap-tiap daerah. Kedua, para pelaku ekonomi ataupun para stakeholders kebijakan publik, agar lebih serius mendeteksi isu-isu atau variabel-variabel yang secara umum dapat mendorong gejala terjadinya kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa. Selanjutnya, keempat, penelitian lanjutan dianjurkan menggunakan sumber data pada tingkatan kabupaten/kota atau bilamana memungkinkan pada tingkatan kecamatan. Hal ini mengingat, studi yang mengandalkan data provinsi akan cenderung bias terhadap ekonami perkotaan dan secara umum heterogenitas tiap-tiap provinsi yang terlalu besar."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bety Hayat Susanti
"Dengan latar belakang isu disparitas, produktivitas regional, penelitian ini mencoba membahas analisa empirik dari konvergensi produktivitas tenaga kerja pada tingkat sektoral antar propinsi di Indonesia selama periode 1987-2003.
Analisa konvergensi sigma menunjukkan bahwa penurunan dalam disparitas produktivitas tenaga kerja sektoral antar propinsi mengalami pasang surut dalam 16 tahun terakhir. Dengan menggunakan analisa statis (konvergensi sigma atau a-convergence) memperlihatkan hasil dimana konvergensi terjadi secara kuat pada sektor pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; dan agregat. Sementara itu, sektor bangunan serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mengalami divergensi.
Sementara itu, analisa konvergensi absolut dari produktivitas tenaga kerja sektoral dengan menggunakan konvergensi beta (β-convergence) terjadi secara bervariasi selama periode 1987-2003. Estimasi kecepatan konvergensi absolut dalam 16 tahun terakhir berkisar antara 1,55% sampai 7,66% per tahun yang berimplikasi the half life convergence adalah antara 9 sampai 45 tahun. Sementara itu, regresi dengan metode data panel yang mengizinkan perbedaan fungsi produksi antar perekonomian, menghasilkan estimasi kecepatan konvergensi yang jauh lebih tinggi yang berkisar antara 4,98% sampai 9,92% per tahun yang berimplikasi the half-life convergence adalah antara 7 sampai 14 tahun.
Kecepatan konvergensi absolut produktivitas agregat lebih rendah bila dibandingkan dengan 9 (sembilan) sektor lainnya, yang kemudian diikuti oleh sektor pertanian. Sementara itu, sektor industri dan jasa merupakan sektor-sektor yang mempunyai kecepatan konvergensi paling tinggi untuk regresi dengan metode data panel yang mengizinkan perbedaan fungsi produksi antar perekonomian. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar aktivitas perekonomian (terutama industri dan jasa) lebih banyak terpusat di Pulau Jawa, sementara di daerah lainnya relatif tidak merata."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrul Yunardy
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi terus berulangnya kejadian kebakaran hutan di Indonesia yang hampir terjadi setiap tahun. Padahal sumberdaya hutan memiliki keterkaitaan yang erat dengan kinerja, perekonomian, kualitas ekologi, dan ketergantungan sosial. Untuk itu perlu diketahui dampak sesungguhnya kebakaran hutan agar perencanaan dan pengambilan kebijakan didalam pengendalian kebakaran hutan yang terarah, fokus dan tepat pada permasalahan.
Dengan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM), keterkaitan antar sektor ekonomi dapat dijelaskan dampak melalui aliran uang yang terjadi. Oleh karena itu, dampak kebakaran hutan terhadap distribusi pendapatan rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah yang menjadi tujuan penelitian ini dapat diketahui.
Berdasarkan hasil analisis pengganda neraca, diketahui bahwa untuk setiap hektar kebakaran hutan akan menurunkan output produksi Rp. 128.61 juta dan menurunkan pendapatan faktor produksi (factorial income) sebesar Rp. 62.94 juta per hektar kebakaran. Penurunan output dan pendapatan faktor produksi akibat kebakaran hutan ternyata berdampak menurunkan pendapatan institusi rumah tangga (households income) sebesar Rp. 45.48 juta, perusahaan (private income) sebesar Rp. 20.42 juta, dan pemerintah (government income) sebesar Rp. 11.54 juta untuk setiap hektar kejadian. Dengan demikian, rumah tangga adalah komponen institusi yang paling merasakan dampak kebakaran hutan yang tercermin dari besarnya penurunan pendapatan. Secara keseluruhan, kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kebakaran hutan terhadap penurunan pendapatan faktor produksi, institusi, dan sektor produksi (output) adalah sebesar Rp. 269.00 juta tiap hektar kejadian kebakaran.
Rata-rata penurunan pendapatan yang diderita oleh setiap orang akibat kebakaran hutan pada tahun 2000 adalah Rp. 3,868 per kapita.. Pada tahun 2001 penurunan pendapatan yang diderita menjadi Rp. 18,105 per kapita. Sedangkan di tahun 2002, pengurangan pendapatan sebesar Rp. 44,186 per kapita. Dengan demikian terjadi peningkatan kerugian pendapatan per kapita selama periode tahun 2000-2002 akibat kebakaran hutan.
Dari hasil analisis jalur struktural, teridentifikasi bahwa jalur-jalur utama yang dilalui dampak kebakaran hutan adalah sektor perkebunan dan sektor-sektor yang berbasiskan pertanian dan pedesaan.
Mengingat besarnya kerugian ekonomi yang diderita sebagai dampak dari kebakaran hutan, maka jumlah dan penyediaan anggaran yang terkait dengan upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan haruslah jelas dan memiliki dasar. Hasil penelitian ini yang menunjukkan total kerugian kebakaran hutan sebesar Rp. 269.00 juta tiap hektarnya, dapat dijadikan landasan untuk pengalokasian anggaran baik oleh pemerintah maupun swasta pemegang hak konsesi. Disamping itu, nilai kerugian ini, dapat pula dijadikan acuan didalam penentuan ganti rugi terhadap pelaku pembakaran hutan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi
"Batam merupakan salah satu tujuan investasi yang menarik di Indonesia karena letaknya yang strategis yaitu kedekatan Batam dengan Singapura yang menjadi simpul distribusi dunia menciptakan potensi bagi Batam untuk menjadi lokasi manufaktur berorientasi ekspor dan juga kedekatan Batam dengan Selat Malaka yang menjadi jalur pelayaran paling ramai didunia, menciptakan potensi bagi Batam untuk menjadi pusat logistik dan pusat entrepot partikuler (ekspor dan impor) dengan pelabuhan alih kapalnya.
Karena posisi Batam menjadi salah satu potensi ekonomi nasional yang produktif, Batam mampu menghasilkan 13.08% ekspor non-migas nasional, juga menyumbang 9,22% surplus neraca perdagangan nasional (2002). Dengan potensi besar yang dimiliki sebagai kawasan strategis ditambah dengan status hukum yang diberikan selama maka peranan Batam semakin besar sebagai daerah perdagangan bebas. Status istemewa diberikan berupa pembebasan Bea Masuk (BM) Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM) dan cukai, termasuk juga barang konsumsi.
Dengan terbitnya PP No 63 Tabun 2004 Tentang Pemberlakuan PPN, PPnBM, dan BM beberapa pihak khawatir mengganggu kegiatan ekspor, impor dan di Kota Batam. Studi ini bertujuan untuk melihat dampak kebijakan pajak terhadap aktivitas ekspor dan impor serta perekonomian Kota Batam.
Studi ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan pajak di Kota Batam sejak 1 Januari 2004, walaupun terjadi penurunan nilai ekspor tapi bukanlah disebabkan oleh kebijakan penerapan pajak tersebut. Impor yang merupakan komponen langsung diterapkannya pajak terjadi kenaikan.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat pengaruh kebijakan penerapan pajak terhadap kegiatan ekspor dan impor di Kota Batam serta perekonomian Kota Batam umumnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenne Aria Adhi Karai
"As a province, Jambi is one of the provinces in Sumatera island that manufacture industrial structure had been dominated by wooden industrial products, such as plywood. However, it has a lot of weakness in export competitiveness. In long term, the wooden industrial products in Jambi Province will face the limited raw materials. In the future, export existence of wooden industriai products will depend on commodity survival in comparative advantage and competitive advantage.
Therefore, the problems are how does the performance of export of wooden industrial products in Jambi Province during 1996-2003 and the most important potential factor in export of wooden industrial products affected Jambi's market share. The performance of export of wooden industry products could be measured by Revealed Comparative Advantage (RCA) Index. A decomposed Constants Market Share Analysis measures the source of export growth. CMS Analysis decomposed the changing of Jambi's market share into three effects: commodity composition effects, market distribution effects and competitiveness effects. The analysis divides Jambi's performance of exports of wooden industrial products into three digit products by Standard Intemational Trade Classification (STIC) for plywood and wood manufactures products. The analysis of Jambi's market share focused on relationship four trading partners: South Korea, Singapore, Japan and United States.
Analysis result showed that during 1996-2003, RCA ratio of manufacture industrial products had index was less than one. RCA Ratio which had index more than one was dominated by plywood and wood manufactures products. In 1996, 1999,2002 and 2003 years, the export of plywood products achieved comparative advantage. Between 1996-2003, except in 1996 and 2000, wood manufactures achieved comparative advantage with RCA ratio has index more than one.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Nurdin
"Sejak tahun 1978 Pemerintah Indonesia telah menerapkan konsep cost recovery melalui pembangunan jalan tol dan mendorong Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Sampai saat ini sekitar 649,12 km jalan tol telah beroperasi dan direncanakan pembangunan 1.951 km jalan tol. Tujuan dari studi ini adalah untuk mencari skerna KPS yang paling optimum pada koridor Jogjakarta-Solo-Kertsono sebagai bagian dari ]aringan Jalan Tol Trans Jawa dan merekomendasikan strategi ke depan dalam kerangka percepatan pembangunan jalan tol. Studi ini di!akukan melalui kajian literatur, menggali kerangka pengaturan, kebijakan dan isu-isu lain dalam pembangunan jalan tol, analisa kelayakan ekonomi dan keuangan termasuk subsidi serta membangun skema KPS. Analisa ekonomi menunjukkan bahwa semua segmen mempunyai kalayakan tinggi, tetapi hanya segmen Jogjakarta-Solo yang mempunyai kelayakan keuangan memadai dengan FIRR 16.73%. Untuk mendapatkan skema KPS yang optimum ada 7 opsi yang dianalisa dengan memperhatikan aspek kebutuhan dana pemerintah, keterlibatan sektor swasta, kebijakan dan pengaturan dan kepastian dalam proses dsb. Opsi 1- Pemisahan berdasarkan Iingkup, Opsi 2 - Sewa, Oprsi 3- pembanguna oleh Pemerintah, Op[si 4-Pemisahan berdasarkan segrnen, Opsi 5 - Subsidi di muka, Opsi 6 - Service Payment dan Opsi 7 - Kombinasi subsidi di muka dan Service payment. Hasil analisas menunjukkan bahwa Opsi-7 merupakan opsi terbaik untuk dapat dilaksanakan karena dapat meningkatkan partisipasi swasta dan mendorong penerapan KPS di Indonesia, sebagai rekomendasi disebutkan bahwa keberhasilan penerapan opsi 7 perlu dukungan Pemerintah, perturan perundangan dan sosialisasi kepada stake holder.

The GOI since 1978 has been employing the cost recovery concept though toll road development and promote Public Private Partnership (PPP) scheme. Recently, there is about 649,12 km operated toll road and 1.951 km planned toll road. The objective of the study is to figure out the optimum PPP scheme of specific corridor i.e. Jogjakarta-Solo-Kertsono as part of the Trans Java Toll Road Network and as well to recommend the next strategy and policy aim at accelerating the toll road development in Indonesia in general. This study conducted through the combination of literature review, explored the existing regulation, pc"iicy and other issues related to toll road development, analysis of economic and financial viability to include subsidy led to proposed alternative PPP scheme option. The economic analysis show that all the segment indicating high economic viability, but only segment Jogjakarta-Solo having good financial indicator with FIRR 16.73%. In attempt to find out the optimum PPP scheme, 7 options have been proposed considering the aspect of required government fund, private sector involvement, policy and legal issues, and certainty in process, etc. Option 1- Separation based on scope of work, Option 2 - Leasing, Option 3 - Construction by government, Option 4 - Separation based on segment, Option 5 - Upfront Subsidy, Option 6 Service Payment as well as option 7 - Combination of Upfront Subsidy and Service Payment. The result of analysis shows that Option - 7 is 1 is likely the best option to be implemented due to private sector involvement and will encourage implementation of PPP in Indonesia. It is recommended that successful implementation of option 7 required government support, relevant regulation and socialization to stake holder."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safiudin Alibas
"Pelaksanaan program perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan kurang gizi sampai saat ini belum efektif. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya prevalensi kurang gizi (gizi kurang dan gizi buruk). Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas program perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan kurang gizi di Kabupaten dan Kota Propinsi Sulawesi Tenggara (Kasus Kabupaten Konawe dan Kota Kendari). Efektivitas program perbaikan gizi yang dimasud dalam penelitian ini adalah efektivitas pemantauan pertumbuhan balita dan efektivitas distribusi Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Kedua jenis kegiatan ini berhubungan langsung dengan prevalensi kurang gizi.
Metode analisis dilakukan dengan menggunakan Analisis of Varians dan model ekonometrika. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan secara survei. Penentuan sampel dilakukan secara purposive.
Berdasarkan analisis dengan uji statistik one way ANOVA, disimpulkan bahwa efektivitas pemantauan pertumbuhan bailta tidak berbeda secara signifikan antara Kabupaten Konawe dan Kota Kendari. Sedangkan efektivitas distribusi MP-ASI berbeda secara signifikan. Faktor-faktor yang berbeda secara signifikan meliputi dukungan manajemen puskesmas dalam program perbaikan gizi, dan ketersediaan MP-ASI. Analisis uji statistik one way ANOVA juga menyimpulkan Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk tidak berbeda secara signifikan antara Kabupaten dan Kota.
Hasil analisis model ekonometrika dengan menggunakan regresi linier berganda menyimpulkan batiwa efektivitas pemantauan pertumbuhan dipengaruhi secara signifikan oleh pengetahuan gizi Ibu, keterlibatan TP-PKK dalam program perbaikan gizi dan tingkat dukungan manajemen puskesmas. Hasil analisis di masing-masing Kabupaten dan Kota menyimpulkan bahwa efektivitas pemantauan pertumbuhan balita dipengaruhi oleh faktor yang berbeda. Di Kabupaten Konawe efektivitas pemantauan pertumbuhan balita dipengaruhi secara signifikan oleh pengetahuan gizi ibu dan dukungan manajemen Puskesmas. Sedangkan di Kota Kendari efektivitas pemantauan pertumbuhan balita dipengaruhi oleh faktor pengetahuan gizi ibu dan keterlibatan TP-PKK dalam program perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi ibu, keterlibatan TP-PKK dalam program perbaikan gizi dan keadaan geografis berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat efektivitas distribusi MP-ASI. Analisis menurut kabupaten dan kota pada model ini tidak dilakukan karena faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap efektivitas pemantauan pertumbuhan balita tidak berbeda secara signifikan antara Kabupaten Konawe dan Kota Kendari.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa efektivitas distribusi MP-ASI di Kabupaten Konawe dan Kota Kendari dipengaruhi oleh faktor yang sama. Prevalensi gizi kurang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu, dan pengetahuan tenaga gizi tentang gizi buruk dan gizi kurang berpengaruh secara siginifikan terhadap prevalensi gizi kurang. Hasil analis masing masing kabupaten dan kota menyimpulkan bahwa prevalensi gizi kurang di Kabupaten Konawe dan Kota Kendari dipengaruhi oleh faktor yang berbeda. Di Kabupaten Konawe prevalensi gizi kurang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu dan pengetahuan petugas gizi tentang gizi kurang dan gizi buruk. Sedangkan di Kota Kendari faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap prevalensi gizi kurang adalah efektivitas distribusi MP-ASI.
Prevalensi gizi buruk dipengaruhi secara signifikan oleh faktor pendapatan keluarga, efektivitas pemantauan pertumbuhan balita di Posyandu dan kemampuan tenaga gizi dalam melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. Analisis menurut kabupaten dan kota pada model ini tidak dilakukan karena faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap prevalensi gizi buruk tidak berbeda secara signifikan antara kabupaten dan kota. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa prevalensi gizi buruk di Kabupaten Konawe dan Kota Kendari dipengaruh oleh faktor yang sama.
Kesimpulan hasil analisis model ekonometrika memberikan gambaran dan pemahaman bahwa permasalahan gizi di setiap wilayah relatif berbeda dan sangat tergantung pada fokus permasalahan tersebut. Oleh karenanya, dalam upaya meningkatkan efektivitas pencegahan dan penanggulangan kurang gizi diperlukan berbagai kebijakan yang tidak hanya bersifat umum tetapi juga yang bersifat spesifik lokal masing-masing daerah. Kesimpulan ini sejalan dengan semangat desentralisasi yang mengharapkan pembangunan masing-masing daerah disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya daerah tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17123
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Amrullah
"Pembangunan infrastruktur mutlak diperlukan terutama dalam upaya meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Dengan adanya infrastruktur dapat mempermudah aktivitas ekonomi masyarakat dan juga meningkatkan produktivitas serta output/pendapatan. Infrastruktur ekonomi merupakan aset fisik yang menyediakan jasa dan digunakan dalam produksi dan konsumsi final meliputi public utilities (telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public works (jalan, bendungan dan saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan kereta api, angkutan pelabuhan dan lapangan terbang.
Pembangunan infrastruktur memiliki karakteristik monopoli alamiah, dimana skala ekonomis yang diperlukan untuk menyediakan infrastruktur tersebut sedemikian besar sehingga diperlukan keterlibatan pemerintah dalam mengalokasikan sumber Jaya dalam pengelolaannya, baik secara langsung maupun dengan bekerjasama dengan pihak swasta.
Intervensi pemerintah untuk pengadaan infrastruktur diperlukan baik itu melalui pengadaan langsung maupun melalui peraturan harga dan perundangan. Infrastruktur sangat dibutuhkan karena mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, karena infrastruktur tersebut dapat menyokong banyak aspek ekonomi dan kegiatan sosial. Karena itu, sebagai konsekuensinya jika terjadi kegagalan infrastruktur akan memberikan dampak yang luas terhadap masyarakat.
Penyediaan infrastruktur merupakan hasil dari kekuatan penawaran dan permintaan bersama dengan pengaruh dari kebijakan publik. Pada kenyataannya kebijakan publik memegang peranan yang sangat besar karena ketiadaan atau ketidaksempurnaan mekanisme harga dalam penyediaan infrastruktur. Selanjutnya penerapan harga yang dilakukan pemerintah untuk jasa pelayanan infrastruktur selain memperhatikan aspek ekonomi juga harus memperhatikan aspek sosial.
Keberadaan infrastruktur secara umum dapat memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan hubungan tersebut dalam berbagai model ekonomi, baik hubungan secara langsung, tidak langsung maupun hubungan timbal balik (kausalitas). Penelitian ini membahas signifikansi pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia dengan menggunakan analisis ekonometrik data panel. Variabel infrastruktur yang digunakan pada penelitian ini adalah infrastruktur ekonomi yakni jalan, listrik, telepon dan air minum. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pembangunan infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi regional yang diwakili oleh pendapatan perkapita penduduk."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>