Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52672 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mourshida Bayuni
"Pembahasan karya akhir ini khususnya berfokus kepada mismanaged crisis (krisis diluar kendali) dan reputation assaults (serangan terhadap reputasi) yang dihadapi oleh Newmont Minahasa Raya (NMR) dari sudut pandang external stakeholder. NMR cukup dibuat terkejut, dan tampak tidak siap karena di ?serang? bertubi-tubi dengan tudingan-tudingan yang dilakukan oleh para kelompok aktivis dari organisasi nirlaba (Non-Government Organizaiton). Hal-hal kontroversial seperti ini menarik perhatiau media massa baik nasional maupun internasional, dan mereka memuat berita negatif secara besar-besaran yang menyudutkan NMR, hal ini merupakan serangan terhadap reputasi NMR.
NMR dituduh telah mencemari lingkungan dan menygbabkan tenjadinya isu menyangkut gangguan kesehatan terhadap penduduk di komunitas lokal serta hilangnya penghasilan dari para nelayan yang selama ini mendapat penghasilan dari penangkapan ikan dari perairan di teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Walau dikenakan denda sebesar US$700 juta karena telah mencemarkan air, merusak lingkungan dan ekosistem, Serta memberi dampak buruk terhadap kesehatan penduduk lokal, NMR terus membantah tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Hingga saat ini, NMR secara konsisten mengkomunikasikan bantahan-bantahan bahwa mereka tidak melanggar peraturan termasuk pencemaran terhadap perairan di teluk Buyat. Perjanjian kesepakatan (goodwill agreement dalam bentuk pembayaran ?diluar sidang? sebesar US$30 juta, menurut NMR bukan merupakan pengakuan NMR bersalah, hal ini dipertegas lagi oleh manajemen Newmont saat NMR menyatakan kesediaanya membayar good will agreement di media. Nada yang dikomunikasikan media terhadap NMR bernada negatif, dan oleh para external stakeholder lontaran jawaban dari NMR dinilai arogan, kurang peduli dan tidak sensitif.
Tujuan karya akhir ini adalah untuk lebih memahami, mendalami serta mencari tahu apa penyebab terjadinya krisis yang tidak terkendali (mismanaged crisis) ini, apakah NMR memiliki sistem kendali dan mengembangkan strategi penanganan manajemen krisis untuk kedepannya. Untuk mendapat konifirmasi tentang studi ini, penulis merasa perlu untuk mengumpulkan data dan opini publik terhadap NMR, reputasinya dan citranya setelah krisis berlangsung. Pengumpulan data didukung dengan riset secondary dan qualitative. Metoda untuk riset qualitative, penulis memilih in-depth interview.
Dalam menganalisa subjek ?krisis yang tidak terkendali dan serangan-serangan terhadap reputasi organisasi' (mismanaged crisis and assaults on an organization 's reputation?) dari perspektif stakeholder diluar organisasi, penulis melakukan eksplorasi dengan memakai berbagai model krisis dan mengambilnya dari sumber-sumber seperti dari: Argenti (1994), Campbell (1999), Lerbinger (1997), Caponigro (2000), dan etika bisnis dari de George (1982), model reputasi dari Fombrun (1996), kekuatan media dari Adiprigandari Adiwoso (2005), dan hubungan masyarakat dari Baskin et al (1992).
Hasil dari riset lapangan mengkonfirmasikan bahwa NMR telah mendapatkan berbagai macam julukan dari ?The Big Ugly American Corporation' yang memiliki kekuatan ibarat ?Goliath ', perusahaan yang kurang peka terhadap peringatan-peringatan dalam bentuk isu-isu yang meningkat menjadi musibah atau malapetaka buat NMR. Hasil in-depth interview mengkonfirmasikan adanya isu-isu dimana NMR tidak mematuhi etika bisnis terutama diseputar lokasi dimana mereka beroperasi.
Sudah merupakan hal yang wajar dimana semua organisasi dituntut untuk turut berperan serta dalam rnembangun dan mengembangkan standard hidup masyarakat lokal dimana mereka beroperasi, oleh karena iiu studi karya akhir ini tidak membicarakan isu ini, NMR memang seharusnya komit dengan Corporate Social Responsibility/CSR (Tanggung Jawab Sosial Korporasi). Satu hal yang perlu diperhatikan oleh NMR, bahwa selayaknya semua kegiatan CSR untuk disosialisasikan kesemua stakeholder NMR, terdiri dari: komunitas lokal, para activist, lembaga swadaya masyarakat/LSM (NGOs), media massa, pemerintah, shareholder dan masyarakat umum, guna untuk membuktikan bahwa NMR secara konsisten komit dalam kegiatan-kegiatan CSR, yang manfaatnya diperuntukan untuk masyarakat lokal.
Dengan telah ternodanya reputasi dan terlukanya citra NMR, dimana pemulihan akan memakan waktu bertahun-tahun, saat untuk memulai pemulihan nama baik dan Iuka citra ini harus dimulai saat ini juga Yaitu memulainya dengan keterbukaan manajemen, lebih transparan, tidak ?bersembunyi? dibalik pemerintah yang mana selarna ini kesannya pemerintah telah di ?sogok? oleh NMR, guna untuk mendapatkan kelancaran berjalannya operasi perusahaan terutama di masa permerintahan yang lalu. Dengan telah berubahnya jarnan dan lingkungan bisnis, saatnya buat NMR untuk mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan yang berjalan selama ini.
Untuk tidak diam bungkam, karena diam bungkam bukan lagi emas atau 'silent is not anymore golden ', justru diam bungkam itu mernbahayakan. Dengan tidak adanya keterbukaan, media massa dan para activis akan selalu curiga terhadap gerak gerik NMR. Dengan tidak atau kurangnya berkomunikasi kepada para stakeholder, atau dengan mengabaikan lontaran-lontaran atau protes-protes yang bernada negatif dari media dan activist mengenai perbuatan NMR, NMR dengan penuh resiko mempertarungkan diri bahwa mereka dengan mudah dapat diekspos dengan berita-berita negatif, perlakuan NMR yang ?telah? mencemari kesehatan dan Iingkungan. Tulisan-tulisan yang menyerang reputasi dan citra NMR di media massa dengan sendirinya membentuk cerita tersendiri. Inforrnasi-informasi yang diberitakan oleh media rnassa merupakan sumber-sumber yang justru membentuk opini dibenak para srakeholder NMR. Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya negative media coverage adalah keterbukaan dalam berkomunikasi, dengan menciptakan komunikasi dua arah. Tidak ada salahnya untuk NMR berkomunikasi langsung dengan stakeholder yang paling kena dampaknya langsung, dengan melakukan dialog dialog. Tidak ada salahnya untuk lebih menampilkan atau menonjolkan manajmen NMR di khalayak umum, untuk membuktikan bahwa NMR terdiri dari orang-orang yang bertanggung jawab, dan NMR yang bertanggung jawab sebagai good corporore citizen.
Pelajaran yang dapat dipetik dari krisis teluk Buyat ini untuk kedepannya, supaya NMR dapat mendeteksi tanda-tanda akan adanya isu-isu ditahap awal, dan untuk tidak membiarkan isu-isu berkembang menjadi krisis. Untuk NMR supaya lebih paham bahwa masyarakatpun mengalami perubahan-perubahan, dimana secara demokratis mereka dapat menyuarakan Serta mengekspresikan isi suara hati mereka, terutama jika menyangkut kesejahteraan masyarakat. Untuk supaya NMR lebih mengerti bahwa setiap stakeholder mempunyai agenda masing-masing. Oleh karena itu selain re-active, NMR dituntut untuk lebih pro-active, selalu dalam keadaan siap. Untuk rnenghadapi krisis, diperlu perencanaan yang matang, oleh karena itu 'expect the unexpected!

This study focuses on mismanaged crisis and reputation assaults on Newmont Minahasa Raya (NMR) from the perspective of external stakeholders. Taken by surprise, NMR seemed unprepared when attacked by protests made by groups of activists / non-governmental organizations (NGOs). The controversy attracted key national and international media who gave NMR major headline news, with negative publicity, which assaulted NMR?s reputation.
NMR had been alleged to have polluted the environment that caused serious health issues to the local villagers and significant losses of income for the fishermen who used to make a living from fishing around the Buyat Bay waters, in Minahasa, north of Sulawesi. Although charged with an amount of US$700 million for polluting the water, destructing the ecosystem, impacting on economic and health to local residents, NMR was adamant and denied the charges.
Until to-date, how NMR communicated through the media, they consistently denied that they had done any misdeeds in Buyat Bay. The goodwill agreement of a US$30 million, as an ?out-of court? settlement was in no way NMR?s submission of guilt, this was clearly emphasized by Newmont?s top management in the media recently. The communication tone in the media on NMR issue was negative, while NMR?s response was perceived to be arrogant, uncaring and aloof.
The paper intends to explore in-depth to find out the root of causes of the ?mismanaged? crisis, whether NMR had control system in place and subsequently to develop crisis management strategy, on how the company can take control over crisis in the future. In order to reinforce the findings of the study, it is necessary for the author to gather data and public opinion on NMR, its reputation and image post crisis. Tools to be used are the use of a secondary research and qualitative research, using in-depth interviews as a method.
On analyzing the subject of ?mismanaged crisis and assaults on an organization 's reputation? from the perspective of outside stakeholders, the author explores on various relevant crisis models drawing sources such as Argenti (1994), Campbell (1999), Lerbinger (1997), Caponigro (2000), business ethics from de George (1982), reputation model from Fombrum (1996), the power of media from Adiprigandari Adiwoso (2005), and public relations from Baskin et al (1992).
The field research of this study confirms that NMR had been given a number of ?nick-names? from the Big Ugly American Corporation, with its power resembling Goliath, an organization who stonewalled towards early warning issues which then escalated into a catastrophe. The in-depth interviews confirm issues that NMR did have ethical issues in business in place in where they operate.
All organizations now are expected to take part in the community development, therefore it is not necessary for the study to discuss about this issue, NMR is obliged to commit to Corporate Social Responsibility. The only thing they must bear in mind is that they ought to communicate and prove it to their stakeholders (all of them), ranging from: the community, the activists, non-governmental organizations, the media, the government, shareholders and public at large, that NMR does have CSR and consistently commit to the programs, which will be of benefit to the most affected constituents, i.e. the local community.
Having their reputation damaged and image hurt, although it would take NMR years to repair the damage, the time must start from now to start repairing it. That is by starting to perform openly, transparently, by not hiding behind the ?governments? with whom NMR might have ?bribed? for smooth operation in the past. The era and the business environment have changed, it is time for NMR to keep track of these changes and go along with the changes.
Rather than to remain silent, when silent is not anymore ?golden?, but now is ?deadly?, media or activists suspect that NMR is up to something suspicious. By not communicating to these stakeholders, NMR is putting themselves at risk in getting explosive and extensive negative media coverage concerning health or environment destructions. The explosive media coverage has its own life, NMR?s stakeholders will form their own opinions about what they perceive NMR, such as its performance within the community. One of the ways in reducing negative media coverage is for NMR to be more open for communications, for example, to have a two-way communication. There is nothing wrong with communicating directly by forming a dialogue with the affected constituents. There is nothing wrong with increasing the visibility of NMR strong top management and make them accountable.
In conclusion, NMR must learn from the Buyat Bay crisis, to detect early signs of issues by not letting issues converted into crisis. Understand that societies are changing, with citizens speaking-up and expressing their deep-felt concerns when there is an issue about the community. Understand that every stakeholder has their own agendas. In which case, NMR ought to be proactive and reactive at the same time. NMR to be prepared, to plan for a crisis, to expect the unexpected !
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mourshida Bayuni
"Pembahasan karya akhir ini khususnya berfokus kepada mismanaged crisis (kiris di luar kendali) dan reputation assaults (serangan terhadap reputasi) yang dihadapi oleh Newmont Minahasa Raya (NMR) dari sudut pandang external stakeholder. NMR cukup dibuat terkejut, dan tampak tidak siap karena di ?serang? bertubi-tubi dengan tudingantudingan yang dilakukan oleh para kelompok aktivis dari organisasi nirlaba (Non-Government Organizaiton). Hal-hal controversial seperti ini menarik perhatian media massa baik nasional maupun internasional, dan mereka memuat berita negatif secara besar-besaran yang menyudutkan NMR, hal ini merupakan serangan terhadap reputasi NMR.
NMR dituduh telah mencemari lingkungan dan menyebabkan terjadinya isu menyangkut gangguan kesehatan terhadap penduduk di komunitas lokal serta hilangnya penghasilan dari para nelayan yang selama ini mendapat penghasilan dari penangkapan ikan dari perairan di teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Walau dikenakan denda sebesar US$700 juta karena telah mencemarkan air, merusak lingkungan dan ekosistem, serta memberi dampak buruk terhadap kesehatan penduduk lokal, NMR terus membantah tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Hingga saat ini, NMR secara konsisten mengkomunikasikan bantahan-bantahan bahwa mereka tidak melanggar peraturan termasuk pencemaran terhadap perairan di teluk Buyat. Perjanjian kesepakatan (goodwill agreement) dalam bentuk pembayaran ?diluar sidang? sebesar US$30 juta, menurut NMR bukan merupakan pengakuan NMR bersalah, hal ini dipertegas lagi oleh manajemen Newmont saat NMR menyatakan kesediaanya membayar good will agreement di media. Nada yang dikomunikasikan media terhadap NMR bernada negatif, dan oleh para external stakeholder lontaran jawaban dari NMR dinilai arogan, kurang peduli dan tidak sensitif.
Tujuan karya akhir ini adalah untuk lebih memahami, mendalami serta mencari tabu apa penyebab terjadinya krisis yang tidak terkendali (mismanaged crisis) ini, apakah NMR memiliki sistem kendali dan mengembangkan strategi penanganan manajemen krisis untuk kedepannya. Untuk mendapat konfirmasi tentang studi ini, penulis merasa perlu untuk mengumpulkan data dan opini publik terhadap NMR, reputasinya dan citranya setelah krisis berlangsung. Pengumpulan data didukung dengan riset secondary dan qualitative. Metoda untuk riset qualitative, penulis memilih in-depth interview.
Dalam menganalisa subjek ?krisis yang tidak terkendali dan serangan-serangan terhadap reputasi organisai? (?mismanaged crisis and assaults on an organization's reputation?) dari perspektif stakeholder diluar organisasi, penulis melakukan eksplorasi dengan memakai berbagai model krisis dan mengambilnya dari sumber-sumber seperti dari: Argenti (1994), Campbell (1999), Lerbinger (1997), Caponigro (2000), dan etika bisnis dari de George (1982), model reputasi dari Fombrun (1996), kekuatan media dari Adiprigandari Adiwoso (2005), dan hubungan masyarakat dari Baskin et al (1992).
Hasil dari riset lapangan mengkonfirmasikan bahwa NMR telah mendapatkan berbagai macam julukan dari ?The Big Ugly American Corporation? yang memiliki kekuatan ibarat ?Goliath?, perusahaan yang kurang peka terhadap peringatan-peringatan dalam bentuk isu-isu yang meningkat menjadi musibah atau malapetaka buat NMR. Hasil in-depth interview mengkonfirmasikan adanya isu-isu dimana NMR tidak mematuhi etika bisnis terutama diseputar lokasi dimana mereka beroperasi.
Sudah merupakan hal yang wajar dimana semua organisasi dituntut untuk turut berperan serta dalam membangun dan mengembangkan standard hidup masyarakat lokal dimana mereka beroperasi, oleh karena itu studi karya akhir ini tidak membicarakan isu ini, NMR memang seharusnya komit dengan Corporate Social Responsibility 1 CSR (Tanggung Jawab Sosial Korporasi). Sate hal yang perlu diperhatikan oleh NMR, bahwa selayaknya semua kegiatan CSR untuk disosialisasikan kesemua stakeholder NMR, terdiri dari: komunitas lokal, para activist, lembaga swadaya masyarakat 1 LSM (NGOs), media massa, pemerintah, shareholder dan masyarakat umum, guna untuk membuktikan bahwa NMR secara konsisten komit dalam kegiatan-kegiatan CSR, yang manfaatnya diperuntukan untuk masyarakat lokal.
Dengan telah temodanya reputasi dan terlukanya citra NMR, dimana pemulihan akan memakan waktu bertahun-tahun, saat untuk memulai pemulihan nama balk dan luka citra ini hares dimulai saat ini juga. Yaitu memulainya dengan keterbukaan manajemen, lebih transparan, tidak `bersembunyi' dibalik pemerintah yang mana selama ini kesannya pemerintah telah di `sogok' oleh NMR., guna untuk mendapatkan kelancaran berjalannya operasi perusahaan terutama di masa permerintahan yang lalu. Dengan telah berubahnya jaman dan lingkungan bisnis, saatnya buat NMR untuk mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan yang berjalan selama ini.
Untuk tidak diam bungkam, karena diam bungkam bukan lagi emas atau 'silent is not anymore golden', justru diam bungkam itu membahayakan. Dengan tidak adanya keterbulcaan, media massa dan para activist akan selalu curiga terhadap gerak gerik NMR. Dengan tidak atau kurangnya berkomunikasi kepada para stakeholder, atau dengan mengabaikan lontaran-lontaran atau protes-protes yang bernada negatif dari media dan activist mengenai perbuatan NMR, NMR dengan penult resiko mempertarungkan did bahwa mereka dengan mudah dapat diekspos dengan berita-berita negatif, perlakuan NMR yang ?telah? mencemari kesehatan dan lingkungan. Tulisantulisan yang menyerang reputasi dan citra NMR di media massa dengan sendirinya membentuk cerita tersendiri. Informasi-informasi yang diberitakan oleh media massa merupakan sumber-sumber yang justru membentuk opini dibenak para stakeholder NMR. Salah sate cara untuk mengurangi terjadinya negative media coverage adalah keterbukaan dalam berkomunikasi, dengan menciptakan komunikasi dua arah. Tidak ada salahnya untuk NMR berkomunikasi langsung dengan stakeholder yang paling kena dampaknya langsung, dengan melakukan dialog dialog. Tidak ada salahnya untuk lebih menampilkan atau menonjolkan manajemen NMR di khalayak umum, untuk membuktikan bahwa NMR terdiri dari orang-orang yang bertanggung jawab, dan NMR yang bedanggung jawab sebagai good corporate citizen.
Pelajaran yang dapat dipetik dari krisis teluk Buyat ini untuk kedepannya, supaya NMR dapat mendeteksi tanda-tanda akan adanya isu-isu ditahap awal, dan untuk tidak membiarkan isu-isu berkembang menjadi krisis. Untuk NMR supaya lebih paham bahwa masyarakatpun mengalami perubahan-perubahan, dimana secara demokratis mereka dapat menyuarakan serta mengekspresikan isi suara hati mereka, terutama jika menyangkut kesejahteraan rnasyarakat. Untuk supaya NMR lebih mengerti bahwa setiap stakeholder mempunyai agenda masing-masing. Oleh karena itu selain re-active, NMR dituntut untuk lebih pro-active, selalu dalam keadaan siap. Untuk menghadapi krisis, diperlu perencanaan yang matang, oleh karena itu "expect the unexpected".

This study focuses on mismanaged crisis and reputation assaults on Newmont Minahasa Raya (NMR) from the perspective of external stakeholders. Taken by surprise, NMR seemed unprepared when attacked by protests made by groups of activists? non-governmental organizations (NGOs). The controversy attracted key national and international media who gave NMR major headline news, with negative publicity, which assaulted NMR's reputation.
NMR had been alleged to have polluted the environment that caused serious health issues to the local villagers and significant losses of income for the fishermen who used to make a living from fishing around the Buyat Bay waters, in Minahasa, north of Sulawesi. Although charged with an amount of US$700 million for polluting the water, destructing the ecosystem, impacting on economic and health to local residents, NMR was adamant and denied the charges.
Until to-date, how NMR communicated through the media, they consistently denied that they had done any misdeeds in Buyat Bay. The goodwill agreement of a US$30 million, as an ?out-of-court? settlement was in no way NMR's submission of guilt; this was clearly emphasized by Newmont's top management in the media recently. The communication tone in the media on NMR issue was negative, while NMR's response was perceived to be arrogant, uncaring and aloof.
The paper intends to explore in-depth to find out the root of causes of the ?mismanaged? crisis, whether NMR had control system in place and subsequently to develop crisis management strategy, on how the company can take control over crisis in the future. In order to reinforce the findings of the study, it is necessary for the author to gather data and public opinion on NMR, its reputation and image post crisis. Tools to be used are the use of a secondary research and qualitative research, using in-depth interviews as a method.
On analyzing the subject of ?mismanaged crisis and assaults on an organization's reputation? from the perspective of outside stakeholders, the author explores on various relevant crisis models drawing sources such as Argenti (1994), Campbell (1999), Lerbinger (1997), Caponigro (2000), business ethics from de George (1982), reputation model from Fombrun (1996), the power of media from Adiprigandari Adiwoso (2005), and public relations from Baskin et al (1992).
The field research of this study confirms that NMR had been given a number of 'nick-names' from the Big Ugly American Corporation, with its power resembling Goliath, an organization who stonewalled towards early warning issues which then escalated into a catastrophe. The in-depth interviews confirm issues that NMR did have ethical issues in business in place in where they operate.
All organizations now are expected to take part in the community development, therefore it is not necessary for the study to discuss about this issue, NMR is obliged to commit to Corporate Social Responsibility. The only thing they must bear in mind is that they ought to communicate and prove it to their stakeholders (all of them), ranging from: the community, the activists, non-governmental organizations, the media, the government, shareholders and public at large, that NMR does have CSR and consistently commit to the programs, which will be of benefit to the most affected constituents, i.e. the local community.
Having their reputation damaged and image hurt, although it would take NMR years to repair the damage, the time must start from now to start repairing it. That is by starting to perform openly, transparently, by not hiding behind the 'governments' with whom NMR might have 'bribed' for smooth operation in the past. The era and the business environment have changed, it is time for NMR to keep track of these changes and go along with the changes.
Rather than to remain silent, when silent is not anymore `golden', but now is `deadly', media or activists suspect that NMR is up to something suspicious. By not communicating to these stakeholders, NMR is putting themselves at risk in getting explosive and extensive negative media coverage concerning health or environment destructions. The explosive media coverage has its own life; NMR's stakeholders will form their own opinions about what they perceive NMR, such as its performance within the community. One of the ways in reducing negative media coverage is for NMR to be more open for communications, for example, to have a two-way communication. There is nothing wrong with communicating directly by forming a dialogue with the affected constituents. There is nothing wrong with increasing the visibility of NMR strong top management and make them accountable.
In conclusion, NMR must learn from the Buyat Bay crisis, to detect early signs of issues by not letting issues converted into crisis. Understand that societies are changing, with citizens speaking-up and expressing their deep-felt concerns when there is an issue about the community. Understand that every stakeholder has their own agendas. In which case, NMR ought to be proactive and reactive at the same time. NMR to be prepared, to plan for a crisis, and to expect the unexpected thing.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izzaty Zephaniah
"Pada 13 Juli 2019, seorang travel vlogger bernama Rius Vernandes menghebohkan publik karena mengunggah foto menu bertulis tangan yang ia temuka saat sedang dalam perjalanan dengan rute dari Sydney ke Denpasar lewat kelas bisnis maskapai Garuda. Kejadian tersebut kemudia menyebabkan Garuda terkena krisis.
Pada penelitian ini, penulis berusaha mengidentifikasi strategi manajemen krisis yang diterapkan oleh corporate communication Garuda dalam menangani kasus menu bertulis tangan lewat wawancara mendalam dengan External Communications Manager Garuda, Dicky Irchamsyah. Garuda sebetulnya telah memiliki crisis communication manual berupa Emergency Response Plan (ERP), namun pedoman ini hanya diperuntukkan untuk kasus operasional yang berdampak secara masif, misalnya kecelakaan pesawat, pembajakan, dan kerusakan infrastruktur fasilitas. Sedangkan untuk kasus yang bersifat opini publik (misalnya kasus menu bertulis tangan), Dicky mengaku belum ada panduan tertentu.
Strategi manajemen krisis Garuda dalam menghadapi kasus opini publik yang mulanya tidak jelas/tidak berpola (tacit), telah dituangkan oleh penulis ke dalam poin-poin yang jelas (explicit), antara lain: 1.) PR Garuda Indonesia Bekerja dengan Mengikuti Gaya Direktur Utama (CEO), 2.) Menyalahkan Pihak Lain 'Shifting the Blame', 3.) Bertindak dengan Gaya 'Minimization', 4.) Menggunakan Aturan One Spokesperson Only, 5.) Rutin Membaca Eskalasi Pemberitaan, 6.) Mencegah Munculnya Angle News Baru yang Bernada Negatif, 7.) Menyelenggarakan Press Conference dengan Menekankan pada Unsur Pembaruan, 8.) Melakukan Proses Mediasi, 9.) Meningkatkan Intensitas Komunikasi dengan Pihak Regulator, 10.) Melibatkan Key Opinion Leader (KOL) dalam Membenahi Persepsi Buruk Perusahaan di Mata Publik, serta 11.) Menggemukkan Tim PR dan Menggerakkan Seluruh Karyawan sebagai Duta Perusahaan.
Selanjutnya, penulis mewawancarai tiga orang narasumber, yaitu Benny Siga Butarbutar (Former President Corporate Communication PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk), Asmono Wikan (Chief Execuitve Officer (CEO) PR Indonesia), dan Adhi Pratama (Former Communication Analyst, Unit Public Relations PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk) untuk mengevaluasi strategi manajemen krisis di atas.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, penulis menemukan beberapa poin-poin penting dalam hal komunikasi ekternal dari segi pengemasan pesan (message delivery), yaitu: 1.) Mengemas Pesan yang Menggugah: Membangun Perhatian dan Memperoleh Dukungan, 2.) "World Class Service" adalah Kekuatan Utama PR Garuda untuk Bercerita kepada Dunia, 3.) Menunjukkan Sebuah Perjuangan: Karena Semua Orang akan Jatuh Hati dengan Proses- Proses Perbaikan, 4.) Pentingnya 'Human Touch' di Era 4.0 , 5.) Hindari Sikap Defensif: Tujuan Utama PR adalah Memperoleh Mutual Understanding, 6.) Selalu Utamakan Kepentingan Publik Agar Mereka menjadi Pembela Setia Perusahaan, 7.) Kepercayaan Publik akan Lebih Terarah, dan Mereka akan Lebih Bisa Memberikan Maaf Bila Masalah Perusahaan Diselesaikan Sendiri , 8.) Pentingnya 'Good Ending', dan 9.) Bangunlah Relasi Media yang Sesungguhnya, Bukan Relasi Transaksional.
Dari segi manajemen komunikasi internal perusahaan, empat poin penting yang ditemukan mencakup: 1.) Dibutuhkan Pelaksanaan Media Training pada Setiap Pergantian Jajaran Direksi Baru, 2.) Besarnya Faktor Kepemimpinan (Leadership) CEO, dan 3.) PR Harus Berada di Leher Perusahaan agar Fleksibel dalam Menjalankan Fungsinya.

On July 13, 2019, a travel vlogger named Rius Vernandes shocked the public for uploading a handwritten menu photo he received in Garuda Indonesia airline business class while on his way from Sydney to Denpasar. The post quickly spread on social media, causing Garuda to be in a crisis.
In this study, the author tries to identify the crisis management strategy adopted by Garuda's corporate communication in handling the case, through in-depth interviews with Garuda's External Communications Manager, Dicky Irchamsyah. Garuda actually has a crisis communication manual in the form of an Emergency Response Plan (ERP), but this guideline is only intended for operational cases that have a massive impact, such as aircraft accidents, piracy, and damage to facility infrastructure. As for cases that are public opinion (for example the case of a handwritten menu), Dicky claimed there was no specific guidance.
Garuda's crisis management strategy in dealing with cases of public opinion that were initially unclear/not patterned (tacit, has been poured by the author into clear points (explicit), among others: 1.) PR Garuda Indonesia Works by Following the Style of Managing Director ( CEO), 2.) Blaming Others 'Shifting the Blame', 3.) Acting in the 'Minimization' Style, 4.) Using One Spokesperson Only Rules, 5.) Routine Reading News Escalation, 6.) Preventing Emerging New Angle News Negative tone, 7.) Holding a Press Conference by Emphasizing the Renewal Elements, 8.) Conducting Mediation Processes, 9.) Increasing Communication Intensity with Regulators, 10.) Involving the Key Opinion Leader (KoL) in Correcting the Company's Poor Perception in the Eyes Public, and 11.) Fattening the PR Team and Mobilizing Employees as Company Ambassadors.
Furthermore, the authors interviewed three speakers, namely Benny Siga Butarbutar (Former President Corporate Communications of PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk), Asmono Wikan (Chief Execuitve Officer (CEO) of PR Indonesia), and Adhi Pratama (Former Communication Analyst, Public Relations Unit, Public Relations Unit PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk) to evaluate the crisis management strategy above. Based on the results of the analysis that has been done, the author found several important points in terms of external communication in terms of the packaging of messages (message delivery), namely: 1.) Package an Evocative Message: Build Attention and Get Support, 2.) "World Class Service" Is the Main Power of Garuda's PR to Tell the World, 3.) Shows a Struggle: Because Everyone Will Fall in Love with Improvement Processes, 4.) The Importance of 'Human Touch' in Era 4.0, 5.) Avoid Defensive Attitudes: Objectives The main PR is Gaining Mutual Understanding, 6.) Always Prioritizing the Public Interest in order that they become Loyal Defenders of the Company, 7.) Public Trust will be More Directed, and They Will Be More Able To Apologize When Company Problems Are Resolved Alone, 8.) The Importance of 'Good Ending', and 9.) Build a True Media Relationship, Not a Transactional Relationship.
In terms of the company's internal communication management, four important points found include: 1.) Media Training is needed for each change of the new Board of Directors, 2.) The magnitude of the CEO Leadership Factor, and 3.) Public Relations Must Be in the Neck of the Company in order Flexible in carrying out its functions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Pramudita
"Hubungan masyarakat (humas) merupakan salah satu fungsi sentral yang bertugas untuk melakukan manajemen krisis dalam sebuah organisasi. Fungsi humas sendiri dalam masa krisis yaitu untuk menjaga kestabilan organisasi dan berusaha mempertahankan citra organisasi tersebut agar tidak semakin burukterutama ditengah perkembangan media online dan banyaknya alternatif dalam memperoleh berita yangsemakin mempercepat penyebaran isu di masyarakat sehingga dapatberdampak pada citra organisasi tersebut.
Skripsi ini membahas mengenai strategi manajemen krisis yang dilakukan oleh Humas BEM UI dalam mengatasi krisis humas akibat banyaknya pemberitaan dengan sentimen negatif di berbagai media online mengenai aksi kartu kuning Jokowi. Skripsi ini menggunakan paradigma post-positivisme dengan pendekatan kualitatif dan strategi penelitian studi kasus.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu berupa uraian mengenai dampak pemberitaan negatifmedia online mengenai aksi kartu kuning Jokowi, strategi manajemen krisis yang dilakukan oleh Humas BEM UI dan hambatan apa saja yang dilalui selama proses pelaksanaan strategi tersebut.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa humas BEM UI melakukan proses manajemen krisis denganstrategi adaptif dan defensif serta melakukan program pengendalian krisisnamum pelaksanaan manajemen krisis belum dilakukan secara menyeluruh karena tidak adanya tahapan persiapan dan evaluasi.

Public relations (PR) is one of the central functions in charge of carrying out crisis management in an organization. The function of public relations itself in times of crisis is to maintain organizational stability and try to maintain the image of the organization so thatit does not get worse, especially inthe development of online media and many alternatives in getting news which accelerating issues that spread in the community and can impact the image of the organization.
This thesis discusses the crisis management strategy carried out by Public Relations of BEM UI in overcoming the public relations crisis due to many news with negative sentiments in various online media regarding the action of Yellow Card for Jokowi. This research uses post-positivism paradigm with qualitative approach and case study research strategy.
The results obtained from this study are description of how the negative news impact on online media regarding the action of Yellow Card for Jokowi, how the crisis management strategy carried out by Public Relations of BEM UI and what obstacles were passed during the implementation of the strategy.
The results of this research revealed that public relations of BEM UI carried out crisis management processes with adaptive and defensive strategies and carried out crisis control programs but the implementation of crisis management had not been carried out thoroughly because there were no preparation stages and evaluation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diva Adinda Rafilia
"Eiger Adventure gagal dalam mempertahankan citra baik perusahaan karena kesalahan dalam mengirim surat keberatan kepada pelanggannya melalui media sosial. Kekuatan media sosial membuat isu ini berubah menjadi krisis hanya dalam waktu singkat. Kegagalan ini menunjukkan hubungan masyarakat perusahaan yang buruk sehingga Eiger membutuhkan suatu manajemen krisis. Dalam menangani krisis, praktisi humas Eiger dapat memanfaatkan beberapa instrumen kehumasan. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan instrumen kehumasan dalam manajemen krisis kasus surat keberatan oleh Eiger Adventure. Hasil analisis makalah ini menunjukkan strategi dan alasan pemilihan instrumen kehumasan yang dilakukan Eiger dalam tiga tahap manajemen krisis. Pada tahap pre-crisis, Eiger membangun hubungan dengan media. Dalam tahap crisis response, Eiger memberikan immediate response dalam bentuk press release, video release, dan konten media sosial. Serta pada tahap post-crisis, strategi marketing public relations dilakukan oleh Eiger sebagai upaya pemulihan citra.

Eiger Adventure failed to maintain its positive image as they sent an objection letter to their customer on social media. The power of social media made this issue rapidly become a crisis and affects the company’s image. This failure indicates bad public relations of the company and therefore, crisis management is needed. In handling the crisis, Eiger’s public relations practitioner could utilize some of the public relations tools. This paper aims to analyze the use of public relations tools in crisis management in the case of Eiger Adventure’s objection letter. The analysis results illustrate the strategy and argument for selecting such tools in three phases of crisis management. In the pre-crisis phase, Eiger maintained a media relationship. In the crisis response phase, Eiger implemented an immediate response in the form of press releases, video releases, and social media content. In the post-crisis phase, Eiger demonstrated a marketing public relations strategy as an effort to restore a positive image."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Diva Adinda Rafilia
"Eiger Adventure gagal dalam mempertahankan citra baik perusahaan karena kesalahan dalam mengirim surat keberatan kepada pelanggannya melalui media sosial. Kekuatan media sosial membuat isu ini berubah menjadi krisis hanya dalam waktu singkat. Kegagalan ini menunjukkan hubungan masyarakat perusahaan yang buruk sehingga Eiger membutuhkan suatu manajemen krisis. Dalam menangani krisis, praktisi humas Eiger dapat memanfaatkan beberapa instrumen kehumasan. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan instrumen kehumasan dalam manajemen krisis kasus surat keberatan oleh Eiger Adventure. Hasil analisis makalah ini menunjukkan strategi dan alasan pemilihan instrumen kehumasan yang dilakukan Eiger dalam tiga tahap manajemen krisis. Pada tahap pre-crisis, Eiger membangun hubungan dengan media. Dalam tahap crisis response, Eiger memberikan immediate response dalam bentuk press release, video release, dan konten media sosial. Serta pada tahap post-crisis, strategi marketing public relations dilakukan oleh Eiger sebagai upaya pemulihan citra.
Eiger Adventure failed to maintain its positive image as they sent an objection letter to their customer on social media. The power of social media made this issue rapidly become a crisis and affects the company’s image. This failure indicates bad public relations of the company and therefore, crisis management is needed. In handling the crisis, Eiger’s public relations practitioner could utilize some of the public relations tools. This paper aims to analyze the use of public relations tools in crisis management in the case of Eiger Adventure’s objection letter. The analysis results illustrate the strategy and argument for selecting such tools in three phases of crisis management. In the pre-crisis phase, Eiger maintained a media relationship. In the crisis response phase, Eiger implemented an immediate response in the form of press releases, video releases, and social media content. In the post-crisis phase, Eiger demonstrated a marketing public relations strategy as an effort to restore a positive image.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firstka Sarah Andhini
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran public relations dalam membangun corporate image atau citra perusahaan PT KAI Commuter Jabodetabek. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif . Kesimpulan Peran dari public relations PT KAI Commuter Jabodetabek adalah sebagai communicator , juru bicara yang mewakili perusahaan dalam memberi segala informasi yang ada terkait segala bentuk komunikasi yang dijalankan perusahaan. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan media sosial untuk dapat menginformasikan kebutuhan perusahaan kepada publik. Media sosial merupakan sarana efektif disebabkan karena dengan menggunakan media sosial, perusahaan dapat berinteraksi secara langsung.

This study aims to determine the role of public relations in building the corporate image of PT KAI Commuter Jabodetabek. This study uses a qualitative method. Conclusion The role of public relations PT KAI Commuter Jabodetabek is as a communicator, a spokesman representing the company in providing all information related to all forms of communication that run the company. The strategies that can be used is to use social media to inform the needs of the company to the public. Social media is an effective tool due to the use of social media, companies can interact directly.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Dameria Margriet
"Makalah ini membahas mengenai kampanye public relations yang diselenggarakan oleh PT BNI Life Insurance (BNI Life) sejak tahun 2018. Hal yang melatarbelakangi pelaksanaan kampanye ini adalah masih rendahnya awareness masyarakat Indonesia, terutama masyarakat millennial, terhadap pengelolaan keuangan dan penggunaan asuransi sebagai proteksi dan investasi jangka panjang. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menggambarkan penyelenggaraan kampanye public relations yang dilakukan oleh BNI Life, serta mendeskripsikan strategi perancangan pesan dan teknik kampanye yang digunakan BNI Life. Hasil penulisan makalah ini adalah BNI Life menggunakan beberapa strategi perancangan pesan, yaitu strategy of publicity, berupa publikasi melalui berbagai media dan kerjasama dengan awak media; strategy of persuasion, dengan mengadakan berbagai activation event; dan strategy of image, dengan melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility. Selain itu, BNI Life juga menerapkan beberapa teknik kampanye, yaitu teknik partisipasi, melalui kerjasama yang dilakukan dengan pihak eksternal untuk memancing munculnya perhatian yang sama; teknik integratif, dengan penggunaan kata pada setiap publikasi yang menunjukkan adanya kesatuan diri antara komunikator dengan komunikan; serta teknik ganjaran, melalui publikasi yang disertai dengan keterangan manfaat.

This paper discusses the public relations campaign held by PT BNI Life Insurance (BNI Life) since 2018. The background to the implementation of this campaign is the low awareness of the Indonesian people, especially the millennial society, towards financial management and the use of insurance as a protection and long-term investment. The purpose of writing this paper is to describe the implementation of the public relations campaign conducted by BNI Life and describe the message design strategies and campaign techniques used by BNI Life. The results of this paper are that BNI Life uses message design strategies, namely the strategy of publicity, in the form of publications through various media and collaboration with media crews; strategy of persuasion, by holding various activation events; and strategy of image, by carrying out Corporate Social Responsibility activities. In addition, BNI Life also applies several campaign techniques, namely participasing technique, through collaboration with external parties to provoke the same attention; integrative technique, with the use of words in every publication that shows the existence of unity between the source and the receiver; and reward technique, through publications accompanied by description of the benefits."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Talula Azizah Afliansa
"Hadirnya stigma negatif terkait sebuah produk perusahaan di masyarakat merupakan hal yang perlu untuk diperbaiki. Perusahaan harus selalu siap dan sedia untuk menciptakan solusi untuk mematahkan stigma negatif tersebut. PT. Sasa Inti meluncurkan Kampanye Generasi Micin atau “Micin Social Gang” yang merupakan salah satu bentuk strategi pemasaran kehumasan dalam meningkatkan citra merek Sasa sebagai pionir MSG di Indonesia. Tulisan ini akan menganalisis strategi pemasaran kehumasan yang dilakukan PT. Sasa Inti dalam mematahkan stigma negatif yang melekat pada merek Sasa MSG. Hasil analisis dari tulisan ini menyatakan bahwa PT. Sasa Inti melakukan strategi pemasaran kehumasan seperti push, pull dan pass dengan berbagai kegiatan seperti publikasi, iklan, event, partnership, sponsorship, dan public service activity. Dapat disimpulkan bahwa strategi pemasaran kehumasan ini memiliki peran besar dalam meningkatkan citra merek Sasa MSG di kalangan generasi milenial khususnya ibu rumah tangga muda.

The presence of a negative stigma related to a company's product in society is something that needs to be fixed. Companies must always be ready and available to find a solution to break the negative stigma. PT. Sasa Inti launched the “Micin Social Gang” Campaign, which is a form of marketing public relations strategy in enhancing Sasa's brand image as a pioneer of MSG in Indonesia. This study will analyze the marketing public relations strategy carried out by PT. Sasa Inti in breaking the negative stigma attached to the Sasa MSG brand. The result of this study states that PT. Sasa Inti carries out marketing public relations strategies such as push, pull, and pass with various activities such as publications, advertisements, events, partnerships, sponsorship, and public service activities. In conclusion, marketing public relations strategy has a big role in increasing the brand image of Sasa MSG among the millennial generation, especially young housewives."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Anisa Mujihastuti
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai manajemen krisis Public Relations yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menyikapi berita bohong (hoaks) yang beredar terkait dengan kebijakan registrasi ulang kartu prabayar dengan periode penelitian bulan Oktober hingga November 2017. Hoaks yang tersebar diantaranya adalah tentang akan adanya penyalahgunaan data, penggunaan nama ibu kandung saat registrasi, dan mempunyai tujuan politik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi manajemen krisis yang dilakukan Kemkominfo dalam menyikapi berita bohong yang beredar terkait dengan kebijakan registrasi ulang kartu prabayar. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif. Hasil penelitian adalah Kemkominfo bersikap aktif dalam menangani krisis karena mereka langsung melakukan diskusi dengan pihak yang terkait dan langsung klarifikasi melalui berbagai media. Lalu, humas Kemkominfo belum sepenuhnya melaksanakan konsep-konsep teoritis dalam menangani krisis seperti tidak membuat batasan isu beserta dampaknya dan tidak memposisikan citra perusahaan.

ABSTRACT
This thesis discuss about Public Relations crisis management strategy which have been implemented by Ministry of Communication and Information to respond about hoaxes related to the re-registration of prepaid cards policy with a research period from October until November 2017. The hoaxes are about data misuse, use of biological mothers name when registering the cards, and have political goals. The goal of this research is to analyze the Public Relations crisis management strategies which have been implemented by Ministry of Communication and Information to respond about hoaxes related to the re-registration of prepaid cards policy. This research uses qualitative and descriptive approach. This research found that the Ministry of Communication and Information were active in handling the crisis because they immediately held discussions with the parties concerned and do clarification through various media. Then, Public Relations of Ministry Communication and Information has not fully implemented theoretical concepts in dealing with crises such as limit the issues and impacts, and not positioning the company image. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>